Cemburu
Di part ini aku bikin problem yang nggak ada hubungannya sama Adlan. Tapi tetep aja bakal nimbulin pertengkaran-pertengkaran kecil antara Yesa dan Bundanya. Biar kalian nggak bosen bacanya kalau problem nya selalu tentang Adlan. Semoga kalian tetap suka ya 😊
~Author Pov~
Tak terasa sudah 1 semester berlalu Yesa duduk dibangku kelas 3 SMA. Hari ini waktunya menerima rapot di semester ganjil. Setelah seminggu terakhir Yesa menjalani Ujian Akhir Semester.
Perasaan was-was menyergap hati Yesa. Dia takut jika nilai dan peringkatnya turun. Jika hal itu terjadi, pasti dia akan menjadi bulan-bulanan Bundanya. Dan alasan utama yang membuat Bundanya ngomel adalah karna dia pacaran dengan Adlan sehingga membuat nilainya menjadi turun.
Yesa bukan anak yang cerdas yang selalu menjadi juara kelas. Namun dia tidak sebodoh anak yang jarang belajar. Selama menjadi anak sekolah, dia selalu mendapatkan peringkat 3 besar dikelasnya dan selalu masuk 10 besar paralel di sekolahnya.
Dia menjalani hari-harinya dengan seimbang. Belajar secukupnya, main seperlunya. Tak pernah ia melebih-lebihkan suatu kegiatan. Karna memang orangtua nya tak pernah menuntutnya harus jadi yang pertama. Bagi orangtuanya, berapa pun peringkatnya yang terpenting dia tidak merasa terbebani.
Walaupun orangtuanya tak pernah menuntutnya, tapi jika nilainya turun pasti akan menjadi bahasan utama setiap malam saat sedang berkumpul. Entah Ayah dan Bundanya pasti mengeluarkan wejangan-wejangan yang panjang. Apalagi Bundanya, wejangan yang keluar dari mulutnya tak ada henti-hentinya. Seperti hujan yang turun terus menerus saat musim penghujan.
***
Pagi ini Yesa tampak lebih pendiam dari biasanya. Tak ada celotehan-celotehan kecil yang keluar dari mulutnya. Biasanya ada saja yang dia komentari. Entah kemeja dengan dasi yang dipakai Ayahnya kurang cocok lah, jam tangan Ayahnya yang menurutnya itu-itu saja, gaya rambut Bundanya yang nggak mau kalah sama anak muda, sampai potongan rambut Ayahnya yang menurutnya terlalu tua dari umurnya. Semua tak luput dari pandangan dan komentarnya.
Tapi pagi ini dia hanya diam menikmati sarapan yang dihidangkan oleh sang Bunda. Diajak bicara pun hanya menjawab seperlunya. Tak ingin balik bertanya atau merespon lebih lanjut.
"hari ini penerimaan rapot semester ganjil ya Yes ?". Tanya Rangga sambil mengelap mulutnya karna sudah selesai melahap hidangan nikmat yang disajikan oleh istrinya.
"iya Yah". Jawab Yesa singkat sambil meminum susu coklat favoritnya.
"kamu mau dikasih kado apa ?". Tanya Rangga lagi. Sudah menjadi kebiasaan Yesa setiap kali dia selesai menerima rapot dan nilainya naik pasti dia akan meminta hadiah pada Ayahnya dan Ayahnya selalu mengabulkan setiap hadiah yang diinginkannya. Bukan maksud Ayahnya untuk memanjakannya, tapi itu semua dilakukannya sebagai salah satu bentuk motivasi yang diberikan untuk anaknya. Karena Rangga sadar, dia terlalu sibuk mengurus perusahaan, membuat ia tak punya banyak waktu untuk sekedar menemani anak semata wayangnya belajar. Selama barang yang diminta tidak jauh-jauh dari manfaat sekolah, dia tetap akan mengabulkan permintaan anaknya.
"nunggu nanti aja deh Yah. Nilai Yesa naik apa nggak". Jawab Yesa tidak bersemangat.
"sejak kapan kamu pesimis gitu Yes ?". Tanya Mera heran mendengar jawaban pesimis dari anaknya. Pasalnya anaknya ini tak pernah pesimis sedikit pun. Apalagi yang menyangkut tentang penerimaan hadiah, pasti dia akan bersemangat sekali menjawab kalau dia bakal menerima hadiah dari Ayahnya yang itu artinya nilainya akan naik.
"bukan pesimis Bun, cuma nggak mau bikin kecewa diri sendiri aja. Nanti udah membuat Bunda dan Ayah percaya kalo nilai Yesa naik, eh ujung-ujung nya merosot kan kecewa". Jawab Yesa menjelaskan. Dalam hatinya dia benar-benar takut akan nasib angka yang ada di rapotnya nanti. Hanya saja dia tak ingin terus terang tentang kekhawatirannya itu.
