AKTARI || 20. END
"Kenapa bisa jadi gini, sih, Tar?" Tari lagi-lagi menghela napas dalam. Entah kali ke berapa dia harus menjawab pertanyaan serupa hari ini. Merubah posisi duduknya di kasur Rumah Sakit, dia menghadap kedua sahabat yang menjenguk dirinya.
"Gue lagi nyebrang, terus karena nggak hati-hati," Tari mengedikkan bahu pada lengan kiri yang mengenakan arm sling. "Makanya gini, deh."
Hilda dan Yasmin menatap sendu. Tak menyangka musibah yang menimpa sahabat mereka.
Di tengah perbincangan, Tari berubah murung. Dirinya memikirkan satu hal sedari tadi. Hal yang sebetulnya menjadi pikiran kedua sahabatnya juga.
"Buat penampilan kita nanti, gue ..." Tari melirik lagi lengan kirinya.
"Nggak usah dipikirin. Kita udah sepakat, mungkin belum waktunya kita tampil dan nunjukin kolaborasi kita di acara sekolah tahun ini," ungkap Yasmin dengan cengiran.
Tari merasa bersalah. Penampilan yang selama ini mereka siapkan selama hampir sebulan rupanya hanya sia-sia. Pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran mereka ternyata tak ada gunanya.
"Gue bakal cari penggantinya di divisi gitar buat-"
Hilda tersenyum lalu menyela, "Nggak usah merasa bersalah. Ini semua udah kehendak Allah. Mungkin, Dia udah nyiapin sesuatu yang lebih baik buat ke depannya." Semua kembali terdiam untuk sesaat.
Tanpa sepengetahuan ketiganya, seorang pria jangkung terdiam di balik pintu putih yang sedikit terbuka. Lalu dia memasuki ruangan serba putih itu saat Tari masih mencoba menyuarakan rasa bersalahnya.
"Gue-"
"Gue yang gantiin Tari."
***
Tari terdiam mengurungkan langkah di balik pintu yang sedikit terbuka saat netranya menangkap Ghani sedang memeluk Desti dengan penuh kasih sayang.
"Mama sama papa, kenapa ... ribut?"
Apa mereka sudah baik-baik saja?
Sedari dulu, orangtua Tari hampir tidak pernah menceritakan masalah mereka pada anak-anaknya. Apa pun masalahnya, terkadang para orangtua tak akan membiarkan putra-putrinya mengetahui hal yang bisa dihadapi hanya oleh mereka. Karena itu, Tari akan sangat bersyukur jika ternyata masalah di antara mereka sudah terlewati.
Di tengah lamunan, Tari tersentak saat sebuah tangan mencapai bahu kanannya.
"Kak Mitha? H-hai." Yang disapa mengerjap pelan. Sedikit kaget mengetahui orang yang berdiri di balik pintu ruangan Desti ternyata adiknya.
"Ngapain di sini? Nggak masuk?" Adalah dua kalimat pertama yang Mitha layangkan.
"Ng-nggak, Kak. Ngobrol di ruangan Tari aja, yuk!" Mitha mengangguk lalu membuntuti Tari memasuki sebuah ruangan tepat di samping ruangan Desti.
"Gimana kondisi kamu? Udah baikan?" tanya Mitha saat mereka sudah duduk menyerong saling berhadapan pada sebuah sofa di sana.
"Udah, Kak. Besok udah bisa pulang, kok." Tari mengambil jeda, lalu bertanya, "Kak Mitha sehat?" Entah sudah berapa lama dia tak berinteraksi sedekat ini hanya berdua dengan sang kakak.
Mitha mengangguk sekilas, lalu kembali bertanya, "Kondisi mama udah baikan juga, 'kan?"
Tari berdehem lalu menunduk. Untuk sejenak suasana kembali hening. Tari merutuk dalam hati. Sedikit menyesal karena tak mengikuti Olive untuk mencari udara segar.
Sementara Tari bergelut dengan pikirannya. Mitha menahan sesak menekan segala perasaan di lubuk sana.
"Kamu kenapa terjang hujan pas denger mama kecelakaan?" Tari mengangkat pandang, bertemu iris coklat kakaknya lantas kembali menunduk.
"Aku nggak mau kehilangan sosok ibu buat kedua kalinya," lirih Tari. Meski akhirnya Tari bersyukur, karena keadaan Desti yang ternyata tak separah bayangan Tari.
"Kenapa kamu nggak ngasih tau Kakak dari awal?" Nada penuh rasa bersalah dan penyesalan itu akhirnya mengudara. Tari kembali mendongak lantas kerutan samar tercetak di dahinya.
