AKRESHA. 14
Jika lisan tidak mampu mengutarakan apa yang dirasa, maka akan ada air mata yang mewakilinya.
-AKRESHA-
Hari Sabtu.
Seharusnya Esha berangkat bekerja seperti biasanya. Tapi, perempuan itu lebih memilih izin kepada Gilang. Memberitahu atasannya itu kalau dirinya ada keperluan penting. Gilang yang mengizinkan--karena Esha jarang meminta izin tidak berangkat--itu membuat Esha bisa bernapas lega.
Sejak semalam, Esha tidak bisa tidur dengan pulas. Hampir setiap lima belas menit sekali ia akan terbangun. Menatap lamat-lamat langit kamar. Melirik ponsel yang ada di nakas. Bimbang. Ingin membatalkan pertemuan atau tidak.
Di satu sisi, Esha takut. Dan di satu sisi lainnya, ia juga tidak munafik jika dirinya rindu bertemu dengan laki-laki itu.
Ia takut. Takut kalau dirinya akan mendapatkan fakta yang menyakitkan lagi dan dilukai lagi. Tapi, ia harus selalu berpikir posotif. Tidak boleh berprasangka buruk pada Hasan.
Dan untuk rasa rindu. Tidak salah kan jika dirinya merindukan seseorang? Apalagi orang itu adalah orang yang singgah di hatinya.
Ya, sampai sekarangpun laki-laki itu masih ada di hatinya. Tidak enyah dari sana. Jika bergeser, mungkin iya. Meskipun posisinya tidak di titik utama, tapi sama saja, laki-laki itu masih menetap di hatinya. Walaupun dirinya sudah disakiti. Bahkan disuruh untuk pergi.
Lantas, haruskah ia sekarang menemuinya?
Kalaupun dibatalkan, Esha tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi.
Semuanya hanya perlu tekad dan nyali.
Menatap pantulan dirinya di cermin, Esha menarik napasnya dalam. Mengambil ponsel yang ada di atas tempat tidur. Mengetikkan sebuah pesan untuk Dinda.
Mbak Dinda
Mbak, aku hari ini gak masuk. Mau ketemu Hasan.
Setelah itu, ia mematikan ponsel. Lalu memasukkannya ke tas slempang yang akan ia pakai. Dan keluar kamar. Bergegas pergi ke taman.
•••
Sabtu libur. Hari yang sangat pas untuk merenggangkan otot dan menyegarkan pikiran dengan keluar rumah. Lalu bertemu dengan keponakan kecilnya.
Ini masih pagi cuacanya pun agak mendung, dan Akbar sudah sangat bersemangat untuk bertemu gadis kecil yang sangat bisa membuat moodnya naik. Siapa lagi kalau keponakannya. Anak dari adiknya, Ziya.
Lihat, adiknya sudah memiliki anak berumur empat tahun. Dan dirinya masih belum mempunyai anak. Jangankan anak, istri saja tidak ada.
Oke, ini beda kasus.
Adiknya itu dijodohkan. Saat masih SMA bangku terakhir dulu. Dan Akbar saat itu masih duduk di bangku kuliah semester empat. Masih berumur 20 tahun. Adiknya--Ziya--berumur 18 tahun. Hanya terpaut dua tahun saja.
Ulfa, ibunya sudah tidak ada. Saat ia memasuki semester lima, ibunya meninggal dunia. Bagian yang sangat membuatnya terpukul adalah kehilangan sosok yang amat sangat ia cintai. Perempuan pertama yang ia cintai dan sayangi telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Meskipun ia sempat terpukul dalam, ia harus segera bangkit. Dirinya seorang laki-laki, tidak boleh berlama-lama larut dalam kesedihan--meskipun itu berlaku untuk siapa pun, bukan hanya dirinya. Dan rasanya tidak pantas saja jika ia terus-terusan sedih. Nanti ibunya akan sedih juga melihat dirinya dari atas sana.
Mulai saat itu, Akbar menjadi dirinya kembali. Yang humoris. Suka tidak jelas. Tertawa semaunya. Dan selalu bisa membuat orang kesal dengan caranya.
Setelah memberi pesan pada Bi Iyum--ART dirumah yang sudah ada sejak kurang lebih sebulan yang lalu--kalau dirinya akan pergi, ia berpamitan pada ayahnya yang sedang asyik di halaman depan rumah. Sedang membaca koran dengan ditemani satu gelas berisi kopi.
"Abang mau ke dedek Al. Pulangnya sore atau enggak ya malem. Mau quallity time sama Al. Ayah mau nitip apa? Plis, jangan menantu lagi. Yang lain aja."
Lihat kan? Bagaimana Akbar dengam gamblangnya berbicara seperti itu pada ayahnya sendiri. Ya memang, sifat santainya kelewatan. Maklumi saja, namanya juga orang humoris. Apa-apa dibikin enak, lucu, santai, candaan.
Melirik sekilas pada Akbar, Fadil menyodorkan tangannya. Bermaksud untuk anaknya itu mencium tangan dan segera pergi. "Iya, enggak akan. Tapi kalo bisa mantu ayah itu Esha. Udah sana pergi! Ganggu ketenangan aja!"
Astaghfirullah. Akbar mengelus dadanya sabar setelah mencium tangan ayahnya. Ia langsung bergegas menuju mobil. Meninggalkan ayahnya yang sudah fokus kembali ke koran yang sedang dibaca.
Tidak sampai setengah jam, Akbar sudah sampai di rumah Zikri--suami dari adiknya. Laki-laki itu tidak membawa apa-apa untuk keponakan kecilnya. Masa bodo. Kehadirannya saja sudah sangat ditunggu oleh Al, jadi ia tidak perlu repot-repot untuk membawa buah tangan.
Melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah, matanya disuguhkan pemandangan keponakannya yang sedang bermain air. Dengan kolam karet yang berbentuk bundar diisi air, Al--nama keponakannya--sedang berendam di sana.
Di dalam kolam itu ada bola-bola dan bebek mainan untuk menemani gadis kecil itu bermain. Akbar tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum. Tapi, saat mata Al menatapnya, dan kemudian gadis kecil itu berlari dengan tubuh yang basah, memeluknya, senyumnya luntur. Tergantikan dengan dengusan kesal. Celananya basah. Al memeluk kakinya dengan tertawa lucu.
"Yeay! Om dateng! Mama, Om udah dateng!"
Akbar berjongkok. Menunjuk pipinya untuk Al cium. Gadis itu dengan senang hati mencium pipinya. Ya sudah. Untuk menyenangkan keponakannya sendiri, Akbar rela jika ia harus basah karena gadis kecil itu.
"Om, mau ikut berenang gak? Seru tahu!"
Ziya tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Tadi, ia mengambil handuk. Dan setelah sudah, ia kembali ke halaman depan. Menemani anaknya bermain air.
"Mana muat, Sayang. Badan Om kan gede," sahut Ziya. Menaruh handuk di kursi teras dan duduk di sana.
"Gak muat ya, Om?"
"Enggak, dedek Al. Udah ya mainan airnya? Mau ikut Om hunting, gak?" candanya. Seharusnya Akbar paham kalau anak kecil tidak akan bisa mengerti bahasanya yang absurd tadi.
Ziya hanya diam saja. Membiarkan anaknya dengan abangnya saja. Saat itu juga, Zikri keluar dengan wajah yang sudah segar karena baru selesai mandi. Laki-laki itu menatap tidak suka pada Akbar. Pasalnya, jika sudah ada abang iparnya itu, posisi dirinya yang sangat istimewa bagi anaknya, akan tergusur. Akbar pasti menyita semua perhatian gadis kecilnya, Al.
"Banting? Banting apaan, Om? Kata Mama, gak boleh banting-banting. Apalagi banting barang."
Akbar berdecak. "Iya deh, terserah. Sekarang udahan main airnya, mau ikut Om gak? Kita hunting yang seru pokoknya. Berdua."
Al terlihat kesal karena lagi-lagi Akbar menyebut kata hunting yang diartikan olehnya adalah banting. Bibir gadis itu mengerucut ke depan.
"Jangan banting!"
Akbar tertawa.
"Rasain!" cibir Zikri yang hanya dibalas kibasan tangan dari Akbar.
"Mau ikut kan? Nanti ketemu kakak cantik lho di sana."
"Jangan mau, Sayang. Masih cantikkan Mama lho." Zikri menyaut. Dan mendapatkan Akbar yang tersenyum remeh.
"Al mau ikut Om!" teriak Al. Memeluk leher Akbar.
Sudah dibilang kan, kalau posisi Zikri akan digusur saat ada Akbar.
•••
Menatap ke sekitar, matanya tidak mau berkedip sekalipun. Takut jika objek yang dicarinya akan menghilang. Padahal saat ini dirinya tengah menjadi objek tersebut. Sosok yang menjadi objeknya belum ada di area taman. Entah ia harus merasa senang atau sedih karena sosok itu belum ada. Atau tidak akan ada untuk menemuinya?
Entahlah. Dirinya juga bingung.
Mendudukkan dirinya di bangku panjang yang ada di sana, Esha memilin ujung khimar yang ia pakai. Pagi ini cuaca agak mendung. Ia bersyukur. Setidaknya tidak akan kepanasan saat menunggu kedatangan Hasan.
Angin berembus menerpa wajahnya. Sesekali ia menghela napas berat. Meminimalisir rasa gugupnya sendiri.
Hampir dua puluh menit Esha menunggu, sayup-sayup ia mendengar langkah kaki mendekat. Taman memang cukup ramai di hari Sabtu ini. Banyak orang-orang yang berlalu lalang. Tapi ia menepi. Duduk di tempat yang dulu sering ia duduki bersama Hasan dan Nara.
Kala menoleh ke samping kanan, jantungnya berdegup kencang. Tangannya berkeringat. Dadanya sesak. Napasnya tercekat. Dan dirinya mati-matian menahan lelehan air mata yang hampir menumpuk di kedua matanya.
Di sana, yang sedang berjalan ke arahnya, sosok yang ia tunggu datang.
Namun bukan itu yang membuat perasaanya tidak karuan. Tapi karena sosok itu tidak sendirian. Laki-laki itu datang dan bersama dengan perempuan yang waktu itu ia lihat di Cafe.
Benar. Itu pasti perempuan yang sama. Ia tidak mungkin salah.
Air matanya lolos, kala tangan lebar milik Hasan menggenggam erat tangan perempuan itu.
Mendung. Kian semakin mendung. Perasaan yang ia takutkan kini terjadi.
Laki-laki itu datang. Dan untuk memberikan luka lagi.
Luka lama, kian basah kembali.
Dibasahkan oleh orang yang sama.
Dan mulai saat itu, ia sudah tidak percaya akan perasaan yang dinamakan cinta.
•••
Part depan ada tokoh baru muncul, eh bukan baru sih, dia udah ada di ceritaku yang Ziya hehehe
Kira-kira siapa ya~~~
Eh btw aku ganti cover sama judulnya ya
Gimana, bagus gak? Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top