#2 PILIHAN TERSULIT

Sama seperti sebelumnya, ketika ada dua bintang besar yang membangun sistem tata surya. Tentu saja tak semudah kedengarannya, di sana dua bintang tak hanya berdiam diri dan berubah begitu saja. Ada waktunya ketika dia bersinggungan dan membuat hancur satu sama lain, hingga salah satunya pecah dan menjadi debu-debu luar angkasa. Tak ada yang mudah, selalu ada yang berkorban. -Surya-

Perasaan hangat dan wangi aromaterapi yang muncul ke dalam penciuman Surya membuat pemuda itu mengerjapkan matanya perlahan, rahangnya sesaat menegang seiring rasa kering menggerogoti tenggorokannya. Matanya berpendar, dia sudah di ruangan berada di ruagan familiar baginya. Ini kamarnya bersama Young Hoo dan beberapa teman pelatihan lainnya, dia di ranjang bawah dengan sebuah humidifier yang menyala di nakas samping kanannya. Surya yakin dia mengalami serangan panik itu lagi dan sepertinya semakin parah hingga membuatnya pingsan seketika.

"Kamu sudah sadar?" Young Hoo yang di ranjang atas menyembulkan kepalanya dan tersenyum kecil saat mendengar erangan muncul dari mulut Surya.

"Aku ...." Surya tercekat, dia menimbang-nimbang untuk menceritakan alasan keadaaannya sekarang atau tidak.

"Tidak perlu mengatakan apapun, kalau memang belum siap. Tapi, apa kamu baik-baik saja? Kalau sudah baik-baik saja, ayo makan malam. Guru Lee mengkhawatirkanmu dan membungkuskan bulgogi dan beberapa daging segar untuk dimasak sendiri, aku sudah menyiapkan bahannya di dapur." Young Hoo perlahan turun dengan kaki jenjangnya yang mungkin cukup dua kali saja melangkah sudah bisa mencapai lantai.

Surya mengubah posisinya menjadi duduk dan memijit pelan kepalanya, mengingat pesan ibunya terakhir kali, pemuda itu pun bergegas mengecek ponselnya kembali. Tidak ada pesan terbaru, hanya beberapa panggilan tak terjawab dan ini sudah pukul lima sore waktu Seoul, artinya dia sudah tak sadarkan diri sekitar tiga jam.

"Hyung, aku akan makan, tapi aku harus menghubungi ibuku terlebih dulu. Aku akan menyusul, hm?" Surya bergegas melangkah dan menarik jaketnya dan berjalan keluar dari unit apartemen yang dipakai oleh delapan orang trainee termasuk dirinya itu.

"Jangan lama-lama, Ok? Atau akan kuhabiskan semuanya, aku sengaja menunggu lama agar bisa memakannya bersamamu." Young Hoo berbicara dengan setengah berteriak agar bisa seirama dengan langkah cepat Surya, tapi pemuda itu hanya menunjukkan ibu jarinya.

Selepas Surya berada di lorong, dia bergegas melangkah ke arah tangga untuk mengosongkan pikiran di atap apartemen berlantai enam itu. Dia menarik tudungnya ke belakang dan membiarkan angin senja meniupkan beberapa helai rambut yang sengaja dibiarkannya berantakan itu, matanya terpejam merasakan tepukan sejuk itu memijat kulit wajahnya perlahan. Napas panjang keluar dari mulutnya, sampai tangannya memberanikan diri untuk menekan tombol panggil di bawah nama ibunya.

"Surya?" Suara getir itu terdengar mengalun, ada kehangatan yang selalu dia dirindukan. Membuatnya selalu menerka-nerka bagaimana perubahan wajah ibunya setelah sepuluh tahun tidak bertemu.

"Mama ... Mama baik-baik aja?" Surya berusaha untuk tetap tenang agar getaran di suaranya tak terdengar.

"Enggak. B-bagaimana Mama bisa baik-baik saja, ketika salah satu buah hati Mama ... harus mengalami hal mengerikan seperti ini?" Perlahan getir yang terdengar di awal tadi berubah menjadi isakan yang menyayat hati Surya.

