AKRESHA. 03
Komen yang banyak dong, biar aku semangat updatenya. Puter mulmednya ya, biar meresapi hehe.
Atas izin Allah kita bertemu. Dan apakah mungkin atas izin Allah juga kita bisa bersatu?
Langkah kaki seorang gadis membawanya memasuki tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya. Gadis yang kini hidup hanya dengan kesederhanaan dan segala kebutuhan yang berkecukupan. Ya, gadis itu adalah Esha.
Ia memasuki TPU, di mana kedua orangtuanya dimakamkan di sana dulu. Selalu datang ke tempat ini sesering mungkin--meskipun ia sibuk bekerja dan mengurus Caca serta rumah. Ia datang ke sini sendiri, tak membawa Caca. Alasannya karena ia tidak ingin jika adiknya itu menangis jika melihat nisan kedua orangtuanya--meskipun Caca sudah paham dengan semuanya--tetapi tetap saja, Esha tidak ingin melihat Caca menangis.
Dulu, hidupnya seakan sempurna, nyaris tak ada celah untuk bersedih. Tapi, suatu hari, di mana kejadian yang menimpa keluarganya membuat semuanya menjadi hancur. Perusahaan Ayahnya bangkrut--karena tertipu oleh teman bisnisnya. Saat itu ayahnya terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Harta yang keluarganya punya habis untuk mengganti rugi dan biaya rumah sakit ayahnya.
Dengan uang yang tersisa, Esha dan Ibunya membeli rumah yang sekarang ia tempati dengan Caca. Satu-satunya barang peninggalan yang diberikan Ayahnya untuk Esha adalah sepeda yang biasa ia gunakan sehari-hari itu. Kini memang sepedanya sudah hampir usang, bahkan kadang sepeda itu rantainya sudah putus dan ecel.
Saat Ayahnya meninggal dunia, saat itu pula Ibunya sedang mengandung adiknya--Caca. Usia Esha saat itu 14 tahun, masih kelas sembilan SMP. Kenyataan pahit yang sudah ia terima sejak duduk di kelas sembilan itu membuatnya paham akan arti kehidupan. Perlahan-lahan orang terdekatnya akan pergi meninggalkan dirinya--entah itu pergi untuk selamanya atau pergi sejenak lalu kembali lagi--atau tidak sama sekali.
Saat Caca lahir, semuanya baik-baik saja. Esha memasuki tingkat SMA, ibunya bekerja untuk dirinya dan juga adiknya. Apapun ibunya lakukan untuk kedua putrinya. Sampai empat tahun kedepannya, ibunya meninggal dunia karena terkena penyakit komplikasi--mungkin karena terlalu lelah bekerja ke sana ke mari.
Saat itu Esha kuliah memasuki semester 2, dan setelah itu ia memutuskan untuk berhenti dari kuliahnya. Ia tahu kalau pendidikan itu penting, tapi, adiknyalah sekarang yang lebih ia utamakan dan sangat penting baginya. Tak ada saudara ataupun kerabat, ia hidup hanya dengan adiknya saja, berdua.
Ia mengurus Caca dengan suka cita. Hingga sampai saat ini keinginan untuk bisa membahagiakan Caca terus mengalir dalam harapannya.
Esha duduk di tengah-tengah tanah kosong antara makam Ayah dan Ibunya. Mengusap nisan itu bersamaan sambil tersenyum manis. Senyuman itu bukan lagi senyuman kepahitan, tapi, senyuman kebahagiaan. Ia bersyukur, meskipun kedua orangtuanya sudah tak lagi disisinya, ia masih memiliki Caca. Allah tidak benar-benar menggambil semua yang ia punya.
"Assalamu'alaikum, Ayah, Ibu. Apa kabar? Pasti baik, dong. Esha di sini sama Caca baik-baik aja, kok, gak usah khawatir ya. Esha bahagia, hidup sama Caca enak, kok. Terus pantau Esha dari atas sana, ya. Masuk ke mimpi Esha kalo Esha buat salah, tegur lewat mimpi, gak papa."
Kini matanya berkaca-kaca. Sulit untuk menahan genangan air mata itu agar tidak meluncur ke pipinya. Isakan kecilnya keluar, tapi bibirnya tersenyum--berusaha menguatkan diri sendiri.
"Esha bakal terus jagain Caca di sini, Ayah sama Ibu harus terus saling menjaga satu sama lainnya, ya. Oh iya, Esha ke sini lupa bawa bunga. Maaf ya, Yah, Bu. Nanti kalo Esha ke sini lagi pasti bawa bunga, sama Caca juga deh."
Mengusap pipinya yang basah. Ia terkekeh kecil, lalu mengusap dua nisan itu. "Esha pamit ya, Esha sayang kalian, sampai kapanpun. Assalamu'alaikum." Kemudian kakinya membawa ia keluar dari pemakaman itu.
