#5 DI LUAR NALAR
Ini semua, omong kosong yang terlanjur menjadi kenyataan, seperti saat mereka bilang bumi bulat atau datar dan ketika mereka bilang Mars mungkin bisa menjadi planet selanjutnya untuk bisa manusia tinggali. Namun, benarkah? Semua itu mungkin hanyalah kebohongan. -Surya-
Semilir angin perlahan berembus dari balik gorden yang terpasang di sebuah jendela kecil di kamar pemuda dengan tinggi 174 cm itu, dia masih mendengkur di atas kasur lembut yang sudah lama tidak dia miliki sendiri. Namun, getar ponselnya seketika membuatnya terperanjat dan hampir membuatnya berlari ke kamar mandi,. Hanya saja, dia segera tersadar tidak berada di Korea lagi. Tak ada alasan baginya untuk bangun sepagi mungkin dan tidur selarut mungkin, seperti aktivitasnya sepuluh tahun terakhir.
"Ah, aku lupa mengganti zona waktu. Ini pasti masih jam tiga dini hari di Indonesia." Surya menggumam sendirian.
Badannya kembali menarik diri dalam selimut tebalnya, ukuran dingin di Bandung itu cukup membuatnya kembali merasakan sensasi musim gugur di Korea, walau hanya sesaat. Sebelum pemuda itu benar-benar tidur, tangannya mulai mengutak-atik aplikasi obrolan daring yang ada di ponselnya dan nama Bang Jamal tertera di sana dengan pesan yang belum terbaca. Surya masih ingat setelah Zidan memberikan kontak pria itu padanya, dia dengan segera menghubunginya.
Di awali dengan sekadar basa-basi, tapi nyatanya pemuda ini lebih to the point dengan sedikit penegasan yang cukup membuat Surya cekikikan malam-malam.
Bang Jamal?
Ya? Siapa?
Ini Surya.
Kelas berapa?
Hah?
Hah, Hoh, Hah, Hoh
Kalau chat sama kating yang bener dong, langsung aja to the point
Ini Surya tetangga sebelah, Bang
Oalah, Surya yang itu
Udah dua tahun lost contact, ya? Kenapa? Ada apa?
Aku mau minta tolong, Bang.
Ah, gomen. Kalau lo mau pinjem duit, watashi juga lagi kere nih.
Enggak, Bang.
Aku cuma mau pinjam wig, Bang Jamal masih jadi cosplayer, kan?
Oh, iya dong. Sekali wibu tetap wibu, cosplayer is my passion.
Em, tapi bukannya lo di Korea? Ngapain pinjam wig di Indonesia?
Aku udah pulang, Bang. Besok aku jelasin, ya.
Oke deh, tapi bayar, ya.
Ini bisnis, watashi enggak bisa asal pinjemin.
Siap, Bang. Nanti dibayar pake masker Korea. Hehe
Enggak, watashi udah ganteng.
Jadi, perlunya duit aja.
Percakapan itu berakhir di sana, karena Surya sendiri sudah tak sadarkan diri sebab terlalu lelah setelah perjalanannya hari ini. Juga, beberapa hal yang kiranya mengguncang perasaannya dan ibunya, fakta mencengangkan yang disampaikan sekolah itu tidak masuk akal. Terlebih info yang diberikan Zidan kalau Mentari terakhir bertemu dengan gadis-gadis yang merundungnya hari itu.
"Memangnya seburuk apa kehidupan yang lo tutupin selama ini, sih Tari?" Surya kembali menggumam, matanya menerawang pada langit-langit kamar itu.
Perlahan kelopak matanya mengatup, tapi ada satu dua pikiran yang masih mengusiknya. Ide gila yang mungkin tak bisa direalisasikan, keinginan untuk sekadar mengetahui gadis yang fotonya dikirimkan oleh Zidan tadi dan mengapa dia melakukan hal sekeji itu pada Mentari. Juga yang terakhir, buku harian Mentari di tahun 2020 ini, karena sudah menjadi kebiasaan kembarannya itu untuk memiliki buku baru tiap tahunnya, berarti ada kemungkinan sebuah fakta baru tersimpan di sana.