"Ombrophobia, Kakak udah tau." Tari tersentak. Mitha lantas menunduk menyembunyikan mata yang perlahan berembun.
Mitha tak menyangka, adiknya menyimpan trauma yang ia yakini tak ada satu pun orang lain mengetahuinya. Alih-alih berada di sisi Tari dan menghilangkan rasa takutnya, dia justru menyalahkan Tari atas perginya sang bunda.
Saat dia selalu berdoa untuk diturunkan hujan agar mendapat ketenangan, justru Tari sekuat tenaga menghadapi rasa takutnya sendirian.
"Maafin Kakak," lirih Mitha. Dia menatap Tari tepat pada netranya. Melihat bulir bening menetes di sana, Tari tak kuasa membendung air mata dengan isak yang sedari tadi ia tahan.
Bagaimana pun, Tari tetap seorang adik kecil yang cengeng di hadapan kakaknya.
Tari menggeleng cepat, lalu berujar dengan nada bergetar. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku udah ambil bunda dari Kakak. Aku udah nyelakain bunda. Aku penyebab--"
"Nggak, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu."
Meski selama ini, yang kamu ucapkan selalu ada di pikiran kakak, lanjut Mitha dalam hati.
Mitha mengusap pipi Tari lembut lalu berkata, "Allah yang ambil bunda dari kita. Allah lebih sayang sama bunda. Bunda udah bahagia di sana."
Seolah Mitha menjadi satu-satunya orang yang terluka, dia salah besar. Dirinya tak pernah memikirkan perasaan adik-adiknya. Bahkan dia tak pernah menduga, Tari menghadapi trauma tanpa dia di sisinya.
Lagi-lagi, Mitha merasakan penyesalan yang meruak. Sudah bertahun lamanya, dia menahan segala rasa agar tak meluap begitu saja. Dia menahan rasa rindu yang takkan pernah berujung temu. Dan menunjuk Tari sebagai penyebab tiadanya sang bunda dan perlahan menjadi doktrinnya selama beberapa tahun ke belakang.
"Kak ..."
Mitha menggeleng. Dirinya merasa tak pantas disebut kakak. Dia hanya manusia egois yang tak pernah memikirkan adik-adiknya dan malah menjauhi mereka. Isakan kecil mulai meluncur di sana.
"Kakak merasa nggak layak disebut kakak. Maafin kakak, Tari. Maafin Kakak." Mitha meraih tangan kanan Tari lalu membawanya pada pipi kanan Mitha. "Maafin kakak."
Siapa pun bisa merasakan nada sarat penyesalan di sana. Tari melepas tangan kanannya dari genggaman sang kakak. Lalu berangsur memeluk Mitha erat. Seolah menyampaikan kerinduan yang tertahan sedari lama.
Mitha balas memeluk. Dia merapal kata maaf berulang seraya mengecup pucuk kepala Tari.
Malam ini, di ruangan sunyi dengan detak jarum jam dan isakan dari sepasang adik dan kakak, keduanya menyalurkan apa saja yang selama ini terpendam. Berbagi segala rasa yang tak bisa diutarakan dengan sebuah pelukan. Melepas kerinduan yang selama ini tertahan.
Sudah saatnya mereka berdamai dengan masalalu. Melepaskan segala belenggu, untuk bahagia yang menunggu.
***
Jika saja, dia tak menghentikan motornya dan membiarkan Tari menyebrang sendirian, Tari tak akan berakhir di rumah sakit. Dengan tangan kiri yang disangga arm sling saat H-1 menuju penampilannya di sekolah.
Lalu rasa bersalah yang menyusup membuatnya menerobos pintu ruangan dan mengambil atensi tiga orang remaja wanita dengan sebuah kalimat yang membuat mereka tak bisa berkata.
Maka di sini lah Aksara berada. Di atas panggung berukuran medium dengan sebuah gitar di pangkuannya. Dengan Hilda yang duduk di depan keyboard, Yasmin yang berdiri elegan dengan biolanya, Cakra dari divisi gitar yang memangku gitar bassnya, serta Aldi dari divisi perkusi dengan kajon yang didudukinya.
Oh, ya. Jangan lupakan Tari yang duduk di kursi kecil dengan tangan kiri yang disangga arm sling-nya dan tangan kanan yang memegang mikrofon di barisan terdepan mereka.
