AKRESHA. 16
Matanya mulai terbuka. Ia mengerjapkan matanya. Saat matanya terbuka lebar, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit kamar yang berwarna putih. Sadar akan keasingan tempat yang saat ini ia lihat, ia melirik ke kanan dan kirinya.
Esha, perempuan itu sudah sadar dari pingsannya pada tengah malam. Ia bisa merasakan kalau ada sesuatu terpasang pada sebelah tangannya. Melirik ke arah tangannya, ia meringis. Selang infus ada di sana. Dan dirinya sudah tahu sedang berada di mana.
Ia menatap ke arah sofa yang ada di sebelah kirinya. Dekat dengan ranjang yang sedang ia tempati. Ia cukup terkejut karena menemukan adiknya yang tertidur pulas dengan selimut yang menutupi hingga batas dada. Dan juga seseorang yang tertidur dengan posisi duduk. Di bawah sofa.
Akbar. Seseorang yang tertidur di bawah sofa. Posisinya, kepalanya terkulai di sofa. Badannya miring. Sebelah tangannya berada di dekat kepala Caca. Penampilannya cukup berantakan. Dan Esha sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya beberapa jam yang lalu.
Mengalihkan tatapannya pada dua orang yang sedang tertidur pulas, ia menatap langit kamar. Termenung. Dan kemudian, rasa sakit itu menjalar memenuhi dada yang kian mulai sesak lagi.
Ia memiringkan tubuhnya ke kanan. Berusaha menahan isakannya agar tidak keluar.
Apakah sesakit ini merelakan orang yang kita sayangi?
Apa harus ia mengalami kejadian seperti ini lagi?
Seharusnya, ia bisa merelakan orang yang ingin pergi dari hidupnya dengan mudah, bukan?
Bukannya dirinya sudah terbiasa ditinggal pergi?
Tapi ini berbeda. Perihal kepergian Ayah dan Ibunya yang meninggalkannya untuk selama-lamanya dengan kepergian Hasan, itu semua berbeda.
Pada akhirnya, isakannya lolos. Suaranya memenuhi kamar inap yang ia tempati.
Hasan. Ia harus bisa mengikhlaskan lelaki itu. Ia harus bisa menghilangkan perasaan yang masih tersimpan untuk lelaki itu. Tapi, apa semuanya bisa ia lakukan? Apa semuanya akan mudah?
"Aku di sini. Kapanpun kamu butuh seseorang buat jadi sandaran saat kamu kayak gini, aku bersedia. Kamu nggak sendirian, Sha. Masih ada aku, dan yang lainnya."
Terasa usapan di kepalanya. Tangisannya makin pecah. Bahunya bergetar kencang. Tangisan pilu ia tumpahkan semua. Semuanya. Apa yang ia rasakan, ia tumpahkan dalam tangis itu.
"Kamu bisa cerita sama aku, kamu lagi kenapa dan gimana. Cerita apa yang kamu rasain. Tapi, kalau memang nggak bisa diceritain, nggak papa. Aku tahu, kadang suatu hal ada yang nggak bisa kita ceritain sama siapa pun."
Akbar menjauhkan tangannya. Melihat Esha seperti ini, ingin sekali ia memeluk perempuan itu. Membisikan kata-kata penenang. Juga mengusap air mata yang membasahi pipinya. Tapi, dirinya siapa?
Dalam hatinya, banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada perempuan itu. Tapi untuk saat ini, itu semua tidak penting. Yang paling utama adalah kesehatan Esha. Perempuan itu harus bisa kembali sehat seperti sedia kala.
Tadi sore, Akbar langsung meluncur ke rumah sakit. Tidak lupa juga mengabari Ayahnya. Bahkan dirinya belum berganti baju. Mandi saja tidak.
Setelah sampai di rumah sakit, ia langsung saja menuju UGD tanpa bertanya di resepsionis terlebih dahulu. Karena ia yakin kalau Esha pasti dilarikan ke sana. Dan ternyata benar. Sesampainya di sana, ia menemukan Caca dan satu orang wanita paruh baya yang ia tebak bernama Bu Maya.
Belum sempat Akbar menanyakan keadaan Esha, ia lebih dulu memeluk Caca. Menenangkan gadis itu agar tidak terus menangis. Di samping Caca, ada Bu Maya yang bertanya tentang siapa dirinya dan lain sebagainya.
Sambil terus memeluk Caca, Akbar menjawab. Dan tidak lupa menanyakan tentang keadaan Esha. Bertanya ini-itu.
Tidak lama setelahnya, salah seorang dokter keluar. Memberi tahu keadaan Esha. Dan perempuan itu harus dirawat inap. Dengan sigap Akbar memegang kendali. Ia mengurus administrasinya. Memilihkan kamar yang pas untuk Esha.
Bahkan setelah Esha dipindahkan ke kamar inap, ia meminta Bu Maya dan Caca untuk istirahat di rumah. Biarkan dirinya saja yang menjaga Esha. Tapi, Caca menolak keras. Gadis itu ingin bersama kakaknya. Sedangkan Bu Maya pulang ke rumah. Menitipkan Esha dan Caca pada Akbar.
Akbar tidak lupa mengabari Erik dan juga Dinda kalau Esha ada di rumah sakit. Satu jam kemudian, setelah sholat Isya, mereka datang. Erik, Aya dan Dinda datang dengan wajah khawatirnya. Dan saat itu, Esha belum juga sadar dari pingsan.
