#12 BINTANG MERAH
Layaknya purnama yang tertutup oleh gerhana, malam yang sudah gelap malah semakin kelam. Perlu banyak waktu untuk terbebas dari sesaknya hitam dan entah mengapa bintang-bintang seolah tak merasakan apapun. Mereka tetap tenang, benderang. Walau banyak sisi dari mereka menghilang setelah gerhana. –Surya.
Surya kini menatap papan tulis dengan rajin, hal ini sedikit menarik perhatiannya. Geografi adalah salah satu mata pelajaran yang diminati pria ini, mungkin seandainya Mentari di jurusan IPA, dia akan lebih fokus pada pelajaran Fisika atau Biologi. Bukan tanpa alasan, pemuda ini sangat senang dengan cerita tata surya, pelajaran tentang semesta ini dan segala misteri yang terkandung di dalamnya adalah pembahasan yang sering dicarinya dan itu kadang mendapat decak kagum dari teman-teman satu asramanya di Seoul.
"Mentari, dari tadi diam saja? Ada masalah?" tanya si guru yang diketahui bernama Puji, seperti yang dikatakan Bintang tadi.
Pemuda ini lantas menggeleng, lalu menuliskan keadaannya sekarang di buku tulisnya. Beruntung Surya membawa buku catatan sesuai dengan jadwal pelajaran yang ada di kamar Mentari, seandainya tidak ... mungkin agak sedikit sulit untuknya menyesuaikan diri. Belum lagi kalau guru memeriksa dan dia diminta untuk menunjukkan catatan sebelumnya.
"Oh, pantas. Biasanya kalau sesi tanya jawab tentang benda luar angkasa Mentari paling aktif, semoga lekas sembuh, ya?" Bu Puji menepuk bahu Surya yang sedikit terlonjak karena pukulannya cukup keras, "Eum ... Bintang juga sakit, ya?" tanyanya lagi dan hanya dibalas Surya dengan anggukan.
Wanita itu hanya menarik napas dalam dan berlalu. Setelah posisi Bu Puji kembali di depan, menerangkan tentang konsep rasi bintang yang sudah ditamatkannya saat berumur lima tahun bersama Mentari. Surya pun tanpa sadar mengajak kenangan lamanya menyapanya lagi, saat dirinya bersama ayahnya, ibunya dan Mentari pergi ke salah satu observatorium yang terkenal di Bandung. Keluarga kecil ini, tampak begitu bahagia terlepas dari kisah pilu di baliknya dan juga di waktu selanjutnya.
Surya perlahan menggeleng kecil, mengingat pria dengan jas hitam itu menutup pintu membawa Mentari dalam gendongan dan meninggalkan dirinya bersama ibunya. Hanya punggung bidangnya yang paling diingat pemuda ini, dia bahkan lupa kapan terakhir dirinya memeluk ayahnya. Karena saat lelaki itu datang untuk menitipkan Mentari kepada ibunya terakhir kali, Surya sudah tak pernah membuka pintu kamarnya untuknya.
"Kalian pernah dengan Antares?" tanya Puji seolah memancing keaktifan semua siswi dan berhasil. "Benar, nama Antares itu diambil dari nama bintang merah super raksasa di rasi bintang Scorpio dan juga bintang paling terang se-Bimasakti. Bahkan masih banyak orang awam mengira kalau bintang ini adalah salah satu planet, tapi pada kenyataannya tidak. Ngomong-ngomong, kalian masih ingat tugas untuk membuat sketsa ini, 'kan?"
Semua yang mendengar tampak terlonjak dan segera membuka buku mereka, mencari segala catatan yang mungkin berhubungan dengan hal itu. Namun, Puji hanya tersenyum kecil melihat tingkah para siswi itu.
"Itu tugas untuk minggu depan, Ibu bercanda, kok." Dia tertawa kecil. Lalu, menuliskan perintah untuk tugas yang diberikannya pada para murid. "Kalian sudah paham, 'kan? Sampai ketemu minggu depan, ya." Puji menarik tumpukan buku paketnya dari atas meja, dengan sepatu pantofel hitamnya yang menggema di seluruh ruangan sampai suaranya menghilang di lorong sana.
