#7 GALAKSI BIMASAKTI

Kita ini hanya bagian kecil dari besarnya sebuah galaksi dan juga galaksi-galaksi lain, bintang yang bertaburan di langit itu saksinya. Betapa kecilnya bumi dibanding alam semesta, tapi bagaimana bimasakti menjadi tempat tinggal kita sekarang? Apa kita juga ada di galaksi lain? Kenapa harus Bimasakti? –Surya-

Tiga pemuda itu saling pandang, tepatnya Surya kini dipandangi oleh Zidan dan Jamal dengan takjub. Jamal bahkan bertepuk tangan dengan bangga dengan hasil sapuan kuas eyeliner pada mata Surya, Zidan sendiri menutup mulutnya tak menyangka.

"Kok bisa mirip banget?" Zidan berseru sembari menarik sebuah cermin ke hadapan Surya yang kini menggaruk puncak kepalanya yang terhalang oleh wig.

"Cantik banget hasil karya gue," ucap Jamal lalu membuka ponselnya untuk mengambil foto Surya yang kini juga memandangnya skeptis. "Gue normal ya, anjir. Tapi, ini gue lagi bangga banget sama tangan gue. Biasanya make-up karakter enggak bisa senatural ini."

"Ini muka cantik, karena muka aku emang ganteng, Bang." Surya tertawa sombong sembari menutup mulutnya.

"Oke, kalau masalah ganteng, gue enggak bisa bilang lo lebih dari gue. Tapi, gue suka tingkat kepedean lo. Sekarang, lo coba cek baju seragamnya Mentari, takutnya roknya kependekan." Jamal menarik Surya ke salah satu kamar pas yang sengaja dipasang di studionya itu.

Zidan dan Jamal menunggu dengan canggung, tidak lama tirai terbuka dan menampilkan sosok Surya yang kini sudah berubah seratus persen seperti Mentari. Sekali lagi dua orang itu bertepuk tangan, Zidan menggeleng dan menunjukkan dua jempolnya. Jamal kembali membuka ponselnya untuk memotret.

"Gila kalian berdua, aku jijik sendiri jadinya." Surya hendak menarik diri ke kamar pas, tapi Jamal menahannya dan mengukur rok yang dipakai oleh Surya dengan sebuah meteran.

"Ini kependekan, gue saranin beli baru atau lo minimal pake stocking. Ditambah bulu kaki lo udah kek hutan amazon, gue ga yakin lo bisa bertahan di SMA khusus putri dengan kaki begitu." Jamal kemudian duduk di salah satu kursi dan diikuti oleh Surya yang tanpa sadar duduk dengan mengangkang.

"HEH!" Zidan segera melempar bantal tepat ke atas paha Surya. "Jangan sembarangan, mana ada cewek duduk ngangkang begitu, euy."

"Sorry, kebiasaan." Surya menertawakan dirinya sendiri, tapi Jamal dan Zidan saling pandang dan menggeleng pelan.

"Lo, yakin ... mau nyamar?" tanya Jamal serius.

Surya kini duduk bersandar dengan sebelah tangan menahan bantal di atas kakinya. Dua hari lagi, tepat satu minggu pria ini kembali dari Korea dan sudah dipastikan keadaan Mentari belum ada kemajuan yang signifikan. Mengingat besok adalah hari senin, Surya berencana untuk melancarkan aksinya, tapi dari dirinya sendiri masih banyak keraguan yang beberapa kali membuat Jamal dan Zidan hampir menyerah untuk membantunya.

"Aku udah pastikan, besok ... aku akan jadi Mentari dan misal nanti langsung ketangkep, aku enggak peduli lagi. Jadi, tolong aku." Surya mengetatkan bibir dan mata bulatnya tampak bergejolak karenanya.

"Oke deh. Kalau gitu siap-siap aja buat besok. Ini sudah jam delapan malam, Teu Hana pasti udah nungguin lo di RS." Jamal segera berdiri dari kursinya dan mulai membersihkan kekacauan yang mereka buat setengah hari itu.

"Siap, Bang. Ini langsung aku taruh ke manekin yang di ujung itu, 'kan?" Surya melepas wignya dan berhasil membuat Zidan terpingkal.

"Maaf, Kang. Kalau lepas wig jadi aneh, keinget monyet yang dipakein baju seragam." Zidan mulai memunculkan taringnya. Pemuda enam belas tahun itu, awalnya sangat sopan dengan Surya, tapi lama-kelamaan mulutnya mulai lebih fleksibel untuk mengata-ngatai orang di sekitarnya. Jamal dan Surya menatapnya dengan tajam.

