AKRESHA. 17
Perihal tentang luka dan rasa memang tidak akan pernah ada habisnya. Karena sejatinya luka ada karena sebuah rasa sakit yang tercipta.
-AKRESHA-
"Minta ditabok kamu! Gitu aja gak peka. Segitu udah jelas kalau dia kasih kode. Masih aja bingung. Heran deh aku."
Dengan menggebu-gebu Aya terus mengomel ini-itu. Bahkan Esha melongo karena kecepatan bibir Aya saat berbicara. Hampir secepat kereta lewat Aya mengomel panjang untuknya.
Huft. Sepertinya Esha harus terbiasa akan hal itu mulai dari sekarang. Terbiasa dengan celotehan dan juga omelan Aya yang tertuju untuknya.
Namun, ia juga tidak menyangkal jika Aya perhatian dan sangat baik padanya. Meskipun sambil mengomel panjang, perempuan itu tetap mengupaskan jeruk dan apel untuknya. Bahkan menyuapinya juga.
Entahlah. Lagi dan lagi, Esha merasa kalau dirinya hanya bisa merepotkan orang lain saja. Belum bisa lepas dari rasa ketidak-eanakannya pada Akbar, dirinya sudah merasa tidak enak pada Aya. Karena perempuan itu menjaganya dari pagi--setelah Akbar pergi--hingga siang begini.
Esha juga memikirkan adiknya yang belum juga muncul. Itu yang membuat Esha khawatir. Caca seharusnya sudah pulang sekolah. Makan siang. Istirahat atau mengerjakan tugas rumahnya. Tapi, ia tidak tahu, adiknya melakukan hal seperti biasanya atau tidak.
"Kamu tuh harus bisa menghilangkan rasa keenggak enakan kamu sama kita-kita. Aku, Mas Erik, Akbar, adikmu, dan semuanya itu menyayangi kamu, Sha. Hal yang menyangkut tentang kamu, itu juga sangat penting buat kita semua. Terlebih lagi hal yang buat kamu jadi kayak gini."
Nampaknya Aya sudah mulai berbicara pada jalur serius. Perempuan itu mengelus lengan Esha. "Dan untuk apa yang Akbar bilang sama kamu pagi tadi, mungkin di sana terselip kode. Atau ... Ya emang benar karena orang itu kamu. Maksud aku, dia begitu peduli karena dia emang sayang sama kamu." Ia menjauhkan tangannya. Kembali memotong buah apel dan menyuapkannya pada mulut Esha.
Esha sebenarnya bingung dengan apa yang dikatakan Akbar tadi pagi. Terlebih lelaki itu langsung pergi begitu saja. Membiarkan dirinya terbakar oleh pertanyaan yang membuatnya bingung dan tidak kunjung mendapatkan jawaban.
"Aku ...," Esha tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya terlalu kelu. Entahlah, semuanya terlalu sulit untuk ia ucapkan karena banyak sekali pertanyaan yang menjanggal di benaknya.
"Tunggu. Jangan ngomong dulu. Di sini aku mau ngomong banyak sama kamu."
Ya sudah. Esha mengatupkan bibirnya kembali.
"Aku cuma mau bilang, kalau seharusnya kamu sadar. Sadar kalau ada seseorang yang mau menyembuhkan luka kamu yang basah kembali karena orang sama, sebelum seseorang itu berbalik arah karena kamu nggak mau melihat dia, Sha.
"Namanya juga rasa cinta dan sayang, keduanya bisa berubah kapan aja. Tapi, aku yakin. Kalau ada seseorang yang mau menyembuhkan luka di hati kamu, pasti dia sangat tulus. Makanya jangan kamu tolak. Kalau seseorang mau mengulurkan tangan, maka sambutlah. Karena kalau seseorang itu udah menarik apa yang ingin dia raih, dia nggak akan mau mengulurkan tangan lagi untuk yang kedua kalinya."
"Kamu akan tahu alasan kenapa Akbar ngomong begitu sama kamu. Cepat atau lambat. Dan aku berharap, kalau kamu udah tahu, kamu akan ingat apa yang aku bilang tadi."
Dan setelah itu, Esha merasa kalau dirinya semakin merasakan bingung.
•••
"Assalamu'alaikum, Mbaknya Caca!"
"Assalamu'alaikum."
"Assalamu'alaikum, Esha."
"Hai, Sha."
"HALO, ESHA-YANG!"
Tahu suara siapa yang terakhir tadi?
Itu milik Ibam. Ya, lelaki yang bernama asli Bambang itu langsung mendapatkan sorakan dari Dinda. "Heh, mulutnya!"
Sementara salah satu di antara kelima orang dewasa yang baru saja masuk ke dalam ruang inap Esha itu, melirik tidak suka pada Ibam. Lalu berdehem cukup keras. Dan langsung mengambil posisi di dekat Caca yang sudah duduk di atas brangkar. Gadis kecil itu memeluk Esha dengan senyuman lebarnya.
