#9 ANTARA DUA BINTANG

Aku kembali lagi pada teori bintang kembar yang dikatakan adalah cikal bakal bumi dan semesta ini terbentuk, tapi benarkah? Banyak teori lain yang mengatakan bumi adalah kumpulan kabut nebula yang kemudian terpecah belah di dalam putaran, padahal awalnya mereka baik-baik saja. Sekali lagi, seandainya mereka tidak saling bergesekan dan mengalami pertikaian, apakah semesta ini tak pernah ada? –Surya-

"Jadi, ceritanya kamu kena radang amandel seminggu ini? Lalu, dua hari lalu operasi amandel, gitu?" Bintang memastikan dengan suaranya yang masih pelan, tangannya kembali membuka selembar kertas yang mereka gunakan untuk berkomunikasi tadi. Benar, perbincangan yang sudah dilarang beberapa kali oleh gurunya itu, justru berlanjut akibat Bintang yang penasaran.

Surya yang kini berperan sebagai Mentari hanya mengangguk, dia tidak ingin terlibat masalah, dia hanya ingin menyelesaikan hari ini dengan membuktikan bahwa Bintang-lah si pelaku yang membuat kembarannya terluka parah. Namun, sebuah kekehan dari mulut gadis itu berhasil menarik perhatian seisi kelas. Aish. Surya mengumpat dalam empat bahasa saat itu juga.

"Jadi, ini alasannya tenggorokanmu terlihat bengkak seperti jakun?" Bintang tiba-tiba saja memukul tepat ke jakun pria itu hingga Surya terbatuk dan hampir memukul balik.

"Bintang dan Mentari, keluar sekarang!" Pak Guru yang wajahnya tampak merah padam itu, sudah tak bisa lagi membiarkan keduanya mengganggu yang lain.

Surya melongo di balik maskernya, sedang gadis di sampingnya hanya tersenyum dan segera menarik lengan Surya untuk segera keluar dari ruang kelas. Pemuda ini tak mau menghancurkan reputasi Mentari, jadi dia bersikeras di tempat duduk sampai membuat Bintang harus menyeretnya paksa.

Keadaan lorong tampak lengang, tampak orang-orang masih sibuk di dalam kelas. Suya bisa melihat aktivitas mereka dengan jelas lewat jendela yang setinggi kepalanya itu, dia memejamkan mata. Sejujurnya pria ini tak mengerti strategi perundungan macam apa yang digunakan gadis ini, jika dipikirkan saja rasanya terlalu janggal melihat wajahnya yang tampak senang saat melihat Mentari –Surya–dihukum bersama dengannya. Lalu, pria ini berhenti sejenak.

Mungkinkah dia sengaja melakukannya? Membuat Mentari dihukum keluar kelas dan secara diam-diam membawanya ke belakang gedung untuk dianiaya, juga Mentari yang lemah hanya bisa ikut, tidak bisa melawan. Surya membatin. Tangan kirinya kini menjadi penompang tangan kanan yang menggosok rahang bawahnya.

"Kenapa Mentari? Kamu mikirin apa? Pak Nuh?" Bintang yang berdiri di sampingnya juga berhenti melangkah, menengok dengan wajah setengah khawatir pada sosok Mentari–Surya.

Bola mata pemuda itu berputar dan dia bisa melihat wajah manis gadis itu dari ekor matanya, wajah julid-nya tidak terpampang nyata karena maskernya. Namun, Surya kini menaruh dendam pada Bintang karena hampir membuatnya mati tersedak. Pria itu kembali melangkah, tanpa menghiraukan apa yang ditanyakan oleh Bintang tadi dan tentu saja membuat gadis ini tak puas, karena diabaikan begitu saja.

"Please, walau kamu belum bisa ngomong. Setidaknya tulis sesuatu kaya tadi, biar ...." Bintang terdiam saat pandangan tajam Surya tertangkap di netranya. "Biar ... biar aku enggak khawatir lagi. Aku takut kamu marah, karena minggu lalu aku ninggalin kamu di kelas Pak Nuh."

Gadis itu seketika saja menunduk, jari-jarinya yang mungil berada di bibirnya sekarang. Ekspresi wajah Bintang yang semringah tadi, tiba-tiba saja berubah menjadi kepanikan kecil. Dia bahkan mulai menggigit ujung kukunya dan tampak tak fokus. Surya yang memahami kondisi yang tak asing itu mulai pasang badan, entah ini hanya akting atau apa, serangan panik bukan lelucon yang lucu dan Surya tahu benar tentang itu.

Bel kelas berbunyi, tanda pergantian jam dan mungkin beberapa siswa akan keluar dari kelas untuk sekadar pergi ke toilet. Bintang yang mulai gemetar, cukup membuat pemuda itu khawatir. Surya kemudian mendorong dahi gadis itu dengan ujung telunjuknya, agar membantu Bintang kembali fokus dan menatap matanya. Pemuda ini bergeming, tapi tak bisa lepaskan tatapannya pada gadis itu. Tanpa memikirkan kecurigaannya tadi, Surya segera menarik pergelangan gadis itu dan membawanya ke tempat yang lebih tenang.