Pemuda ini kembali menahan tangisnya, giginya bergemeletuk saat rahangnya mulai mengeras, tangannya menggenggam erat ujung jaketnya yang semakin kusut. Dia tahu benar, tak seharusnya dia berada di sini sekarang, berdiam diri di bawah lembayung senja sembari mendengar isakan ibunya hanya melewati telepon. Namun, langsung memeluknya di sana, menguatkannya dan membiarkan wanita setengah baya itu tenang di bahunya.

"Tapi ...." Lembut terdengar sergahan itu di seberang, "Sekarang Mama baik-baik saja setelah mendengar suara Surya, bagaimana kabarmu di sana?" tanya ibunya.

Bisa-bisanya dalam keadaan penuh kesakitan itu, dia masih sempat menanyakan kabar putranya itu. Surya tidak bisa, dia tidak sanggup lagi menahan buliran hangat itu menumpuk di pelupuk matanya. Pertahanannya hancur dan pemuda ini mulai terisak, sembari mengatur napas dia perlahan membuka suara kembali.

"Baik, Ma. Kenapa Mentari bisa kecelakaan? Apa penyebabnya? Ini kecelakaan tunggal atau ada yang menabraknya? Pendarahan otak bukan hal yang ringan 'kan, Ma? Dia sudah dioperasi sekarang?" Semua pertanyaan itu mulus keluar dari mulut Surya, membuat ibunya berseru kecil.

"Mama juga enggak tahu yang sebenarnya, Surya. Tadi pagi, pas Mama nyiapin bekal makan siang untuk diantar ke asrama Mentari, tiba-tiba ada telepon dari rumah sakit. Mereka bilang ... Mentari ada di UGD dan harus segera dilakukan penanganan, Mama langsung aja ke sana dan Mentari juga segera masuk ruang operasi setelah Mama setujui lewat telepon, tapi sampai sekarang operasinya belum selesai." Penjelasan panjang dari ibunya itu kembali menghantam keras pikiran Surya, dia ingin pulang.

"Mama sudah makan?" Hanya itu tanggapan yang bisa Surya katakan.

Suara tawa lirih di seberang terdengar. "Belum, Surya. Kalau Putra Mama? Kamu sudah makan? Pekerjaan sebagai siswa pelatihan pasti sulit, ya?"

Lagi, ibunya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan agar Surya tidak mengkhawatirkannya.

"Ma, apa Surya pulang aja ke Indonesia?" tanya Surya sedikit berat, tapi dia tidak mungkin hanya berdiam diri saat dia tahu kemungkinan di masa depan ibunya bisa saja tinggal sebatang kara, jika ... benar Mentari meninggalkan mereka.

"Jangan khawatirkan Mama, Surya. Mama tahu ini sulit, tapi Mama yakin semuanya akan baik-baik saja, tadi setelah dengar penjelasan beberapa perawat yang ikut menangani Mentari, katanya keberhasilan operasi ini meningkat menjadi lima puluh satu persen. Jadi, kamu fokus saja ke latihan kamu di sana, hm? Apalagi, kamu akan debut sebentar lagi 'kan? Ini impian kamu selama ini, jangan menyia-nyiakannya dengan kembali ke sini."

"T-tapi, Ma. Aku merasa buruk, sangat-sangat buruk. Bagaimana aku bisa membiarkan Mama sendirian di sana? Walaupun operasinya berhasil, tetap saja Mama harus merawat Mentari. Apa Mama sudah bilang ke pria itu tentang kecelakaan putrinya?" Surya menggeram pelan dan entah kenapa perasaannya perlahan membulat, tekadnya untuk pulang semakin besar.

"Enggak, kok. Banyak yang bantu Mama di sini. Jangan bilang begitu, ya, Surya. Mama dan Mentari selalu bangga sama kamu, bertahanlah di sana. Mama juga akan bertahan di sini, kamu tahu sendiri 'kan seberapa kuat mamamu ini?" ucap ibunya terdengar lebih jelas dari sebelumya, tapi sayangnya hal itu tidak menjawab pertanyaan terakhir Surya.