Di antara Erik, Aya dan Dinda, Akbar bisa melihat raut wajah siapa yang sangat ketakutan dan khawatir. Orangnya adalah Dinda. Tatapannya berbeda saat melihat kondisi Esha. Berkali-kali juga tanpa sadar menghela napas.
Maka dari itu, Akbar bertanya pada Dinda. Bahkan menuntut untuk menjelaskan semua apa yang perempuan itu ketahui selama ini. Jika bukan pada Dinda, pada siapa lagi Akbar mengorek informasi? Pada angin? Atau rumput yang bergoyang?
"Namanya Hasan. Dia sahabat Esha waktu SMA sampai kuliah. Ada juga satunya namanya Nara. Esha emang sempet kuliah, cuma beberapa semester. Setelah itu putus kuliah. Kalian semua pasti tahu kenapa.
"Dulu, sewaktu kuliah, Hasan tahu kalau Esha suka sama dia. Hasan minta sama Esha kalau lebih baik Esha pergi dari hidupnya--dengan cara memutuskan ikatan persahabatan. Padahal, waktu itu, Esha nggak pernah bilang sama Hasan kalau dia punya perasaan lebih buat laki-laki itu. Tapi, Hasan tahu dari temen kuliah yang emang temen saat SMA juga."
"Jadi, sampai sekarang Esha masih punya perasaan sama Hasan?" Aya bertanya.
Dinda melirik Esha yang masih menutup matanya rapat-rapat. Lalu menjawab, "Emm, masih."
"Terus, ngelihat kondisi Esha yang sekarang, apa itu ada hubungannya sama Hasan? Maksudnya, apa yang lakuin sama Hasan sampai-sampai Esha kayak gini habis ketemu dia?"
"Gak boleh su'udzon , Honey." Erik menegur. Aya melirik dengan terkekeh kecil dan meminta maaf.
Dinda mengangkat bahunya tidak tahu. Sementara Akbar, lelaki iti sedari tadi hanya diam menyimak. Emosinya sedikit tersulut. Jika dirinya tahu kalau memang benar Hasan yang sudah membuat Esha seperti ini, ia tidak akan segan untuk memberi bogeman pada wajah lelaki itu.
"Manusia mana yang kuat ditinggalkan sosok yang dicintainya? Manusia mana yang nggak sakit diusir pergi sama sosok yang disayanginya?" Dinda membuka suaranya kembali. "Esha juga cuma manusia biasa. Dia juga perempuan yang nggak sekuat apa yang orang lain lihat. Kehilangan kedua orangtuanya dan juga diminta pergi dari kehidupan Hasan, itu udah jadi rasa sakit terbesar yang pernah ada di hidupnya."
Dan detik itu juga, Akbar berjanji pada dirinya sendiri akan menyembuhkan luka Esha yang basah kembali.
•••
"Kamu makan dulu! Badan kurus begitu masih aja susah makan! Kondisi kamu lagi kurang sehat, terus nggak mau makan? Mau nambah nggak sehat lagi? Biar lama di rumah sakitnya, iya? Mau?!"
Ya Allah. Yang maha memberi kesabaran. Semoga saja Engkau melimpahkan banyak kesabaran pada Esha. Pasalnya, sedari tadi Akbar mengomel panjang karena ia tidak mau makan.
"Jangan ngomel terus, Mas." Dengan suara lemahnya, Esha berucap.
Akbar yang duduk di kursi samping ranjangnya itu mendesah sebal. "Kamu kalau lagi sakit nyebelin. Beneran, Sha. Nggak bohong," dumelnya.
"Nanti aku makan. Mas kerja aja. Aku nggak mau jadi beban orang lain. Ngerepotin orang terus. Nggak baik."
"Siapa yang ngerasa dibebani dan direpotin, sih? Kadar kepekaan kamu mines."
"Emang iya kan? Tadi malem, Mas udah tidur di sini. Aku nggak tahu sekarang gimana rasanya punggung sama leher Mas Akbar. Pasti pegel-pegel. Sekarang, Mas masih di sini. Apa itu nggak ngerepotin? Aku nggak mau bikin orang-orang di sekeliling aku repot terus, Mas."
Menaruh mangkuk bubur di atas nakas dengan sedikit kesal, Akbar bangkit berdiri. "Sekali lagi, aku bilang kalau aku nggak merasa direpotkan. Nggak juga terbebani. Aku ngelakuin semua ini karena ikhlas. Dan karena orang itu kamu. Assalamu'alaikum."
Menjawab salam dengan lirih, Esha hanya bisa mematung di tempatnya.
Apa katanya? Karena orang itu kamu?
Karena orang itu kamu?
Itu kamu?
Kamu?
Ka-mu?
Maksudnya apa?
•••
01 desember 2019
Asik-asik josss~nulis ini satu jam lebih, langsung publish
Akbar udah mulai ngegas~
Aku mau nerkam Hasan dulu ya, nanti kapan-kapan kenalan sama Hasan, yuhuuuu
Jangan lupa vote dan komennya
Nulis itu nggak gampang, sekedar ngevote juga nggak papa kok :)
Semoga akhir tahun ini, aku, kamu dan kalian bisa jadi lebih baik lagi.
Semoga Allah melindungi di setiap langkah yang kita pijaki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top