AKRESHA. 01

Memang ada pertemuan yang hanya sekadar pertemuan. Tapi, aku ingin pertemuan ini berakhir dengan kebersamaan.


-AE-


"Mas, Mbak. Esha pulang duluan, ya."

Perempuan berumur 21 tahun itu bernama Lintang Ayesha Kamila, kerap dipanggil Esha. Saat ini jam kerjanya di Cafe Hehe itu sudah selesai. Ia bekerja di Cafe itu sekitar 2 tahunan, semenjak sudah tak ada keluarganya lagi yang bisa membiayai kehidupannya.

Esha bekerja sebagai pelayan. Bekerja dari pagi sampai sore sekitar pukul lima sore, atau jika ia mengambil shift malam, maka akan sampai jam sembilan atau sepuluh malam. Esha terkenal dengan senyumannya, mungkin karena terbiasa tersenyum menyapa pelanggan.

Saat hendak pulang ke rumahnya, Esha berpamitan pada rekan kerjanya yang usianya lebih dewasa dibandingkan dirinya. Chandra dan Dinda--rekan kerjanya yang sama-sama berusia 24 tahun itu tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Esha.

"Hati-hati, Sha. Kalo ada apa-apa di jalan langsung hubungin, ya." kata Dinda.

Dinda menganggap Esha seperti adiknya sendiri. Ia tahu tentang kehidupan gadis itu, karena Esha selalu mencurahkan isi hatinya padanya. Hanya pada Dindalah, Esha bisa bercerita tentang kehidupannya, dan juga keluh kesahnya. Selain pada Allah, Dindalah tempat kedua ia bisa mengeluarkan apa yang sedang ia rasakan. Dan Chandra, meskipun Esha tidak terlalu dekat dengannya, tetapi Chandra akan selalu memberikan motivasi dan juga semangat pada Esha. Hanya pada dua orang itulah Esha percaya.

"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum, mbak, mas." Esha memakai tas slempangnya dan berjalan keluar Cafe.

"Wa'alaikumsallam." jawab Dinda dan Chandra, kemudian mereka melanjutkan aktivitasnya kembali.

Esha berjalan menuju parkiran Cafe untuk mengambil sepedanya di sana. Ia memakai sepeda peninggalan Ayahnya dulu. Selalu memakai sepeda itu ke mana-mana, meskipun warna sepeda itu sudah hampir pudar. Tetapi, ia sangat menyayangi dan menjaga barang pemberian ayahnya.

Ia mengambil sepeda, lalu menaikinya dan mulai mengayuh pedal sepeda. Jarak antara rumah dan Cafe Hehe tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai. Sore ini, Esha akan membeli nasi goreng untuk makan dirinya dan juga adiknya yang berada di rumah.

Esha memberhentikan sepedanya di samping gerobak nasi goreng samping trotoar jalan. Memesan dua porsi nasi goreng dan duduk di kursi sambil menunggu pesanannya matang. Matanya melihat beberapa orang yang makan di warung itu, ada yang berdua, ada yang sendiri sambil membaca buku dan ada yang sedang memfoto makanannya sendiri. Ia hanya tersenyum melihat itu semua.

Samar-samar Esha mendengar suara seseorang sedang berbicara lewat telefon. Nada bicaranya sangat humoris dan juga terdengar bahagia. Ia melihat laki-laki memakai pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya. Lelaki itu berdiri di samping gerobak.

"Iya, Ayah. Ini lagi beli nasi goreng dulu." ucap lelaki itu menghadap jalan raya yang ramai akan kendaraan.

"..."

"Ayah mantu mulu, deh pengennya. Ya udah, gak jadi nih nasi gorengnya? Biar buat Abang aja. Ayah gak makan malem ini."

"..."

"Iya-iya, ayah. Ya Allah, abang gemes lama-lama. Iya nanti besok abang bawain calon mantu, sekarang pesen nasi goreng dulu buat makan nanti."

"..."

"Abang tutup, ya. Wassalamu'alaikum."

Kemudian lelaki itu terkekeh sebentar dan memasukkan ponselnya di saku celana bahannya. Berbalik badan menghadap penjual nasi goreng untuk memesan dua porsi, tapi bapak penjualnya malah berjalan menuju perempuan yang sedang duduk di kursi.

Mata Esha kemudian mengerjap dan menggeleng pelan. Berusaha sadar apa yang ia lakukan tadi tidak benar, menguping pembicaraan orang lain dan juga menatap lelaki itu.

"Astagfirullah, Esha kok jadi lihatin dia gitu." gumamnya.

"Mbak, ini pesanannya sudah jadi." kata bapak penjual nasi goreng itu sambil menyodorkan kantung plastik berisi dua porsi nasi goreng pesanan Esha.

Esha berdiri dari duduknya dan mengambil uang pas di dalam tasnya. Memberikan uang itu dan mengambil alih pesanannya. "Makasih ya, Pak. Assalamu'alaikum." pamitnya sambil tersenyum.

Bapak itu mengangguk dan menjawab salamnya. Esha berjalan untuk keluar dari warung itu, namun lelaki yang tadi sempat ia perhatikan itu menghalangi jalannya. Bukan menghalangi, lebih tepatnya lelaki itu tidak sadar kalau ia berdiri di tengah jalan untuk orang lewat keluar masuk warung itu.

"Maaf, Mas. Permisi, saya mau lewat."

Lelaki itu sontak terkejut. Ternyata benar, ia menghalangi jalan seseorang. "Oh, ya, maaf Mbak. Silahkan." balasnya seraya mundur mempersilahkan Esha untuk keluar warung.