"yaudah kamu berangkat aja sama Ayah, nanti biar Bunda nyusu waktu ambil rapot". Ucap Rangga mendahului Mera yang akan angkat bicara. Dia mengerti tentang kekhawatiran sang anak, hanya saja dia tak ingin menunjukkan itu. Dia ingin anaknya sendiri yang terbuka masalah kekhawatirannya itu sendiri.
Yesa bangkit dari duduknya dan berjalan menyalami Bundanya. Langkah nya terlihat sekali tak bersemangat. Mera ingin menegur namun sebuah tangan kokoh mengelus pundaknya. Saat dia toleh, ternyata suaminya mengelusnya sambil tersenyum. Dia balas senyum sambil menganggukkan kepalanya.
Mera mengantarkan anak dan suaminya untuk mulai beraktivitas. Namun aktivitas yang akan dijalaninya berbeda. Suaminya akan beraktivitas di kantor, sedangkan anaknya akan beraktivitas di sekolah.
Mera tampak tersenyum sambil melambaikan tangan mengantar kepergian mobil hitam yang di tumpangi anak dan suaminya meninggalkan pelataran rumah. Senyum terus terukir di bibirnya. Sampai akhirnya dia masuk ke dalam rumah untuk membereskan meja makan.
***
"Kamu kenapa ? Kok sendirian ? Tumben gak bareng Yesa ?". Tanya Mera pada seorang gadis yang sedang duduk di salah satu bangku yang ada di lobi sambil menundukkan kepalanya. Kakinya tampak digerakkan secara berlawanan arah, menandakan kalau dia sedang gusar, cemas, khawatir, kecewa, sedih, bingung jadi satu. Perasaan yang sangat tak enak.
"aku bingung tante, gak ada yang bisa ambil rapot ku. Mama dan Papa sibuk kerja". Jawab gadis sambil masih tetap memainkan kakinya.
"kalo kamu nggak keberatan, biar tante aja yang ambil. Lagian kamu dan Yesa kan sekelas jadi tante nggak bakal kerepotan". Kata Mera sambil mengukir senyum. Tangannya tampak terulur untuk mengusap rambut bergelombang gadis itu.
Gadis itu tampak mengangkat wajahnya sambil memandang Mera tak percaya. Karena orangtua nya sendiri saja tak perduli dengan rapot sang anak, ini orangtua sahabatnya malah menawarkan akan mengambilnya.
"tante beneran mau ngambilin rapot aku ?". Tanya gadis itu penuh harap. Bunda Mera tampak menganggukkan kepala nya sambil tersenyum.
Gadis itu tersenyum lebar setelah tau Bunda Mera serius akan mengambil rapotnya. Dia fikir, dia sendiri yang akan menemui wali kelas nya untuk meminta rapotnya seperti semester-semester sebelumnya, tapi fikiran itu hanya sekedar fikiran. Karna sekarang ada Bunda Mera yang akan mengambil rapotnya.
"terima kasih ya tante". Ucap gadis itu sambil memeluk Bunda Mera erat. Bunda Mera membalas pelukannya tak kalah erat. Rasanya dia tak ingin melepaskan pelukan ini. Walaupun Bunda Mera bukan Ibu kandungnya, tapi dia merasakan ketulusan Bunda Mera padanya.
Yesa begitu beruntung memiliki Bunda seperti Bunda Mera. Tapi Yesa tak menyadarinya. Walaupun kadangkala tingkah laku Bunda Mera terlalu absurd, namun baginya itu malah menjadi nilai plus untuk Bunda Mera. Bunda Mera adalah Bunda yang berbeda dari Bunda-bunda lainnya. Bunda yang selalu memiliki cara tersendiri untuk menasehati anaknya. Bahkan bukan anaknya saja, Bunda Mera juga tak segan-segan untuk menasehati teman dari anaknya. Jika dia merasa anak itu salah, pasti nasehat-nasehat nya akan keluar.
Seseorang yang baru kenal dengan Bunda Mera pasti akan berfikir kalau dia orang yang kuno, kolot, ketinggalan jaman, dan sebagainya. Namun itu semua salah, Bunda Mera hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Karna melihat pergaulan zaman sekarang yang semakin mengkhawatirkan. Dia tak ingin anaknya hilang masa depan.
"ya sudah tante masuk kelas dulu ya". Pamit Bunda Mera sambil melepaskan pelukan.
