AKRESHA. 07
Free quote, otak lagi sakit hati.
Komen yang banyak buat menghargai, hm.
***
Pagi ini, sepeda milik Esha yang biasa perempuan itu bawa ke manapun tiba-tiba kempes di jalan saat tengah menuju ke Cafe. Yang hanya bisa ia lakukan hanyalah menuntun sepedanya hingga melewati bengkel yang entah sudah buka atau belum di jam tujuh kurang sepuluh menit ini.
Sinar matahari sudah muncul di atas langit sana. Membuat sensasi hangat menerpa kulitnya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di depan bengkel yang sudah buka. Alhamdulillah, batinnya.
Esha langsung mengucap salam dengan posisi tubuhnya berdiri di samping sepedanya. "Assalamu'alaikum, Pak. Ini ban sepeda saya kempes. Mau tambah angin, bisa?"
Bapak pemilik bengkel yang tidak terlalu besar itu menjawab salamnya dengan ramah. "Wa'alaikumsallam, Neng. Bisa kok, tunggu, ya."
Kemudian Bapak itu mengambil alih sepeda milik Esha dan mulai menambahkan angin. Tapi, saat sudah diisi angin, ban sepedanya masih tetap kempes. Bapak tersebut mengisi kembali anginnya dan hasilnya tetap sama.
"Maaf, Neng. Ban sepedanya kayaknya bocor. Harus ditambal dulu, gak papa?" kata Bapak itu.
Esha melihat jam pada ponsel yang ia bawa di tas kecilnya. Pukul 7 pagi tepat, itu tandanya 15 menit lagi jam masuknya ke Cafe Hehe. Meskipun itu hanya Cafe, Gilang--pemilik Cafe itu disiplin. Seluruh pegawai Cafenya itu tidak boleh ada yang telat--kecuali alasannya memang sangat kuat.
"Ya udah, Pak, saya nitip sepedanya di sini ya. Nanti sore saya ambil lagi, tolong tambalin bannya, ya, Pak."
Esha kemudian mengeluarkan uang untuk membayar lebih dulu. Si Bapak itu sempat menolak, tapi karena alasan yang Esha berikan, akhirnya bapak itu mau menerimanya.
"Kalo gitu saya permisi ya, Pak." Kemudian ia pergi dari bengkel itu untuk menuju Cafe.
Esha berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang banyak kendaraan berlalu lalang. Baik itu kendaraan roda dua ataupun empat. Ia mempercepat jalannya, masih ada sekitar 500 meter lagi jarak Cafe dengan tempat yang sedang ia pijakki itu.
Dari arah belakang ada sebuah mobil berwarna hitam yang tiba-tiba saja berhenti di samping dirinya yang sedang berjalan. Hal itu sontak membuat Esha berhenti melangkah dan melihat kaca mobil yang terbuka, menampilkan wajah lelaki yang sudah tak asing baginya.
"Kenapa jalan kaki?"
Lelaki itu membungkukkan badannya agar wajahnya bisa terlihat dari kaca mobil yang terbuka lebar. Akbar, lelaki yang mengendarai mobil hitam itu tadi melihat Esha yang berjalan sedikit tergesa-gesa. Membuatnya berhenti untuk menyapa perempuan yang ia kenal sebagai pegawai di Cafe sahabatnya--Gilang.
"Sepedanya tadi kempes, jadi jalan kaki," jawab Esha. Kini ia merasakan kalau matahari mulai bertambah menyengat di kulitnya. Sensasi hangat itu perlahan menjadi sedikit panas.
"Oohh. Bareng saya aja mau? Udah mulai panas lho ini," tawar Akbar.
He'em udah mulai nyengat nih di kulit, lanjut Esha dalam hati. Ia bingung harus menerima tawaran itu atau tidak. Dalam hati ia menerima tawaran itu, namun otaknya menolak karena takut merepotkan.
"Emm ...."
"Duduk di belakang aja, kalaugak nyaman. Masuk, Sha, nanti kita sama-sama telat kerja."
Esha menarik nafasnya. Dalam hati ia bersyukur Allah menolongnya melalui Akbar, lelaki yang menurutnya baik. Kemudian ia memasuki mobil itu dan duduk di belakang dengan kaku.
"Maaf, Mas, ngerepotin. Harusnya tadi gak usah berhentiin mobilnya di samping saya yang lagi jalan kaki," ucap Esha saat mobil yang ia tumpangi itu mulai berjalan maju.
Akbar meliriknya lewat kaca sepion kecil yang ada di mobil itu, kemudian tersenyum kecil--kecil sekali. "Terus saya harus diem aja kalo ada orang yang butuh bantuan, gitu?"
Esha memilin ujung khimar berwarna abu-abunya itu. "Ya ... hemm, gak gitu juga, sih, hehe ...."
"Selagi saya bisa dan mampu buat bantu orang, Insya Allah saya gak akan diem aja. Apalagi perempuan, kayak kamu tadi misalnya."
Perkataan Akbar tadi membuat Esha tersenyum dalam hati. Kini ia yakin, kalau lelaki yang memakai setelan jas kerjanya itu memang benar-benar lelaki yang baik.
Hening seketika, Esha tak membalas lagi ucapan Akbar. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Esha dengan pikirannya yang takut terlambat dan Akbar dengan pikirannya yang ingin bertanya kembali pada perempuan itu.
"Adik kamu gimana?" Akbar memulai percakapan kembali. Bukannya memang harus laki-laki yang memulai sesuatu lebih dulu kan?
