AKRESHA. 02
Jika angin membawa kesejukkan, dan hujan membawa kenangan yang tersimpan di dalam genangan. Maka, kamu membawa senyum yang takkan bisa kulupakan.
-AE-
Hari ini adalah hari libur Esha bekerja. Saat libur seperti ini, biasanya ia akan berada di rumah atau mengajak adiknya pergi ke taman. Esha memang jarang mempunyai waktu untuk Caca, terkadang ia merasa kasihan pada adiknya itu.
Esha sangat beryukur mempunyai Caca, keluarga satu-satunya yang masih berada disisinya. Ia menyayangi Caca, sangat menyayangi. Apapun akan ia lakukan untuk adiknya. Selama hidup dengan Caca, Esha sadar, ia tak pernah benar-benar sendiri. Masih ada adiknya yang selalu bersamanya.
Pagi ini, Esha akan mengajak Caca pergi jalan-jalan naik sepedanya ke arah taman yang cukup jauh dari rumahnya. Mengayuh sepedanya dengan Caca yang duduk di belakang dengan tangan yang melingkar di pinggangnya.
"Kita mau ke mana, Mbak?" tanya Caca.
Esha menoleh ke belakang sebentar, lalu menatap ke arah jalan depan kembali. "Ke taman, tapi, lumayan jauh. Sekalian jalan-jalan, pasti Caca bosen, kan, di rumah?"
"Oke, Mbak. Kalo capek ngayuh sepedanya, gantian sama Caca, ya." Esha tersenyum mendengar ucapan gadis kecil di belakangnya itu. Senyum yang banyak arti dibaliknya, tanpa orang lain ketahui.
Cukup lama Esha mengayuh sepedanya, ternyata ia sudah sampai di taman yang ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang itu. Menyuruh Caca turun dari sepeda, ia pun turun dan menstandar sepedanya. Dan mengajak Caca untuk memasuki kawasan taman itu.
Esha dapat melihat raut senang dari wajah adiknya saat melihat isi taman itu. Jarang sekali ia bisa melihat pemandangan yang paling indah saat adiknya tersenyum bahagia seperti itu. Tangan kirinya menggenggam tangan kanan milik Caca. Adiknya itu menggoyangkan tangannya ke depan dan ke belakang.
"Caca seneng diajak ke sini." ucap Caca, membuat Esha tersenyum, manis, manis sekali.
"Alhamdulillah kalo Caca seneng. Maaf, ya, mbak baru bisa ajak Caca ke sini sekarang."
Caca berhenti melangkah, membuat Esha pun berhenti melangkahkan kakinya. Ia berjongkok supaya tingginya sama dengan tinggi badan Caca. Gadi kecil itu memegang kedua pipi Esha.
"Caca gak papa kalo jarang diajak main keluar kayak gini, asal Caca bisa terus sama, Mbak. Caca sayang sama mbak Esha. Maaf, kalo Caca nyusahin mbak terus." gadis kecil itu terisak pelan. Di umurnya yang 8 tahun itu, ia sudah bisa memahami bagaimana kondisi keluarganya, ayah ibunya dan juga mbaknya.
Caca dirawat dan dibesarkan oleh Esha sejak umurnya masih sangat kecil. Bahkan, ia menganggap Esha bukan Mbaknya, tetapi sudah seperti ibunya sendiri. Perhatian yang Esha berikan untuknya itu lebih dari sekadar perhatian Kakak kepada seorang adik. Lebih dari itu.
Esha terenyuh mendengar penuturan adiknya. Ia tersenyum, matanya menatap sendu gadis kecil di depannya. Mengusap air mata Caca yang membasahi pipi gembulnya.
"Caca gak boleh ngomong gitu, ya. Mbak sayang banget sama Caca. Dan satu lagi, Caca gak pernah nyusahin mbak, kok. Udah, jangan nangis, malu tuh dilihatin orang."
Caca tersenyum lebar. Dan mencium pipi Esha. Esha yang mendapat perlakuan itu pun hanya terkikik geli. Kemudian mengajak Caca kembali berjalan, menyusuri taman yang luas itu.
Saat berjalan, ada beberapa pedagang yang berjualan di taman ini. Mata Caca menatap penjual es krim keliling. Ia menarik pelan baju yang digunakan Esha. "Mbak, Caca mau es krim. Boleh, gak?"
Esha menunduk agar bisa melihat wajah adiknya itu. Kemudian matanya menatap penjual es krim, lalu mengajak adiknya menghampiri penjual es krim itu.
"Om, es krim rasa strawberry aja." kata seorang anak kecil berumur empat tahun pada Omnya. Di umurnya yang empat tahun itu, ia sudah bisa mengucapkan huruf R dengan benar.
Om anak kecil itu mengangguk. "Emak sama anak sama aja, suka banget sama yang rasa strawberry."
Anak kecil yang berada digendongan Omnya itu hanya tersenyum, lucu sekali. Omnya mencium pipi bulatnya itu. Penjual es krim itu memberi satu es krim cup kecil rasa strawberry. Om gadis kecil itu membayar es krimnya kemudian berbalik badan, hampir saja ia menabrak gadis perempuan.
"Astagfirullah, maaf ya, Dek. Gak sengaja. Kaget, ya?" tanya lelaki itu.
Gadis itu menggeleng sambil tersenyum. "Caca gak papa, Om."
Lelaki itu tersenyum. Lalu matanya menatap perempuan di samping gadis yang bernama Caca itu.
"Maaf, ya, mbak. Saya gak sengaja."