Gadis itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Bunda Mera bangkit dari duduknya dan melangkahkan kaki untuk masuk ke ruang kelas anaknya untuk menghadiri rapat dan mengambil rapot.
Bunda Mera memilih duduk dibangku nomor dua dari belakang. Memilih duduk disamping seorang perempuan berhijab. Dilihat dari wajahnya, perempuan itu sudah berumur, namun tak menghilangkan aura kecantikannya.
Setelah mendaratkan diri di kursi, Bunda Mera tampak menyapa perempuan itu. Dan setelah itu terjadilah perbincangan seru. Memang tak sulit bagi Bunda Mera untuk menemukan orang baru. Karna memang dia orang yang supel dan ramah.
Perbincangan mereka harus terhenti saat seorang guru laki-laki masuk sambil membawa map. Dibelakangnya ada dua orang remaja yang memakai seragam putih abu-abu mengikutinya sambil membawa tumpukan rapot. Setelah meletakkan rapot itu ke atas meja, dua orang remaja itu meninggalkan ruang kelas.
"selamat pagi bapak ibu wali murid". Sapa guru laki-laki yang tak lain adalah wali kelas kelas itu.
"selamat pagi pak". Jawab serempak wali murid.
"sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada bapak dan ibu yang sudah bersedia menyempatkan hadir pada pagi ini. Ditengah-tengah kesibukan kalian, tapi kalian masih mampu untuk menghadiri rapat ini. Bagi saya, ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang kalian kepada anak kalian semua. Salah satu bentuk motivasi dan sikap menghargai untuk anak kalian. Salah satu apresiasi yang kalian tunjukkan kepada mereka yang sudah melaksanakan Ujian Akhir Semester seminggu yang lalu". Kata guru laki-laki itu yang ternyata bernama Pak Burhan.
"kita semua pasti tahu. Di dalam ruang kelas ini, anak bapak dan ibu tak hanya menjadi teman, tapi juga menjadi lawan dalam waktu bersamaan. Saling berlomba-lomba untuk menjadi juara, menjadi yang utama, dan menjadi yang paling teratas. Tapi itu semua tetap membuat mereka selalu kompak. Hari ini bapak dan ibu akan mengetahui hasil belajar dari anak bapak dan ibu sendiri-sendiri. Apapun hasilnya, berapa pun nilainya kita harus tetap menghargainya. Karna kita tahu, mereka pasti suda berusaha semaksimal mungkin. Hanya saja penentuan juara hanyalah satu, itu yang akan membedakan kedudukan mereka. Tapi perlu kita ingat, jika anak-anak sama-sama sudah berusaha. Jangan hakimi mereka jika mereka tak jadi yang pertama". Kata Pak Burhan panjang lebar. Dia mengingatkan kepada Wali murid untuk tetap menghargai usaha anak-anak mereka bagaimana pun hasilnya. Karena sering sekali kita lihat banyak orangtua yang membanding-bandingkan anaknya dengan anak orang lain yang mendapatkan juara ataupun nilai yang lebih tinggi dari anaknya sendiri. Tanpa mereka sadari, jika tindakan mereka membuat anak menjadi tertekan dan akhirnya dapat mengganggu psikologi anak. Yang mereka pikir adalah anak orang lain mampu kenapa anaknya tidak ?. Tanpa memikirkan perasaan anaknya sendiri.
Setelah menyampaikan beberapa pesan, Pak Burhan segera menutup pidatonya dan membagikan rapot kepada wali murid masing-masing. Karena hari sudah mulai siang, dan dia juga menyadari bahwa srbagian besar wali murid dari anak didiknya adalah orang sibuk, maka dia tak ingin berlama-lama dalam acara rapat ini.
***
"Bunda kayaknya akrab banget sama Karin, sampe peluk-peluk segala". Kata Yesa membuka obrolan saat selesai makan malam.
"dia kan sahabat kamu, kalian udah kayak sodara gitu jadi nggak salah dong kalo Bunda anggap dia kayak anak sendiri". Jawab Bunda Mera sambil memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya.
"ya tapi nggak gitu juga kali Bun. Kalo dilihat tuh ya, kalian kayak ibu dan anak yang udah lama nggak ketemu jadi kayak kangen berat gitu".
"biarin lah. Orang kamu yang anak Bunda aja jarang banget mau dipeluk Bunda, yaudah Bunda peluk anak orang aja".
"kok gitu sih Bun ?? Jadi Bunda lebih milih anak orang lain daripada anak sendiri ?". Tanya Yesa sewot.
"kok kamu jadi sewot gitu ya ?". Tanya Bunda Mera bingung. Dia tak mengerti dengan tingkah anaknya yang tiba-tiba sewot hanya karena dia meluk Karin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top