Esha mendongakkan kepala, menatap punggung lebar itu dari belakang. "Apanya?"
"Kabar adik kamu gimana? Siapa, tuh, namanya?"
Esha membulatkan bibirnya. "Caca, alhamdulillah dia baik, Mas."
Akbar menganggukkan kepalanya dengan berhentinya mobil di depan Cafe Hehe. "Saya titip salam buat Caca, ya. Semoga dia masih ingat sama saya," katanya.
"Iya, nanti saya sampaikan. Makasih buat tumpangannya, ya. Maaf ngerepotin. Duluan, ya, Mas. Assalamu'alaikum."
Kemudian Esha keluar dari mobil setelah mendengar jawaban dari Akbar. Sesaat kemudian mobil hitam itu menjauh dari pandangannya. Ia berbalik badan untuk memasuki Cafe.
•••
"Kok ngelihat Esha kayak lihat seseorang, ya? Apa dulu gue pernah ketemu dia sebelumnya? Apa pernah kenal gitu, ya?"
Gumaman itu terdengar dalam mobil yang hanya ada dirinya sendiri. Saat ini ia sedang menuju kantornya. Tadi, setelah menurunkan Esha di depan Cafe, ia menjalankan mobilnya kembali. Membawa pertanyaan baru untuk dirinya sendiri.
Hatinya berkata kalau ia pernah mengenal perempuan itu, tapi otaknya berusaha untuk tidak percaya akan hal itu. Bagaimana bisa ia kenal perempuan itu sebelum pertemuannya di gerobak nasi goreng?
Otaknya berusaha mengingat-ingat kejadian masa lalu. Entah saat dirinya masih berada di bangku perkuliahan atau saat SMA, SMP, SD dan bahkan TK. Ia yakin pasti dirinya akan menemukan jawaban.
Sebenarnya Akbar tak perlu repot-repot melakukan hal ini. Bisa saja ia membiarkan pertanyaan itu menggenang di otaknya, namun hatinya seolah menjerit kalau ia harus bisa mengorek hal tentang itu.
"Namanya kan Lintang Ayesha Kamila. Hemm, siapa, ya?"
"Waktu kuliah gak ada, SMA juga, SMP apalagi, kalo SD gak mungkin, tapi kalo TK ada yang namanya Lintang, yang waktu itu ayah bilang."
Mikir.
Mikir.
Mikir.
Yang waktu itu ayah bilang.
Yang waktu itu ayah bilang.
"Masya Allah, masa iya itu Tatangnya gue?"
...
Hari ini Cafe seperti biasanya, selalu ramai akan pengunjung. Entah sudah pelanggan yang ke berapa, Esha mengantar pesanan mereka. Bolak-balik membawa nampan yang berisi pesanan para pelanggan.
Sekarang tepat pukul 12.15, adzan dzuhur telah berkumandang, memanggil kaum muslim untuk melaksanakan kewajibannya. Sholat adalah tiang agama, kalau sholatnya saja tidak bisa ia jaga apalagi dengan hal yang lainnya?
Sebagai muslim yang ingin selalu taat akan agama, yang ingin selalu berjalan dalam kebenaran, Esha menyimpan apron berwarna coklatnya. Dan izin untuk sholat terlebih dahulu di mushola yang berada di dalam Cafe Hehe itu.
Para pegawai lelaki sudah selesai sholat di masjid samping Cafe. Letak Cafe berdekatan dengan masjid, memudahkan untuk para pegawai lelaki untuk sholat. Setelah mereka selesai, gini gilirannya para perempuan.
Tapi, tak semuanya ikut, harus begantian juga, supaya yang lain tidak repot untuk melayani para pelanggan. Esha dan Dinda menuju mushola kecil Cafe yang hanya berukuran 3×4 meter itu.
Mereka sholat dengan khusu setelah mengambil air wudhu dan memaki mukenahnya. Setelah 10 menit selesai melaksanakan kewajibannya, mereka keluar dari mushola untuk kembali bekerja.
Esha memakai apronnya dan mengambil alih nampan berisi pesanan pelanggan yang tadi dipegang oleh Ibam. Ia menuju meja yang telah ditunjukkan oleh Ibam tadi.
Seperti biasanya, Esha menyapa dengan ramah dan menaruu pesanannya di atas meja. Kemudian pergi untuk menuju belakang kembali. Bertepatan dengam lonceng Cafe yang berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalam Cafe.
"Assalamu'alaikum." Orang itu langsung berjalan cepat dan menuju tempat kasir--yang kebetulan itu adalah Dinda yang bertugas menjaganya.
"Wa'alaikumsallam, ada yang bisa dibantu?"
"Esha mana?" tanya langsung orang itu.
Dinda mengernyit tapi ia juga kemudian menunjuk Esha yang sedang berjalan mendekatinya setelah tadi mengantar pesanan. Akbar membalikan tubuhnya dan langsung memanggilnya dengan panggilan ciri khasnya dulu.
"Tatang?!"
Esha menatap Akbar dengan terkejut. Siapa orang yang lelaki itu panggil? Ia menyapu pandangannya pada seluruh pelanggan Cafe, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi siapa yang lelaki itu panggil? Masa iya dirinya?
"Hah?!"
***
Oke, ya udah lanjut nanti kalo yang komen udah 1 juta.
Gak usah kepo, emang masih mau tahu?
Salam hangat dari;
Nung
Indramayu, 16 feb 2019 (malam minggu yang selalu membuat rindu)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top