#10 IMPIAN MENTARI

Aku kali ini tak akan membahas bintang-bintang, karena setelah bertemu Bintang yang asli ... rasanya cukup aneh. Aku kali ini akan menceritakan mengapa matahari dipanggil Mentari, lucu ... bagaimana satu benda bisa memiliki banyak nama? Selain karena bahasa, bukankah maknanya selalu sama? Namun, aku sendiri menyadari, Mentari dan Surya pun pada realitanya berbeda, tawa, hobi, minat, dan bahkan mimpi kami berbeda. Hanya satu yang akan selalu sama, kami berjanji untuk menjaga mimpi satu sama lain. –Surya–

Sekali lagi terdengar bunyi bel, artinya pembelajaran kembali dilanjutkan. Surya yang ragu apakah akan kembali ke kelas Pak Nuh atau tidak, kini berdiri di ambang pintu UKS dengan hanya mengeluarkan kepalanya. Saat dia sibuk memperhatikan ke kiri dan ke kanan, seseorang dari arah jam dua belas terdengar meneriakkan nama Mentari yang berhasil membuat Surya terdiam.

"Tari, ke mana aja sih. Aku cari di kelas tadi enggak ada sama Bintang, kamu diminta Bu Nana ke kantor asrama." Gadis berambut bob yang pagi tadi menjewer telinga Zidan berdiri di hadapannya dengan wajah yang masih agak kesal.

Oke, sekalian aku minta tolong temenin, boleh? Surya kembali menuliskan jawabannya pada ponsel dan berhasil membuat Aster mengernyit.

"Sia enggak bisa ngomong atau apa?" tanyanya dengan logat Sunda tiba-tiba. Surya agak sedikit tertawa karenanya, dia jadi mengingat Zidan yang keturunan Betawi, tapi justru lebih fasih berbahasa Sunda daripada dirinya. Ternyata itu didapat dari hasil berpacaran dengan Aster. "Eh, malah ketawa."

Surya hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa lagi. Pawangnya Zidan sangar, euy. Pemuda itu membatin.

Untungnya, Aster tidak terlalu banyak protes ketika Surya memberikannya isyarat agar berjalan bersamanya ke kantor asrama, yang sebenarnya dia tak tahu berada di mana. Ketika keduanya berjalan melewati lorong sekolah yang masih lengang itu, tiba-tiba terdengar tawa khas para bapak-bapak yang seolah turun melewati tangga. Cukup mengejutkan memang, tapi Aster segera menarik Surya agar tidak memperdulikan hal itu.

"Jangan ke sana, kalaupun kamu ada urusan dan ada suara bapak-bapak, jangan berani lewat tangga itu." Aster kembali memperingatkan dengan tatapan matanya yang serius.

Sekali lagi Surya hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya dia cukup mempertanyakan hal itu. Jika Aster bisa mendengarnya, itu bukan suara hantu. Lalu, kenapa harus menghindari mereka? Bukannya aneh harus memutar jalan hanya karena ada guru laki-laki yang sedang bercengkrama di sana?

"Kita sampai, anu ... kalau nanti Bu Nana minta aku buat ikut rapat CC 4 pilar, bilang aku sibuk, ya? Soalnya, istirahat nanti aku mau makan di luar bareng Zidan. See you ... oh, ya. Jangan bilang-bilang ke orang lain kalau aku tadi pakai bahasa daerah, ya? Nanti aku dihukum lagi sama Bu Nana. Bye!" Aster melangkah cepat sampai menghilang dibalik lorong.

Surya kemudian mengetuk pintu. Setelah mendengar jawaban dari seseorang di dalam, tangannya pun dengan ringan memutar knop pintu dan terpampanglah Bu Nana yang ternyata guru ditemuinya dan Zidan tadi pagi. Wanita itu tampak semringah saat menatap Mentari–Surya–di hadapannya, dia bahkan sengaja berhenti dari pekerjaannya demi menyambut gadis ini.

"Maaf ya mengganggu Mentari belajar, Ibu sudah enggak sabar mau ngebahas soal dan materi untuk cerdas cermat nanti." Bu Nana segera menarik pergelangan Surya dan menuntunnya untuk duduk di sofa yang cukup lebar di hadapan meja kerjanya. "Ini, coba kamu baca dulu," titahnya sembari memberikan lembaran berisi ... hal yang cukup berat bagi Surya.