Untuk pertama kali setelah sekian lama, Aksara menunjukan diri dengan kemampuan memainkan gitarnya. Untuk pertama setelah sekian lama, Aksara menjadi salah satu pusat perhatian di atas panggung dengan penonton yang bejibun. Untuk pertama kali setelah sekian lama juga, dia mencoba percaya diri dengan gitar yang ada di pangkuan.
Sorak sorai para pemirsa yang meneriaki nama Aksara membuat pria itu semakin berdebar. Tak bisa dipungkiri, kehadiran Aksara di panggung sana mampu menggemparkan seantero sekolah. Aksara yang mereka tahu tak pernah berhubungan dengan alat musik, kini dia bergabung dengan anak-anak dari ekskul musik. Terutama Tari, orang yang akhir-akhir ini terlihat dekat dengan Aksara.
Aksara memejamkan mata lalu menghela napas perlahan. Dia harus memberikan yang terbaik. Dia tak boleh mengecewakan semuanya. Terutama Tari, gadisnya.
Maka saat suara intro dari keyboard Hilda mulai mengudara, saat itu juga Aksara memfokuskan dirinya.
"I will never know ... if you love me
Or my company, but I don't mind
'Cause I ain't tryna be the one
Been through this a thousand times
I don't need to take your heart
You keep yours, I'll keep mine."
Tari menghipnotis seluruh penonton dengan suaranya di bait pertama. Lalu Aksara masuk dengan petikan gitarnya. Disusul oleh Aldi, juga Cakra.
Tatapan Aksara tak beralih dari Tari seinci pun. Dia tak mengerti, Tari selalu memiliki daya tariknya sendiri. Lalu tanpa intruksi, otaknya memutar sebuah film di mana dia melihat Tari untuk pertama kali.
Aksara bukan tak menyadari, sepasang mata yang mengikuti pergerakannya hingga terduduk di sebuah kursi di hadapan Patta dan Ervan. Maka saat mata itu tak lagi memperhatikannya, barulah dia balik memperhatikan.
Sedetik, dua detik. Aksara memalingkan wajah sebelum kembali menatap karena salah seorang di sana berteriak mengambil atensinya.
Dari jarak delapan meter, dirinya melihat dua orang remaja dengan sajian di atas meja bundar yang cukup kecil. Satu orang membelakanginya, sedang satu orang lain terlihat menunduk menutupi sebagian wajahnya dengan rambut yang terurai. Dari tempatnya, dia bisa melihat bibir tipis terpoles lip glost yang sedikit menggerutu.
Aksara sedikit menarik kurva kemerahannya. Dirinya memalingkan wajah menatap leher gitar di pangkuan tapi rupanya film itu terus berputar mengingatkannya pertemuan mereka selanjutnya.
Sudut mata Aksara menangkap siluet seseorang menghadap dan menatapnya dari samping kiri sejauh sepuluh meter. Awalnya dia tidak tertarik. Tapi dia menolehkan wajah saat siluet itu tak bergerak sedikit pun dari sana.
Yang ditatap sedikit berjengit tapi tak lantas berpaling hingga tiga detik berlalu. Sedang Aksara terpaku pada seorang gadis di depannya. Gadis yang sama, yang diperhatikannya di sebuah Kafe beberapa jam yang lalu.
T-shirt hitam polos yang dipadukan dengan rok tutu putih tulang sebetis dengan sepatu kets hitam itu tampak cocok dengan tubuh rampingnya. Lalu rambut yang semula tergerai ia cepol asal hingga beberapa anak rambut keluar dari sana.
Cantik.
Di tengah kesadarannya, Aksara membawa langkah menghampiri Tari untuk melihat dari jarak yang lebih dekat. Lalu langkahnya semakin pasti saat melihat Tari salah tingkah hingga menjatuhkan sebuah novel di genggaman.
Langkah Aksara memelan dari jarak satu meter. Di tengah menatap Tari dengan intens, dirinya menyempatkan melirik sebuah novel yang dipegangnya dan kekehan sangat kecil meluncur dari sana.
Jika dilihat dari jauh, Tari tampak sedang membaca novelnya. Tapi apa Tari memang terbiasa membaca dengan posisi buku yang terbalik?
Tak sampai di situ, sepertinya, di hari yang sama, takdir mempertemukan mereka dengan corong eskrim yang terjatuh tepat di sepatu Aksara.
Awalnya Aksara kesal, tapi melihat siapa ulah kekesalannya, entah kenapa debaran di dadanya sedikit meningkat. Lalu dengan kekesalan yang masih tersisa, dirinya memarahi gadis di hadapannya.
