AKTARI || 11. Tentang Hujan dan Kisahnya

"Kak Aslan?"

***

Dengan gerakan refleks, Tari sedikit menepis lengan sang kasir ber-name tag Cici itu hingga membuatnya sedikit tersentak kaget.

Aish, ingatkan Tari untuk meminta maaf padanya, ya.

"Gak usah, Kak. Aku bisa bayar sendiri."

"Gak apa. Nih, Mbak." Ragu, Cici mengangkat tangan perlahan berniat mengambil dua lembar uang yang disodorkan.

"Gak usah, Kak." Sedikit kesal, Cici kembali menarik tangannya.

"Ambil, Mbak." Drama macam apa ini? tanya Cici dalam hati. Tapi tak ayal, tangan Cici bergerak mengambil uang tersebut.

"Jangan!" Cici merotasikan bola mata dengan kentara. Lalu sebuah tangan berbeda kembali menyodorkan uang ke arahnya.

Aksara.

Tak mau kembali menyaksikan perdebatan para ABG labil di hadapannya, sang kasir lantas sedikit merampas uang dari Aksara dan dengan cepat memproses pembayarannya.

Pandangan Aslan dan Aksara berada pada satu garis lulus. Seolah berkomunikasi lewat tatapan mata, keduanya mengabaikan Tari yang berada di tengah-tengah mereka.

Merasa jengah, kali ini Aslan mengalah dengan meninggalkan mereka berdua. Iya, cuma mereka berdua. Yang lain, tak Aslan anggap ada.

"Ini Kak, buat ganti uang tadi." Tari menyodorkan beberapa lembar uang pada Aksara.

"Gak usah," tolak Aksara tak mengalihkan atensi dari jalan di depannya.

"Gak apa, Kak. Aku-" Aksara melirik Tari sekilas. Mendorong lengan Tari lalu kembali fokus menyetir setelahnya. Pasrah, Tari mengucap terima kasih dan memasukan kembali uang yang dia pegang ke dalam dompet kecil pada sling bag-nya.

Tari menautkan kedua jemarinya kala melihat tak ada lagi langit biru yang menenangkannya. Langit itu sudah tertutupi oleh awan hitam yang menyelimuti sepenuhnya. Dan semakin gelisah, kala rintik air mulai menjatuhi kaca mobil di hadapannya.

Perjalanan pulang masih cukup jauh. Apa dia harus mendengar rintikan hujan yang terasa menyesakan?

Tari tak tahu saja, sedari tadi Aksara menyadari gelagat anehnya. Dengan satu tangan yang bebas, dia meraih earphone yang tergeletak di dashboard mobil dan menyerahkannya pada Tari.

"Pake. Tidur."

Tari sedikit tersentak. Tersadar, dia meraihnya-memasangnya di kedua telinga setelah sebuah lagu sudah terhubung dengan earphone-nya. Lalu dia menyandarkan tubuh mencari kenyamanan dan memejamkan mata setelahnya.

***

"Sayang ... mainnya jangan jauh-jauh!"

Dua orang gadis kecil berlarian dengan riang. Sesekali melompat dan tertawa seraya saling mengejar satu sama lain. Tetesan air dari langit menjadi pendukung keceriaan mereka. Tiap tetesan rintiknya mereka nikmati kala menusuk pori-pori.

"Olive ... ayo, kejar Kakak!" Gadis berusia delapan tahun tertawa tanpa menghentikan langkahnya.

"Kak Tari ... Olive ... sudah, sini Sayang. Sudah terlalu lama. Nanti kalian demam!" Seruan dari wanita dewasa tak mereka hiraukan. Membuatnya menghampiri dengan payung untuk melindunginya dari rintikan air hujan. "Sayang ... ayo, masuk rumah. Gak baik main hujan-hujanan."

"Bentar, Ma, Kak Tari belum Olive tangkap!" Gadis berusia enam tahun berseru. Kembali mengejar Tari yang berhasil membuka pagar halaman rumahnya.

"Jangan ke jalan raya, Sayang! Bahaya!" Wanita paruh baya berlari. Menyusul kedua anaknya untuk menjauhi jalan raya.

"Olive! Hahaha ... tangkap Kakak, ayo!"

Olive tertawa. Berlari semakin cepat agar bisa menangkap sang kakak.

"Sayang, berhenti! Jangan main di jalan raya! Bahaya!" Seruan dari wanita itu kian tenggelam oleh bunyi rintikan hujan yang semakin lebat. Lantas dia terus berlari. Hendak menyusul untuk menghentikan kedua anaknya.

"Dapat! Hahaha ...." Olive memeluk Tari erat-mencegah Tari agar tidak kabur. Keduanya tertawa. Tak menyadari keberadaan ibunda mereka yang masih berusaha menghampiri dari jarak tiga meter.

Pelukan mengendur, Tari memanfaatkannya. Dengan sekuat tenaga, ia kembali berlari tanpa arah. Membuat sang bunda sedikit tersentak lalu segera berlari saat dilihatnya sebuah mobil putih melaju dengan kecepatan penuh.

"TARI!"

"BUNDA!"

Sang bunda mendorong tubuh mungil Tari ke rerumputan. Menggantikan posisi dengan konsekuensi yang ia terima. Dia terpental sejauh sepuluh meter. Kepalanya berlumuran darah. Membuat rintikan air hujan yang mengalir berubah warna menjadi semu merah sesaat setelah menjatuhi kepalanya.

Olive tercengang. Terlalu sulit mencerna kejadian barusan. Sedang Tari, dunianya seolah berhenti. Masih terduduk di rerumputan, dia memandang kosong sang bunda yang tak berdaya. Tanpa sedikitpun pergerakan menandai adanya kehidupan.

