Bab 4 Perjalanan Sang Pencari
Langit membentang dalam gradasi jingga saat Mo Shang menuruni lereng berbatu Gunung Hua, bayangannya memanjang seiring surya yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Semilir angin gunung menyusup di antara lipatan jubahnya, membawa serta aroma tanah basah yang berbaur dengan kenangan dari kehidupan silam. Ia mengemban amanah besar—sebuah mandat dari Ketua Sekte Gunung Hua, Bai Yuntian, seorang cendekiawan yang membaca pertanda kehancuran dalam dunia persilatan.
Di aula utama sekte, Bai Yuntian—lelaki tua dengan janggut putih menjuntai hingga dadanya—menatap Mo Shang dengan sorot mata tajam yang seolah menembus dimensi waktu.
"Dunia ini berada di ambang kehancuran," ucapnya berat. "Peperangan telah menelan generasi muda sebelum mereka sempat berkembang. Sekte-sekte besar kehilangan pewaris sejati. Kita membutuhkan seseorang yang mampu menyalakan cahaya dalam kegelapan."
Ia melanjutkan, "Para sekte dunia persilatan telah menyadari bahaya ini. Beberapa telah dipanggil ke istana, namun kebanyakan menolak. Bahkan jika mereka bersedia, kekaisaran pun tak lagi memiliki daya untuk menundukkan dunia persilatan. Ada yang menganggap diri mereka titisan dewa, sementara yang lain hanya mengejar kekuasaan tanpa arah. Aku takut kehancuran tak terhindarkan jika tidak ada seorang penerus yang cukup kuat untuk mengubahnya. Bukan hanya pendekar yang unggul, melainkan seseorang yang memiliki kebijaksanaan serta tekad yang tak tergoyahkan. Mo Shang, aku mengenalmu bukan hanya sebagai seorang ahli pedang, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang membentuk murid-murid kita menjadi lebih baik. Pergilah! Cari bakat-bakat muda itu!"
Mo Shang mengangguk. Ia tak perlu bertanya lebih jauh. Kata-kata Bai Yuntian cukup untuk menyalakan kobaran tekad dalam dirinya. Selama bertahun-tahun, ia telah menyaksikan kehancuran yang perlahan melahap dunia persilatan. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam kedamaian malah dipaksa mengangkat senjata. Ia tidak bisa membiarkan hal ini berlanjut.
Maka, ia pun berangkat.
Dari satu negeri ke negeri lain, Mo Shang melintasi tanah yang dipenuhi sejarah. Perkampungan miskin yang dilanda kelaparan, kota dagang yang riuh dengan intrik, hingga desa terpencil yang hampir terlupakan. Setiap tempat menyimpan kisah, setiap anak yang ditemuinya memiliki sorot mata yang menyiratkan harapan. Namun, belum ada yang memenuhi pencariannya.
Di utara, seorang bocah lelaki mengangkat batu besar seolah tak berbobot. Di selatan, seorang gadis belia melesat lebih cepat dari bayangan. Mereka berbakat, tetapi tidak memiliki pemahaman yang melampaui sekadar keterampilan bela diri.
Hingga suatu hari, langkahnya membawanya ke sebuah desa yang bahkan tak tercantum dalam peta.
Zhao Yun menarik perhatiannya bukan karena kekuatan fisik, melainkan karena cara anak itu menatap dunia. Saat anak-anak lain bermain, ia duduk bersila di bawah pohon jati tua, tenggelam dalam lembaran kitab usang yang telah lusuh karena sering dibaca ulang.
Angin berembus, menggugurkan dedaunan yang jatuh di bahunya. Namun, Zhao Yun tetap tak terganggu. Matanya mengikuti setiap aksara dengan ketekunan seorang pembelajar sejati, seakan memahami bukan hanya kata-kata, melainkan makna yang tersembunyi di baliknya.
"Anak yang menarik," gumam Mo Shang.