Perempuan itu tersenyum. Senyum itu? Senyum gadis beberapa hari yang lalu di warung nasi goreng? batin lelaki itu--Akbar.
"Gak papa, mas. Lagipula adik saya gak papa, kok." Kemudian mata Esha menatap anak kecil yang sedang memakan es krim dalam gendongan Akbar. "Anaknya lucu, mas." katanya.
Akbar melebarkan matanya. Ia tersenyum canggung, "ini bukan anak saya, mbak."
Alis Esha mengernyit, "bukan anaknya? Tapi, kalian kelihatan cocok."
"Ini keponakan saya. Lagipula saya masih sendiri." Esha membulatkan bibirnya mendengar ucapan Akbar. Ia sampai lupa untuk membeli es krim. Untung penjualnya masih di tempat.
"Saya rasa kita pernah ketemu sebelumnya, benar?" tanya Akbar.
Esha menatap wajah Akbar sekilas, mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan lelaki itu atau tidak. Tapi mendengar suaranya, ia seperti tidak asing. Kemudian ia ingat siapa lelaki itu.
"Iya, masnya yang berdiri di samping gerobak nasi goreng, ngehalangin jalan orang lewat. Benar?"
Akbar menggaruk belakang kepalanya. Ia jadi malu sendiri, seharusnya tadi tak usah menanyakan seperti itu pada Esha.
"Iya, hehe.." jeda sebentar, kemudian Akbar kembali bertanya, "saya boleh tahu nama kamu?"
"Nama saya Lintang Ayesha Kamila, panggil saja Esha." jawab Esha dan menyuruh Caca untuk membeli es krimnya terlebih dahulu.
Ting
Seperti ada sesuatu saat mendengar nama itu. Nama yang--tidak asing? Atau apa? Akbar menyadarkan dirinya, lalu pamit pergi dari sana. Karena mungkin saja keponakan kecilnya itu dicari oleh Papanya yang super duper posesif.
Esha menatap punggung tegap itu semakin jauh. "Lho, aku belum tahu nama dia siapa? Ah, yaudahlah." gumamnya.
Setelah selesai membeli es krim, Esha dan Caca duduk bangku taman.
●●●
"Lama banget lo bawa anak gue pergi."
Ucapan itu berasal dari mulut sang Papa dari keponakannya, yang tak lain adalah adik iparnya sendiri, suami dari adiknya, mantu dari orangtuanya yang tak lain ada Zikri.
Akbar mendengus sebal. Posesifnya Zikri tiada tanding, baru saja anaknya berumur empat tahun sudah seposesif itu. Apalagi jika anaknya sudah dewasa? Bisa-bisa keponakannya dikurung kamar, tidak boleh keluar kecualu sekolah.
Ziya terkikik geli melihat sifat posesif Zikri, gadis kecilnya itu kini berada dipangkuannya. Mereka duduk di sofa, mata anak Ziya itu menatap televisi yang sedang menayangkan iklan kartun Cloud Bread.
Gadis kecil itu terkikik geli melihat iklan kartun tersebut. "Mama, Hong Ci-Hong Ci." katanya.
"Iya, itu Hong Shi, sayang."
"Gue cuma ajak anak lo ke taman doang, main sebentar, beli es krim, pulang." jelas Akbar.
"Iya-iya, gue percaya." balas Zikri.
Akbar kemudian mengingat-ingat kejadian tadi saat di taman. Entah kenapa gadis bernama Esha itu kini memenuhi pikirannya. Senyumnya, cara berbicaranya. Ia menggelengkan kepala, menepis pikiran itu, membuat zina saja.
Zikri yang melihat gelagat aneh Akbar itu bertanya, "lo kenapa geleng-geleng gitu?"
"Kalo gue nikah gimana?"
Zikri membulatkan matanya, Ziya langsung menoleh cepat pada abangnya itu. Akbar hanya menggaruk tengkuknya melihat respon dua orang itu.
"Yaudah sana nikah." Zikri berucap seperti itu. Tumben sekali Akbar berbicara tentang nikah. Pasalnya, jika lelaki itu ditanya tentang nikah pasti akan selalu menjadi candaan, tak pernah serius. Tapi, kali ini ia bertanya seperti itu. Aneh sekali.
"Abang ngomong sama ayah dulu. Terus dateng ke rumahnya, khitbah, penentuan tanggal nikah, ijab qobul, sah." Ziya berujar sangat santai sekali. Seolah-olah apa yang ia jelaskan tadi itu sesuatu yang sangat mudah dilaksanakan.
"Dih, dikira segampang itu, Dek? Lagian abang cuma nanya doang. Belum kepikiran sampai situ." sahut Akbar.
Ziya mendengus kecil. "Yaudah, terserah abang aja. Inget, ayah udah gak muda lagi. Pengen lihat abang cepet-cepet nikah."
Akbar menoleh pada Zikri. "Istri lo bawel banget, deh. Lo kasih makan apa?"
Zikri tertawa renyah. "Mau tahu lo?"
Akbar mengangguk semangat.
"Gue kasih makan nasi lauk cinta, minum rasa sayang, dan perhatian yang sangat membuatnya nyaman."
Asli, demi gadis yang ia temui di warung nasi goreng dan di taman tadi. Ingin sekali Akbar menikahinya. Eh? Maksudnya ingin sekali melempar Zikri ke laut eretan kota Indramayu sana.
○○○
Cekakak😄 udah gitu aja
Jangan lupa baca Al Kahfi, ya. Jum'at nih jum'at, hehe
Masih mau lanjut? Fast apa slow update?
Indramayu, 03 januari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top