AKRESHA. 09
Mungkin rasa itu telah ada tanpa aku sadari. Aku hanya sedang memastikan kalau perasaan itu karena Sang Illahi atau hanya nafsu yang merasuki diri dan hati?
-AE-
"Besok aja kamu ambil sepedanya, ya? Sekarang aku langsung antar kamu pulang aja," ucap Akbar.
Kini, Akbar dan Esha berada di dalam mobil menuju rumah Esha--mengantarkan perempuan itu pulang sampai rumahnya. Sejak beberapa menit berada di dalam mobil dan Akbar sudah mulai melajukan mobilnya, baik Akbar maupun Esha tidak ada yang membuka suaranya sama sekali--canggung melanda, mungkin.
Esha, perempuan yang duduk di jok belakang itu menjawab, "Emm, nggak ngerepotin nih? Nanti Esha diturunin di jalan, hehe.."
Akbar melirik kaca spion kecil yang menggantung di atas sambil terkekeh pelan. Ia menatap jalanan kembali sambil membalas ucapan Esha tadi. "Iya, nanti aku turunin kamu di jalan. Di jalan yang sepi kalo bisa," guraunya.
"Gak boleh gitu Mas, nanti dosanya nambah."
Akbar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja sambil tersenyum kecil. Esha menyandarkan tubuhnya, mencari posisi nyaman. Menatap ke arah jendela, melihat lampu-lampu jalanan malam yang gemerlap indah.
"Kamu tinggal cuma sama Caca?"
Esha menatap punggung tegap itu dari belakang. "Iya, kalo bukan sama Caca sama siapa lagi? Kan orang tua aku udah gak ada," sahutnya.
"Cukup do'a-in orang tua kamu dari sini dan bahagia aja itu udah lebih dari cukup buat mereka bahagia di atas sana. Jangan ngerasa sendirian juga, sekarang bukan cuma Caca yang ada di samping kamu. Insya Allah, kapan pun kamu butuh bantuan, aku, Erik sama Aya pasti bakal bantu. Jangan sungkan buat minta bantuan sama kita, Sha."
Ya, yang lelaki itu bilang benar. Ia tak pernah benar-benar sendiri. Ada orang-orang di sekelilingnya yang siap membantu dirinya. Hatinya terenyuh mendengar penuturan Akbar itu. Ia tersenyum manis.
"Makasih, Mas."
"Aku belum ngelakuin apa-apa lho, Sha. Jangan ngomong makasih dulu."
"Ya terus harus ngomong apa?"
"Ini belok kanan atau kiri?"
Bukannya menjawab, Akbar malah bertanya balik meminta arah jalan rumah Esha. Esha melihat ke depan dan mengakatan kalau harus belok kiri untuk masuk ke gang rumahnya yang memang muat untuk satu atau dua mobil. Gang itu tidak sempit, jadi mobil masih bisa melewatinya.
"Rumah cat warna putih abu, Mas." Esha kemudian meralat, "Eh, gak keliatan ya?"
"Keliatan, jelas. Udah diem."
Esha menekuk wajahnya masam. "Yaudah, nanti kalo salah rumah biarin aja," katanya.
Akbar memberhentikan mobilnya tepat di rumah berwarna cat putih abu. Halaman rumah itu tak seluas halaman rumahnya, ada tanaman rumput hidup di sana, kursi dan meja dari kayu rotan ada di depan teras. Rumah yang sangat pas disinggahi untuk dua orang, pikirnya.
Akbar mematikan mesin mobilnya dan menengok ke belakang. "Nah, gak salah rumah kan?"
Esha menggaruk pelipisnya. "Hehe.. iya. Makasih ya, Mas buat tumpangannya. Maaf ngerepotin lagi."
Akbar menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, Sha."
Aduh! Kok menyejukkan hati banget ya suaranya? Astagfirullah, Sha, mulai ngawur nih! batin Esha.
Perempuan itu langsung turun dari mobil setelah mengucapkan salam dan berterima kasih sekali lagi. Ia memasuki rumahnya yang tidak ada pagar atau gerbang semacamnya.
