Aku Bukan Pilihan
Tiara berulangkali mengecek ponselnya memerhatikan jikalau ada pesan masuk yang terlewat di bacanya. Ataupun panggilan telepon yang tak sengaja ia abaikan. Sayangnya, semakin sering ia melakukan itu, semakin besar pula rasa kecewa yang menderanya.
Mahasiswi semester tujuh itu baru saja menyelesaikan urusannya di ruang dosen. Tiara mengajukan permohonan untuk mengganti dosen pembimbing skripsinya.
Tiara mengetuk-ngetukkan hak sepatu tujuh sentinya berulang kali ke lantai keramik mengkilat tempatnya berdiri sejak sejam lalu. Tangannya mendekap beberapa buah buku tebal. Shoulder bag berwarna hitam melingkar manis di bahunya. Kemeja hitam polos dan celana jeans ketat menyempurnakan penampilannya.
Rambut sepunggungnya berderai tertiup angin sepoi. Bibirnya mengerucut dan tubuhnya sudah bergerak gelisah. Lelah.
Entah untuk yang ke berapa kali, dilihatnya sekali lagi arloji yang melingkar di pergelangan kirinya, pukul dua belas lewat dua puluh menit. Sudah lewat tengah hari, pantas saja cuaca terasa sangat panas. Tiara semakin tak tenang.
Tiara menunggu Prabu yang berjanji menjemputnya. Tapi nyatanya? Prabu sama sekali tidak muncul. Bahkan batang hidungnyapun tak terlihat. Hati yang lelah terbungkus tubuh yang lelah, membuat Tiara semakin gundah.
Tiara mengeluarkan ponsel berlayar enam incinya dari dalam tas. Diketiknya sebuah pesan untuk Prabu.
Aku pulang sendiri.
Centang satu. Ahh.. Prabu selalu seperti itu.
Jemari Tiara kembali dengan lincahnya menari di atas layar ponselnya, mencari sebuah nama. Aha! Ketemu.
Memanggil Satria. Tak perlu menunggu waktu lama.
"Halo, barbie..." Sapaan hangat lelaki di ujung telepon sana terdengar sangat mesra menerobos gendang telinga Tiara.
"Kamu sibuk? Jemput aku di kampus sekarang, bisa?" Pinta Tiara dengan nada manjanya. Bibir pink-nya kemudian merekahkan sebuah senyum mendengar jawaban mengiyakan dari lelaki yang saat ini ditelponnya.
"Oke.. Jangan terlalu lama. Bye, Mr. bunny." Kata Tiara lagi dan memutuskan sambungan telepon. Kemudian ditekannya tombol power pada ponsel pintarnya tersebut. Power off.
Tiara sengaja mematikan ponselnya agar Prabu tak bisa menghubunginya. Lelaki itu sungguh membuatnya jengkel bin kesal segenap jiwa raga. Tak hanya kali ini tapi sudah berulang kali. Tiara lelah memberikan pengertiannya, habis sudah stok kesabarannya untuk lelaki itu.
Hmm... Prabu Dewangga. Lelaki itu sangat baik, terlampau baik malah.. Tapi sayang, bagi Tiara lelaki itu bukan tipe lelaki peka yang mengerti bagaimana caranya menyayangi ataupun memberi perhatian pada kekasihnya. Lelaki itu terlalu kaku dan jauh dari kata romantis. Jauh.. Teramat jauh!!
Tiara sudah memacari Prabu sejak tiga tahun lalu, tapi selama berpacaran, kontak fisik yang pernah mereka lakukan hanya sebatas berpegangan tangan.
Jauh di dasar hatinya, Tiara juga ingin dimanjakan. Tiara ingin merasakan seninya memadu kasih macam cerita teman-temannya yang selalu ia dengar. Ia iri.
Yang Tiara dengar dari teman-temannya ciuman itu sangat memabukkan. Tapi Tiara tak pernah merasakan bagaimana rasanya bibir Prabu padahal ini sudah memasuki tahun keempat hubungan mereka. Hingga akhirnya Tiara merasakan ciuman itu dari bibir lelaki lain.
Jangankan menciumnya, pernah suatu kali Tiara memeluk Prabu, tapi lelaki itu malah menepisnya. Tubuh lelaki itu gemetar. Itu terjadi dua bulan lalu.
