#11 BUKAN BINTANG

Bagaimana mungkin dua bintang bisa memiliki wajah yang sama, tapi memiliki karakter yang berbeda? Seolah mereka terbelah di antara rasi bintang yang berbeda, tapi memancarkan cahaya yang sama kuatnya. -Surya-

Surya langsung bergerak dari kursinya, mengikuti ke mana Hadi akan membawanya. Lebih seperti rencana kedua, dia tidak akan menolak jika bisa menangkap dua burung dengan satu batu. Jika benar Pak Nuh melakukan pelecehan, bukankah sekolah ini akan jauh lebih tentram tanpa predator itu? Surya membatin, hingga dia sadar sudah berada di sebuah ruangan. Hadi membuka pintu itu lebar-lebar dan membiarkan beberapa siswi yang tadi ikut menjadi saksi masuk bersama dengan Surya.

"Jadi ... benar kalau Mentari yang melakukannya?" tanya pria itu sekali lagi.

"Benar, Pak. Tapi, Kak Mentari enggak salah. Pak Nuh emang suka banget godain kita, kadang dia suka ngelakuin hal yang bikin aku enggak nyaman. Beberapa kali juga pas kita olahraga, si Bapak tiba-tiba bersiul ke kita. Kan itu udah bentuk pelecehan?" jawab salah satu siswi di samping Surya.

"Mentari juga setahu saya di kelas sering dirangkul sama Pak Nuh, 'kan?" Gadis itu kini menoleh pada Surya yang masih hanya diam, dia sedikit mengangguk dan itu berhasil membuat gadis-gadis lain menjentikkan jari karena merasa didukung.

"Iya, kalau memang kejadiannya seperti ini. Bapak juga tidak bisa membela si pelaku, tapi kita perlu bukti. Karena tidak segampang itu untuk menghukum seseorang, mungkin memang pernyataan kalian real, tapi karena ada tindakan yang cukup berani seperti tadi ... takutnya kalian yang dituntut." Hadi tampak membetulkan letak kacamatanya dan perlahan mengedarkan pandangan pada murid di hadapannya dengan ragu.

Bagaimana, ya Pak. Saya udah enggak nyaman lihatnya dan semua orang sepertinya sadar kalau beliau begitu, baiknya sih segera dilaporkan saja. Surya lantas menuliskan isi hatinya di aplikasi catatan di ponselnya.

Hal ini membawa sebuah kernyitan di dahi Hadi, juga beberapa helaan napas yang didasari rasa frustrasi dari para gadis. Entah kenapa, semua orang sepertinya sudah mengetahui ujung dari permasalahan ini akan seperti apa. Namun, Hadi tiba-tiba berdiri sembari merogoh ponsel yang ada di saku kemejanya, sepertinya dia menerima panggilan dari seseorang yang sepintas membuat senyumnya kembali. Setelah beberapa saat meninggalkan ruangan, dia duduk kembali dengan jemari yang bertaut.

"Bapak baru saja mendapat kabar dari kepala sekolah, bahwa pimpinan yayasan telah mencabut hak Pak Nuh dalam mengajar dan telah menghubungi pihak Kementerian Pendidikan untuk memasukkannya dalam daftar hitam. Kemungkinan kasus ini juga akan diselidiki oleh pihak kepolisian, jadi ... kalian jangan khawatirkan hal ini lagi."

Mendengar penjelasan panjang, tapi sangat lengkap itu membuat beberapa gadis tadi bertepuk tangan dan bersorak riang. Mereka juga bahkan merangkul Surya untuk ikut dalam perayaan mereka, wajah pemuda itu mungkin menunjukkan ekspresi semringah di balik maskernya dengan ikut bertepuk tangan juga. Namun, di hatinya masih banyak terisi banyak pertanyaan yang cukup untuk menghabiskan waktu belajar mereka, tapi urung dilakukan karena setelah menyampaikan hal itu, Hadi segera meminta semua saksi untuk kembali ke kelas masing-masing.

Selama di perjalanan, Surya menatap lorong yang sudah mulai sepi seiring dengan bel masuk berbunyi. Mengapa terasa begitu mudah? Mengapa prosesnya seolah memang sengaja dipercepat? Pertanyaan itu menggaung dalam otak pemuda ini.

"Tari!" teriak seorang gadis dari belakang dan ketika pemuda ini menoleh, dia bisa melihat Bintang yang sedang berlari ke arahnya dengan cepat. "Ah, benar Tari ternyata." Dia tertawa sedikit dengan napas yang menderu.