Akbar, Dinda, Gilang, Chandra, dan Ibam, datang bersamaan. Akbar menjemput Caca ke rumahnya. Ia sudah konfirmasi dengan Bu Maya agar tidak mengizinkan Caca pergi ke rumah sakit sendirian. Karena ia yang akan menjemput gadis itu untuk berangkat bersama ke rumah sakit setelah dirinya pulang dari kantor. Dan beruntungnya, Caca mau. Meskipun sebenarnya gadis itu sudah sangat ingin menemui kakaknya.
Lalu, untuk teman-teman Esha yang lain, mereka bertemu Akbar dan Caca di parkiran. Dan akhirnya, mereka memasuki kamar inap Esha bersama-sama.
Ibam menarik satu alisnya ke atas untuk Dinda. Lalu mengalihkan tatapannya ke Esha yang sudah tersenyum manis. Perempuan itu tahu kalau Ibam hanya bercanda.
"Becanda, Sha, hehehe ...,"
"Tadi Caca dijemput Mas Akbar lho, Mbak. Caca juga diajak ngobrol di mobil. Mas Akbar juga beliin Mbak Esha buah. Ya kan, Mas?" Caca mulai berceloteh. Bahkan dengan mata yang berbinar. Binar yang membuat Esha tidak tahan untuk menarik pipi adiknya sambil melebarkan senyuman.
Seketika Akbar terkejut. "Lah iya? Buahnya di mana ya, Ca?"
"Nggak tahu. Kan tadi bukan Caca yang bawa buahnya keluar mobil."
"Ketinggalan dong?" beo Akbar.
"Ketinggalan di mana?" Esha bertanya pada Akbar.
Akbar berbalik badan untuk keluar ruangan. Ingin ke parkiran kembali untuk mengambil buah yang ia beli tadi di jalan bersama Caca. Bagaimana ia bisa lupa membawa buah yang sudah ia beli untuk Esha? Apa karena ia sudah merindukan perempuan itu?
Tunggu. Apa tadi? Merindukan Esha? Apa dirinya ... Oh, no!
Sepertinya Akbar memang harus cepat-cepat menarik Esha dalam pelukannya.
Eh, bukan seperti itu maksudnya.
"Di hatimu."
Mengabaikan tatapan melongo dari semua orang yang ada di ruangan, dengan gaya sok cuek, Akbar keluar ruangan itu dengan jantung yang bertalu hebat.
"What the ...? Heh, itu orang siapanya Esha sih?"
Gemas dengan mulut Ibam, Dinda langsung menempelkan satu lembar uang lima ribu pada bibir lelaki itu. "Lambemu! Lambemu! Wes, meneng! Berisik!"
Semuanya tertawa, kecuali Esha yang diam-diam meraba dadanya. Jantungnya ... berdetum hebat di dalam sana.
•••
"Aku janji akan ganti uang yang Mas Akbar keluarin buat bayar administrasi rumah sakit. Tapi, nggak sekarang. Maaf."
"Nggak perlu, Sha."
"Tapi, Mas ...,"
"Aku bilang nggak perlu. Apa itu nggak cukup buat kamu ngerti kalau kamu nggak usah bayar uang itu?"
"Apa alasannya?" Esha berbalik bertanya. Ia mulai merasa kesal pada Akbar yang duduk di sofa dengan Caca yang tengah menggambar.
"Karena aku ngelakuin itu semua untuk kamu. Dan karena orang itu kamu."
Lagi dan lagi. Karena orang itu kamu?
Kenapa sih Akbar selalu mengeluarkan kalimat itu? Memangnya tidak ada kalimat lain yang bisa lelaki itu ucapkan?
"Aku nggak ngerti, Mas. Maksud Mas Akbar itu apa sih?"
Akbar mengelus kepala Caca dengan lembut. Lalu menatap netra milik Esha. Ia menarik napasnya dalam-dalam. Kemudian bertanya, "Kalau aku mau menyembuhkan luka di hati kamu, gimana? Apa kamu mengizinkan?"
••
Alhamdulillah akhirnya bisa update
Gimana sama part ini?
Masih mau lanjut?
Sumpah, aku sebenernya kesel karena yg komen "next" atau "lanjut, kok lama banget" asli, itu tuh kayak yg mereka maksa aku buat update sedangkan mereka nggak rajin komen dan vote. Nyesek, tapi atuhlah kumaha? Nggak papa deh, asal kalian masih ngebaca aja aku seneng banget
Makasih yg udah mampir dan kasih vote beserta komen di tiap paragrafnya. Aku sadar diri kalau tulisan aku belum sebegitu menarik dan bagus sampai2 kalian komen di tiap paragraf atau dialognya wkwkwk
Itu mulmednya Rossa - Tegar
Jakarta, 02 januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top