Huh! Prabu sangat membosankan!!!
Jika ada yang bertanya "Memangnya masih ada cowok bersegel jaman sekarang?". Maka dengan lantang Tiara akan menjawab "Prabu!!". Lelaki itu adalah bukti yang terpampang nyata di depan matanya.
Di jaman yang sudah menua ini, jaman yang katanya sangat edan, jaman yang semakin mendekati akhir kehidupan di muka bumi ini, jaman dimana mencari perempuan bersegel saja susah, tapi cowok bersegel bernama Prabu malah menjadi kekasih Tiara.
Ralat! Mereka sebenarnya telah bertunangan tiga bulan silam, meskipun atas desakan Tiara.
Tiara mendengus kesal, menggelengkan kepalanya cepat. Prabu terlalu menguasai otak bahkan hatinyapun telah digenggam erat lelaki itu.
💔💔💔
Sebuah mobil berwarna merah mengkilat berhenti tepat di depan Tiara. Kaca mobil terbuka memperlihatkan si empunya tersenyum manis melihat perempuan bertubuh ramping di depannya.
Tiara tersenyum masam melihat kepala yang menyembul dari balik kaca mobil yang terbuka lebar.
"Ayo masuk!!" Seru Satria.
Jika itu Prabu, lelaki itu akan segera turun dan membukakannya pintu. Ahh.. Perlakuan lelaki itu manis sekali.
Loh??! Bukannya tadi Tiara bilang Prabu itu bukan termasuk dalam kategori lelaki romantis, sekarang kalau dipikir-pikir lagi, apa membukakan pintu mobil untuk kekasih itu bukan termasuk kategori romantis?
Arghhh..!!
Sial! Fikirannya selalu kembali pada Prabu. Padahal belum tentu lelaki itu memikirkan Tiara.
Tiara masuk ke dalam mobil tersebut lalu menghempas duduknya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Satria. Mata Tiara memanas menahan sesak di dadanya. Pandangannya ia buang jauh ke luar takut kalau tiba-tiba Satria mendapatinya menangis.
Melihat bahasa tubuh Tiara, Satria tahu bahwa perempuan cantik yang duduk di sampingnya saat ini sedang menahan amarahnya. Tanpa banyak tanya, Satria mulai melajukan mobilnya keluar area kampus.
Tapi dasarnya Satria, ia tak bisa berlama-lama berdiam diri melihat Tiara yang membisu sedangkan perempuan itu terbiasa ceria di matanya.
"Kamu mikirin apa sih? Kalo kelihatan murung begitu, kamu jadi persis bidadari yang gak bisa kembali ke kayangan gara-gara kehilangan selendang.. Kamu cemberut gitu bikin aku pingin gigit bibir yang lagi maju lima senti itu." Satria memecahkan lamunan Tiara, menyeret perempuan itu kembali ke alam nyata dengan gombalan tak bermutunya.
Tiara meringis.
"Kita mampir ke Sans Place yah.. Aku pingin ngupi dulu!! Badmood banget banget banget!" Tiara mengatup kedua tangannya di depan dadanya.
Sans Place adalah tempat pelariannya sekaligus tempatnya menghabiskan waktu dengan Satria tanpa takut ketahuan siapapun, khususnya Prabu.
Prabu tak mungkin ke Sans Place sebab cafe yang terkenal dengan berbagai sajian kopi tersebut berada di pinggiran kota yang jauh dari keramaian. Prabu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan jadwalnya yang super padat sehingga menurut Tiara tak mungkin menjangkau daerah terpencil itu.
"Apa sih yang enggak buat kamu, barbie sayang?" Telunjuk Satria menyentil pipi Tiara. Menggoda perempuan itu, berharap sedikit saja mendapatkan senyum yang hari ini terasa amat mahal. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya siang ini dan menyerahkan segala urusan untuk diselesaikan oleh asistennya.
"Kamu emang yang paling ngerti aku!! You're the best!!" Tiara tersenyum riang kemudian mencondongkan tubuhnya memeluk tubuh Satria yang sedang fokus menyetir.
Cup.
Bibir Tiara menempel sepersekian detik di ujung bibir Satria. Lelaki itu bagaikan hujan yang membasahi keringnya kemarau hati Tiara.
