AKTARI || 06. Pagi yang Memalukan
"Yang tadi di mob-"
"Gak usah bahas sekarang," potong Aksara sembari melangkahkan kakinya mendekati pintu sebuah Cafe. Lalu setelahnya, Tari mengekor di belakang Aksara.
***
"Makasih," ucap Tari setelah turun dari motor dan melepaskan helmnya.
"Handphone lo." Aksara berujar sembari menengadahkan telapak tangannya.
"Buat apa?" tanya Tari bingung dan menyerahkan handphonenya perlahan. Selang satu menit, Aksara mengembalikan handphone Tari dan segera pamit pulang ke rumahnya.
***
"Belanjaan gue mana?" Saat Tari berhasil membuka pintu rumah nya, dia langsung disuguhkan pertanyaan yang membuatnya refleks menepuk dahi lebamnya. Sedetik kemudian, Tari meringis kesakitan.
"Hehehe, gak keambil, Liv." Ucapan dari Tari, mampu membuat mood gadis pms di depannya menjadi buruk seketika.
"Loh, ko' gak keambil sih, Kak? Gue 'kan udah ingetin lo berkali-kali. Bahkan gue spam chatt lo biar gak lupa tadi," balas Olive kesal.
Tari mengelak, "bukan lupa, Liv, belanjaannya ketinggalan di Mobil teman gue tadi."
"Ko' bisa ketinggalan sih, Kak? Pokonya gue gak mau tau ya, lo harus ambil lagi belanjaan gue. Atau lo beli lagi deh ke alfamart sana."
Sabar, Tari ... sabar. Macan betina jangan di galakin.
"Iya elah. Gue bersih-bersih dulu. Seragam sekolah aja masih nempel di badan gue," pasrah Tari.
"Gue gak peduli," cibir Olive kesal.
Awas lo, ya. Waktunya gue pms nanti, gue yang bakal terkam lo hidup-hidup.
***
Setelah keluar dari kamar mandi, Tari mengambil handphonenya yang tergeletak diatas ranjang kala mendengar notifikasi disana.
Aksara
P
Gw d dpn. Blnjaan lo ktnggln.
Tari mengernyit heran saat melihat pesan yang masuk. Kapan gue ... oh! Langsung saja Tari keluar dari kamarnya dan menuruni tangga untuk dapat sampai kedepan rumahnya.
"Makasih," ujar Tari tatkala menerima sebuah kantung keresek dari Aksara.
Aksara berdehem singkat lalu dengan wajah datarnya, dia berujar, "besok gue jemput."
Belum sempat Tari mengucapkan lagi sepatah dua patah katanya, Aksara langsung melenggang bersama motor besarnya.
"Cepet amat," sinis Olive tatkala melihat Tari memasuki rumah. Bodo, Liv. Bodo.
"Nih," ujar Tari seraya menyerahkan kantung belanjaan dengan wajah ketusnya.
"Makasih. Lo the best pokonya."
"Iya, lah. Dari du-"
"Tapi upit."
Bunuh adik sendiri masih dosa gak, ya?
***
Tling.
Tari berhenti menyuap nasi gorengnya dan meraih handphonenya yang tergeletak di atas meja makan.
Uhuk. Tari tersedak kala netranya menangkap sebuah pesan yang masuk berbunyi, gw d dpn. Cptn.
Langsung saja Tari menjangkau segelas susu putih dan meneguknya hingga tersisa setengah.
"Liv, gue duluan, ya. Temen gue udah jemput. Lo dianterin mang Dadang, 'kan?" tanya Tari sembari beranjak dari kursi dan berjalan tergesa-gesa menghampiri pintu utama.
"Itu-"
"Uang sakunya udah, 'kan? Bilang ke bibi jangan lupa kunci pintu kalo lo udah berangkat," sanggah Tari masih tetap berjalan.
"Tapi-"
"Oh, ya. Bilang ke mang Dadang juga, gue-"
"Lo mau kemana sih?" potong Oliv cepat. Tari mengurungkan niatnya untuk membuka knop pintu dan membalikan badannya menghadap Oliv. Kerutan samar, Tari perlihatkan.
"Menurut lo, gue berangkat pagi-pagi pakai seragam beginian, mau kemana selain ke sekolah?" sensi Tari heran seraya menunjukan seragam yang dikenakannya.
Punya kakak, gini amat, ledek Oliv dalam hati.
"Ngapain?" tanya Oliv sinis.
"Ck. Belajar, lah. Lo kenapa sih? Udah ah, gue mau berangkat. Bye," final Tari.
Klek.
"KAK." Terlambat. Tari sudah keluar dari rumah. Tiba-tiba Olive terkekeh geli akan tindakan bodoh kakaknya. Sudah lah. Biar Tari menanggung malu sendiri nanti.
"Yuk, Kak," ajak Tari hendak menaiki jok belakang motor Aksara.