Tak ada yang terdengar. Hanya bunyi rintikan air hujan yang semakin lama semakin memilukan.

Tanpa sadar, tetesan air mata mulai berjatuhan. Pandangannya kosong menerawang. Tak mampu berbuat apapun selain terdiam mencerna kejadian yang terlalu mengejutkan.

Beberapa menit berlalu dengan kebisuan. Hingga Tari tersadar oleh teriakan nyaring Olive, dia berteriak, "Bunda!"

"Kak Tari-hiks ... bunda kenapa? Hiks."

"Bun-da!" Tari berlari. Menghampiri sang bunda dengan napas tersendat.

"Kak Tari ... hiks. Bunda-hiks." Olive mengguncang lengan Tari. Menatap banyaknya darah yang menyatu dengan air hujan dengan perasaan takut.

"Bunda ...." Tari mengguncang lengan sang bunda. Air matanya menyatu dengan tangisan langit yang semakin deras.

"Tari,"

"B-bunda ... hiks,"

"Hei,"

"B-bun-" Tari mengerjap, "Kak A-Aksara?" Tari memandang ke sekeliling. Lalu satu tetes bulir bening menghias pipinya kala menyadari dia masih berada di dalam mobil.

"Mimpi buruk?" Tari memandang netra Aksara. Memastikan bahwa yang tadi mimpi. Mimpi yang sekian lama tak datang di tidur Tari. Kini, mimpi itu kembali.

"Kak ... b-bunda ...." Setetes air bening kembali menghiasi pipi Tari. Membuat Aksara lantas mengarahkan ibu jari untuk menghapusnya perlahan. Lalu dia merengkuh Tari ke dalam pelukannya. Mengelus surai Tari lembut berniat menenangkannya.

"Ini semua salah aku-hiks. Harusnya-hiks ... aku gak keukeuh main hujan-hujanan dulu." Napas Tari tersendat. Bahunya naik-turun. Beberapa anak rambut menempel di pipi karena bulir bening yang turun tak henti.

"Harusnya aku t-turutin bunda, dulu. Aku gak usah b-buka pagar juga-hiks." Rupanya, kejadian masa lalu tak pernah benar-benar pergi dalam ingatannya. Harusnya, dia menuruti perkataan bundanya agar tetap diam di rumah saja. Tapi justru dia keukeuh ingin bermain dengan hujan, membuka pagar dan berlari ke jalan raya, lantas menyuruh Olive untuk mengejarnya.

"B-bunda pergi-hiks. Dia pergi karena aku-hiks." Sederet kalimat itu seakan telah bercokol kuat dalam diri Tari. Sebuah penyesalan kembali mencuat menguasai relung hati.

"Sstt, tenang dulu."

Beberapa menit berlalu. Aksara menunduk kala ujung jaketnya tak lagi terasa ditarik oleh gadis di hadapannya. Dilihatnya netra Tari yang terpejam, dadanya sedikit berdesir aneh kala mulut Tari bergerak bergumam, "B-bunda." Dia tersenyum tipis, harus memutari-lagi-komplek ini, ya?

Aksara memang tak tahu apa yang terjadi. Tapi dia cukup yakin, Tari menyimpan kenangan kelam perihal hujan.

***

Pukul tujuh malam, Aksara dan Tari sampai di kediaman Tari.

"Kak, mampir dulu?"

"Eh, udah pulang, ya? Mampir dulu, yu. Makan malam sudah siap." Mulut Aksara kembali bungkam kala sebuah suara mengudara di antara mereka.

Tersenyum sedikit kaku, akhirnya Aksara memutuskan untuk mampir dahulu lalu membuntuti kedua wanita dihadapannya.

"Tari, sini, Sayang. Makan malam sama Mama!" Sebuah suara menyambut mereka saat pintu utama baru terbuka.

"Eh, sama siapa?" Tari duduk dihadapan Desti. Lantas menyuruh Aksara duduk di samping kanannya. Kini, pandangan orang rumah tertuju padanya.

"Ini Kak Aksara, Ma, Pa. Kita satu sekolah." Aksara sedikit terkejut saat melihat sepasang suami istri dihadapannya. Melihat keterkejutan Aksara walaupun samar, lantas Tari berbisik melanjutkan, "Mereka Mama sama Papa aku, Kak." Tak lama, bi Sri menghampiri dengan piring besar berisi menu makan malam untuk hari ini. "Dia ... Bi Sri," lanjut Tari menahan tawa.

Aksara berdehem. Menyentuh ujung hidungnya gerogi lantas balas tersenyum kaku saat bi Sri melempar senyum ke arahnya.

"Ayo, dimakan," ajak Ghani mengisyaratkan semuanya untuk memulai mengisi perut mereka.

Beberapa kali, Olive berdehem menggoda. Melirik Tari dengan alis naik-turun saat mereka bertemu pandang. Lalu semua dibuat terperanjat kala Olive tiba-tiba berteriak, "Loh, dia Kakak yang di mall-" Tari membekap mulut lemes Olive yang terduduk di samping kirinya. Desti dan Ghani saling berpandangan melempar senyum tipis hampir bersamaan.

"Apaan sih, lo, Liv, ember banget tu mulut," kesal Tari seraya melepas bekapannya.

"Kak, bahasanya, dong," peringat Ghani pada Tari. Olive menjulurkan lidah meledek. "Olive, jangan teriak di depan makanan, Sayang, yang khidmat kalo sedang makan." Tari melirik Olive dengan pandangan mata seolah berkata, mampus.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top