#6 LITTLE STAR
Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Tiga pemuda itu saling memandang televisi yang kini terpampang wajah mereka saat ulang tahun Zidan sepuluh tahun lalu, tidak terasa memang kini orang-orang itu sudah beranjak dewasa dan yang paling terharu akan hal ini adalah Sandra, ibu Jamal dan Zidan yang kini bertepuk tangan di kursi lain yang menghadap mereka. Benar, mereka terjebak di kenangan Mami Sasan–panggilan sayang dua bersaudara ini.
"Seneng banget bisa lihat Surya lagi setelah sekian lama, Tante bener-bener takjub sama pertumbuhan kamu. Kayaknya di Korea dikasih makanan yang bergizi terus, ya?" Dia masih menggoyangkan badannya seiring lagu Twinkle-twinkle Little Star itu bergema di seantero ruang keluarga ini.
"Iya, Tante." Surya hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Kedua saudara kandung di sebelahnya hanya menatap televisi dengan malas, bahkan Jamal sedari tadi hanya menguap, beberapa kali matanya tertutup dan terbuka lagi saat mendengar sorakan kegirangan ibunya. Zidan menyangga tubuhnya pada lengan sofa, jarinya memijit pelan keningnya. Sampai sebuah panggilan dari telepon rumah mereka berdering, di zaman yang cukup moderen ini, keluarga ini masih mempertahankan tradisi unik mereka dengan masih menyimpan barang-barang analog. Surya cukup mengagumi hal itu.
"Bentar, ya–" Sandra hampir berdiri dari kursinya, tapi sudah ditahan oleh Jamal dan Zidan yang berdiri bersamaan.
"Biar Jamal aja yang ngangkat." Jamal memberi isyarat agar ibunya tak bergerak dari tempatnya.
"Zidan aja," sahut pria jangkung yang masih berseragam SMA itu dan keduanya berakhir saling dorong.
"Hedeh, lama kalian ini, biar Mami aja. Tante tinggal sebentar, ya Surya." Setelah berpamitan, Sandra melangkah cepat mengingat telepon itu terus berdering.
Zidan dan Jamal saling pandang, lalu tertawa kecil dan memberikan tos tinju pada Surya yang kini memandangi keduanya dengan bingung. "Sengaja, biar Mami yang nyahut. Jadi, kita bisa kabur." Jamal menjelaskan dengan senyum dan lesung pipit yang membuat wajahnya terlihat tambah manis. "Matiin TV-nya, Zid. Gue mau tidur dari tadi. Kalian terserah deh mau ke mana, asal jangan ganggu gue di kamar." Jamal melambai ke arah keduanya dan hendak melangkah, tapi Surya menahannya.
"Terus Tante Sandra, gimana?" Surya melongo, agak tidak nyaman juga jika harus melengos pergi tanpa berpamitan dengan wanita ramah dan ceria itu.
"Keknya Mami juga bakal lama teleponannya, jalan-jalan aja kalian di luar," lanjut Jamal sembari berlalu.
"Gue juga masih ada ekskul nanti sore, maunya sih istirahat bentar. BTW, Kang Surya ...." Zidan terhenti sejenak saat melihat Surya yang tiba-tiba serius menatap layar televisi yang kini menayangkan dirinya dan Mentari menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama. "Kang Surya kenapa?"
"Lihat, deh. Kita berdua kecil banget, ya? Itu ... eggak tahunya itu acara terakhir ... kita berdua bisa nyanyi bareng. Aku harusnya sering pulang ke Indonesia, ya 'kan?" Surya menarik napas dan mengembuskannya perlahan lewat mulut.
"Santai, Mentari masih ada di sini. Februari nanti kita bisa kok ngerayain ultahnya Zidan bareng-bareng. Eh, tapi itu tergantung ke lo juga, bakal masih ada di Indo atau enggak?" Jamal menepuk pelan bahu Surya dan merangkul pria itu untuk segera beranjak.
"Hehe, doain aja, Bang. Keknya aku harus langsung ke RS sekarang, Mama pasti udah nungguin." Surya segera melepas rangkulan Jamal, lalu tersenyum.
Setelah berpamitan dengan isyarat pada Sandra yang masih sibuk dengan teleponnya, Surya diantar oleh Zidan menuju pekarangan. Rumah yang tak banyak berubah itu membuatnya kembali mengingat kenangan-kenangan lama dan kemudian matanya berakhir pada pintu garasi dan sepeda BMX yang terkulai di tanah yang dilapisi rerumputan hijau itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Zidan, yang kini mendengkus.
"Eish!" Zidan terdengar kesal, dia melewati tubuh Surya dan mendekati sepeda itu. "Mahal-mahal gue modif, hancur lagi. Kerjaan Bang Jamal pasti ini." Zidan menggerutu dan Surya sendiri hanya terdiam, sembari mencuri dengar dengan wajah tak bersalah.
"Sepedanya kamu modif, Zid? Habisnya berapa duit buat modif sepeda sekecil ini?" tanya Surya ikut berjongkok di samping Zidan.
"Aku belinya satu jutaan, terus kemarin rodanya lepas gegara Bang Jamal naikin. Dia tuh berat, tapi enggak sadar-sadar juga. Ini untung enggak sampai parah, cuman ini pintu garasi Ayah ... keknya Bang Jamal bakal kena amuk masa deh nanti," jelas Zidan sembari menyeringai di akhir, mengira kakaknya itu akan dimarahi habis-habisan oleh ayahnya.