Selepas pelajaran di waktu menuju siang itu, Surya menyingkirkan dirinya sendiri ke perpustakaan. Mencari banyak buku berbahasa Indonesia yang sudah lama tidak terpegang oleh pria itu, terakhir Surya hanya mendapat beberapa paket kiriman novel Raditya Dika yang berjudul Koala Kumang sekitar tiga tahun lalu. Setelahnya, dia benar-benar tidak bisa menemukan buku yang cocok. Selama bergerilya di seantero sekolah untuk mencari perpustakaan, pria ini juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk mencuri dengar. Namun, masih belum bisa mendapat info apapun, hingga dirinya mengingat satu hal.
Benar, buku harian Mentari tahun 2020. Pasti sekarang ada di asrama. Pria ini membatin. Melihat jarak sekolah dan asrama hanya berbatas dua buah gedung, Surya pun memutuskan untuk mengambil waktu selama jam makan siang dan bergegas ke tempat itu.
Kini pria itu tengah berdiri di ambang pintu kaca yang bergeser jika seseorang meletakkan kartu pelajar atau minimal menekan sandi kamar milik mereka yang tombolnya berada di dinding sebelah kanan pintu, tapi kedua hal itu tak ada sama sekali di tubuh Surya. Dia bahkan tidak tahu di mana Mentari meletakkan kartu pelajarnya, beberapa kali pemuda ini mengingat sandi yang kira-kira sesuai dengan Mentari, tapi tetap saja tidak berhasil.
Ayolah, Mentari orang yang simpel. Pasti sandinya gampang, tanggal lahir, 'kan? Ya, 'kan? Surya terus-terusan mengomel di dalam kepalanya, beberapa kali dirinya menepis kasar wig yang sudah membuat kepalanya berkeringat ini. Apa perlu aku bobol, hah? batinnya lagi, sembari menempelkan dahinya pada pintu.
Saat wajah frustrasinya terhapus dengan wajah pasrah, kakinya bahkan sudah hendak membawanya pergi dari tempat itu, tiba-tiba seseorang dari dalam mengetuk pintu itu pelan. Di sana ada Bintang, menggunakan sweater rajut berwarna merah tua dan kaus putih, juga celana training kebesaran. Senyum manis gadis ini terpampang secara nyata dan dia melambai tanpa suara, sembari sesekali bertanya menggunakan isyarat telunjuknya.
Kamu mau masuk? Mungkin seperti itulah yang bisa dibaca oleh Surya dari gerak bibir gadis ini. Setelah dirinya mengangguk, lekas saja Bintang membuat tanda OK dari jarinya. Lalu, tidak lama pintu itu bergeser pelan.
"Kenapa? Kamu lupa bawa kartu pelajar?" tanya Bintang segera menggaet lengan Surya yang sebenarnya sudah cukup lelah. Pemuda ini hanya mengangguk, begitu pula Bintang yang tanpa sedikit pun bertanya alasan kenapa seorang Mentari sampai lupa nomor kamarnya sendiri.
Keduanya kini telah sampai di lantai dua gedung, setelah menaiki beberapa anak tangga dari lantai pertama. Bangunan ini tidak terlalu berbeda dengan sekolah, hanya ruangannya saja yang lebih banyak dan tanpa jendela yang berjejer di lorong. Hanya ada dua sampai tiga orang di asrama, mungkin alasannya sama seperti Bintang tidak enak badan atau semacamnya. Dilihat seperti ini, Surya juga dapat menyimpulkan bahwa sekolah ini termasuk tidak terlalu ketat untuk urusan ketidakhadiran siswinya, atau ini hanya berlaku pada Bintang saja? Pemuda itu menoleh pelan pada gadis yang sedari tadi menggandengnya dalam diam.
Surya kembali menatap lurus, tapi seketika dia terperanjat saat menyadari tangannya diapit oleh seorang gadis. Lagi-lagi, perasaan itu muncul. Dia mengetahuinya, ini hanyalah perasaan gugup saja. Sama seperti ketika dirinya yang biasa diminta untuk berpose dengan beberapa trainee perempuan untuk proyek majalah, tapi untuk sedekat ini, Surya masih belum benar-benar terbiada. Perlahan pemuda ini menarik lengannya dari pegangan Bintang, hingga gadis ini sedikit terkejut.