Bintang kini menyandarkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, hingga tak ada jarak lagi di antara mereka. Gadis ini sesaat diam, begitupun dengan Surya yang seumur hidupnya tidak pernah sedekat ini dengan wanita lain selain ibu dan saudarinya sendiri. Keduanya terpaku, seolah berada dalam ruang hampa di mana tak ada satupun manusia yang ada di sana. Hingga Bintang mengapit lengan pemuda ini dan membawanya kembali ke kelas, tanpa sepatah kata pun.

Dia kenapa sih? Surya membatin sesekali mencuri pandang dari ekor matanya. Diperlakukan seperti ini oleh lawan jenis, membuat Surya yang seorang pria normal juga merasa sedikit gugup. Namun, juga ada rasa sedikit cemas saat tanpa sengaja pandangan mereka bertemu tadi.

Sesampainya di depan kelas, Bintang melepaskan pegangannya pada lengan Surya dan mendorong pelan pintu yang terbuat dari kayu itu. Sesaat dia mulai beberes dan ketika pemuda ini sudah berada di dekatnya, meja gadis ini sudah bersih dan rapi. Dia bahkan telah memasang sweater bebahan rajut dan tas punggungnya, seolah siap untuk pulang. Padahal orang-orang tidak melakukannya, semua justru mulai membuka buku dan mempersiapkan diri untuk belajar.

"Eum, aku lagi kurang enak badan. Jadi, nanti tolong kasih tahu Bu Puji, ya. Aku tunggu di asrama," ucap Bintang pelang dan bergegas untuk melanjutkan langkahnya, tanpa menghiraukan pandangan mata orang-orang di sekitanya.

Surya memiringkan kepala dan mengatupkan bibir. Dia kembali merasakan ada kejanggalan yang cukup kentara dan ini bahkan masih hari pertama dia menyamar di sekolah ini. Perlahan mata pemuda itu mengikuti Bintang yang kini berlalu, melewati jendela kelas yang berjejer menghadap ke lorong sampai siluet gadis itu menghilang dari pandangan.

Hari pertama cukup sulit, heh? Gadis yang dikira pelaku, ternyata sepolos itu dan parahnya lagi ada kasus yang cukup mengerikan terjadi. Kenapa sekolah ini bisa menampung banyak siswi? Apa karena sekolah swasta keren bertaraf internasional itu memberi makan rasa gengsi kaum elit di sini? Ah ... maafkan aku Mentari, kamu enggak termasuk, kok.

Selama pemuda itu melamunkan banyak skenario yang memungkinkan, derap langkah kaki yang cukup nyaring menapak pada lantai keramik sekolah membuat sedikit banyaknya orang di kelas menatap ke asal suara. Begitupun Surya yang sedikit tercekat saat melihat sosok Bintang kembali, tapi kali ini dia menggunakan jaket parasut berwarna-warni layaknya anak 90-an, rambutnya sengaja diikat tinggi dengan riasan cukup tebal di garis matanya.

"Bintang!" serunya dengan suara cukup lantang, sembari sesekali menengok ke tiap penjuru kelas.

Surya mengernyitkan dahi, apa-apaan? pikir pria itu. Dia tak mengerti peran apalagi yang dibuat oleh seorang Bintang, mengingat gadis itu sangat aneh dan sedikit membuat ekspektasinya sedikit terguncang.

"Lo lihat Bintang, enggak?" tanyanya pada semua orang di kelas, hingga terakhir pada Surya yang kini menatapnya dengan sengit. "Lo lihat Bintang?" ulangnya lagi.

Surya ragu-ragu mengangkat jari telunjuknya ke arah gadis itu, tapi dia terhenyak saat menyadari bahwa tatapan kedua orang ini berbeda. Bukan karena riasan matanya, tapi memang binarnya tak sama dan sedikit membuat pria itu takjub.

"Dia pulang, Cas." Seseorang di belakang gadis itu menyeletuk, teman sekelas Bintang dan Mentari yang tidak sempat berkenalan dengan Surya.

Gadis itu lantas mengembuskan napas panjang, dia berkacak pinggang sebentar dan kembali melangkah keluar tanpa peduli bahwa dirinya sudah cukup membuat kelas ini sedikit gaduh karena teriakannya. Untungnya, guru belum datang saat dia melakukan hal itu. Mendapati gadis yang berwajah Bintang itu pergi, tiba-tiba Surya kembali mendapat satu hal yang membuatnya penasaran. Beberapa menit sebelum gadis ini datang, Bintang sudah lebih dulu pergi ke arah yang berbeda, belum lagi outfit yang mereka pakai dan sikap yang ditunjukkannya sangat berbeda. Faktanya pasti, tidak mungkin Bintang berganti pakaian dalam waktu sesingkat itu.