Hari demi hari, ia mengamati Zhao Yun. Pagi hari, anak itu membantu penduduk desa, mengangkut karung gandum yang hampir sebesar tubuhnya. Siang, ia melahap kitab-kitab dari pedagang dan pendeta yang singgah. Malam, saat rembulan menggantung tinggi, ia diam-diam berlatih, menggerakkan tubuhnya dalam pola yang tidak lazim untuk anak seusianya.
Mo Shang memperhatikan gerakan-gerakan dari Zhao Yun. Kuda-kuda yang stabil, pukulan yang tegas, barisan jurus yang tampak bukan seperti seorang yang berlatih kemarin sore, melainkan seperti gerakan seorang pendekar yang telah berlatih bertahun-tahun. Sebagai seorang pendekar, lelaki paruh baya ini paham betul bedanya seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan yang bukan.
Meskipun gerakan dari Zhao Yun sempurna, ia tetaplah anak kecil. Bahkan, tidak ada Qi yang keluar sama sekali dari setiap jurus yang dikeluarkan oleh bocah itu. Artinya, anak ini harus dilatih, bukan sekadar gerakan kungfu saja. Meskipun begitu, itu sudah cukup untuk menunjukkan anak ini adalah seorang genius ahli bela diri.
Pada hari ketujuh pengamatannya, Mo Shang akhirnya mengambil keputusan.
Ketika Mo Shang menyampaikan tawarannya, Zhao Yun hanya menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan, seakan telah mengantisipasi momen ini jauh sebelum Mo Shang tiba.
Namun sebelum menjawab, Zhao Yun menatap sekeliling desa—rumah-rumah sederhana, penduduk yang telah dikenalnya seumur hidup, suara anak-anak yang tertawa di kejauhan. Ia menarik napas panjang. Ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali.
Malam sebelum keberangkatannya, Zhao Yun duduk di ranjang kayunya yang sederhana. Sebuah koper kecil telah dikemas di sampingnya. Isinya tak banyak: beberapa helai pakaian, buku catatan yang penuh dengan tulisan kecilnya, dan liontin kayu peninggalan ibunya. Ia meraba liontin itu, menggenggamnya sejenak sebelum menggantungkannya kembali di leher.
Di luar, suasana desa masih hidup. Anak-anak bermain, orang dewasa bercakap di depan rumah, cahaya lentera berpendar lembut.
Wei Han, satu-satunya teman dekatnya, berdiri di ambang pintu. "Jadi, kau benar-benar akan pergi?" suaranya sarat emosi.
Zhao Yun mengangguk. "Ini kesempatan yang langka."
Wei Han menunduk, menendang kerikil kecil. "Aku iri padamu. Tapi aku juga bangga. Janji, kau akan kembali dan menceritakan segalanya, kan?"
Senyum kecil tersungging di bibir Zhao Yun. "Tentu saja."
Saat ia melangkah keluar dari panti asuhan, penduduk desa telah berkumpul di gerbang. Beberapa membawa bekal kecil sebagai tanda perpisahan. Seorang wanita tua yang sering memasakkannya bubur menyelipkan sebungkus roti ke tangannya.
"Jangan lupakan kami, Nak," suaranya bergetar.
Zhao Yun menunduk hormat. "Aku tidak akan melupakan kalian."
Di kejauhan, Mo Shang menunggu di dekat kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda hitam. Angin berembus, mengangkat debu tanah, seakan menuliskan jejak terakhir masa kecil Zhao Yun sebelum ia melangkah menuju masa depan.
Tanpa banyak kata, ia naik ke dalam kereta. Mo Shang hanya meliriknya sekilas sebelum menarik kendali kuda.
Saat roda mulai bergerak, Zhao Yun menoleh untuk terakhir kalinya. Wei Han melambai dengan semangat, sementara yang lain menatap dengan penuh harapan.
Di sinilah perjalanan sejatinya dimulai.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top