Satria adalah mood booster paling ampuh baginya. Bahkan di saat mood itu berada di titik terendah sekalipun.
Satria Dirgantara. Lelaki bertubuh atletis itu dipacari Tiara sejak setahun lalu. Lelaki beralis tebal dengan bulu mata lentik itu bukannya tak tahu bahwa Tiara menjadikannya yang kedua.
Satria tahu bahwa dirinya telah menjadi orang ketiga dalam hubungan Prabu-Tiara. Satria bahkan menyadari bahwa tubuh Tiara memang miliknya, tapi hati perempuan itu beserta fikirannya adalah milik seorang Prabu.
Satria rela menjadi yang kedua karena ia sangat menyayangi perempuan rapuh itu. Bukan karena hasrat ataupun pelampiasan nafsunya, tapi jauh di dasar hatinya, Satria telah jatuh cinta bahkan bertekuk lutut di bawah pesona Tiara.
Tapi sialnya, Satria pun sadar sesadar-sadarnya bahwa, sekali lagi, hati dan seluruh cinta yang dimiliki Tiara masih milik Prabu. Hanya untuk lelaki itu. Damn!!!
Satria berharap bahwa suatu saat Tiara akan berpaling padanya dan melupakan Prabu. Atau jika itu tidak pernah terjadi, iapun rela patah hati sesakit-sakitnya karena selalu menjadi kekasih yang tak dianggap. Semua demi Tiara, asalkan Tiara bahagia.
Hening dalam perjalanan menuju Sans Place karena Tiara sudah terlelap bersandar di lengan sebelah kirinya.
💔💔💔
Memasuki Sans Place, Satria melingkarkan tangannya di pinggul Tiara, menuntun perempuan itu ke pojokan cafe yang lebih sepi.
"Selamat datang.." Seorang pelayan menyambut kedatangan Tiara dan Satria yang baru saja duduk.
Pelayan berseragam hitam itu kemudian menyerahkan buku menu ke tangan Tiara. Pelayan itu menunggu dengan tangan menggenggam sebuah pulpen dan kertas bersiap untuk mencatat pesanan.
Tiara membuka buku menu tersebut dan matanya bergerak naik-turun ke kiri dan ke kanan memerhatikan deretan gambar beserta nama menu makanan dan minuman. Telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu seolah sedang berpikir hingga akhirnya Tiara memutuskan pesanannya.
"Affogato satu, choco cheese toast satu." Pelayan tersebut kemudian mencatat pesanan tersebut.
Tiara hendak menyodorkan buku menu pada Satria namun lelaki itu menggeleng.
"Espresso, satu." Kata Satria. Lagi, pelayan tersebut menuliskan pesanan dalam kertas catatannya.
Pelayan kemudian berlalu meninggalkan mereka dengan senyum dan kepala menunduk penuh hormat.
Tiap kali ke tempat itu, Satria selalu memesan menu yang sama, espresso. Tapi sepertinya Tiara selalu lupa
Ahh.. Apalah arti dirinya jika dibandingkan Prabu. Tak ada tempat untuknya di hati dan pikiran Tiara.
Terkadang Satria merasa sangat ingin tahu seperti apa sosok Prabu yang selama ini selalu dielu-elukan oleh Tiara. Seperti apa sosok lelaki yang sudah menggenggam hati gadis pujaannya dan menyingkirkannya telak bahkan sebelum memulai peperangan. Seperti apakah Prabu itu hingga Tiara begitu memujanya?
Tapi sekali lagi, apalah dirinya di mata Tiara jika dibandingkan dengan Prabu.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Pelayan berlalu setelah meletakkan pesanan dan membungkuk hormat. Senyum masih tak lepas dari bibir perempuan belia itu. Mungkin sekitar tiga tahun lebih muda dari Tiara.
Seorang lelaki berjas baru saja memasuki tempat itu. Matanya yang tajam menyorot meneliti hingga ke penjuru ruangan. Matanya membulat menemukan targetnya.
Lelaki berjas itu sangat tampan. Alisnya tebal memayungi mata tajamnya. Wajahnya bersih didukung tubuhnya yang tinggi tegap dan atletis, memancarkan aura karismatik.
Perlahan lelaki itu mengambil duduk di belakang Tiara.