Ruang UKS? Ya, tidak akan jadi masalah. Surya membaca salah satu palang yang tertempel di atas pintu dan segera memasuki ruangan yang tak terkunci itu dengan Bintang di belakangnya.

Setelah melepaskan genggamannya pada tangan Bintang, Surya segera menulis sesuatu di ponselnya. Kamu kenapa? Apa ada yang mengganggumu? Bisa ceritakan?

Bintang yang mulai tampak normal membaca tulisan itu dengan serius, tapi tatapannya berubah sedikit curiga saat kembali menatap Surya. Gadis itu bahkan memiringkan kepala dan bibirnya, seolah menerka-nerka. Surya yang ditatap seperti itu pun menahan napas sejenak, dia tidak mungkin ketahuan di hari pertamanya, apalagi oleh gadis yang dia curigai.

"Berarti waktu itu kamu enggak marah?" Bintang memberikan tatapan polos. Surya memajukan wajahnya dengan menunjukkan reaksi sedikit terkejut, seolah paham dengan bahasa tubuh lawan bicaranya Bintang lalu menjentikkan jari. "Ah, benar. Aku yakin seorang Mentari enggak akan semudah itu marah sama sahabatnya sendiri, 'kan?"

Surya menghela napas, pertanyaannya apa, jawabannya sebuah pertanyaan lain. Otaknya ada masalah apa, sih? Sekali lagi Surya hampir memaki, mungkin hari ini adalah paling banyak dia bicara dalam hati.

"Anu ... kamu kan pernah bilang, kalau Pak Nuh itu pernah genit sama kamu dan kamu mau bolos aja setiap mata pelajaran beliau. Jadi, hari itu kupikir kalau buat keributan kita bakal dikeluarin, eh ... ternyata cuma aku yang dihukum. Makanya hari ini pun aku coba lagi, ternyata berhasil. Kamu enggak pa-pa, 'kan? Kamu nyesal? Kalau iya, kita bisa minta maaf ke Bapak Nuh atau mau bilang ke papaku aja sekalian tentang kasus ini? Biar diurus–"

Surya menahan ucapan gadis itu dengan telunjuknya, tidak sampai kena bibir, tapi cukup untuk memotong kalimat Bintang yang bicara seperti seorang rapper. Masalahnya, Surya tidak bisa mencerna semuanya jika terlalu cepat. Pemuda itu hanya mendengar kata-kata seperti 'genit' 'dihukum' dan 'Pak Nuh'. Surya kembali membeli isyarat, sebelum mengetik kalimat yang cukup panjang.

Jadi, Pak Nuh sering genit kan sama aku? Apa menurutmu Pak Nuh suka sama aku? Kamu sering lihat ga, kalau dia coba nyuri-nyuri kesempatan pas ada di sekitarku? Surya berusaha mengimprovisasi pertanyaan seolah dia adalah Mentari yang membenarkan bahwa dirinya telah dilecehkan, tapi sebenarnya Surya hanya ingin tahu, apakah hal menyakitkan itu benar terjadi pada adik kembarnya? Atau itu semata-mata asumsi Bintang saja.

"Eh, bukannya kita pernah cerita-cerita ke Bu Susan? Soal Pak Nuh yang hampir meluk kamu dari belakang ... ih, untung aja waktu itu aku gercep ngelempar pot bunga ke arah kakinya. Kalau enggak ... aku bakal enggak akan maafin diriku sendiri karena ngebiarin sahabatku dilecehkan orang lain," ucap Bintang kesal, bahkan terdengar sedikit gemeletuk giginya.

Sebenarnya, seberapa menyedihkannya hidup Mentari di sekolah? Juga, seberapa banyak yang disembunyikannya dari kami? Kali ini pemuda itu mengatur napas, matanya terpejam seiring membayangkan wajah pria yang tadi pagi menyapanya dengan ramah dan mengajar seolah dia adalah guru paling disiplin terhadap segalanya. Menjijikan, batinnya lagi.

"Tang, lo dipanggil Cassy. Tempat biasa katanya." Seseorang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu, seolah sudah tahu orang yang ada di dalam adalah Bintang atau mereka memang sudah memperhatikan keduanya sejak tadi.

"Lho? Bukannya ini masih jam pelajaran?" tanya Bintang sedikit ragu, dahinya berkerut dan tampak wajah sedikit pongah di sana.

"Jangan banyak bacot, deh!" Gadis asing tadi menggertak, cukup membuat Surya sedikit terperanjat. Namun, pemuda ini berusaha tenang.

Tanpa sepatah katapun, Bintang melangkah. Dia bahkan tak menghiraukan tangan Surya yang berusaha mencegatnya agar memberitahu apa yang sedang terjadi. Pria yang sedang menyamar itu ditinggalkan seorang diri dengan sejuta tanda tanya.

~oOo~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top