Surya tertawa hambar sembari meminta maaf di dalam hatinya pada Jamal yang mungkin menerima getah karena kesalahannya. "Kalau gitu, aku pergi dulu, ya. Makasih banyak atas infonya, kalau ada hal baru lagi tolong kabari. Oh, ya. Tolong bilangin ke Bang Jamal, mohon maaf gitu."
Zidan hanya mengiyakan saja dan melambaikan tangannya saat Surya menghilang dari halaman rumahnya untuk menuju jalan besar. Selama perjalanannya mencari taksi atau apapun yang bisa membawanya pergi ke rumah sakit, pria itu kembali memandangi foto perempuan yang dikirim oleh Zidan. Jika keputusannya benar untuk menyamar, dia hanya perlu menuju gadis ini saja dan jika beruntung bisa menemukan buku diary milik Mentari yang saat ini kemungkinan disimpan di asrama tempat gadis itu menginap, jika ibu mereka harus pergi keluar kota untuk menjadi pelatih ibu-ibu sosialita merangkai bunga.
~oOo~
Surya kini duduk di salah satu tangga rumah sakit, kebetulan ruang ICU diletakkan di tempat yang paling sepi, mungkin tujuannya agar tidak mudah mengganggu pasien yang dirawat. Tidak lama Hana muncul dengan kotak yang berisi kue dan beberapa roti, Surya tersenyum kecil. Keduanya kemudian melangkah ke salah satu pondokkan kecil di taman terbuka milik rumah sakit ini, ibunya tampak membagi roti-roti itu ke beberapa orang sekitar.
"Ini buat Surya, kamu suka yang isinya kacang merah, 'kan?" Hana menyodorkan sebuah roti padanya. "Maaf, soal pagi tadi. Mama hanya sedikit shock dengan ide kamu, mau bagaimana pun kita harus tetap percaya sama pihak sekolah, mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk mengungkap segalanya."
"Iya." Surya menyahut pelan, dia tidak marah, tidak juga sedih. Perasaannya biasa saja, dia tidak bisa menyalahkan ibunya, ide itu memang aneh dan jika Surya ketahuan sebelum menemukan kebenarannya, dia mungkin akan dilaporkan dan merusak reputasinya jika ada yang mengenalinya sebagai seorang trainee.
"Jawabannya kok singkat, gitu? Kamu ngambek? Astaga, bayi Mama." Hana mencubit pipi tembam pria itu dengan gemas, membuat Surya mengerang dan bersemu. Banyak yang melihat ke arahnya dan dimanja di hadapan orang-orang terasa sedikit memalukan baginya.
"Aduhhh, aku udah gede, Ma. Aku enggak ngambek, lagi ada yang dipikirin aja gitu." Surya mengelak dan sedikit mundur ketika ibunya hendak mencubitnya kembali.
"Mikirin apa? Kalau masalah karir kamu di Korea, ya ... Mama harap kamu segera kembali. Supaya mempermudah debut kamu."
"Mama mau ngusir aku?" Surya mendramatisir keadaan. Lalu, dibalas dengan tawa pongah ibunya yang menggeleng pelan.
"Enggak ... Mama cuma mau kamu memprioritaskan apa yang sudah menjadi mimpi kamu." Hana menopang dagunya dengan tangan kanannya.
"Jujur, aku masih mikirin keadaan Mentari. Seminggu ini masa kritisnya dan kesalahan sedikit aja bisa berisiko, 'kan? Kalau dia bertahan sampai minggu depan, berarti kita punya harapan 'kan, Ma? Soalnya ... Surya enggak mau pulang, cuman buat ngadain pemakaman." Kata-kata lugas dari Surya membuat Hana terdiam, matanya tak berkedip sesaat, tapi kemudian senyumnya mengembang.
"Mentari kuat, kamu tahu itu." Hana mengelus pelan kepala Surya. "Anak-anak yang Mama lahirkan adalah anak yang kuat dan hebat, masih ingat 'kan cerita Mama waktu hamil kalian?"
Benar, Surya selalu mengingat cerita itu. Ayahnya, orang yang dulu menjadi pendongeng ketika mereka hendak terlelap, selalu menceritakan hal yang sama, mengingatkan mereka agar berbakti dan setia pada ibunya, bagaimana pun keadaan dan situasinya. Namun, Surya menyeringai kecil dan dengan pongah dia mendengkus, jika mengingat lagi sosok pria satu itu.
"Nyonya Hana?" Salah satu perawat tampak kehabisan napas saat ini dan dari sorot matanya ada hal yang buruk sedang terjadi. "Nona Mentari kembali mengalami kejang, kami memohon kesiapan keluarga kalau-kalau terjadi pendarahan lain lagi."
Tak perlu banyak berpikir Surya segera menahan tubuh ibunya agar bisa berjalan ke ruang penanganan. Apapun yang terjadi. Please, kamu harus kuat Mentari, batin Surya lirih.
~oOo~
Bintang Kecil
Mentari di mana? Aku kangen.
Sudah seminggu kamu enggak ada di sekolah.
Perbuatanku terakhir kali terlalu jahat ya?
Delivered 20.30 WIB
~oOo~
Author's note:
Hope you guys like it! Aku mau nanya dong, hujan, bintang, matahari, awan, langit, mana yang kamu suka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top