Tragedi tubrukan kedua terjadi saat mereka berada di koridor sekolah. Dengan sebuah gitar yang menjadi korban.
Saat itu, Aksara benci tentang apa pun yang berhubungan dengan gitar. Artinya, seharusnya, dia membenci Tari juga, bukan?
Namun lihatlah sekarang. Dia memangku dan memainkan gitar dengan sangat lihai. Tari berhasil membawa cintanya kembali pada alat musik bernama gitar. Melenyapkan kebencian yang telah lama mengakar. Tari membuatnya sadar, bahwa benci justru membuatnya tersakiti.
Dia merasa sakit, saat harus membenci apa yang sebenarnya dicintai.
"And I know
Whatever this is ain't love...."
Aksara tersadar. Untuk sejenak dia merasa salut pada dirinya sendiri. Aksara tetap bisa bermain gitar saat fokusnya bercabang. Antara nostalgia, kunci nada pada gitarnya, juga gadis di depan sana.
Tapi, bukankah Tari menjadi objek dari nostalgianya juga? Entahlah, rasanya Aksara selalu bahagia ketika memikirkan tentang pacarnya.
"Mulai sekarang, lo jadi pacar gue."
Aksara tertegun untuk sepersekian detik. Lantas dirinya kembali mengumpulkan fokus seutuhnya pada penampilan mereka. Menutup performa dengan outro yang sempurna.
Sementara di barisan penonton sana, Aslan terdiam dengan perasaan campur aduk. Memandangi Tari dan Aksara secara bergantian. Aslan memerhatikan mereka saat tatapan keduanya bertemu. Aslan bukan tak mau mengakui. Hanya saja, separuh dari dirinya tidak mau menerima bahwa Aslan bukan lagi bahagianya Tari.
Aslan tahu, setiap mengambil langkah, selalu ada konsekuensi yang diterima. Tapi harusnya Aslan juga tahu, kehilangan Tari merupakan konsekuensi dari langkah yang diambilnya saat dua tahun yang lalu.
Karena itu, ia mematri langkah yang berat. Meninggalkan tempat ini--dan Tari. Melepaskan apa pun yang berhubungan dengan Tari. Merelakan saudara tirinya mengambil alih untuk membahagiakan Tari.
Tarisya, dan segala kenangannya.
***
Dua cangkir kopi di atas meja, juga suara merdu dengan petikan gitar di panggung sana menjadi kolaborasi terbaik di kala rintik air sedang menghujani bumi.
Tari mengalihkan pandang ke luar jendela. Memangku dagu dengan tangan kanan yang bertumpu pada meja di hadapan, lantas terpejam dan menarik napas dalam. Senyum tipis tak luput dari sana. Sepertinya, petrichor akan menjadi aroma favoritnya mulai saat ini.
Dalam posisi duduknya yang bersandar pada punggung kursi, Aksara meraup banyak udara lantas membuangnya perlahan. Melipat kedua tangan di depan dada, dia memejamkan mata. Menikmati alunan musik yang tertangkap telinga.
Untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Hanyut dalam suasana yang menenangkan.
Tak ada lagi ketakutan, kegelisahan, kecemasan ... Tari tak pernah menyangka. Pada akhirnya, hujan bisa memberikan ketenangan untuknya.
Tak ada lagi kebencian, karena gitar dan Aksara adalah sebuah kesatuan.
Aksara jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua dan selamanya. Dia jatuh cinta pada gadis di hadapannya. Dia menyukai segala tentang pacarnya.
Pacarnya....
Aksara menegakkan duduknya. Sejujurnya, dia tidak tahu bagaimana harus memulai. Maka saat tatapan keduanya bertemu, Aksara masih membisu hingga lima detik berlalu.
Kerutan samar, Tari perlihatkan. Saat ia hendak membuka suara--
"Jadi pacar gue, mau?"
--saat itu juga, Tari hampir lupa menarik napas.
Detik ini, Tari tersadar. Dulu, Aksara tidak menembaknya. Dia hanya mengklaim Tari sebagai pacarnya.
Tapi sejauh ini, Tari bersyukur karena dipertemukan dengan kakak kelas di hadapannya. Pria yang selalu mengerti dirinya. Pria yang selalu ada di sisinya. Pria yang menghilangkan rasa takutnya.
Tari menyukai Aksara Althaff Wirdana, dan segala tentangnya.
Setelah melewati satu menit dengan kebisuan, Tari menunduk sekilas. Lantas kembali mendongak dan tersenyum tipis sebelum menjawab, "Iya, gue mau."
***
TAMAT.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top