5 : r e s a h :

5

: r e s a h :



AKHIR pekan jarang Aksel habiskan hanya dengan berdiam diri di rumah. Kecuali jika dia sedang dalam masa-masa jadi maniak video games atau maraton menonton serial TV favoritnya.

Tiga bulan pertama di Singapura sudah Aksel habiskan dengan mendatangi tempat-tempat yang hits di sana tiap akhir pekan. Singapura kota yang nyaman, tetapi terlalu sempit untuk Aksel jelajahi. Pada akhirnya Aksel akan bertemu teman-temannya di lokasi yang itu-itu lagi.

Pada pagi di akhir pekan ini, Aksel menghabiskannya dengan tidur. Dia baru bangun jam sepuluh, mandi, lalu menyalakan TV. Hari ini dia sedang tidak mood main game. Jose dan Erik pun juga sedang ada kegiatan. Paling hanya ada Sagara. Tapi jelas Aksel tak berniat menghabiskan akhir pekan hanya dengan rivalnya.

Setelah berkali-kali mengganti saluran, Aksel mematikan TV dan beranjak ke rak bukunya, mengambil satu buku dan melihat ke sekitar. Dia tak terlalu suka sendirian dalam rumah. Kemudian muncul ide di otaknya untuk mencari kedai kopi. Dia bisa sarapan dan berdiam di sana sambil membaca buku.

Lima belas menit kemudian, Aksel sudah membawa mobil keluar dari apartemennya. Tas selempang di jok sebelahnya telah diisi dengan dua buku—jaga-jaga jika dia bosan dengan buku satu, jadi bisa pindah membaca buku lainnya. Tentu dia bisa membawa tab berisi e-book untuk meringankan bobot bawaan. But he loves the authentic feelings when he reads a book. Teknologi digital yang semakin canggih tak membuatnya hilang keinginan untuk mencium aroma buku dan merasakan tekstur kertas ketika dia membalik halaman. The feelings are authethic and he doesn't want that to be replaced.

Okay, jeez, he sounds like a geek.

Pilihan kedai kopi Aksel berlabuh di lokasi yang belum pernah dia singgahi. Kedai itu bernnama Brew It, Cal, dan kelihatan baru buka. Interiornya didominasi warna putih dengan banyak tanaman di sudut ruangan, memberi kesan bersih dan segar. Suasananya tidak ramai. Suara latar orang-orang mengobrol tak terlalu kentara terdengar.

Aksel ke kasir untuk memesan espresso dan English breakfast terlepas dari jam yang sudah menunjuk ke waktu makan siang. Dia menempati kursi tinggi seperti kursi bar dengan meja panjang menempel ke jendela, menghadap jalanan langsung. Posisinya jauh dari speaker agar momen membacanya nanti tak terganggu.

Lembar pertama buku Dostoevsky dibuka oleh Aksel perlahan. Dia kemudian baru teringat kacamata bacanya. Aksel sudah cek mata bulan lalu dan ternyata matanya rabun dekat. Hipermetropia. Harus pakai kacamata dengan lensa cembung. Aksel mendengus. Gagasan bahwa dia akan mengenakan kacamata plus seperti kakek-kakek itu terasa konyol dan tak mungkin terjadi hingga akhirnya sungguh kejadian seperti sekarang.

Aksel mengenakan kacamatanya dan mulai membaca. Lembar bukunya terbuka sampai halaman keempat saat rasa panas tiba-tiba menyengat kulit tangannya. Aksel mendesis dan mengangkat kepala. Seorang pelayan wanita terkesiap melihat kopi yang dia bawa tumpah ke tangan Aksel. Mulutnya pun mengucap maaf berkali-kali sambil menunduk.

"It's fine." Aksel mengangkat tangannya yang terasa panas. Kopi tadi hanya menciprat sedikit ke baju dan tak mengenai bukunya. "Just clean this mess, okay?"

Tanpa melihat respons pelayan itu, Aksel segera melangkah ke kamar mandi. Dia perlu mengalirkan air dingin ke kulitnya. Kulitnya memang bukan disiram air mendidih, tapi tetap saja panas menyengat.

Setelah menghabiskan beberapa jenak di wastafel, Aksel merapikan rambut dan bajunya di depan kaca. Tentu saja penampilannya tetap memesona meski ada sedikit bekas cipratan kopi di sisi bajunya. Beruntung bajunya berwarna gelap. Bekas kopi itu jadi agak tersamarkan.

Langkah Aksel keluar dari kamar mandi. Matanya mengedar ke sekitar dan menyadari tatapan perempuan yang mengikutinya. Orang-orang yang tak menatapnya terlihat sedang sibuk dengan ponsel, sibuk dengan makanannya sendiri, atau sibuk dengan buku yang dibacanya.

Wait, what?

Gerak Aksel terhenti. Kepalanya menoleh ke arah seseorang yang membaca buku di booth sofa yang menempel dengan jendela. Rambut keritingnya yang familier, kulitnya yang sewarna zaitun, sepasang kaki jenjang, Aksel kenal ciri fisik itu. Kenapa kebetulan amat ada di sini?