"Mari kita tidur dan bertemu Bang Jamal besok," ujarnya segera menutup mata.
~oOo~
Antara mimpi dan juga kenyataan, sebuah gedung dan lantai dansa, kabut yang semrawut juga desingan ucapan orang-orang merasuk ke dalam pendengaran Surya. Pria ini menoleh ke sana kemari, gambaran-gambaran tak jelas itu, bukan berasal dari memorinya. Ada hal-hal yang diciptakan saling berhubungan, layaknya ibu yang memiliki ikatan batin dengan anak-anaknya. Bagi orang yang memiliki kembaran, ada kepercayaan bahwa mereka masih terhubung, meski tak bersama. Kadang mereka bisa memimpikan hal yang menjadi milik satu sama lain. Contohnya seperti sekarang, saat Surya terbangun dengan napas memburu.
"Itu tadi dari pikiran Mentari, 'kan? Ah, sadar Surya, itu tidak mungkin. Aku pasti pernah ke tempat itu, hanya saja mungkin sudah lupa." Pemuda itu menepuk pipinya yang mendingin akibat suhu ruangan yang rendah.
"Surya?" sapa seseorang di balik pintu yang tertutup, suara lembut itu tentu saja berasal dari ibunya.
Saat membuka pintu, aroma wangi hidangan yang disiapkan pagi itu menyeruak. Surya segera mengikuti langkah ibunya ke lantai satu untuk menyantap sarapan bersama-sama, dalam perjalanannya itu, dia menatap dinding yang masih terlihat sama, tapi dengan lebih banyak foto dari sebelumnya.
Kemarin malam Surya tak benar-benar memperhatikan, tapi di sini Surya bisa melihat pertumbuhannya dan Mentari sudah begitu banyak, juga ibunya yang mulai berubah dan menua. Meski banyak orang yang mengatakan dia awet muda, tapi serangan umur masih tidak bisa disangkal oleh siapapun.
Surya menarik napas panjang dan tersenyum ketika ibunya berbalik untuk menatapnya yang sedari tadi hanya diam. Lalu, tanpa bersuara sepatah kata pun menyuruhnya untuk duduk dan menghindangkan makanan yang menjadi favorit Surya, ada tempe, tahu, dan ayam goreng, juga tak ketinggalan pete rebus dengan sedikit sambal bawang.
"Sambalnya bisa ditambahin, Ma?"
"Tahan-tahan dulu, perut kamu kalau dihantam yang pedas pagi-pagi begini, apa enggak langsung longsor?" Hana tertawa kecil diiringi Surya, yang kini menggaruk tengkuknya.
Sembari berdoa bersama, Surya menatap pelan wajah ibunya. Lelah itu terpancar dari tiap gurat wajahnya, bahkan senyum manisnya pun tak bisa selebar biasanya mereka bertemu lewat telepon video. Sapaannya pun tak secerah hari-harinya mengingatkan Surya untuk makan dan tidur tepat waktu.
"Ma, kalau Surya coba untuk cari tahu kejadian Mentari ini ... apa Mama bolehkan?" tanya Surya di sela-sela tangannya mengaduk nasi putih hangat di depannya.
"Boleh, sangat boleh. Mama akan senang kalau Surya bisa menemukan kebenarannya, karena sama kaya kamu Mama juga enggak yakin Mentari memiliki pikiran sekonyol itu." Iris mata Hana tampak berbinar, begitu pula Surya.
"Jadi, semisal aku menyamar dan masuk ke sekolah itu untuk mencari tahu kebenarannya, enggak papa, Ma?" ucapnya dengan semringah.
"H-hah? Maksudnya menyamar, bagaimana?" tanya Hana sedikit khawatir.
"Aku akan berpura-pura sebagai Mentari dan ikut belajar di sana. Paling lama ... em sepekan? Aku yakin enggak lebih dari itu, aku bisa menemukan pelaku sebenarnya, Ma." Surya yang awalnya tampak bangga dengan idenya itu, tiba-tiba berubah air wajahnya saat melihat ibunya mengernyitkan dahi.