"Udah ngerti, 'kan? Kenapa gue jarang nunjukkin muka nih anak di sosmed, bahkan sampai gue block acc-nya? Ya, karena ini ... suka banget nge-reply tweet gue sama kata-kata aneh. Dari gorilla sampai kudanil udah diabsen sama dia. Untung gue bukan kepala keluarga, kalau enggak dah gue coret namanya di KK." Jamal segera menyergap leher belakang Zidan dan Surya menarik pipi pria yang tingginya hampir 178 cm itu.

"Ampun! Euy! Berhenti! Mami!"

Ketiganya pun saling adu terkam dan tentu saja itu hanya bentuk bercandaan semata, sampai Zidan benar-benar tertinju oleh kepalan tangan seorang mantan atlit Taekwondo, si Jamal. Perang malam itu pun berakhir dengan sedikit omelan dari Sandra dan Surya kembali ke RS dengan tawa renyah.

~oOo~

Pagi ini cukup membuat kepala Surya keliyengan karena begadang, tidur di Rumah Sakit bukan hal yang baik untuk kesehatan, mungkin karena hawa yang cukup mencekam apabila bunyi mesin penyangga hidup orang-orang di dalam ICU itu terhenti. Detak jantung yang mendengar pun berpacu dengan waktu, menerka-nerka, keluarga siapa lagi yang hari ini dipanggil oleh Maha Kuasa.

Untungnya, setelah kejang beberapa hari lalu. Mentari tidak mengalami hal yang lebih serius dan kembali ke posisi awalnya di atas ranjang ICU yang dingin. Saat Hana berjaga, dia akan mengelap wajah dan tangan gadis delapan belas tahun itu dengan lap hangat. Surya yang berjaga di luar hanya bisa terus waspada akan segala hal, meski bisa dibilang masa kritis itu sudah terlewati, tapi kita tidak tahu kapan takdir kehidupannya akan berhenti.

Surya masih bisa melihat sisa kabut yang dibawa dinginnya malam, suasana sepi itu perlahan ramai dengan beberapa pekerja, kebanyakan adalah cleaning service dan sisa perawat yang masih menunggu pengganti shift-nya datang. Pemuda ini masuk ke ruangan Mentari, menyapa gadis itu dan mengganti air yang biasa dipakai untuk menyeka wajah kembarannya itu. Sembari menunggu ibunya nanti, Surya berusaha membereskan segalanya dan memastikan wanita itu tak terlalu kerepotan saat dia tidak di tempat. Llau, sebuah panggilan mengejutkannya.

"Kang, cepet!" Suara panik dari Zidan dari seberang panggilan telepon mereka, dia tahu Jamal yang mungkin memaksa pemuda itu untuk mengejar Surya sekarang.

"Bentar, Mama masih di parkiran. Ini aku menuju ke sana, sekalian nyari taksi." Surya bergegas menuruni tangga untuk menuju ibunya.

"Gaya banget sih, pake ojol aja biar cepet!" terdengar suara Jamal yang tambah membuat Surya panik. "Lagian ojol lebih murah, bisa nyalip sana-sini. Gue udah ditungguin dospem, nih. Nanti beliau ngilang lagi, gue cape." Sekali lagi Jamal berteriak di telepon.

"Iya, ini udah dipesen. Tiga puluh menit sekalian mandi, deh."

"Anjir, ditinggal dosen deh ini pasti. Gagal bimbingan lagi gue, ngebut deh ngebut. Mandi di rumah gue aja."

"Surya? Ini Mama bawa sarapan kam–"

"Buat Mama aja, aku langsung pulang, ya!" teriak Surya dan segera berlalu tanpa mendengarkan ucapan Hana lagi.

"Duh, dia ingat bawa kunci rumah, enggak ya?" Hana bergumam.

~oOo~

Kaus hitam kebesaran dan celana olahraga yang dipakainya tadi malam sudah ditanggalkannya dan diganti dengan seragam siswi yang manis. Jamal menyodorkan celan leging baru pada Surya, dia sudah tak bisa memikirkan hal yang lain lagi, apalagi setelah Surya menolak tawaran untuk melakukan metode waxing pada bulu kakinya, yang penting penyamaran hari pertama ini harus berhasil.

"Sambil ngebenerin wig, boleh kita bahas lagi rencana memasuki sekolah itu, enggak? Jujur aku gugup banget, Kang." Zidan yang terlihat jauh lebih grogi dibanding dua orang yang sibuk dengan wig, tampak bergumam. Namun, Surya bisa mendengarnya dan menghela napas panjang.