Otak Aksel berusaha mengais-ngais ingatan tentang Kintan. Dan ingatan terakhirnya melayang pada saat dia mengantar Kintan ke apartemennya

Oh iya, ini kan daerah apartemennya Kintan ya.

Kaki Aksel langsung bergerak secara intuitif untuk mendatangi meja Kintan. Perempuan itu menempati meja di bagian belakang kafe. Dekat kamar mandi dan jauh dari pintu masuk. Spot yang Kintan pilih memang sangat aman dari gangguan membaca. Pantas saja Aksel tak menangkap sosok Kintan saat tadi masuk kafe.

Dehaman Aksel menjadi pembuka saat dia sudah berada di depan meja Kintan. Perempuan itu sedang tersenyum-senyum membaca buku. Pandangannya terangkat ketika mendengar dehaman Aksel.

"Eh, Aksel," gumam Kintan, menurunkan bukunya. "Wah, kamu ngapain di sini? Ketemu orang?"

"Enggak. Iseng aja main-main ke daerah sini." Aksel duduk di booth sofa seberang Kintan. "Lo sendiri ngapain? Baca buku di kafe biar berasa kayak di film-film romantis?"

"Semacam itu? Di sini suasananya enak, nggak ramai." Kintan melempar senyum. "Jadi, kamu ke sini buat beli kopi aja?"

"Gue baca."

Kintan mengernyit. "Baca ... buku?"

"Ya masa baca pikiran?"

Kintan tertawa. "Bukan. Cuma, kaget aja. Aku nggak nyangka ternyata kamu tipe yang mau dateng ke coffee shop sendirian cuma untuk baca buku."

Senyum miring Aksel terbentuk. "May I join you in here?"

"Sure."

"Great. Gue ambil barang-barang gue dulu."

Semenit kemudian, Aksel sudah kembali dengan tas selempang dan kupon dari pelayan—sebagai tanda minta maaf karena sudah menumpahkan espresso. Dia meletakkan tas selempangnya di booth sofa seberang Kintan dan duduk sambil mengeluarkan bukunya.

"Sejak kapan kamu pakai kacamata?" tanya Kintan.

"Sejak bulan lalu. Coba tebak ini kacamata minus atau kacamata silinder?"

"Nggak dua-duanya?"

Aksel menyengir. "Jawaban lo aneh."

"Aneh?"

"Iya. Biasanya orang jawab nggak tahu, males jawab, langsung nanya apa jawabannya, atau nanya apa itu beda minus sama silinder kalau mereka emang nggak ngerti lensa."

Alis Kintan bertaut. "Tapi ... pertanyaan kamu juga aneh. Kenapa cuma ngasih opsi jawaban silinder atau minus? Seolah mau mengalihkan fokus orang biar pada mikir jawabannya cuma dua opsi itu, di saat sebenarnya ada jawaban lain yang sengaja disembunyikan."

Aksel memaksakan senyum. "Aren't we reading too far from this simple question?"

"Does that makes you feel uncomfortable?"

Aksel tak tahu harus menjawab jujur atau tidak, atau apakah dia memang merasa tidak nyaman seperti kata Kintan. Dia tak tahu apa definisi perasaan yang tepat dari resah yang menjalari dirinya kini. Ini bukan resah yang membuatnya ingin cepat-cepat pergi menjauh, melainkan resah yang menguncinya tetap duduk di sini untuk menunggu-nunggu apa kalimat Kintan selanjutnya.

Namun, Aksel harus membalas pertanyaan perempuan itu dulu. "Ah, udah lupain aja." Dia mengibas tangan, berharap rasa resah yang mendera barusan juga ikut terkibas. "Eh, iya. Lo suka lihat cowok kacamataan, Kin? Biasanya kan ada cewek-cewek yang lebih demen ngelihat cowok yang berkacamata." Senyum Aksel terulas. Dia menaikkan jembatan kacamatanya dan memasang pose. "So, how do I look? Hotter than ever?"

"Sama aja, kok. Cuma nambah kacamata."

"Sama aja dalam arti selalu sama gantengnya?"

Kintan tersenyum manis. "Why are you asking me the obvious?"

Senyum Aksel meluntur.

Kintan benar. Kenapa? Tidak mungkin dia ingin mendengar Kintan menganggap dirinya menarik, bukan? Dia tak butuh validasi. "Well." Aksel butuh waktu sejenak untuk memberi balasan yang tak canggung. Detik kedua, dia tak paham kenapa dia tadi merasa canggung. "Gue pikir lo butuh diingatkan biar nggak lupa betapa gantengnya gue."

"Biar nggak lupa? Di saat mukamu jelas-jelas ada di depanku?"

"Beruntunglah sepasang mata lo karena muka gue yang selalu ditawarkan buat masuk majalah ini memilih untuk berada di hadapan lo sekarang."

"Bless your charming words."

"Bless my charming existence."

Seorang pelayan datang membawa pesanan Aksel. Sang lelaki menyingkirkan buku-bukunya dulu untuk sarapan.