"Selamat datang, pak.. Hari ini bapak datang lebih awal. Ini laporan keuangan bulan lalu yang kemarin bapak minta." Kata seseorang berkemeja biru langit. Kepalanya plontos dan badannya agak kurus. Senyum manis terulas di wajahnya yang sedikit berjerawat. Di tangannya memegang sebuah map yang langsung disodorkan pada lelaki berjas yang baru saja datang. Entah apa isinya. Lelaki berjas itu kemudian mengibaskan dua jarinya ke arah luar, memberi isyarat pada lelaki berkemeja biru langit tersebut untuk menjauh.
Nampak arogan.
Satria yang melihat itu tak peduli. Sepertinya lelaki berjas itu adalah pemilik tempat tersebut.
Satria hanya sekilas melihat. Lalu kembali fokus pada Tiara.
Satria memandang wajah cantik Tiara tanpa pernah merasa bosan, perempuan itu sedang melamun. Entah apa yang sedang difikirkannya saat ini.
"Gimana kuliah kamu?" Tanya Satria sambil menyesap espresso kesukaannya. Senyuman terukir di wajahnya yang hanya terbilang standar. Tapi kalau dilihat lebih lama, diperhatikan seksama, wajah Satria yang termasuk dalam kategori kulit sawo matang itu sangat manis dan menarik. Bukan manis menarik semut untuk merubungi loh ya...
"Seperti yang kamu tau, skripsiku mandek. Dasar dosen edan!! Bisa-bisanya dia modus. Katanya konsul ke apartemen dia, ujung-ujungnya ngajak kencan. Dosen genit." Tiara semakin mengerucutkan bibirnya.
Siapapun akan sepakat bahwa Tuhan telah menganugerahi Tiara kecantikan yang sempurna. Tubuh ramping, tinggi semampai bak model papan atas. Kulitnya putih mulus bak porselen. Nyamukpun akan terpeleset jika hinggap di kulit mulusnya. Rambut panjangnya yang lurus hitam, lembut dan berkilau. Bulu matanya lentik membingkai mata bulat yang apabila mengerjap nampak seperti boneka yang menggemaskan. Bibirnya mungil berwarna pink alami.
Jadi, siapa yang mampu menolak pesona seorang Tiara Nathania Dharmawan? Ia seperti boneka barbie dalam wujud manusia. Pantas saja Satria menyematkan panggilan 'barbie' untuk perempuan tercintanya itu.
"Wajar aja.. Resiko orang cantik." Alis Satria naik turun menggoda Tiara. Perempuan yang tadi merengut itu seketika tersenyum sumringah.
"Kamu memang mood booster aku!! Sayaaaang Mr. Bunny.." Pekiknya senang membuat Satria terkekeh.
Tiara mengambil sepotong roti bakar pesanannya tadi lalu memasukkannya ke dalam mulut. Tiara melahap potongan roti tersebut dengan memejamkan mata menikmati sensasi rasa manis dari coklat dan asin gurihnya keju yang menyatu. So yummy...
Satria meraih tisu untuk membersihkan coklat yang menempel di ujung bibir Tiara.
"Nanti aja bersihinnya.. Kan lagi makan, biarin aja dulu belepotannya." Katanya acuh tapi tetap membiarkan Satria menyeka ujung bibirnya dengan tisu.
"Udah besar juga, masih aja makan belepotan.." Ledek Satria.
"Tapi kamu suka kan bersihin bibir aku? Apalagi kayak waktu kita makan es krim di Ranz's Ice. Sengaja nyari pojokan sepi supaya bebas bersihin bibirku yang belepotan pake bibir kamu. Huh!! Dasar cowok modus!" Cibir Tiara.
"Hahaha... Tapi kamu suka kan?" Goda Satria membuat semburat merah di pipi Tiara. Blushing.
"Kamu itu ternyata emang suka ngegombal."
"Cuma sama kamu aja.." Jujur Satria membuat desiran aneh di hati Tiara. Blushing lagi.
"Kamu gak makan?"
"Ini lagi makan." Jawab Tiara acuh.
"Makanan berat."
"Roti bakar juga berat kok!! Atau sekalian nyuruh aku makan barbel?" Tiara keukeuh dengan jawabannya, malah sedikit nyeleneh.