"Mulut lo bau jigong." Jamal dengan cepat menepuk mulut Surya dengan sisirnya. "Ini gue pakein lem ya biar enggak geser-geser. Jadi, kalau gatel ditahan aja, jangan digaruk. Nanti bakal ngerusak bahan wig sama kulit di akar rambut lo," lanjut Jamal membereskan bagian wig yang tampak tak sesuai pada tempatnya.

Surya hanya pasrah dan mulai menjelaskan rencana A dan menyiapkan rencana B, kalau-kalau mereka tertangkap sebelum masuk gerbang. Pertama, Surya dan Zidan akan berangkat ke sekolah seperti biasa. Surya berperan sebagai Mentari dan Zidan akan berperan sebagai saudara yang menjadi walinya, mengingat kembarannya itu sudah tidak masuk sekolah selama satu minggu. Dia pasti diharuskan untuk melapor, terlebih kata Zidan orang-orang sepertinya tidak tahu kejadian yang sudah menimpanya.

"Terus kalau kita sudah di depang gerbang, gimana bilangnya ke Mang Satpam? Di sana enggak boleh dimasukin anak cowok yang pakai seragam sekolah." Zidan berdiri di depan sepeda motornya dengan sedikit kaku, terlebih Surya sekarang sudah rapi beserta dengan totebag yang dia dapatkan di kamar Mentari tempo hari.

"Pokoknya kita harus cepat berangkat, sebelum Mama kamu pulang dari jogging pagi. Nanti rencana selanjutnya kita bahas pas sudah dekat sekolah, tapi bukannya kita udah bahas ini, ya kemarin? Kok, bisa kamu lupa, Zid?" Surya mengambil helm yang bersanggar di atas jok motor Zidan dan pemuda berseragam putih abu-abu yang dibalut almameter sekolah berwarna biru tua itu hanya menyipitkan mata.

"Cepet berangkat, woy!" Jamal menggetok helm kedua pria itu bersamaan, "Mobil gue enggak bisa keluar kalau kalian berdiri di depan pagar."

Keduanya pun bergerak untuk menaiki sepeda motor dan melaju dengan perasaan yang sama-sama tak bisa diungkapkan. Dalam keramaian jalan raya, Surya sendiri masih menimbang-nimbang jika perbuatannya ini sudah benar atau tidak. Namun, keraguan itu harus segera ditepis olehnya sekarang, saat Zidan mulai memperlambat laju motornya.

"Kita udah sampai, Kang." Zidan berhenti di bawah salah satu pohon rindang yang sengaja di tanam di bahu jalan. Surya turun dengan masih mengenakan helm yang kacanya masih menutup wajahnya.

"Menurut kamu apa baiknya aku tutup muka pakai masker atau enggak perlu? Soalnya semirip apapun, aku dan Mentari tetap aja ada bedanya." Surya menarik sebuah masker dari totebagnya, Zidan hanya mengangguk dan menunggu instruksi selanjutnya.

"Oke, jadi setelah kita sampai di gerbang nanti. Aku akan bilang ke satpam, kalau kamu sekarang mewakili Mama untuk mengantar. Pokoknya, jangan takut, jangan gugup. Kita pasti bisa melewati gerbang itu." Surya mengepalkan kedua tangannya tepat di depan wajah mereka.

"Tapi, Kang ... suara Kang Surya itu ... kalaupun dikecilin juga tetep ketahuan suara cowoknya. Jadi, lebih baik Kang Surya jangan ngomong, nanti malah tambah yang curiga." Zidan melipat tangan di dada, sembari kaki panjangnya menyangga sepeda motor besarnya itu.

"Terus gimana bilangnya? Kamu bisa ngomong tanpa kedengaran gugup?" tanya Surya sedikit ragu, tapi dia juga merasa ucapan Zidan ada benarnya. Orang-orang mungkin akan terkejut mendengar suara manis Mentari berubah menjadi sejantan pria.

"Catat aja, Kang. Nanti aku bantu jelasin, aku akan berusaha sebaik mungkin. Kita pasti bisa!" Kali ini Zidan yang mengepalkan kedua tangannya.

Setelah berhasil menggunakan maskernya dan menuliskan pesan yang seolah-olah ditulis dari ibunya. Surya kembali menaiki sepeda motor dan dengan segera Zidan menyalakan mesinnya lagi, menuju gerbang sekolah yang hanya berjarak kurang dari dua ratus meter. Sembari melihat sekeliling, mata Surya melihat seorang pria yang berdiri di depan bamper mobilnya dengan sebuket bunga di tangan.