Pemuda ini yakin, wanita kuat yang dia panggil ibu itu hanya sendirian sekarang. Sebelum Surya membuka mulutnya untuk menyergah ucapan ibunya, sebuah panggilan masuk dari Young Hoo menghentikannya. Pria itu pasti sudah selesai memasak untuknya, tapi Surya sendiri masih ingin menemani ibunya.

"Ma, ada telepon masuk. Aku akan kembali ke asrama untuk makan malam, jadi tetaplah bersamaku di telepon dan pergilah ke kantin terdekat untuk makan siang dan belilah makanan untuk malam ini." Surya menarik pintu atap dan mulai menuruni tangga perlahan, kakinya tidak terasa berat lagi seperti sebelumnya, tapi perasaannya masih sama.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Mama matikan aja, ya? Panggilan internasional pasti mahal, Surya makan yang banyak, ya Nak? Salam untuk teman-temanmu di asrama. Doakan terus Mentari, ya Surya." Setelah mengucapkan hal itu, tanpa memberikan kesempatan untuk Surya menjawabnya, wanita itu menekan tombol merah di layar ponselnya. Surya sempat berusaha untuk menelepon ulang, tapi pesan panjang dari ibunya seketika menghentikannya.

Surya, kamu tahu 'kan? Salah satu mimpi Mentari adalah melihat saudaranya sepanggung dengan idol kesukaannya. Jadi, demi Mentari, bagaimana pun caranya Mama harap kamu tetap di sana dan kabulkan mimpinya, ya? Mama sayang kamu, Surya.

~oOo~

Semalaman mata itu tak bisa tertutup, pikirannya terus melambung dan tak bisa didiskusikan untuk diam sejenak. Tak ada yang bisa Surya pikirkan selain, pulang. Sepuluh tahun tanpa kembali menurutnya cukup, menabung rindu yang selalu menggebu-gebu, menunggu kabar semua orang baik-baik saja setiap harinya. Namun, peluk virtual tidak akan sehangat pelukan langsung, di mana kita bisa menghirup seluruh aroma yang dimiliki orang terkasih dan menyimpannya dalam kenangan-kenangan baik.

Setelah berkutat dengan pilihan maju-mundur itu, dia membiarkan sarapan paginya hari ini agak sedikit susah untuk ditelan, karena renteran protes dari Young Hoo atas keputusannya untuk mundur dari line-up debut. Mata yang biasanya tampak berbinar-binar dan senyum kecil di bibir kerucutnya itu, kini menghilang. Kalau begini Surya hanya bisa menundukkan kepala, rasanya seperti dihukum oleh guru olahraganya ketika lupa membawa baju olahraga.

"Ingat, ya. Aku sudah punya pengalaman yang cukup parah karena gagal debut, kalau kamu menyia-nyiakan debutmu di hadapanku seperti ini, rasanya itu membuatku lebih terluka." Young Hoo berkata sedikit tajam, tapi maksudnya bukan begitu. Dia hanya tidak ingin Surya mendapat penyesalan yang pernah dirasakannya, seperti itulah pemuda ini menyimpulkan.

"Aku tahu, Hyung. Pasti sulit, aku pun merasa ini keputusan paling berat yang kuambil setelah aku berhasil diterima saat audisi global sepuluh tahun lalu dan meninggalkan keluargaku, tapi Mentari sakit dan ibuku mungkin akan sendirian di sana, aku tidak setega itu membiarkannya." Surya mencoba menelan sisa daging tadi malam yang dicampur dengan nasi goreng yang sengaja disediakan oleh Young Hoo pagi ini.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi, kau tidak bisa menyerah tentang debut, debut kita semua. Kita bertiga belas harus selalu bersama, tidak boleh ada yang tertinggal. Kita masih punya beberapa bulan, kamu bisa memindahkan keluargamu ke Korea selama periode itu." Young Hoo menyeruput kopi hitamnya, tanpa sedikitpun keraguan atas rasa pahitnya yang bisa menggetarkan seluruh peredaran darah.