"Makasih, mas." ucap Esha sedikit menunduk dan tersenyum.

Lelaki itu tersenyum canggung. Dalam hati ia menjerit kalau baru saja menemukan bidadari yang memiliki senyuman maut. Alamat besok benar-benar memang ia akan membawa mantu untuk ayahnya. Ah sudahlah, pikirannya semakin ngaco, pikir lelaki itu.

Tanpa keduanya sadari, dulu mereka pernah lebih dari sekedar pertemuan ini. Saat mereka belum mengerti apa itu arti kehidupan.

Esha menaruh kantung plastik itu di keranjang sepedanya dan mulai mengayuh menuju rumahnya. Senja kini semakin jelas di matanya, sore hampir menjelang malam. Maghrib sebentar lagi akan datang, ia harus cepat-cepat sampai rumah. Pasti adiknya sudah menunggu.

●●●

Esha menaruh sepedanya di halaman rumah yang kecil itu, mengamankannya sampai benar-benar aman. Setelah itu mengambil kantung plastik di keranjang dan memasuki rumahnya.

"Assalamu'alaikum. Caca, mbak pulang, nih. Caca di mana?"

Esha mengucapkan salam dan memanggil adiknya sambil menaruh makanan yang tadi ia beli di atas meja. Rumahnya hanya berlantai satu, ada tiga kamar, ruang tengah dengan ruang tamu jadi satu beserta televisi, kamar mandi satu dan juga dapur. Rumah sederhana namun berarti bagi Esha itu hanya ada dirinya dan juga Caca di dalamnya.

Caca keluar dari kamarnya dengan memakai mukenah atasnya saja. Gadis kecil berumur 8 tahun itu berjalan mendekati Esha.

"Caca udah siap mau sholat, ya? Mbak bawa nasi goreng, nanti kita makan setelah sholat maghrib, ya. Sekarang mbak mau bersih-bersih dulu, nanti sholat di kamar Caca, ya." Esha mengusap kepala adiknya itu dengan sayang.

"Iya, kalo gitu Caca masuk kamar lagi, ya. Nunggu mbak selesai bersih-bersih." kata Caca masuk kembali ke kamarnya.

Esha segera membersihkan dirinya sebelum adzan maghrib berkumandang.

●●●

Akbar memasuki rumahnya sambil mengucap salam. Di tangannya menenteng kantung plastik berisi nasi goreng yang ia beli tadi saat perjalanan pulang dari kantornya. Menaruh makanan itu di meja makan dan langsung membersihkan dirinya, karena ia akan menuju masjid bersama Ayahnya yang tadi sedang berada di dalam kamar, sedang bersiap-siap.

Setelah selesai, Akbar kini memakai sarung, baju koko dan peci hitam yang melekat di kepalanya. Menuruni anak tangga dan langsung menuju masjid bersama ayahnya.

Setelah pulang sholat maghrib dan isya di masjid, Akbar dan ayahnya pulang ke rumah. Mereka memakan nasi goreng yang sudah dingin itu. Sesekali mengobrol tentang pekerjaan Akbar di kantor dan...

"Gimana sama calon mantu?"

Selalu itu pertanyaan Ayahnya--Fadil pada Akbar. Entah kenapa setiap hari, setiap saat jika sedang bersama pertanyaan itu pasti diselipkan dalam pembicaraan. Terkadang Akbar bingung untuk menjawab apa atas pertanyaan ayahnya, ujung-ujungnya ia akan menjawab seperti ini;

"Iya, besok Akbar bawain. Satu, yang sholehah, baik, sayang sama ayah, lembut. Paket komplit itu."

"Paket komplit sih paket komplit, tapi, kapan nemunya?"

"Besok, Yah. Besok."

Hening seketika. Nasi goreng yang Akbar makan sudah habis, ia meneguk air minumnya sampai habis. Setelah itu kembali berbicara pada Ayahnya.

"Tadi Akbar ketemu orang." katanya.

Fadil menatap Akbar dengan heran sambil masih mengunyah makanan dalam mulutnya.

"Ya iyalah ketemu orang, kan kamu tiap hari juga ketemu manusia."

Akbar mendengus. Sabar-sabar, orang sabar jodohnya pasti baik. Aamiin, batinnya.

"Gak kerasa ya, Yah. Udah lima tahun ibu ninggalin kita."

Fadil tersenyum tipis. Meminum airnya hingga habis. Memang benar apa yang dikatakan Akbar, sudah lima tahun Ulfa--sang istri meninggalkan dirinya dan juga anak-anaknya. Suasana di meja makan serasa melow. Tapi pasti setelah ini ucapan Fadil akan merusak suasana hati Akbar.

"Iya, waktu emang cepet banget. Makanya cepet punya istri. Adek kamu aja anaknya udah umur empat tahun. Kamu masih gini-gini aja."

Nah, kan? Akbar tidak akan marah bila Ayahnya mengatakan seperti itu, bahkan dia membenarkan ucapan ayahnya. Tapi, ya mau gimana lagi? Sampai saat ini belum ada perempuan yang mantap untuk ia jadikan istri--lebih tepatnya belum menemukan.

"Iya-iya. Besok Akbar bawain, ya. Sekarang mau ke kamar dulu, istirahat. Ayah, juga istirahat."

Kemudian Akbar melengos pergi meninggalkan ayahnya yang hanya bisa menggeleng melihat dirinya.

●●●

Ulala, part pertama begini, huehehe...

Siapa yang nunggu Bang Akbar?

Lanjut atau stop?

Indramayu, 27-12-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top