Sedangkan Akbar, lelaki itu tersenyum kecil melihat tingkah Esha yang salah tingkah. Benarkah gadis itu salah tingkah karenanya? Akbar menggelengkan kepala tidak mungkin. Kemudian melajukan mobilnya kembali untuk pulang ke rumah.
•••
"Yah, kemaren sore Abang kumpul sama Erik, Aya dan Esha," ucap Akbar tiba-tiba. Kini ia dan ayahnya sedang sarapan pagi.
Fadil yang mendengar itu menatap anak laki-lakinya dengan bingung. Masalahnya, bukan karena Akbar berkumpul dengan Erik dan Aya. Tapi karena Akbar bilang berkumpul dengan Esha? Siapa dia?
"Esha? Siapa? Calon istri kamu?" tembak Fadil.
Akbar yang baru saja memasukan nasi ke dalam mulutnya itu tersedak. Ia langsung menyambar gelas yang berisi air itu dan menegaknya hingga habis. Setelah itu ia mendengus sebal.
"Bukan. Esha itu Lintang."
"Lintang?"
Akbar mengangguk. "Panggilannya Esha, bukan Lintang," koreksinya.
Fadil mengibaskan tangannya ke udara. "Sama aja. Pokoknya kalau dia masih belum ada yang ngajak ta'aruf, belum ada yang lamar dan nggak punya pacar, kamu langsung khitbah. Kita datengin rumahnya langsung."
Akbar melongo tak percaya mendengarnya. Ia langsung berdiri dan mengambil tas kerjanya. Mencium tangan ayahnya dengan gerakan kesal.
"Ayah ngomong gitu gampang banget. Gak segampang itu, Ayah. Lagi pula abang sama Esha kan temen. Eh, sahabat."
Fadil menabok lengan Akbar. Membuat sang empu meringis. "Sahabat? Selama ayah hidup puluhan tahun, ayah belum ngelihat langsung orang sahabatan tapi gak berunjung pada sama-sama memiliki perasaan."
"Maksudnya? Ayah muter-muter banget ngomongnya, deh. Abang masih polos, Yah. Gak ngerti bahasa orang tua."
"Nggak sopan kamu sama ayah sendiri!"
Akbar menghembuskan nafasnya dengan sabar. Tahan. Tahan. Tidak boleh emosi. Apalagi sama orang tua sendiri. Nanti dosa. Akbar tidak mau menambah dosa lebih banyak lagi.
"Iya, iya, maaf. Coba jelasin dulu. Abang gak ngerti."
Fadil memutar bola matanya malas. "Gini, banyak yang sahabatan tapi berujung pada pelaminan. Atau sama-sama memiliki perasaan cinta. Inget, rasa sayang dan nyaman berlebihan itu bisa buat rasa cinta perlahan muncul tanpa disadari, Bar. Daripada semua itu terjadi sama kamu dan Esha, mending langsung kamu khitbah, terus nikah," jelasnya panjang lebar.
Akbar menggaruk belakang kepalanya. Diam-diam ia berusaha memahami. Namun, gagal. Ia gagal paham. Dan demi menyelamatkan dirinya dari amukan ayahnya karena tidak paham, ia langsung pamit pergi.
"Ayah, Abang kerja dulu ya. Assalamu'alaikum."
Fadil menatap punggung lebar anaknya dengan nelangsa. Sia-sia ia menjelaskan panjang lebar. Akbar malah berlalu begitu saja.
"AKBAR, SURUH ESHA MAIN KE SINI. SECEPATNYA!" teriaknya dari meja makan.
Akbar membalas berteriak pula, "WANI PIRO?!" (Berani berapa)
"Astaghfirullah. Nyebutlah anakku," gumam Fadil sambil mengelus dadanya.
•••
AN: Halo, ada yg masih baca lapak ini? Ada yg masih nungguin?
Kalo lupa alurnya baca part sebelum ini dulu ya, atau baca ulang juga gak papa.
Nama orang tua Akbar, yg berarti nama orang tua Ziya itu aku ganti ya, yang baca Ziya versi baru pasti tau, hehe..
Jangan lupa vote dan komennya ya!
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top