AKTARI || 07. Aku, Kamu, Earphone, dan Hujan
Tangannya terus bergerak merapihkan barang-barang di atas meja dengan telaten. Menghiraukan handphonenya yang tak berhenti bergetar. Sesekali dia menggerutu, memaki sahabat-sahabatnya yang memastikan Tari agar latihan seni musik di sekolahnya.
Sesaat, Tari menghela nafas beratnya dan menyampirkan tasnya di bahu kanannya. Lalu Tari mengambil handphonenya dan mengetikan balasan disana.
Tari terlonjak kaget saat ditemukannya sesosok pria sedang berdiri membelakangi tembok dengan tas di bahu kiri dan memasukan salah satu tangannya pada saku celananya. Tangannya yang bebas ia biarkan memainkan handphonenya.
Tari menutup pintu kelasnya perlahan dan berdehem singkat.
"Nungguin siapa Kak?" tanya Tari sembari melihat sekeliling.
Pria tadi memasukan handphonenya ke dalam buku dan memandang Tari lekat. "Lo."
"Kak Aksara duluan aja. Aku ada latihan seni musik hari ini."
Tepat setelah Tari menyelesaikan ucapannya, Aksara merubah raut wajahnya menjadi semakin dingin. Tatapan nya menajam. Membuat siapa saja yang menjadi objek penglihatannya akan merasa tertikam.
Tari menyelipkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinga dengan sedikit gerogi. Lalu tanpa sepatah dua patah kata, Aksara langsung melenggang meninggalkan Tari yang menyimpan tanda tanya besar di kepalanya.
***
Entah apa yang salah. Semenjak kejadian Aksara yang menunggu Tari pulang siang itu, Aksara tak lagi menjemput Tari. Aksara tak lagi mengirimi Tari sebuah pesan. Aksara tak lagi melirik Tari bila berpapasan.
Dan jujur, Tari merasa sedikit kehilangan.
Di bawah langit yang mendung, Tari melangkahkan kaki jenjangnya dengan tergesa. Tak ingin sedikitpun merasakan tetesan air dari langit.
Di pinggir lapangan, tak sengaja Tari melihat seseorang pria remaja dengan wajah yang sangat familiar. Hal itu membuat Tari refleks menghentikan lagkah kakinya terkejut.
Orang yang dipandangi melakukan hal yang sama. Dia menghentikan kegiatan melempar bola basketnya dan memandang Tari speechless.
Gerak waktu terasa berhenti seketika. Pasokan udara terasa menghilang entah kemana. Jantung keduanya dilanda gempa luar biasa.
Perlahan tapi pasti, orang yang Tari pandangi menghampiri Tari. Pandangan keduanya tak lepas sama sekali. Membuat aktifitas jantung lebih cepat dua kali lipat.
Jarak dua langkah, keduanya tak mengeluarkan suara. Sibuk dengan keterkejutan yang luar biasa.
"Zee," Tiga puluh detik kemudian, barulah terdengar suara. Dan itu berasal dari seseorang di hadapan Tari. Dia terus memandang lekat kedua mata Tari. Dan mencoba membaca arti dari tatapan Tari. Entah itu tatapan tak percaya maupun tatapan penuh luka.
Ya, dia cukup mengerti tatapan yang Tari tunjukan. Netranya seolah menceritakan semuanya. Menceritakan luka lama yang masih menganga.
Tapi Tari tak sanggup berbicara. Tak ingin lagi memandang seseorang di hadapannya, Tari mengalihkan pandangannya.
"Apa kabar?" Refleks Tari memandang kembali lawan bicaranya.
Tinggi sekali keberaniannya. Setelah apa yang diperbuatnya di dua tahun silam, dia masih menanyakan kabar Tari? Kemana dia selama ini?
"Baik,"
Hening kembali. Tak ada suara setelah sepatah kata yang dilontarkan Tari dengan susah payah. Tari menunduk memandang sepatunya sendiri. Tak ingin kembali menatap apa yang sebenarnya ingin ia tatap.
"Maaf," lirihnya pelan. Cairan bening berhasil lolos dari ujung mata Tari. Segera, Tari menghupusnya diam-diam.
"Aku bisa jelasin." Tari mendongak. Dengan cepat dia menggeleng.
"Gak perlu. Aku pulang." Tari bersiap melangkahkan kakinya. Tapi orang tadi mencekal pergelangan Tari dan berujar lembut, "mendung, Zee."
Tari mendongak menatap cakrawala. Perasaannya semakin tak tenang dan gelisah. Tari melepaskan cekalan di tangannya perlahan dan berujar ragu, "aku gak pa-pa."
"Kamu gak bisa bohong sama aku. Ayo, aku antar kamu pulang." Pria tadi kembali mencekal tangan Tari. Kali ini sedikit kasar. Tak ingin Tari kembali melepaskan kembali cekalannya.
