AKTARI || 01. Sister Time

Sinar mentari pagi enggan masuk karena tirai jendela yang masih tertutup. Dering alarm ketujuh tak cukup membuatnya terbangun. Bising, namun tak sedikit pun mengusik cewek yang masih terpejam dengan sedikit dengkuran.

Sementara di balik pintu porselen, cewek berumur lima belas tahun mengetuk pintu berkali-kali. Berharap pemilik kamar menyahut walau sekali. Tapi, nihil. Rupanya, sang empu tak sedikit pun terganggu dengan tidur damainya.

"WOI! KAK TARI! GUE HARUS NGAPAIN BIAR LO BANGUN?!"

Akhirnya untuk kali ke sekian, gedoran kasar itu membuat pelupuk matanya bergerak. Semakin brutal hingga telinganya benar-benar terganggu terlebih karena suara cempreng milik cewek di luar sana, Tari berdesis membuka kelopak mata sepenuhnya.

"Iya, gue bangun, Liv!" Tari mengumpulkan nyawa.

"SEPULUH MEN—"

Ditatapnya lampu yang tidak menyala pada langit-langit kamar, suara lain menyusul membuat decakan halus meluncur dari bibir tipisnya.

"TIGA PULUH MENIT KALO BELUM KE BAWAH, GUE BALIK SINI LAGI NANTI! BAWA GRANAT BIAR LO MAMPUS SEKALIAN!" Olive, sang adik, mengancam setelah meralat teriakan sebelumnya. Lalu menghentakkan kaki mematri langkah menuruni anak tangga setelahnya.

Cewek pemilik nama Tarisya Zeera Fransisca itu akhirnya beringsut duduk. Berjalan gontai ke arah kamar mandi setelah membuka tirai jendela dan mengernyitkan mata sekilas. "Berisik!"

Tiga puluh menit berlalu, cewek berpakaian rumahan menghampiri sang adik dengan sapaan ceria. "Pagi!"

Yang disapa melirik sinis seraya membatin, Dasar Kebo Betina!

"Siapa yang kemarin bilang mau nemenin gue lari pagi?" Jeda, Olive menyempatkan melirik jam di dinding lalu berkata, "Jam sepuluh aja baru bangun, lo niat nggak, sih?!"

"Ya ... kenapa lo nggak bangunin—"

"HEH! Gue naik turun tangga sampe tujuh kali lo pikir gue mau ngapain selain bangunin perawan yang nggak-pernah-bisa bangun sendiri?! Itu mah lo-nya aja yang kebo."

Kruk.

Kruk.

Olive mendelik.

Lalu dengan cengiran lebarnya, Tari berujar, "Gue laper, hehe."

"Ya, udah. Sana makan! Nggak baik zalim sama cacing!" omel Olive seraya beranjak dan menaiki tangga menuju kamarnya.

Sedang Tari memasang wajah dramatis mengiringi hilangnya punggung gadis PMS seraya membatin, Dasar adik, untung sayang.

***

Setelah memenuhi keinginan cacing yang hampir dizaliminya, Tari mematri langkah menuju kamar. Membaringkan diri di atas kasur berniat kembali menyelami pulau kapuk sebelum terperanjat karena teringat sesuatu.

Singa betinanya masih dalam mode ngambek.

Secepat kilat dia menghampiri kamar sang adik yang berada tepat di sebelah kamarnya. Melihat Olive tengah duduk menyila di atas kasur sembari menonton video konser lewat laptop, Tari mendekat dan duduk di tepi kasur di hadapannya.

"Enggak seru, ah. Ngambekan mentang-mentang lagi PMS." Tari nyengir kuda saat ditangkapnya lirikan tajam dari manusia di depannya.

"Maafin gue, deh. Gue janji bakal temenin lo joging, besok."

We goin' from Mexico City

London to Paris

Uriga ganeun geu gosi eodideun party

Tari mendesah dalam hati saat hanya suara oppa di laptop yang terdengar. Ia mengempaskan tubub ke kasur. Netranya menelusuri interior kamar dengan tembok yang dipenuhi poster K-Pop kesukaan adiknya.

"Gue bakal bangun tanpa lo bangunin." Sedetik kemudian netra itu terpejam. Selagi mencerna perkataannya sendiri dia berdoa semoga ucapannya benar-benar terjadi. Sedang Olive merotasikan kedua mata di tempatnya. Muak dengan janji-janji yang terucap sari mulut kakaknya.

El mariachi

El mariachi

El mariachi

El mariachi ....