"Hyung, kamu pikir biaya tinggal di Korea semurah itu? Aku saja belum melunasi pinjaman uang trainee, bagaimana mungkin aku meminta mereka tinggal di sini?"

"Nah, hutangmu masih ada. Kamu tidak bisa asal meninggalkan tempat ini, debut adalah solusi terbaik agar kamu bisa melunasinya." Jentikkan jari dari Young Hoo setelah menyelesaikan kalimatnya itu menyadarkan Surya.

"Lalu, aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak mungkin bisa menjalani latihan dengan pikiran campur aduk seperti ini." Surya meraup wajahnya dan mengacak rambutnya seketika, tangannya tertahan di sana beberapa saat hingga membuat setengah wajahnya tertarik. Bibirnya mengerucut, tanda dirinya sedang berpikir keras .

"Seperti kataku, pulanglah. Tapi, waktumu tidak lebih dari satu bulan ... em, atau maksimal kembalilah ke Korea tiga minggu sebelum jadwal debut kita. Aku yakin dalam waktu itu, Mentari akan kembali sehat, aku percaya pada keajaiban. Kamu juga 'kan?" Young Hoo menepuk pelan bahu Surya dan dari situ pemuda ini mulai menata kembali rencananya.

Tak banyak waktu yang perlu dia habiskan untuk segera mengunjungi Guru Lee dan membicarakan segalanya. Setelah sarapan, dia meminta tolong kepada manajernya untuk mengantar dirinya ke kantor utama dan menemui Guru Lee yang tampak sudah stand by menunggu kedatangan pemuda ini di ruangannya.

"Aku sudah mendengarnya dari beberapa staf dan manajer kalian, katanya saudaramu mendapat musibah yang cukup mengerikan, hm, La Sol?" Guru Lee tiba-tiba saja memanggilnya dengan panggilan asal-asalan yang dibuat olehnya tempo hari.

"Y-ya? La Sol? Maksudnya bagaimana, Guru Lee?" tanya Surya sedikit tak fokus.

"Aku tahu ini pilihan yang sulit, tapi debut saja, aku sudah menunggu kehadiranmu di atas panggung. Semua rekaman yang sudah kamu lakukan, aku tidak rela untuk menghapusnya. Kamu adalah salah satu vokalis kebanggaanku, aku akan memberikan waktu untukmu. Jadi ... hari ini tolong selesaikan rekaman lagu-lagu yang tersisa untuk dirilis setelah single pertama kalian nanti. Ini tiket untukmu, penerbangannya besok jam lima pagi. Aku mengandalkanmu, hm?" Guru Lee segera menyerahkan tiket yang bertuliskan nama lengkap Surya di sana.

Mata pemuda itu mulai berkaca-kaca, entah seberapa banyak kata terima kasih yang dia ucapkan dan berapa kali dia membungkuk hormat pada pria itu. Dia sangat bersyukur semua orang tak mempersulitnya dan membiarkannya kembali dengan hati yang lapang.

"Ingatlah, nama panggungmu sekarang adalah La Sol. Kau tahu kan, tangga nada itu dan juga, Sol itu singkatan dari Solar, sesuai dengan namamu artinya matahari. Jadi, kembalilah ke sini dengan wajah secerah ketika kamu datang pertama kali ke kantor ini. Aku mendoakan yang terbaik untuk keluargamu dan masa depanmu, La Sol." Guru Lee membuka lengannya dan membiarkan Surya untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya. Lalu, pecahlah tangis pertama Surya.

~oOo~

Author note: Hi, bertemu lagi dengan Surya, hari ini. Kita akan terus perjuangkan Aku dan Bintang itu sampai akhir ya, bagi kamu yang mau baca versi AU-nya, bisa mampir ke twitter aku, dengan username yang sama, rainley14_. See u tomorrow!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top