AKTARI || 12. Sahabat Lama
"Sayang, kamu belum tidur?" Gadis itu mengerjap. Sedikit terkejut saat sebuah tangan menyentuh lembut bahu kanannya. Membalikkan tubuh menghadap lawan bicara, melirik jam di dinding yang menunjuk pukul sebelas malam, dia membalas, "Belum, Ma. Tari lupa bawa minum."
Desti menghampiri meja makan, lalu duduk di kursi sana. Lantas dia mengambil satu helai roti tawar yang ada di atas meja lalu dioleskannya selai coklat.
"Aksara itu ... pacar kamu, ya?" Tari tersedak, menimbulkan kekehan kecil di mulut Desti. "Kalo minum yang tenang, Sayang, sambil duduk kalo bisa. Sini," ajak Desti masih dengan kekehannya.
Bagaimana bisa tenang jika pertanyaan mengejutkan tiba-tiba datang? Tari berjalan menduduki kursi di hadapan Desti.
Hening beberapa saat, Tari angkat suara sekaligus mengalihkan topik pembicaraan. "Ma ...," Desti berdehem mengangkat pandangan. "Tari kangen sama bunda," cicit Tari seraya menunduk.
Tak langsung menjawab, Desti tersenyum samar. "Besok kita ziarah, ya." Balasan tanpa keraguan dari Desti membuat Tari mengangkat pandangan memandang netra sang mama. Dengan mata berbinar, Tari bertanya, "Beneran? Besok ... Mama gak kerja?"
"Iya, besok Mama mau libur dulu, deh, 'kan, jarang-jarang juga, habisin weekend sama kalian." Balasan dari Desti lagi-lagi membuat Tari bersorak dalam hati. Disentuhnya punggung tangan kanan Desti, lalu diambilnya untuk memberi kecupan singkat di sana. "Makasih, Ma."
Tari bersyukur, meski Desti bukan ibu kandungnya, dia mengerahkan segalanya layaknya ibu kandung. Memang, ayahnya-yang sejak dia menikahi Desti, semua anak-anaknya memanggil papa-tak salah memilih. Desti wanita yang baik, juga pengertian. Lagi-lagi Tari harus bersyukur karena diberi wanita dengan kebaikan luar biasa seperti Desti.
***
Di sini-lah Tari sekarang. Duduk di antara dua pusara yang berdampingan. Menghadap ke salah satunya dan mengelus seonggok batu yang diberi tulisan, satu tetes bulir bening berhasil lolos saat Tari mengedipkan matanya. "Bunda ...."
Tanpa bisa dicegah, gelanyar tak nyaman mencuat memicu rawan hati. Rasa penyesalan kembali menjajah merajai sanubari. Kalimat andai ini, andai itu, kembali menyapa berusaha menguasai pikiran.
Tapi, semua rasa itu kalah oleh belenggu rindu yang menggebu. Tari ingin mengobatinya-meski harus menekan rasa bersalah. Walau rindunya-selalu-tak pernah benar-benar terobati. Ya, karena rindu Tari takkan pernah berujung temu.
Olive-yang juga ikut berziarah, memandang Tari dengan perasaan sedih. Dia juga sangat merindukan bundanya-tentu saja.
"Olive kangen sama bunda," lirih Olive, "Mama baik. Mama rela libur kerja demi kita, bun." Desti-yang berada dihadapan Olive-mendongak. Memandang Olive lalu tersenyum tipis.
Olive terus berceloteh, sedang Tari, hanya terdiam dengan air mata yang sesekali meluruh. Tangannya tak henti mengusap batu nisan dan tanah yang telah diberi keramik.
Kilasan kejadian kelam terus terbayang tanpa sanggup Tari alihkan. Semua berputar menguasai ingatan hingga Tari tak mampu menghentikan. Dia memejamkan matanya sejenak. Sekadar menguatkan tapi tak lantas terlupakan. Dia menggeleng pelan, lalu segera mengambil keputusan. "Ma, Tari ... tunggu di mobil, ya?"
Sekilas, Desti memandang netra sayu Tari. Raut terlukanya sungguh membuat hati Desti sedikit sesak. Tersenyum, dia mengangguk memaklumi.
Mendapat izin, dengan segera Tari beranjak sedikit berlari dan memasuki mobil. Menyandarkan tubuhnya, dia kembali terisak. Matanya ia pejamkan dengan mulut yang tak absen berkata, "bunda, maaf ... Tari gak kuat."
***
"Teman lama Mama mau main ke rumah. Bantu Mama siapin makanan buat mereka, ya?" Wanita paruh baya memandang kedua putrinya sekilas. Lalu kembali mengalihkan atensi pada jalan raya di depannya.
Gadis yang menduduki kursi samping kemudi menimpali. "Mereka? Memangnya, berapa orang, Ma?"
"Um, sepertinya cuma dua orang. Dia mau bawa anaknya, soalnya ...," Desti memandang seorang gadis di belakang dengan kaca spion di mobilnya, lalu berkata, "Kalo gak salah, anaknya satu tahun lebih tua dari kamu, Tari."
***
"Tari, tolong buka pintunya, ya. Sepertinya itu teman Mama." Tari mengambil langkah ke pintu utama. Dibukanya pintu itu perlahan, lalu sosok wanita paruh baya muncul dengan seorang gadis di sampingnya. Setelah terdiam cukup lama, Tari menggumamkan sebuah nama. "M-maudy?"