Tari meringis pelan. "Lepasin. Aku bisa sendiri." Ucapan dari Tari tak diindahkannya. Pria tadi semakin mengencangkan cekalannya dan melangkahkan kakinya menuju parkiran.
"KAK ASLAN!" Keduanya berhenti. Tatapan luka kembali Tari perlihatkan.
"Sudah kubilang, aku bisa sendiri. Jangan selalu memaksa dan jangan pernah temui aku lagi," pinta Tari dengan menekan kata 'jangan'. Tari kembali melangkahkan kakinya. Pria yang disebut Kak Aslan itu terdiam sejenak sebelum tersadar dan mengejar langkah Tari.
"Zee!" Tak ada sahutan. Dalam hati, Tari merutuk kesal. Sial. Kenapa tak ada siapa-siapa disini.
"Zee berhenti. Aku bisa jelasin semuanya." Tari semakin mempercepat laju langkahnya.
Berhasil mengejar, Aslan kembali meraih pergelangan tangan Tari.
"Awh. Sakit Kak," ringis Tari sembari membalikan tubuhnya menghadap Aslan.
"Aku bisa jelasin semuanya, Zee." Entah kali ke berapa kalimat itu Aslan utarakan. Tapi tak Tari hiraukan.
Tari terus mengerakan pergelangan tangannya berharap dapat melepaskan cekalan Aslan.
"Aku waktu itu-"
Bugh.
Bogeman dari seseorang membuat Aslan yang tak siap sedikit terhuyung ke belakang. Membuat sudut bibirnya sedikit mengeluarkan cairan merah yang biasa disebut darah.
Tari sangat terkejut. Perlahan, Tari melihat pelaku yang memberi Aslan sebuah bogeman.
"K-Kak Aksara?"
"Jangan kasar. Dia gamau sama lo."
Megelap kasar sudut bibirnya, Aslan berujar tak suka. "Jangan ikut campur urusan orang lain."
"Dia pacar gue. Gue pantas ikut campur." Ucapan datar dari Aksara mampu membuat kedua lawan bicaranya terdiam seketika. Aslan menatap Tari meminta penjelasan. Yang ditatap membuang muka dan meraih lengan Aksara lalu menggenggamnya perlahan.
"Ayo pulang, Kak." Setelahnya, Tari membawa Aksara meninggalkan Aslan sendirian. Yang ditinggalkan, dia bergeming. Memperhatikan dua sejoli sampai tak terlihat meninggalkan parkiran sekolah.
***
Suasana canggung tercipta begitu saja. Keduanya diam tanpa sepatah kata. Tak ada yang berniat memulai bicara.
Aksara dengan pikirannya, Tari dengan rasa gelisahnya.
Aksara bisa membaca gerak-gerik Tari lewat kaca spion dari motornya. Sedari tadi pandangan Tari tak fokus, terus berpindah dari satu titik ke titik lain. Tangannya tak bisa diam. Kadang ia tautkan, kadang ia lepas, kadang ia gunakan untuk memainkan tali ranselnya. Satu yang Aksara tahu, Tari sedang tidak baik-baik saja.
Aksara menghentikan motornya saat lampu merah terlihat oleh matanya. Perlahan tapi pasti, Aksara meraih keduatangan Tari dan melingkarkannya pada pinggannya.
Tari tersentak kaget. Sedetik kemudian dia menyenderkan kepalanya pada punggung Aksara. Hal itu mampu membuatnya sedikit tenang. Tari merasakan suatu kenyamanan.
Motor kembali Aksara lajukan saat lampu merah berubah menjadi hijau.
Tari semakin mengeratkan pelukannya saat dahinya merasakan tetesan air. Sepertinya, hujan mulai turun. Menyadari hal itu, Aksara menepikan motornya untuk berteduh di halte yang dia temui.
Keduanya turun dan setengah berlari menghampiri bangku halte dan lantas mendudukinya.
Dalam diam nya, Tari semakin gelisah. Telapak kakinya terus ia gerakan tak beraturan. Tangannya ia tautkan. Bibirnya terus ia gigit ke dalam. Matanya ia pejamkan.
Hingga Tari merasakan kedua telinganya diselipkan sesuatu, Tari membuka mata dan mendongak menatap Aksara di depannya.
"Dengar lagunya. Jangan dengar suara hujannya. Jangan buka mata sebelum reda. Tenang, ada gue di samping lo."
Aksara duduk di samping Tari dan memutar sebuah lagu di handphonenya. Tangan Aksara bergerak menyenderkan kepala Tari pada bahunya. Dan untuk kesekian kali, Tari merasakan kenyamanan saat bersama Aksara.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top