"Dih, norak banget," gumam Surya, tapi Zidan bisa mendengarnya sekilas.

"Hah? Apaan, Kang?" sahut Zidan salah sasaran.

"Hah? Iya." Surya yang tak mendengar apapun karena mesin sepeda motor yang cukup berisik, hanya bisa menjawab seadanya.

Tidak lama, munculah sebuah gerbang besar yang bertuliskan SMA Khusus Putri 127 Bandung. Surya menyunggingkan senyumnya dibalik masker, saat matanya tak sengaja bertukar pandang dengan satpam yang tidak setua dalam pikirannya. Pria itu lalu menyapa Zidan seolah sudah sering bertemu.

"Lho? Udah beda nih yang dibonceng? Sudah putus sama Aster?" tanya pria itu tanpa banyak basa-basi.

"Ah, masih kok, Kang. Ini ngantar K-kang ... eh, T-teh Tari. Soalnya kemarin habis sakit, Mamahnya minta tolong sama saya." Zidan segera mematikan sepeda motornya dan hampir gagal mendaratkan standar motornya, tapi Surya berhasil menyadarkannya dengan turun lebih dulu.

"Eh ini Dek Mentari? Enggak ngeh, pake masker, sih." Suaranya terdengar nyaring. Ternyata satpam ini juga cukup mengenal gadis itu dan syukurnya dia tidak terlalu merasakan perbedaan yang kentara.

Surya segera saja menyodorkan surat dengan tulisan tangan 'dari ibunya' itu pada si satpam, pria itu segera menerimanya dengan baik. Matanya tampak mengikuti alur tulisan yang ada di kertas itu dan bibirnya komat-kamit tanpa suara. Saat Surya berdiri santai dengan menyilangkan lengan di belakang, Zidan justru tampak menahan kakinya yang gemetar tak karuan.

"Ya sudah, kalau gitu. Masuk aja, Zid. Dek Mentari selamat datang kembali, ya."

Satpam itu segera menarik gerbang yang awalnya hanya terbuka sedikit untuk para siswi yang berjalan kaki, karena kebetulan mereka tidak diperbolehkan menggunakan sepeda motor atau mobil sendiri. Jadi, banyak dari mereka hanya di antar sampai depan gerbang dan sisanya berasal dari asrama. Sekolah ini cukup ketat untuk aturan pembatasan lawan jenis, hanya keluarga dekat atau wali atau saat ada kegiatan yang membolehkan masyarakat umum datang, gerbang itu dibuka lebar.

"Untungnya satpam yang jaga hari ini Kang Leo. Kalau enggak bisa mati kita." Zidan mematikan mesin sepeda motor untuk kesekian kalinya. Tidak jauh dari post satpam ada lahan parkir kecil yang biasa digunakan oleh guru-guru, staf dan terutama anggota komite sekolah, dan Zidan memakirkan motornya di sana.

"Sekarang, kita tinggal masuk ke kelas, 'kan?" Surya melepaskan helm yang membalut kepalanya dan mulai bercermin di spion untuk memeriksa wignya.

"Iya, Kang. Nunggu Aster buat jemput Kang Surya ke kelas, soalnya aku enggak tahu seluk beluk tempat ini." Zidan tampak sibuk dengan ponselnya, mencoba menghubungi Aster yang tidak lain adalah kekasihnya sekarang.

"Beneran keren sih ini lem yang dipake Bang Jamal, enggak geser sama seka–" Surya tercekat saat seseorang dari belakang tiba-tiba menarik lengannya dan memeluknya di tempat.

Zidan sendiri hampir menjatuhkan ponselnya saat melihat wajah pria yang kini memeluk Surya dengan erat. Alis kanannya yang terbelah sedikit, netra tajamnya yang perlahan saat dia membuka mata, juga beberapa tindik yang menghiasi telinganya. Pria itu adalah ....

"B-bang Bimasakti?" Zidan berseru dan serentak dengan Surya yang melepaskan diri dari pelukan mengejutkan itu.

"Dih," gumamnya pelan. Ini pertama kalinya dia dipeluk pria seerat itu, meski di Korea dia sudah terbiasa dengan pelukan-pelukan seperti itu dengan para Hyung-nya. Di Indonesia sendiri, dia merasa sedikit aneh jika melakukannya.

"M-mentari, kamu ke mana aja? Aku sudah nunggu kamu di gerbang berhari-hari. Saat aku kirim chat, kamu enggak pernah balas bahkan belum dibaca sampai sekarang." Berbeda dengan tampilan garangnya, tatapan tajam pria itu perlahan melembut saat bertemu dengan mata Surya–atau dipikirnya Mentari.