"Nasi. Maksud aku apa kamu gak makan nasi siang ini? Aku gak suka kamu diet. Diet dengan pola yang salah apalagi terlalu ketat malah menimbulkan penyakit nantinya." Satria menasihati Tiara.
"Aku gak lagi diet kok! Emang lagi pingin makan ini aja.." Tiara faham bahwa Satria mengkhawatirkannya. Hati Tiara terasa hangat dipenuhi dengan perhatian Satria.
"Ingat ya.. Kamu gak perlu diet. Aku suka kamu apa adanya.." Satria kembali menyesap espressonya.
"Hahaha.. Iya iya. Cowok mah gitu bilangnya gak boleh diet, giliran ceweknya melar malah ditinggal." Cibir Tiara. Bibirnya melengkung membentuk huruf 'A'.
"Gak semuanya begitu. Dan sekali lagi aku bilang kalo aku suka kamu apa adanya." Tangan kanannya terulur mengelusi punggung tangan kiri Tiara.
"Kamu kenapa tadi murung? Kamu lagi menyembunyikan sesuatu dari aku. Aku gak suka itu." Suara Satria bagai sebuah tuntutan di telinga Tiara. Perempuan itu sedang tak ingin membicarakan masalah hatinya.
"Aku suka banget aroma ini.. Aku jadi suka kopi gegara ketularan kamu." Jawab Tiara tanpa menggubris pertanyaan Satria. Bibir mungilnya sudah menempel pada cangkir. Lidahnya mulai merasai nikmatnya Affogato pesanannya.
"Affogato ini kayak kita. Aku es krim dan kamu kopinya." Tiara menerawang.
"Unfortunately, cintaku gak seperti pekatnya espresso yang bisa menenggelamkan kamu kayak es krim yang tenggelam dalam pekatnya espresso di affogato itu."
Tiara tak menyahut lagi hanya memberikan cengirannya yang memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
"Hahaha.. Kamu itu lagi nyoba melarikan diri dari pertanyaanku." Ups!! Sepertinya Satria mengetahui modusnya.
"Kamu memang yang paling ngerti aku. Gak kayak Prabu si manusia lempeng! Prabu mungkin memang tak punya hati! " Dengus Tiara tanpa memerhatikan perasaan Satria saat mengucapkan nama Prabu. Bagaimanapun, Satria juga kekasihnya.
"Kenapa lagi dia?" Satria merilekskan punggungnya pada sasaran kursi. Tangannya bersedekap dan matanya menatap lurus ke arah Tiara. Ia siap menjadi pendengar yang baik buat kekasihnya itu. Pun jika Tiara ingin menangis, ia akan menyediakan dadanya untuk Tiara mengadu dalam dekapannya.
"Sebenarnya Prabu janji jemput aku hari ini. Tapi lagi-lagi dia menghilang entah kemana tanpa kabar berita. Aku udah capek nunggu. Heels tujuh senti ini menyiksa, rasanya hampir membuatku lumpuh. Bayangkan!! Aku berdiri selama sejam tadi nungguin dia tapi dia malah gak datang! Sialan!!" Maki Tiara. Matanya sudah berembun merasakan emosi yang meluap-luap di dadanya.
"Jadi lagi-lagi aku cuma pelampiasan? Pelarian, ha?" Tanya Satria dengan wajah yang masih mengulas senyum. Entah apa arti senyumnya itu. Di dalam sana, hatinya terasa diremas dengan sebuah tangan tak terlihat. Sakit!
"Maaf.." Tiara menunduk. Dirinya jadi merasa bersalah bukan hanya karena memanfaatkan kebaikan Satria tapi juga karena menyebut Prabu saat mereka sedang bersama.
"No problem.. Kamu tau aku selalu ada untukmu. Apapun itu, aku siap dengerin curhat kamu termasuk tentang dia sekalipun." Satria tak kuasa menyebut nama lelaki itu. Hatinya sangat sakit.
"Kamu beneran gak papa?" Tiara meragu mendengar perkataan Satria. Tiara dapat melihat meskipun bibir Satria melengkung tersenyum namun matanya menyiratkan luka yang dalam.
"I'm fine.. Aku yang harusnya khawatir sama kamu. Kamu gak ceria seperti biasanya."