Bukan aku tidak cinta sama negara sendiri, tapi aku memang selemah itu dalam menghapal tiap pasal. Bahkan untuk pembukaan UUD 1945 yang dulu dilatih tiap senin saja, aku sudah lupa. Aku juga ... tidak suka belajar. Surya sedikit mengomel tapi hanya bisa dalam hati dan tersenyum getir dibalik maskernya yang semakin kumal.

"Kamu siap 'kan untuk lomba dua minggu lagi? Kita cuma perlu tiga orang kandidat dan Ibu berharap Mentari mau menjadi salah satu pembicara seperti sebelumnya, kamu itu kandidat terkuat di sekolah kita. Bahkan menurut Ibu jauh lebih baik dari Cassy, jadi–" Belum selesai Bu Nana berbicara, Surya mengangkat tangannya ragu dan menginterupsi.

Setelah wanita itu berhenti bicara, Surya langsung menuliskan banyak kalimat yang menurutnya paling tepat untuk menjadi alasan, karena dia tidak mungkin setuju mengingat kondisi Mentari minggu depan masih lima puluh-lima puluh, sedang dirinya sendiri tak akan bisa menghapal isi semua pasal Undang-Undang, Keputusan Presiden dan TAP MPRS yang dicetakkan oleh Bu Nana itu.

Bu, maaf, tapi minta tolong Cassy saja, ya? Saya habis operasi amandel ini, 'kan? Takutnya belum sembuh sampai waktunya nanti dan masih belum bisa bicara. Pemuda ini mengedipkan matanya berkali-kali pada Bu Nana saat dia menunjukkan tulisan itu, berusaha mengambil hati dan agar wanita ini segera melepaskannya dari jerat kompetisi yang bahkan dia baru tahu sekarang.

"Duh, kamu terakhir kali juga begini sama Ibu ...." Bu Nana tampak murung, matanya menerawang kembali ke waktu terakhir dia bertemu Mentari yang asli. Surya kini mulai pasang telinga dan menunggu kelanjutan ucapan wanita itu. "Cassy sudah pasti bakal ikut, tapi cuma cadangan. Ibu perlunya kamu."

Pemuda itu kembali ingin menulis di ponselnya, tapi dengan cepat Bu Nana menahannya untuk menekan ponsel itu. Hingga Surya mau tidak mau menurunkan ponsel dan meletakkan di atas meja sesuai isyarat yang diberikan Bu Nana kepadanya.

"Ibu enggak tahu seberapa banyak Cassy memohon sama kamu atau karena kamu kepikiran dia putri ketua yayasan dan komite sekolah kita, tapi demi apapun ... jangan anya karena hal itu, kamu menyia-nyiakan kesempatan baik untuk masuk universitas yang kamu mau. Ingat kata Ibu, ketika lomba berlangsung, para wakil rektor dari UI dan UGM juga datang. Ini waktu terbaik supaya kamu bisa menggaet hati mereka, Tari."

Bu Nana kini menggenggam erat tangan Surya yang agak sedikit terperanjat, tapi kembali tenang saat melihat senyum tulus dan tatapan penuh harap yang muncul di netra wanita ini. Hal itu juga mengingatkannya pada ibunya sendiri, juga impian Mentari yang sering dia bagikan pada Surya. Entah kenapa, sekali lagi hatinya tergelitik untuk melakukan hal nekad yang mungkin akan membahayakan identitasnya. Namun, kali ini Surya berusaha untuk tidak impulsif dan mencoba untuk mendiskusikannya dengan tetangga baiknya itu, Jamal dan Zidan.

Saya sekali lagi, mohon maaf. Saya belum bisa memastikan, tapi boleh saya pikirkan lagi untuk waktu 24 jam ini? Ada beberapa hal yang saya perlu pertimbangkan dan Ibu saya mohon jangan berharap banyak dari saya.

Setelah menuliskan hal itu, Bu Nana hanya mengangguk paham dan tak ingin terlalu memaksa Mentari–Surya–secara berlebihan, meski sebenarnya dalam hatinya juga merasa ada sedikit kejanggalan, karena Mentari tak akan menyerah semudah itu. Bahkan Bu Nana masih ingat ketika gadis itu masih kelas sepuluh dan notabennya masih anak baru di komunitas, dia tak gentar sedikit pun, padahal suaranya juga hampir menghilang karena terkena batuk yang cukup parah.