"Ide kamu itu ... Surya ... bagaimana bisa seorang laki-laki masuk ke sekolah khusus perempuan dan berpura-pura jadi siswi di sana? Kamu bisa ditangkap dan dituduh macam-macam. Mama, kurang suka ide itu." Hana menghela napas berat, seolah kecewa dengan pemikiran yang sudah dilontarkan oleh Surya.
Surya sendiri tampak tak terima dan berusaha untuk meyakinkan, tapi nyatanya Hana menarik diri dan segera pamit untuk kembali ke rumah sakit.
"Selama kamu di sini, kita harus gantian ke rumah sakit. Juga, Surya ... jangan memikirkan ide aneh lagi. Kalau memang ada yang aneh, pihak sekolah pasti akan menghubungi Mama lagi."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita lapor polisi? Ini kecelakaan fatal, enggak mungkin aparat diam aja saat ada orang yang hampir meninggal di sekolah itu " Surya melipat tangannya di atas meja dengan rapi, nasinya bahkan mulai mendingin karena tak tersentuh lagi.
"Baik, tapi biar Mama yang akan urus ke polisi. Kamu, Surya ... sekali lagi Mama peringatkan jangan lakukan ide aneh itu atau kamu Mama kembalikan ke Korea," tegas Hana sembari mengancungkan jari telunjuknya ke udara.
Surya yang tak menyangka akan menerima reaksi penolakan habis-habisan itu hanya mengangguk, bibirnya tersenyum, tapi hatinya sedikit sedih dengan semua perkataan ibunya itu.
"Mama pergi dulu, kalau kamu perlu sesuatu untuk dimakan. Cari di kulkas dan kabinet di dapur, hm?"
Selepas kepergian wanita itu, Surya menunggu di depan jendela hingga mobil itu tak terlihat lagi di sana. Perlahan tapi pasti, kakinya melangkah ke pekarangan rumah sebelah yang rumputnya tak kalah hijau dari miliknya.
"Orangnya pada pergi, ya?" gumam Surya setelah beberapa kali memencet bel rumah tetangganya itu.
Mata pemuda ini berpendar dan mendapati sebuah sepeda BMX terparkir di samping garasi rumah itu. Surya itu cerdas, tapi kadang .... BRAKK, dia baru saja menaiki sepeda BMX itu dan menabrakannya pada pintu garasi yang tertutup. Dia bisa jadi sangat ceroboh dengan barang-barang, sama seperti sekarang.
"HEH!" suara berat itu muncul di balik pintu utama yang sudah terbuka, seorang pria tinggi dengan sarung kebanggaannya keluar rumah dengan bawah mata yang menggelap.
"Oy! Bang Jamal!" seru Surya, tampak hendak memeluk pria itu. Hanya saja dia segera menghindar saat Jamal dengan sangar hampir memukul kepalanya.
"Hancurin aje!" sindir pria itu saat melihat pintu garasi yang terbuat dari bahan plywood itu tampak penyok dan hampir berlobang.
"Maaf Bang, sepedanya enggak ada remnya." Surya menangkup kedua tangannya dan menunjukkan senyum memelas, hingga lubang hidungnya mengembang.
"Bodo amat, gue kaget! Ganggu orang tidur aja, lo!" Jamal kini berkacak pinggang, selain memakai sarung modif tambalannya, dia juga hanya mengenakan kaus dalam warna putih yang sangat tipis. Tampilan bapak-bapak komplek itu pun, disempurnakan dengan suara bersinnya yang kemungkinan dapat membangunkan satu RT. "HATHCUEES!"
"Blees you," gumam Surya.
"Alhamdulillah ... hah ... ngapain sih pagi-pagi ngerusuh rumah tetangga? Pengangguran lo?" Jamal menatap sanksi pada Surya sembari berusaha bernapas normal lagi. Kulit putihnya perlahan tampak memerah seolah menyesuaikan dengan suhu luar yang lumayan dingin kala itu.