Video berhenti, Tari bangkit. Memandang sang adik dengan binar ceria sebelum berujar, "Ke Mal, yuk!"

Mendengar kata Mal, Olive menahan raut muka agar tetap terlihat jutek lantas mencibir, "Lo yang traktir."

Memutar bola mata, Tari berdecak sebelum mengiyakan. Dalam hati ia bersyukur, mudah sekali mengembalikan mood sang adik.

Seakan melupakan peperangan tadi pagi, kini mereka tengah menikmati lagu dengan Olive yang memakai gawai sebagai mikrofon dan jemari Tari yang diketukan pada stir mobil, menikmati irama lagu yang berputar. Sesekali tawa lepas menggema karena percakapan random yang mereka ciptakan.

Setelah memarkirkan mobil di sebuah basement, tempat pertama yang mereka kunjungi di Mal yang cukup besar ini yaitu sebuah Kafe. Alasannya karena perut sang adik yang bergemuruh meminta diisi makanan dengan segera. Terbukti setelah makanan tersaji, Olive langsung menantapnya tanpa banyak bicara.

Bosan, Tari mengalihkan atensi seraya memainkan sedotan plastik di gelas kala lonceng berbunyi menandakan ada pelanggan baru yang memasuki Kafe. Pandangannya mengikuti cowok jangkung bertopi hingga mendudukkan bokong pada kursi di hadapan dua orang cowok yang menyapa girang ke arahnya.

"KAK!" Tari mengerjap.

"Apa, sih, Liv?"

"Kok bengong, sih? Dari tadi gue panggil nggak nyaut-nyaut."

Helaan napas berat Tari udarakan sebelum bertanya, "Ada apa?"

Olive mendongak setelah menyeruput Cappucino-nya. "Gue nyomot kentang lo, tadi."

"Biasanya juga langsung nyomot tanpa bilang. Sok-sokan minta izin." Tari berdecak bosan lalu bertanya, "Lo udah belum, sih, makannya?"

Olive kembali fokus pada makanannya. "Dikit lagi, Kak. Tanggung, mubazir."

"Ck ... lo emang lagi lapar, atau doyan semua jenis makanan?" Tari menyeruput Late-nya lalu hampir tersedak karena teriakan Olive setelahnya.

"DUA-DUANYA! PUAS, LO?"

"Sstt. Pelanin suara cempreng lo! Gue malu diliatin banyak orang!" Tari berbisik seraya meletakkan jari telunjuk pada bibir yang kemerahan karena polesan lip tint. Lalu menunduk dalam saat disadarinya banyak mata yang memperhatikan.

Olive? Tentu saja dia tak peduli dan memasang tampang tak berdosa pada wajah bulatnya.

Mengelilingi Mal yang cukup besar, tempat terakhir yang mereka sambangi yaitu sebuah Gramedia. Membeli novel saat berada di Mal merupakan suatu kewajiban. Lagipula, salah satu tujuan Tari mengajak Olive ke Mal tak lain dan tak bukan karena Tari ingin menyimpan cadangan bacaan sepanjang hari libur.

Kini, mereka tengah membaca blurb tiap novel yang ditemuinya di rak yang berbeda. Lalu tiba-tiba Tari tak berkutik saat ditangkapnya sesosok cowok yang ditemuinya di Kafe tadi sejauh delapan meter dari tempatnya berdiri. Cowok yang memadukan celana jeans hitam dengan kaus polos selaras. Jangan lupakan topi polos putih yang menutupi sebagiann rambutnya.

Tari hampir tak berkedip. Entah alasan apa, pemandangan ini terlalu sayang bila dilewatkan. Tapi Tari melupakan fakta bahwa yang dipandanginya adalah seorang manusia yang memiliki kedua mata. Maka saat mata itu menangkap basah dirinya ...

Deg.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

... Tari memutuskan pandang seraya mengontrol debaran aneh di dalam sana.

Sedikit salah tingkah karena merasa mata itu belum berpindah dari sana, Tari menyodorkan novel berniat mengembalikannya pada tempat semula. Alih-alih tersimpan rapi, novel karya salah satu penulis best seller yang dipegangnya terjatuh tak berdaya.

Cepat-cepat Tari memungut, tapi bukannya menyimpan kembali pada rak, Tari membuka asal halaman novel dengan netra yang tidak sepenuhnya fokus ke sana. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, pijakannya semakin terasa kaku kala ekor mata menangkap cowok tadi mengambil langkah ke arahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top