"Baiklah, Ibu hargai keputusan kamu untuk mempertimbangkan hal ini. Satu hal yang Ibu mau kamu tahu, enggak ada yang bisa mematahkan impianmu. Walau ada serangan dari atas, bawah, samping, belakang bahkan tepat di depan kamu, jangan gentar." Wanita itu menepuk bahu bidang Surya pelan dan kembali ke meja kerjanya. Sebelum benar-benar duduk, dia kembali menatap Surya yang hanya bisa menunjukkan wajah polosnya.

"Tari, kamu harus segera membereskan kamar asrama dengan Bintang, karena tadi saat inspeksi di sana kamar paling berantakan yang pernah Ibu lihat. Jangan sampai nanti pas absen malam nanti masih seperti itu atau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya, OK?"

Bu Nana pun duduk dengan santai di kursinya, Surya sempat bergidik karena wanita itu tiba-tiba berubah perhatiannya dan ruangan terasa lebih dingin saat dirinya berpamitan. Sekilas pria itu bisa melihat beberapa peraturan sekolah, di mana ada batas penggunaan bahasa yang dibolehkan yaitu hanya bahasa nasional dan internasional, juga jam malam yang hanya sampai pukul 22.00 WIB. Setelah berhasil menyaring semua itu, Surya mengambil langkah kembali ke kelasnya.

Selama perjalanan, pemuda ini baru menyadari bahwa bel istirahat pertama sudah dibunyikan dan hampir semua orang di kelas menuju ke tempat tongkrongannya masing-masing. Di dalam hiruk pikuk itu, Surya bisa melihat jelas seorang Pak Nuh, yang kini tampak menggoda beberapa siswi dan lebih parahnya, dia tampak dengan sengaja menyentuh tangan, bahkan merangkul para gadis itu. Seandainya para siswi itu membalas dengan ekspresi senang, mungkin pemuda ini tak akan peduli. Namun, justru sebaliknya, wajah dan gestur mereka menunjukkan tak nyaman serta ketakutan.

Lebih baik sekalian saja berbuat masalah di hari pertama, biar semua cepat terbongkar. Surya membatin dan tentu saja dengan pikiran impulsifnya, pria itu berlari menerjang Pak Nuh dan saat jarak mereka sudah dekat, Surya melepaskan tendangan berputar yang dipelajarinya dari Taekwondo.

Seluruh siswi yang melihat aksi itu memekik, terlebih saat Pak Nuh terjungkal dan hilang kesadaran. Beberapa gadis yang diganggu tadi langsung berkerumun di antara Surya dan bersorak dengan bangga. Sedang yang lain masih bingung, beberapa guru yang berada di sekitar langsung mengevakuasi Pak Nuh. Surya sendiri dengan cepat mengikuti langkah guru-guru itu dan dengan penuh tanggung jawab langsung menemui wali kelasnya untuk menyerahkan diri.

"Heh? Kamu yang nendang Pak Nuh?" Hadi membetulkan letak kacamatanya, lalu tertawa cukup nyaring hingga guru-guru lain ikut mengerumbungi mereka.

"Kenapa kamu sekasar itu?"

"Kok enggak sopan sama guru sendiri?"

"Harusnya kamu malu."

Beberapa kalimat itu kini menggaung di telinga Surya, tapi pemuda itu hanya mendengkus lalu menyeringai dibalik maskernya. Semua pertanyaan-pertanyaan yang menuduhnya itu, sudah terlalu sering dia dengar saat masa trainee, apalagi jika sehabis dirinya mendapat pujian. Ada satu atau dua orang yang membuat lingkaran dan menghasut beberapa trainee lain untuk memusuhi pemuda ini, belum lagi bertindak rasis karena dia siswa pelatihan dari Asia Tenggara. Memang kejam, tapi itulah realita. Semua proses yang dia jalani sampai sekarang, tak pernah semulus lantai yang baru disemen.

"Mentari ikut Bapak ke ruang BP," ucap Hadi memecah lamunan Surya.

~oOo~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top