"Ini udah hampir jam sepuluh, Bang. Jadi, kupikir orang-orang pada udah bangun beraktivitas, aku enggak tahu kalau Bang Jamal masih molor." Surya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, salahnya juga tak membalas dan menanyakan kapan pria ini punya waktu luang.
"Yah, bedain dikit sama di Korea. Kita di sini, tidur habis subuh tuh punya kenikmatan tersendiri, apalagi mahasiswa akhir kek gue. Bisa tidur sepuluh menit juga syukur, Sur." Jamal kembali mengembang kempiskan hidungnya yang tampak memerah itu. "Masuk dulu gih, sinus gue parah banget kalau dingin begini."
"O-oke deh, tapi ini BMX-nya ...."
"Taruh di situ aja, biar nanti Zidan yang beresin pas pulang sekolah." Jamal kini mengajak pemuda itu melangkah lebih dalam dan memasuki sebuah ruangan yang tampak gelap.
"Apa ini, Bang?"
"Welcome to my world," ucap Jamal sembari merentangkan tangan dan lampu ruangan otomatis menyala, menampilkan jejeran kostum dan wig dengan berbagai tema juga warna.
"Woah." Surya bersorak kagum, dia menutup mulutnya dan mulai bertepuk tangan.
Jamal yang menganggukkan kepala, merasa puas dengan reaksi yang diberikan oleh Surya pada koleksi-koleksi kesayangannya. Pria dengan dua lesung pipi itu pun, kini menarik sebuah kursi ke arah Surya dan untuk dirinya. Keduanya kini duduk berhadapan dengan tenang, tapi Surya masih belum bisa mengalihkan pandangannya pada beberapa hal yang menurutnya menarik di ruangan itu.
"Itu yang kepala kuda buat apa, Bang?" tanya Surya polos.
Pria tinggi itu pun melipat tangan di dada dengan bangga. "Itu adalah salah satu hadiah, ketika gue menang lomba cosplayer terbaik di Sumedang. Waktu itu gue ikut festivalnya One Piece dan jadi Nami, pokoknya juri bilang gue crossdresser terbaik."
"Terus apa hubungannya sama kepala kuda, Bang?" Surya sedikit terperangah, dia memiringkan kepalanya seolah tak bisa menemukan korelasi antara hadiah dan kemenangan itu.
"Anu ... jadi ... itu gue pinjem sama panitia, soalnya gue malu banget waktu itu pas ada gebetan gue dateng. Eh, ga taunya langsung dikasih." Jamal menggaruk dahinya pelan, lalu kemudian mengibaskan rambutnya yang setengah lepek. "Okeh, cukup tentang hal itu. Lo sekarang mau ngapain? Ada keperluan apa sampai lo pinjam wig? Lo ngalamin masalah kebotakan sebelum debut?"
"Eh, enggak gitu." Surya menggeleng cepat. Dia lalu melipat tangan dan mencondongkan badan dengan wajah serius. "Gini, aku mau nyari wig yang sekiranya agak mirip sama rambutnya Mentari. Biar bisa kelihatan sama persis, kalau bisa."
Jamal yang masih belum memproses tujuan pembicaraan itu menegapkan bahu dan menunjukkan ekspresi konyol dengan lidahnya mendorong bagian dalam pipinya, memunculkan sedikit benjolan di sana. Alisnya bertaut dan wajahnya yang tampan mulai kembali normal saat akan mulai bicara lagi.
"Wait, Surya. Lo mau belok jadi girl group apa gimana?" Telunjukknya menggantung di udara mengarah pada Surya dengan sanksi.
Surya sendiri tampak lelah dan hanya menggeleng dengan frustrasi. "Bukan gitu, Bang. Anu ... mungkin Zidan belum kasih tahu ya? Mentari kecelakaan dan aku rencananya mau–"
"Ngapain? Nge-cosplay jadi Mentari? Tante Hana stress parah ya, sampai enggak bisa musibah itu? Ih, Ya Allah. Tante cantik ...." Usai sempat memotong ucapan Surya, Jamal terhenti sejenak, mendapati ekspresi wajah pemuda itu tampak jengkel dengan bawah matanya yang berkedut. "Em anu, maksudnya ... dia udah kek Mama aku, cantiknya juga sosok keibuannya. Gue juga turut sedih dengernya."