"Aku beruntung punya kamu. Kamu itu kekasih terbaik yang aku punya. You know me so well."
"Kalau begitu jadikan aku satu-satunya."
"Haruskah? Aku takut gak bisa. Kamu tau dengan baik bagaimana hatiku."
"Sesulit itu kah menghapus nama Prabu di hatimu dan menggantinya dengan namaku?"
Mata Tiara mengerjap beberapa kali. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Aku sungguh gak mau nyakitin kamu."
"Jadi kamu lebih memilih dia?"
"Maaf.. Sesakit-sakitnya mencintai dia, selelah-lelahnya mengertikan dia, aku merasa tak bisa melepaskannya. Dan kamu juga tau itu."
"Tak adakah sedikitpun harapan untukku?" Suara Satria mengambang di udara. Samar tapi masih dapat didengar jelas oleh Tiara.
Tiara menggeleng ragu. "Aku pilih dia."
"Maaf.. Lelaki bukan untuk dipilih." Suara berat seorang lelaki memotong pembicaraan Tiara dan Satria. Suara yang begitu akrab di telinga Tiara itu bagai petir yang menyambar saat hari terang benderang dicerahkan cahaya matahari.
Tiara tak berani menoleh ke arah suara.
"Maaf.. Anda siapa? Tak baik mencampuri urusan orang lain apalagi menyela saat orang lain sedang berbicara." Kata Satria dingin. Ia tak suka.
Lelaki berjas itu berdiri dari kursinya menghadap Satria yang menyorotnya dengan tatapan tajam. Wajah Satria merah padam menahan marah. Menurut Satria, lelaki asing itu sudah memojokkan Tiara-nya.
"Anda siapa bagi nona ini?" Tanya lelaki berjas itu.
"Saya kekasihnya. Dan anda tidak berhak mengintimidasi selama perempuan ini masih bersama saya." Ucapnya bangga.
"Tania.. Apa kamu gak mau memperkenalkan siapa aku?" Suara itu terdengar dingin membuat Tiara tertunduk. Tubuhnya lemas dan jantungnya serasa dicabut paksa dari tempatnya.
Hanya satu orang yang memanggilnya Tania.. Dari nama tengahnya, Nathania.
"Kamu kenal dia, barbie?" Satria menatap Tiara menuntut jawaban. Dalam hatinya mulai gelisah saat melihat Tiara menunduk sangat dalam. Jangan-jangan dia...
"Prabu. Saya Prabu, tunangan dari kekasih anda."
Seketika wajah Satria pias. Lidahnya kelu tak mampu berbicara lagi.
💔💔💔
"Mari kita bicara di luar." Prabu berjalan duluan. Tapi baru beberapa langkah, ia berhenti dan berpaling melihat Tiara masih termangu di tempat duduknya. Matanya sudah basah oleh air mata. Tubuhnya sedikit berguncang menahan tangis tanpa suara itu. Sedangkan Satria berjongkok di sampingnya berusaha menenangkan.
"Ayo, Tania.." Kata Prabu. Suaranya terdengar tenang seperti biasa.
Tiara berdiri, di sampingnya ada Satria menggenggam tangannya. Mereka mengikuti kemana Prabu melangkah.
Mereka bertiga berjalan ke area luar cafe lewat pintu samping yang berupa pintu geser yang terbuat dari kaca. Di sana terdapat taman dengan sebuah gazebo besar yang bersisian dengan kolam ikan. Di tengah gazebo itu terdapat sebuah meja persegi panjang yang bisa digunakan untuk makan lesehan.
"Duduk di sana Tania.." Perintah Prabu menunjuk ke arah gazebo menggunakan dagunya. Lelaki itu masih berdiri. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana bahan yang dikenakannya. Prabu berbalik dan sepertinya sedang berfikir, pandangannya dibuang jauh menuju perbukitan yang berada jauh di depan sana.
Tiara kemudian menuruti perkataan tunangannya itu dengan kepala masih tertunduk. Ia bagaikan pesakitan yang tengah menunggu hakim menjatuhkan vonis atas kejahatan yang sudah diperbuatnya.
Bagaimana tidak? Prabu mendapatinya dengan Satria berduaan ditambah kemungkinan bahwa Prabu mendengar sebagian besar percakapannya dengan Satria tadi. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.