Aneh, 'kan? Apa mungkin punya kepribadian ganda? seru Surya dalam hati.

Mengingat ini akan menjadi salah satu penemuan terbarunya, pemuda ini tak tinggal diam. Dia tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk mengetahui kebenaran. Jika benar, Bintang melakukannya, dia mungkin tidak seakrab itu dan jika benar, mungkin orang lain yang berwajah Bintang ini yang berbuat tidak baik pada Mentari. Kakinya yang dilapisi legging itu segera melangkah dengan tegas, menuju arah datang dan kembalinya gadis tadi. Memang hanya memakan waktu beberapa menit, tapi entah kenapa jejaknya sudah menghilang secepat itu dan dalam kesibukannya menoleh ke sana kemari, tiba-tiba saja seseorang menyebut nama kembarannya itu.

"Mentari," panggil salah satu pria di depan tangga yang menuju ruangan 'yang tidak boleh didatangi' kata Aster tadi, membuat Surya berhenti dari pengejarannya.

Dia memberi isyarat agar pria ini mendekat dan dengan sedikit persiapan, Surya memberanikan diri. Tanpa di duga pria ini membisikkan pertanyaan yang cukup membuat yang mendengar sedikit bertanya-tanya apa maksudnya.

"Kamu benar sudah tidak apa-apa?"

Surya diam, gelagat orang di hadapannya ini berbeda, dia tidak tampak lega akan kehadirannya seperti dua guru sebelumnya. Surya lantas mengeluarkan ponsel dan menuliskan beberapa kalimat di sana. Ada apa, ya Pak? Saya belum bisa bicara, karena baru saja operasi amandel.

"Oh, syukurlah. Bapak benar-benar takut kalau terjadi apa-apa, jatuh dari tangga bukan hal yang ringan. Namun, kalau benar kamu baik-baik saja, semua orang pasti akan senang." Pria itu tertawa dengan suara beratnya dan menepuk pundak Surya tanpa ragu, tapi entah kenapa bagi Surya itu membuatnya risih.

Semua orang akan senang? Siapa, Pak? Surya kembali menunjukkan kalimat pertanyaan yang ditulisnya di catatan ponsel.

"Oh banyak, ada keluarga Cassy? Direktur Yayasan? Siapa lagi, ya? Benar ... Kepala sekolah juga? Mereka sangat mengkhawatirkanmu." Dia mulai terlihat santai saat ini dan agak sedikit membuat Surya berpikir untuk memanfaatkannya.

Benarkah? Lagi, untuk kesekian kalinya Surya menekankan pertanyaan itu, bukan tanpa alasan dia hanya ingin mengetahui siapa saja yang tahu mengenai kecelakaan fatal yang membuat Mentari seperti itu. Iya, pria ini dengan jelas mengucapkan tentang hal itu, padahal sebelumya tidak ada satu pun yang membahas tentang kecelakaan yang di alami Mentari. Jika benar sesuai dengan ucapannya, orang-orang yang disebutkannya tadi, di antaranya adalah si pelaku sesungguhnya.

"Apa Nak Mentari kehilangan ingatan?" telisik pria itu, matanya mendelik pada Surya yang memiliki tinggi lebih dari dirinya.

Surya menangkap ekspresi itu dengan cepat, dia tidak boleh lengah dan membiarkan orang-orang ini mengira dirinya lupa akan kejadian itu. Namun, pemuda ini juga tidak ingin membuat orang itu terus waspada padanya, karena bisa saja dari orang ini dia bisa menemukan apa langkah yang dapat diambilnya setelah ini.

Tidak, saya hanya ingin memastikan siapa saja yang peduli pada saya. Surya menuliskan kalimat itu dengan menunjukkan ekspresi sedikit sedih.

"Semua orang peduli padamu, Nak. Kalau kamu perlu bantuan, cukup datang ke kantor kesiswaan, Ok? Oh, ya. Kalau suaramu sudah kembali, cepat kabari Bapak." Pria itu kembali menepuk bahu Surya dengan tawa renyah yang mengalir dari pita suaranya. Pemuda yang berpura-pura menjadi Mentari itu hanya balas tersenyum sekenanya.