"Eh, sudah datang? Mari masuk. Tari, ayo, ajak tante Meisya masuk!" Seruan dari sang mama menyadarkan Tari. Tersenyum, dia mengajak kedua tamu untuk masuk ke rumahnya.
"Lo ... pacarnya Aksara, 'kan?" Gadis itu terhenyak. Pertanyaan tiba-tiba yang terlontar saat suasana sebelumnya sangat hening tanpa suara, menyadarkannya bahwa dia tak duduk sendiri di teras rumahnya.
Tersenyum kaku, dengan sepenuhnya ragu, dia menjawab, "Um, sebenernya-"
"Gak apa. Lo pantes, kok, dapatin Aksara. Dia berhak bahagia." Selaan dari lawan bicaranya membuat Tari terdiam menelan kembali perkataannya.
"Sebelumnya, gue Maudy. Lo udah tahu, 'kan?" Tari tersenyum canggung. " Gue Tari."
Mengangguk sekilas, Maudy kembali berkata, "Gue ... sahabatnya Aksara. Kita berteman cukup lama. Sejak kita SD, mungkin?" Maudy terkekeh. Memorinya memutar Aksara yang menjadi teman baik Maudy satu-satunya. Aksara yang selalu ada di suka maupun dukanya. Aksara yang dulu selalu menghadirkan tawa. Aksara yang dulu sangat ceria. Ya, sebelum cerianya dibawa pergi oleh orang tersayangnya.
"Tapi, tante Eva bilang, kak Aksara pernah punya pacar. Bukannya itu ... lo?" Maudy tersenyum tipis. Sedikit tak rela saat mamanya Aksara telah bertukar cerita kepada selainnya.
Mengenyahkan perasaannya, Maudy membalas, "Ya, tante Eva selalu mengira kita pacaran. Tapi sebenarnya, kami hanya teman."
Tari mengangguk samar lalu diam mendengarkan. Memberikan kesempatan pada Maudy untuk melanjutkan cerita jika memang dia menginginkan.
"Dulu, Aksara orang yang sangat ceria. Dia sering bercerita tentang apapun. Terutama, tentang sosok inspirasi yang sangat ia idolakan-papanya." Maudy kembali mengingat binar bahagia saat Aksara menceritakan sosok papanya.
"Tapi, sejak dia mengetahui sosok 'papa' yang sebenarnya, dia hancur sehancur-hancurnya. Dia merasa kecewa, bahkan dia tak ingin melihatnya lagi.
"Saat itu, sehari setelah kami menyelesaikan ujian kelulusan di SMP yang sama, dengan keadaan yang sangat berantakan, Aksara nyamperin gue. Dia cerita semuanya. Dia menunjukkan sisi terpuruknya. Dia membutuhkan seseorang untuk berada di sisinya.
"Gue dengerin dia, gue berusaha memahami posisi dia, gue dukung dan nyemangatin dia, juga, gue nahan diri buat nasihatin dia.
"Karena terkadang, orang yang berada di posisi seperti Aksara dulu, hanya perlu di dengarkan. Mereka tak butuh banyak timpalan yang justru semakin membuat mereka semakin tertekan.
"Lalu di akhir cerita ...," Maudy memandang Tari sekilas. Tersenyum getir, dia berkata, "Aksara minta gue jadi pacarnya." Maudy menghela napas berat. Rasa sesak kembali menyeruak saat kenangan menyakitkan kembali diingatnya.
"Tapi ... gue nolak dia. Gue bilang, gue gak bisa jadi pacar dia. Gue udah punya pacar sehari sebelum Aksara tembak gue. Aksara kecewa sama gue. Dia mengira gue gak mau nemenin dia di titik rapuhnya. Dan sialnya ...," Maudy mengadahkan pandangan. Mencegah bulir bening yang mendesak untuk keluar.
"Ayah gue pindah tugas ke Bogor. Dan kepergian gue seolah membenarkan perkiraan Aksara. Gue ... jahat, ya?" Akhirnya, pertahanan Maudy tumbang. Bulir bening berhasil lolos melewati pipinya. Seakan terbawa suasana, Tari mendekat lalu memeluk Maudy dari samping dan menggeleng perlahan. Sekadar menenangkan dan meyakinkan bahwa Maudy tak bersalah.
"Gue gak bisa bayangin hidup Aksara setelah gue pergi. Tapi yang pasti, dia akan benci sama gue. Dia gak akan sudi lihat wajah gue." Maudy mengingat kejadian tempo hari. Saat dirinya berniat menemui Aksara untuk meminta maaf-tapi yang Maudy lihat, Aksara menggandeng tangan Tari dengan pasti. Dan mengenalkan Tari sebagai pacarnya.
Lalu beberapa hari setelahnya, dia melihat Aksara tengah menyumpalkan earphone ke telinga Tari. Dan mengucapkan beberapa kalimat yang tak bisa Maudy dengar. Maudy tersenyum tipis, kala netranya melihat tatapan Aksara yang mengarah pada netra Tari.
Tatapannya, tatapan yang beberapa tahun silam Aksara berikan hanya pada Maudy seorang. Kini, tatapan itu sudah berpindah. Maudy sadar, dia terlambat. Posisinya di hati Aksara, telah terganti oleh seseorang. Dan mungkin, Maudy akan menyesalinya sampai kapanpun.
Tapi ... jika bahagianya Aksara adalah Tari, Maudy bisa apa?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top