"Aku pergi dulu. Aku akan menunggu di sana jika kau membutuhkanku." Satria menunjuk sebuah kursi santai di bawah pohon yang rindang tak jauh dari tempat mereka saat ini. Satria ingin memberikan ruang untuk Tiara dan Prabu bicara berdua saja.
Bicara berdua katanya? Ada perasaan tak rela dalam hatinya saat memikirkan itu. Tapi apa boleh buat, meskipun hatinya terasa sakit dan diremas, dia tak punya hak atas Tiara meskipun katanya Tiara adalah kekasihnya.
"Silakan duduk." Prabu mempersilakan Satria duduk. Untuk beberapa saat Satria hanya termangu memandang Prabu. Aura dingin yang terpancar dari Prabu membuat hatinya mengerut. Lelaki itu begitu arogan ketika berhadapan dengan orang lain namun menjadi sangat lembut begitu menghadapi Tiara. Ah, bukan Tiara.. Lelaki itu tadi memanggil Tiara dengan nama Tania.
"Ehm!" Prabu berdeham melihat Satria masih pada posisinya padahal lelaki itu tadi sudah dipersilakan duduk olehnya.
Satria tersadar dari lamunannya kemudian mengambil duduk di sisi Tiara. Prabu duduk di seberang Tiara lalu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja.
"Aku tidak perlu penjelasan apapun. Ini sudah cukup menjawab segala pertanyaanku, ditambah pembicaraan kalian yang tadi ikut kudengar. Aku hanya ingin bicara sesuatu yang selama ini tidak diketahui Tania tentangku." Prabu mengeluarkan isi amplop tersebut yang ternyata isinya foto-foto Satria dan Tiara sedang bermesraan. Tak hanya di satu kesempatan sebab pakaian dan latar tempat foto tersebut diambil di beberapa tempat berbeda, salah satunya adalah di Sans Place ini. Tiara melotot sedangkan Satria meringis melihat foto-foto yang berserak di atas meja.
"Tadinya aku fikir kamu akan berubah setelah kita bertunangan. Aku kira kamu akan mengerti bahwa apa yang kulakukan semua ini hanya untukmu. Bukankah papamu yang menuntut aku menjadi pengusaha sukses dulu supaya kamu gak akan pernah kekurangan jika kita telah menikah nanti? Kamu tahu itu tapi kamu gak mau mengerti sedikitpun keadaanku." Prabu menutup matanya mengingat perkataan papa Tiara beberapa tahun lalu ketika mereka baru menjalin hubungan. Saat itu Prabu bukanlah siapa-siapa.
Tiara tak bisa menyanggah, ia tahu benar bahwa Prabu tak mengada-ada. Saat papanya mengucapkan itu Tiara duduk di sisi Prabu, berhadapan dengan papanya.
"Dengan lelaki ini, berarti sudah ketiga kalinya kamu berkhianat. Apa aku salah?Atau ada yang lain lagi yang aku gak tahu?" Mata Prabu memanas, tangannya mengepal meremas beberapa foto. Buku tangannya memutih saking kuatnya kepalan itu.
"Saat ini aku sudah tidak bisa memberimu maaf." Suara Prabu terdengar bergetar. Rasa sakit sekaligus kecewa telah mencabik perasaannya. Tiara, perempuan yang begitu dicintainya berulangkali menodai kepercayaan dan kebebasan yang ia berikan.
Mata Tiara membulat mendengar itu tapi kepalanya tetap menunduk. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang.
"Kamu selalu mengeluhkan sikapku yang acuh padamu. Mungkin bahkan kamu fikir aku lelaki dengan orientasi seks menyimpang karena tak tergiur kecantikan dan kemolekanmu. Tapi kamu salah Tania.. Kamu salah jika mengira aku demikian." Prabu menghela nafas mencoba membebaskan rasa sesak di dadanya.
Wajah Tiara mendongak, diberanikannya menatap wajah Prabu. Lelaki itu menyorot matanya hingga menembus jantung Tiara. Tiara melihat luka yang sangat besar menganga di sana. Luka yang ditorehkan olehnya.