Selepas si pria tua yang mungkin adalah wakil kepala di bidang kesiswaan sekolah ini pergi, Surya kembali menelusuri lorong sekolah. Dia berusaha mencari gadis berwajah Bintang tadi dan ingin memastikan segalanya. Hingga sekali lagi seseorang menahannya. Benar-benar seperti pertarungan antara dirinya sendiri dan seisi sekolah.

"Mentari, Bintang ada di mana?" tanya anak perempuan berambut pendek itu, dia menenteng beberapa buku tebal berjudulkan undang-undang dan TAP MPRS.

Surya sedikit menunjukkan eskpresi tidak sukanya pada hal itu, tapi untungya tertutup oleh maskernya. Kenapa mencarinya? Surya menulis catatan lagi, wajahnya benar-benar menunjukkan dirinya sudah muak dengan hal ini.

"Itu ... tadi ... tanpa sengaja aku mendengar Cassy memarahi Bintang lagi. Aku juga mendengar suara tamparan yang cukup keras dan teriakan Cassy, apa dia masih ada di kelas?" Aster kini sedikit ragu, dia juga terlihat mendecih di akhir karena mengetahui hal buruk itu terjadi di depannya, tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

Pria itu terkesiap, Bintang berbohong dengan mengatakan kalau dia tidak enak badan, padahal dia baru saja dirundung oleh seseorang bernama Cassy. Surya yang masih mengernyitkan dahi, perlahan mengusap dagunya, rasanya masih segar nama itu di ingatannya dan waktu berpikir itu diakhiri dengan jentikkan jari.

Bawa aku ke gadis bernama Cassy, pinta Surya, tentu saja masih dengan tulisan pada note-nya.

"Tunggu ... kali ini kamu tidak boleh memukuli mereka lagi, ya? Kamu harus janji dulu sama aku, rasanya capek banget lihat kamu bolak-balik bareng Bintang ke ruang BP, padahal kamu anak cerdas cermat empat pilar. Bu Nana aja sampai gelisah, kalau-kalau kamu di keluarkan dari tim oleh bapaknya Cassy," titah gadis itu dan disanggupi oleh Surya dengan anggukan mantap.

Embusan angin meniup gorden pada jendela yang berjejer di lorong sekolah, Surya bisa merasakan semilirnya itu menggelitik kulitnya perlahan, beberapa di antaranya bahkan menghempaskan ujung wig yang dipakainya tepat ke pipi tirusnya, dia berdecak sembari mengibaskan rambut itu ke belakang dengan kasar. Namun, di mata orang lain di sekitarnya, Surya tampak seolah bersiap menuju medan peperangan.

"Itu ... Cassy duduk di meja kantin nomor sembilan, kebetulan itu lagi bareng anak empat pilar yang lain. Syukurlah, hari ini tidak ada pertumpahan darah." Gadis itu mengembuskan napas panjang, Surya lantas menoleh pada Aster dengan sedikit rasa penasaran di benaknya.

Memangnya apa yang sering dilakukan Mentari, sampai gadis ini benar-benar lega kami tidak berhadapan dengan Cassy secara empat mata tadi? batin Surya bergelora, apalagi saat melihat punggung gadis berambut hitam panjang yang sangat percaya diri itu duduk manis di sana.

"Eh, katanya masih mikir dulu ...." Bu Nana yang datang tiba-tia dari arah jam sembilan, tampak menunjukkan senyum bahagianya. "Ibu dengar untuk seleksi awal, kita hanya perlu pakai lembar jawaban. Jadi, Ibu rasa Mentari sudah pasti bisa ikutan, 'kan?" lanjutnya lagi.

Surya yang merasa terlalu sering disela sejak tadi, hanya bisa diam. Dia menyipitkan mata seolah tersenyum, tapi bibirnya yang tertupi masker sama sekali tak terangkat. Pemuda ini hanya tetap fokus memperhatikan gadis yang ada di sana, yang rambutnya yang panjang bergoyang di terpa angin dan jari lentiknya berusaha menyelipkan anak rambut ke sela-sela telinga.

Bintang? batin Surya.

"Eh, Cassy udah datang. Maaf ya menunggu lama, bahannya tadi diambilkan sama Aster dan coba lihat siapa yang bergabung ...." Bu Nana yang kini menyapa gadis itu berhasil membuat Cassy menoleh dan wajah itu, Surya bisa melihatnya dengan jelas. "Mentari, sini!" ucap Bu Nana dengan lambaian tangannya.

Dia bukan Bintang. Surya kembali menjawab pertanyaan dalam hatinya. Setelah itu dia hanya berlalu, meninggalkan wajah heran pada semua orang.

~oOo~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top