"Enggak, Bang. Walau aku tahu Mama stress total dengan kejadian ini, aku yakin Mama akan baik-baik aja. Aku jamin kebahagiaan Mama, pokoknya. Nah, aku cuma perlu penyamaran ini, biar bisa ketemu sama si pelaku yang udah ganggu Mentari dan menyebabkan hal jelek ini."
"Mau jadi cewek, terus masuk ke sekolah cewek? Ih, gue juga mau kalau gitu. Apa perlu gue aja yang nyamar ke sana?" Iris mata gelap itu berkilauan seolah baru saja menemukan genangan air di tengah gurun pasir.
"Lihat proporsi badan lo, Bang. Udah kek gorilla juga, mana bisa nyamar jadi cewek kalem?" Seseorang lalu terdengar dari ambang pintu dan ternyata itu milik Zidan.
"Nyebut lo ya, Zid. Ini tu sixpack, body l-men gini dikatain gorilla. Enggak pernah nge-gym sih lo, trust me it works." Jamal berdiri hampir menarik kerah baju adiknya itu, tapi Zidan jauh lebih gesit dan menerobos masuk ke ruangan itu.
"Bodo amat, kalau lo ke sana ya, Bang. Lo bakal gue cap mesum, jomblo dari lahir lihat banyak cewek gitu, pasti lo ada niat tersembunyi, kan? Mending Kang Surya ke mana-mana."
Zidan menengadahkan kedua tangannya yang besar tepat di hadapan wajah Surya, hingga pria itu terperanjat. Wajah bingungnya melihat kedua kakak beradik itu bertengkar, cukup membuat mulutnya terkunci. Dia tak ingin mengganggu atau ikut campur.
"Lah, ya ... gue sama Surya apa bedanya? Dia juga sama-sama jomblo, mana sempat dia punya pacar, toh sibuk latihan doang, ya 'kan, Sur?" Jamal kini menodongnya dengan tatapan, please, bilang iya, biar gue enggak jomblo sendirian, pada Surya.
"Cepet banget pulang sekolahnya, Zid." Hal baik untuk mengalihkan pembicaraan sekarang.
"Gurunya ada rapat," sahut Zidan sekenanya, tatapannya masih tertuju pada Jamal yang kini melirik sinis padanya.
"Bohong 'kan–"
"Eh, Kang Surya. Aku udah ketemu sama pacar aku dan dia bilang, kalau si perundung ini cukup terkenal di sekolah. Kalo Kang Surya mau ngelabrak dia kayaknya perlu banyak strategi, deh. Takutnya nanti bener jadi boomerang buat Akang, terus ditangkep 'kan enggak lucu," potong Zidan sebelum mendengar ocehan tidak jelas lagi dari Jamal.
"Semua orang keknya pada takut aku ketangkep, ya? Enggak, aku yakin ide ini udah matang banget. Sisanya, aku cuma mau minta tolong kalian berdua untuk menyiapkan rencana buat nutupin ini dari Mama. Kalian mau ikut enggak?" Surya juga sepertinya sudah lelah dengan diskusi tak ada habisnya ini dan segera saja menyampaikan tujuan akhirnya.
"Emm, gue sih selama dibayar fine-fine aja. Sama wig gue jangan sampai kusut, udah. Terus, karena Mentari udah gue anggap adek sendiri, gue juga penasaran sama orang yang nyakiti dia." Jamal masih berdiri di ambang pintu dan bersender di sana, tangannya terlipat sembari menatap langit-langit ruangan khusus itu.
"Oke kalau gitu, gue juga ikut." Zidan mengulurkan tinju kecilnya dan disambut Surya dengan decihan yang diiringi tawa kecil di sana.
"Makasih, aku harap kita bisa melewati ini," ucap Surya penuh harap.
~oOo~
Thank you for coming~ author 🌧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top