Prolog


"Hai, teman lama! Apa kabar?" Seorang lelaki bertubuh jangkung dengan pakaian rapi layaknya seorang mahasiswa menyapa seorang teman lamanya yang menyimpan wajah penuh keputusasaan. Seorang yang sedang duduk termenung dengan pakaian jingga itu hanya menatap sinis pada teman lama yang menyapanya.

"Gak usah basa-basi. Mau apa lu ke sini?" Dia memilih untuk memalingkan muka, tak sudi menatap lelaki yang mengajaknya bicara.

"Santai, cuy! Gue ke sini cuma mau ngewakilin nyokap lu yang lagi sakit. Dia gak bisa jenguk elu di lapas kumuh ini." Dia menatap dengan tatapan tajam kepada lelaki yang berada di balik jeruji besi itu.

"Sudah? Kalau sudah pergi sana!"

"Sob, gue mau ngomong sedikit aja, nih. Semua orang pernah terjatuh ke dalam kegelapan. Tapi, mendekam di penjara bukan berarti lu mesti diem bae. Lu masih bisa terus berkarya. Memperbaiki kesalahan yang dulu pernah lu lakuin."

"Udah? Sekalipun lu perhatian dan baik ke gue, gue tetep benci diri lu!" bentak lelaki di balik jeruji besi itu sambil menunjuk-nunjuk temannya.

"Mampus kau dikoyak penyesalan!" Lelaki itu berjalan meninggalkan sahabat lamanya sendiri di balik jeruji besi sambil tersenyum sinis.

Tinggallah dirinya sendiri sambil dipenuhi penyesalan atas yang pernah dilakukannya. Rasanya waktu empat tahun di balik jeruji besi tak lantas membuat penyesalan itu hilang.

"Ah, gue masih ingat jelas kejadiannya. Sebuah ketidaksengajaan yang berujung penyesalan. Setan emang gue ini."

****

"Kamu cantik. Sayang, kecantikanmu harus hilang saat ini juga. Karena apa artinya hidup bagimu yang sudah tak punya masa depan?"

Dia mencengkeram kepala gadis yang terduduk lemah di hadapannya. Menjerit hanyalah satu-satunya yang bisa dilakukan gadis malang itu. Sayang, lelaki itu tak lantas melepaskannya. Dia malah menghantam kepala gadis itu ke tembok. Berulang kali dilakukannya. Darah mengucur dari kepalanya. Tak tahan lagi menahan sakit, gadis itu sudah tak lagi menjerit. Dia hanya terdiam pasrah.

Tak ingin mengambil banyak risiko, lelaki itu mengambil pisau dan menusuknya pada perut si gadis. Seketika tubuh si gadis diam dengan mata yang membelalak—tatapan kosong—dan darah yang terus mengucur dari perutnya.

"Sayangnya ini studio, cantik. Ruangan ini kedap suara. Percuma kau menjerit keras-keras pun."

Mobil BMW hitam itu melaju kencang di bawah rembulan yang menatapnya iba. Kencangnya sudah seperti dikendarai oleh pengendara kesurupan. Mobil itu berhenti dan parkir di lapangan belakang sebuah sekolah. Seorang lelaki keluar menggendong gadis yang kehilangan masa depan dan nyawanya ke tanah terlantar di belakang sekolah. Pucat, berlumuran darah.

"Lagi apa?" Seorang lelaki menatapnya dari belakang. Entah dari mana asalnya. Lagipula, tengah malam begini mau apa lelaki sepertinya ada di sini? "Anda bersenang-senang?" lanjutnya.

"Saya bawa senjata tajam!" Dia ketakutan.

Lelaki misterius yang datang tiba-tiba itu terlihat ketakutan setelah melihat sebilah pisau yang berlumuran darah. Melihat siapa gadis yang dibawanya, lelaki itu memutuskan untuk bekerja sama. "Tenang, aku punya penawaran bagus. Mau?

Mereka berunding sejenak. Tak ingin mengambil risiko lebih, mereka memutuskan untuk sepakat saja.

"Baik, sekarang kubur dia. Jangan lupa semennya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top