"Tahukah kamu aku mati-matian menahan diri? Tersiksa rasanya tidak bisa menyentuhmu, manahan hasrat merasai bagaimana manisnya bibirmu, menahan keinginan menikmati kehangatan pelukanmu. Jika aku selama ini tidak pernah melakukannya, bukan karena aku tak ingin. Aku hanya takut, sekali aku merasakan itu semua, aku takkan bisa berhenti lagi. Aku mungkin saja akan kecanduan dan terus meminta lebih darimu dengan alasan cinta. Aku tak ingin membungkus rasa cintaku dengan nafsu yang menggebu. Aku ingin menjaga dirimu dari jahatnya gairahku. Aku menginginkan malam pertama pernikahan kita nanti begitu istimewa karena semua yang kita lakukan adalah semua yang pertama kalinya kita rasakan. Bukankah itu terdengar manis?" Kata Prabu. Suaranya sarat akan keputusasaan.
"Tapi nyatanya itu adalah suatu keinginan konyol dan bodoh yang membuatku harus merelakanmu." Suara Prabu berubah dingin dan datar. Prabu lalu membuang mukanya tak ingin Tiara melihat bulir bening yang meluncur dari kedua sudut matanya. Tapi terlambat, Tiara sudah terlebih dulu melihatnya. Hal itu membuat Tiara sungguh menyesal.
"Maafkan aku, please.. Bisakah kita mulai lagi dari awal?" Pinta Tiara, tangannya terulur menggenggam tangan Prabu. Perempuan itu terisak.
Prabu tersentak. Matanya lalu melirik Satria yang ternyata sedang menatap Tiara. Wajah lelaki itu pias.
"Apa yang kamu bilang barusan?"
"Kita mulai dari awal lagi.. Kita lupakan semuanya."
"Begitu mudahnya kamu mengatakan itu..!" Prabu murka karena keegoisan Tiara. Tangannya ia tarik perlahan.
"Tidakkah kamu berfikir sebelumnya dampak apa yang ditimbulkan dari perbuatanmu ini? Pernahkah kamu berfikir bagaimana perasaanku sebelum kamu memutuskan menduakanku? Bagaimana pula perasaan lelaki ini yang sudah sangat mencintaimu? Dia bahkan rela menjadi yang kedua asalkan bisa terus bersamamu!!" Prabu menahan diri untuk tidak berteriak. Kemarahannya telah sampai di ubun-ubun, menembus batas kesabarannya.
"Dia pasti mengerti.. Iya kan, Sat?" Entah terbuat dari apa hati Tiara. Perempuan itu hanya mementingkan dirinya sendiri.
"Aku tidak pernah seyakin ini mengakhiri hubungan kita. Aku memang sangat mencintaimu, tapi perasaannya padamu juga sangat dalam. Jangan sakiti lebih banyak hati lagi dengan memaksakan kehendakmu bersamaku. Tania, percayalah dengan keyakinanku bahwa dia lebih bisa membahagiakanmu. Kamu akan lebih baik bersamanya."
Prabu bangkit dari duduknya, ia bersiap pergi. Namun langkahnya terhenti terayun tatkala mendengar suara lirih Tiara.
"Tapi aku memilihmu, Prabu.."
"Maaf, aku lelaki bukan 'tuk dipilih." Usai mengatakan itu Prabu bergegas meninggalkan Tiara yang menangis dalam pelukan Satria.
Cukup sudah sakit hatinya. Ia tak lagi menoleh meskipun hatinya ngilu mendengar Tiara meratap dan meneriakkan namanya berulangkali.
Kini ku mengungkap tanya
Siapakah dirinya
Yang mengaku kekasihmu itu?
Aku tak bisa memahami
Ketika malam tiba
Ku rela kau berada
Dengan siapa kau melewatinya
Aku tak bisa memahami
Aku lelaki tak mungkin
Menerimamu bila
Ternyata kau mendua
Membuatku terluka
Tinggalkan saja diriku
Yang tak mungkin menunggu
Jangan pernah memilih
Aku bukan pilihan
Selalu terungkap tanya
Benarkan kini dia
Wanita yang kukenal hatinya?
Aku tak bisa memahami
Tak perlu kau memilihku
Aku lelaki
Bukan tuk dipilih
Samarinda, 10 April 2019
Inspired by song.
Judul : Aku Bukan Pilihan
Ciptaan : Pongki Barata 'Jikustik'
Dipopulerkan oleh : Iwan Fals
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top