Tanpa ia sadari, sedari tadi lelaki yang bertemu dengannya dua kali itu mendengar semua apa yang ia katakan. Hati lelaki itu mencelos, ternyata segitu rapuhnya gadis yang memiliki senyuman manis itu. Ia berpikir kalau hanya dirinya yang hancur jika ditinggalkan oleh orangtua, tetapi, ternyata ada yang lebih hancur dari dirinya. Dan orang itu adalah Esha. Entah ia sadari atau tidak, gadis itu kini telah melangkah maju untuk bisa mengetuk pintu hatinya.
•••
Fadil tengah membuka isi lemari istrinya--Ulfa yang kini telah bahagia di atas sana. Melihat-lihat baju gamis dan kerudung milik Ulfa. Isinya tak berubah, masih sama seperti lima tahun yang lalu.
Ia menemukan kotak berukuran cukup besar. Kotak itu berwarna abu-abu, dengan tulisan di atasnya 'Milik Akbar, putraku' seperti itulah tulisan yang tertera di atas kotak itu.
Entah kenapa, ia baru bisa menemukan kotak itu sekarang. Duduk di tepi tempat tidur dengan memegang kotak itu. Menerka-nerka apa yang ada di dalam kotak itu. Ingin membukanya, namun ia takut karena itu bukan miliknya, itu milik Akbar.
Masih dengan memandangi kotak itu, pintu kamar diketuk dari luar. Terdengar suara Akbar untuk izin masuk.
"Masuk aja, Bar," sahutnya.
Akbar memasuki kamar Ayahnya, ia melihat kotak yang sedang dipegang oleh ayahnya itu. Duduk di tepi kasur seperti ayahnya. "Itu apa?" tanyanya menunjuk kotak berwarna abu-abu itu.
"Oh ini, nih, punya kamu." Fadil menyodorkan kotak itu pada Akbar.
Akbar mengernyit, bingung. Fadil kemudian melanjutkan ucapannya tadi yang kurang jelas ditangkap Akbar. "Itu dari ibu, tadi ayah buka lemari dan nemuin itu. Padahal ayah sering buka lemari, tapi, baru tadi ayah nemuin kotak itu. Tulisannya buat kamu, ambil."
Akbar mengambil kotak itu dan membaca tulisan di atas kotak itu, yang memang untuknya. "Tadi Akbar abis main ke ibu," katanya.
"Gak ngajak-ngajak," balas Fadil membuat Akbar nyengir polos.
"Hehe, ya udah, nanti kapan-kapan ke sana lagi bareng-bareng."
"Ya udah, Akbar ke kamar dulu."
Fadil mengangguk, kemudian menatap punggung Akbar yang kini mulai menjauh dari kamarnya.
Akbar menuju kamarnya, ia memasuki kamarnya. Duduk di atas tempat tidur sambil memandangi kotak itu yang tergeletak di depannya. Setelah lima menit berlalu untuk memandangi kotak itu, ia membukanya. Dilihatnya sebuah baju gamis dengan khimarnya.
Akbar mengerutkan alisnya. Ini maksudnya apa? batinnya dalam hati bertanya-tanya.
Tak hanya sepasang baju saja, tetapi ada juga secarik kertas di sana. Akbar mengambilnya dan membaca surat itu.
Assalamu'alaikum putra ibu.
Kamu pasti kaget ya buka kotak ini? Berapa lama kamu baru lihat kotak ini? Apa ibu masih sama kamu atau enggak?
Kamu bingung kan lihat isinya? Gak paham pasti maksud ibu itu apa, ya kan?
Maksud ibu itu, kasih baju ini sama seseorang yang bisa memikat hati putra yang humoris ini, dalam artian, kasih barang ini sama orang yang kamu cintai setulus hati dan karena Allah. Jangan melihat perempuan dari luarnya, tapi akhlak dan hatinya.
Ibu yakin, suatu saat nanti apa yang kamu pilih itu gak akan salah kalau kamu selalu libatin Allah dalam segala keputusan dan urusan kamu.
Jika nanti kamu sudah memiliki seseorang itu, kamu kasih dia barang ini. Bilang aja salam perkenalan dari ibu, ya. Tolong, jaga perempuan yang kamu cintai nanti, jangan sakiti dia, berusaha lah untuk menjaga perasaannya. Tanyakan apa yang dia mau, sabar dalam menghadapi sifat perempuan yang sensitif. Kamu harus selalu lembut sama perempuan, kayak sama ke ibu sama Ziya.
Baik-baik di dunia yang penuh tipu daya ini, ya. Ibu sayang kamu, ayah dan Ziya.
Salam hangat
Ibumu.
Akbar tersenyum membacanya. Hatinya berdesir hangat, seakan kini ibunya lah yang berbicara seperti itu dihadapannya.
"Akbar janji, Bu. Pasti Akbar bakal kasih ini sama perempuan yang Akbar cintai, itu pasti, Bu. Akbar gak akan kecewain ibu di sana."
•••
Yuhuuu, datang kembali. Lama gak nih updatenya? Maaf, hehe.
Mau bilang sesuatu, maaf kalo pas bagian Akbar itu menyinggung para pembaca laki-laki, gak bermaksud kok. Jadi aku minta maaf kalo misal ada tulisan yang menyinggung atau apalah itu ya?
Siapa tahu aja di sini ada pembaca laki-laki kan?
Indramayu, 06 januari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top