"Tunggu," cegah Aksara mengurungkan niat Tari menaiki motornya. "Tas lo ... mana?" lanjutnya heran.
Refleks Tari menengok punggungnya perlahan dan terkekeh kecil dengan wajah menahan malu. "Ketinggalan hehe. Tunggu, Kak. Aku ambil sekarang." Tari terus menundukan pandangannya dan berlari kecil memasuki rumahnya kembali. Meninggalkan Aksara yang diam-diam sedikit menarik sudut bibirnya. Lucu.
Klek.
"TAS GUE!" teriak Tari heboh kala berhasil membuka knop pintu dan menutupnya kembali.
Momen yang ditunggu Oliv pun tiba. Bahkan, Oliv berharap Tari baru menyadari ketertinggalan tasnya pasca sampai di sekolah. Tapi Tuhan masih berbaik hati, pikirnya.
Tawa Olive menggelegar ditengah ruangan yang sepi ini. "Lagian ... lo ko' bego sih, mau berangkat sekolah tapi tasnya ditinggalin. Hahaha."
"Ko' lo rese' sih. Kenapa gak kasih tau gue coba? Gue malu sama temen gue jadinya," sewot Tari dengan muka merah padam seraya menghampiri meja makan.
Tawa Oliv semakin menggelegar memecah apa-apa yang ada di meja makan. Ngga deng:v
"Gue udah mau kasih tau tadi. Lo sih, motong ucapan gue terus," bela Oliv di sela-sela tawanya.
"Tau ah. Gue kesel sama lo." Tawa Oliv semakin sulit di kontrol. Menemani perjalanan Tari menuju pintu setelah berhasil mengambil kasar tasnya.
Sebelum membuka knop pintu, Tari mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Berharap dapat menetralisir rasa malunya sebelum kembali menemui Aksara.
"Kak! Aku turun di depan gerbang aja ya? Gak usah sampai parkiran," pinta Tari seraya mendekatkan mulutnya pada telinga Aksara.
"Kenapa?"
Ntar jadi gosip ka, "gak papa sih,"
"Gak usah nawar, gue bukan supir ojek."
Hah? Rese'. Selanjutnya Tari memilih diam di tempat tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Bersiaplah dirinya yang sebentar lagi menjadi buah bibir siswa siswi seantero sekolah.
"Makasih, Kak." Tari menyerahkan helm pada Aksara dan menundukan pandangannya. Mulai risih dengan keadaan sekitar yang mulai berbisik-bisik membicarakan dirinya. "Aku duluan," lanjut Tari dibalas deheman singkat oleh Aksara.
"Dia murid baru itu, kan?"
"Ko' bisa bareng Kak Aksara, sih?"
"Kemarin dibopong pas pingsan, sekarang berangkat sekolah bareng. Bisa-bisa besok jadian tuh."
"Apa mungkin mereka ada hubungan saudara? Ko' bisa barengan gitu ya? Jarang-jarang Kak Aksara gitu."
"Cantik sih, dikit. Tapi gak cocok sama Aksara. Cocokkan gue kemana-mana."
Bisikan-bisikan itulah yang menjadi penggiring Tari menuju kelas di sepanjang jalan. Membuat Tari semakin risih dan mempercepat langkahnya. Resiko urusan sama orang tampan, ya gini. Dan Tari tak suka.
***
"HAH?" Pekikan keras dari Yasmin membuat beberapa orang di kantin memandang risih pada meja meraka berempat. Hal itu sontak membuat Tari, Hilda dan Sofa merotasikan bola matanya. Jengah dengan ekspresi berlebihan yang selalu Yasmin berikan.
"Terus?" tanya Hilda kalem.
"Sebenarnya gue gak ngerasa ditembak, sih. Orang dia gak nanya gue bersedia atau nggak nya, kan?" tanya Tari dibalas anggukan samar oleh ketiga temannya.
"Terus?" desak Yasmin tak sabaran.
"Ck. Gak ada terusannya. Udah segitu doang."
"Tapi menurut gue, orang bentukan Kak Aksara itu pantang main-main deh. Setau gue, dia gak pernah, tuh, macarin anak sekolah sini."
Yasmin dan Hilda kembali mengangguk samar menyetujui ucapan Sofa. Sedangkan Tari, dia mengedikan kedua bahunya acuh dan kembali melahap mie ayamnya.
Tak sengaja netra Tari menangkap pemandangan seorang siswi yang menghampiri meja kantin yang ditempati Aksara dan dua temannya. Siswi itu menyerahkan kotak makan biru yang dibalas sangat datar dan dingin oleh Aksara. Bahkan Aksara langsung beranjak pergi meninggalkan siswi yang masih membisu ditempat.
Tari menghela nafasnya berat. Tak seharusnya ia memperhatikan Aksara seperti ini.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top