"Kenapa?" tanya Bintang dan Surya hanya menggeleng, lagi pula dia tidak bisa menjelaskannya secara langsung dan sekarang sedang malas untuk membuka ponselnya. "Kamu kayaknya ngehindarin aku mulu seharian ini, aku pasti ada buat salah, ya?" lanjut gadis itu lagi dengan wajah murung. Namun, pria ini hanya menggeleng saja.
Enggak ada masalah, cuma aku lagi kurang sehat dan rasanya pingin cepat istirahat. Sekarang aku mau ngambil buku harianku aja, terus pulang ke rumah. Akhirnya, Surya menuliskan kalimat itu karena melihat Bintang yang hampir menangis.
"Ah, seharusnya kamu bilang. Ayo, makan siang dulu terus minum obat kamu. Nanti, kita minta tolong sama ketua kelas aja buat ngeabsen mata pelajaran yang terakhir." Bintang merogoh saku celananya dan segera membukakan pintu yang ada di sebelah kanan keduanya.
Lantas Surya ikut melangkah di belakangnya, sembari memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengikuti mereka. Pria ini terhenyak sesaat melihat isi kamar itu, persis seperti yang digambarkan oleh Bu Nana sebelumnya. Hanya saja tempat yang lumayan berantakan itu ada di sisi sebelah kiri, di mana Bintang kini merebahkan tubuhnya di antara tumpukan pakaian yang entah bersih atau kotor.
Dasar jorok, pria itu membatin dan mulai berjalan ke arah kanan dengan tempat tidur yang sangat rapi karena sudah lama tidak tersentuh.
Surya menatap setiap hal yang bisa ditangkap oleh indra penglihatannya, dia bisa mengenali meja ini milik Mentari dari jejeran buku politik dan astrofisika yang sengaja disampul plastik agar tidak mudah rusak itu. Tidak terlalu jauh berbeda dengan miliknya di Seoul, hanya politik tidak berada di ruang lingkup pria ini. Dia lebih memilih membaca komik untuk senggang setelah berkutat dengan benda-benda angkasa atau kesibukannya sebagai trainee. Jari panjang pria ini menelusuri deretan buku tebal dan tipis itu, tapi dia menghela napas singkat. Surya tidak menemukan buku harian yang dia sudah pastikan ada di sini.
Apa hilang? Siapa yang mengambilnya? Surya membatin, dia sesaat menoleh ke arah Bintang yang kini sibuk dengan buku bacaannya. Di sampulnya bisa terbaca kata Antares, seperti yang baru-baru ini dibahas oleh guru mereka.
Anu ... kamu ada lihat buku harianku? Soalnya di rumah enggak ada, aku takutnya ketinggalan di asrama. Tapi, di sini juga enggak ada. Kalimat itu ditujukkan pada Bintang melewati ponsel pria itu yang menyala terang hingga membuat gadis ini menyipit untuk membacanya.
"Buku harian?" Bintang menggaruk alisnya, lantas mengernyit sedikit seolah berpikir. "Em ... rasanya terakhir kali, kamu bawa di dalam tas kamu, deh. Cuman kalau enggak ada, em ... rasanya di kamar ini ... aku juga enggak lihat. Jadi, aku enggak tahu posisinya sekarang di mana."
Surya melirik dengan ekor matanya, melihat gadis ini seolah berpikir panjang saat menjawab pertanyaannya, cukup membuat pemuda ini menaruh rasa curiga. Dia tidak mungkin lantas mempercayai Bintang, bisa saja dia berlagak polos untuk menutupi kelakuannya yang sama persis seperti kembarannya Cassy. Namun, Surya kali ini menyerah. Menurutnya sudah cukup untuk hari pertama, setidaknya selama di sini dia berhasil menindak salah satu oknum bejat yang mungkin akan dihukum karena kejahatannya.
~oOo~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top