Surya segera menggandeng tangan Zidan dengan erat, dia menarik bahu pria itu agar dapat berbisik tepat di telinganya. "Dia siapa? Kamu kenal sama dia?"

"Ho-oh," sahut Zidan tercekat, dia tak tahu harus melakukan apa lagi. Ini tidak seperti yang diharapkan, apalagi jika mengingat hubungannya dengan pria bernama Bimasakti ini.

"Dia cowok yang bikin Tari di-bully?" Sekali lagi Surya berbisik.

"Kayaknya." Zidan hanya menyahut sesingkat mungkin agar tak terjadi kesalahpahaman antar keduanya atau ketiganya.

"Mentari, aku enggak tahu kamu marah atau gimana. Tapi, kalau aku ada salah, tolong kasih tahu aku. Kita bicarakan nanti, ya? Aku tunggu pas istirahat?" Bimasakti kembali mendekat, tapi dengan sigap Surya memberikan tanda untuknya berhenti di sana.

"Bilang, kalau kamu pacar Mentari dan kita ada janji nanti. Bilang, kalau dia enggak boleh dekat-dekat Mentari lagi," bisik Surya cepat.

Zidan yang mendengar hal itu segera menepuk dahinya dan mengacak rambutnya, sedang Surya yang tak paham dengan segala ekspresi yang sudah ditunjukkan oleh Zidan, hanya terus mendorong pemuda itu untuk mengatakan hal yang diinginkannya. Setidaknya agar Bimasakti pergi dan rencana mereka tak terganggu, tapi Zidan masih mencoba menggigit lidahnya sendiri agar tak bisa bicara lagi.

"Cepet," bisik Surya sedikit jengkel, Zidan menghela napas frustrasi.

"Aku pacar Teteh Mentari sekarang dan Bang Bima enggak boleh dekat-dekat sama Teteh lagi." Zidan bicara patah-patah, seolah dia adalah robot yang hanya bisa mengulang kembali ucapan dari orang di sampingnya.

"Hah? Terus Aster, adek gue mau lo apain? Lo selingkuh dari Aster? Gila, Zidan ... gue kira lo bakal beda sama si Jamal yang suka deketin banyak cewek." Bimasakti mendecih, wajahnya yang terlihat menyedihkan tadi berubah. Air muka kesalnya terlihat dari rahangnya yang mengeras.

"Ah, bukan gitu, Bang. Duh ... K-kang ..." Zidan kini tidak bisa lagi menahan rasa paniknya, tak bisa pula kabur karena Surya sangat kuat mencengkram tangannya. "Bisa gila aku," gumam pemuda itu, rasanya seluruh isi otaknya tidak berfungsi teratur.

"Tari, bukannya kamu udah janji akan bersama aku? Kita baru enggak ketemu seminggu, tapi kenapa kek gini? Serius. Kalau aku ada salah, kamu boleh pukul aku. Asal kita jangan putus, hm?" Tatapan hangat itu, ternyata hanya bisa dinikmati oleh seorang Mentari. Namun, yang ada di hadapannya sekarang bukan gadis itu, tapi Surya yang sudah naik pitam.

Dalam situasi canggung dan penuh kesalahpahaman itu, saat Surya hampir mengangkat tangannya untuk menampar Bimasakti, tiba-tiba seseorang menerobos dan memeluk Surya sembari meneriakkan nama Mentari. Orang itu lalu memegang bahu lebarnya dan Surya bisa melihat seorang gadis, dengan rambut hitam panjang dan mata bulat, juga netra hitam yang sudah beberapa hari ini menggelayut dalam mimpinya.

"Astaga, Tari. Aku kangen banget sama kamu!" ujarnya riang sembari memastikan dirinya tak salah orang.

Dia memperhatikan name-tag yang dipakai oleh Surya dan tersenyum saat membacanya. Pria itu juga ikut memperhatikan name-tag di kantong seragam gadis ini dan langsung saja sebuah kesimpulan muncul di otaknya. Bintang? Itu nama kamu, si pembunuh? Surya membatin tepat ketika mereka bertukar pandang.

"Ada apa ini ribut-ribut? Terus, cowok dari luar enggak boleh masuk sembarangan!" Salah seorang satpam lain dengan sepeda berhenti di sekitar mereka, dia bukan tipe satpam ramah seperti pria sebelumnya.

~oOo~

Author note: Makasih udah mau baca sampai sini ya, guys. Semoga seneng bacanya :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top