"Sering datang ke sini, Kin?" tanya Aksel. Menyantap scrambled egg di piringnya.

"Iya. Kamu ke sini buat baca buku apa?"

Dagu Aksel mengedik ke arah dua buku yang tertumpuk di meja. "Liat aja sendiri."

Kintan meraih dua buku tersebut. Reaksi yang Aksel harapkan adalah Kintan akan kaget melihat salah satu bukunya. Dan, wajah Kintan memang memberi reaksi yang Aksel harap, tapi juga memberi reaksi yang tak sesuai dugaan. "Kenapa Dostoevsky?"

She clearly saw the other book, right? "Penasaran aja," jawab Aksel, menahan rasa herannya. "Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa. Cuma menurutku, buku dia agak ... disturbing."

Disturbing? Lebih meresahkan buku Dostoevsky daripada buku Guidance To Oral Sex yang ada di tangan kananmu, Kin? Aksel tak habis pikir. "Disturbing kenapa?"

"Hm ... baca aja sendiri, hehe." Kintan mengembalikan kedua buku Aksel ke tengah meja. Seolah melihat buku berisi teknik seks sama sekali tak menyentil rasa penasaran, rasa ingin menggoda, atau rasa ingin mencemooh Aksel. Dan Aksel justru resah sendiri karena tidak melihat reaksi apa pun dari Kintan terkait bukunya yang lain.

Detik-detik selanjutnya Aksel habiskan dengan makan... sendiri, tak ditemani obrolan sebab Kintan lanjut membaca bukunya. Aksel tak terbiasa diam saja seperti ini. Tapi, dia juga sadar bahwa Kintan tidak berkewajiban untuk menemaninya dengan obrolan dan senda-gurau. Aksel pun juga sudah menyatakan bahwa kedatangannya ke sini adalah untuk membaca buku. Jadi, seharusnya dia tak perlu merasa resah karena Kintan tak mengajaknya bicara.

Aksel buru-buru menyelesaikan makanannya. Lantas menyingkirkan piringnya dan membuka halaman terakhir Crime and Punishment yang tadi dia baca. Dia hanya berhasil mencapai pertengahan bab satu sebelum jenuh melanda. Buku itu dia letakkan di meja dalam keadaan terbuka. "Why did you read that book in the first place?"

Kintan mengangkat kepala dari bukunya. Dia tahu Aksel bertanya kepadanya meski mata Aksel mengarah ke jendela. "Sastra klasik rekomendasi."

"Lo baca semua sastra klasik?"

"Mmm, enggak. Cuma beberapa aja. Salah satunya Crime and Punishment."

"Do you like that book?"

"Actually, no. Too disturbing for my taste. Tapi aku belajar banyak dari buku itu."

"Se-disturbing apa, sih? Disturbing karena Raskolnikov menghadapi kemiskinan? Atau ada gore-nya?"

"Nggak ada gore-nya. Dan ya, Raskolnikov memang menghadapi kemiskinan. Tapi bukan itu yang bikin resah. Yang bikin resah justru psikologis Raskolnikov di sepanjang cerita."

Mata Aksel terpejam sambil mengambil napas. "Raskolnikov tuh ribet. He could get more money if he think less and do more. Dia kebanyakan mikir jadinya nggak kerja-kerja."

Kintan terdiam. "Kamu bisa berhenti baca bukunya kalau kamu nggak berselera buat menyelesaikan."

"Gue bosen sama tulisannya." Aksel meraih ponsel. Sebuah ide muncul agar dia bisa menyimak ceritanya tanpa harus membaca. "I have a great idea."

Kintan hanya menyaksikan Aksel yang mengambil earphone dari tasnya, kemudian sibuk dengan ponselnya. Matanya menyipit. Dia ingin bertanya apakah Aksel hanya akan berdiam di sini dan cuma mendengarkan musik. Tapi, pertanyaan itu mungkin akan terkesan mengkerdilkan apa yang ingin dilakukan Aksel. Kintan tak jadi bertanya dan melanjutkan kegiatannya.

Karena Crime and Punishment sudah menjadi salah satu sastra klasik rekomendasi, tak sulit bagi Aksel untuk mencari audiobook yang sudah berdomain publik. Aksel mendengarkan audiobook sambil mengamati jalanan dari jendela. Rasanya seperti didongengi. Dia bisa membayangkan Raskolnikov yang menaiki tangga hingga lantai empat, mengetuk pintu Ivanova dan berbincang dengan land lady itu. Aksel mencium aroma kopi dan masakan, hawa sejuk dari pendingin udara, serta menatap Kintan yang sibuk membaca di depannya. Rasanya menenangkan. He can do this all day, perhaps.

Aksel mencari video di YouTube dan menemukan intisari cerita yang dikisahkan lewat boneka Lego. Dia menontonnya dengan kernyitan sepanjang video. Dia menatap Kintan dan berkata, "Sekarang gue paham kenapa lo menganggap cerita ini disturbing. Gue abis nonton video summary cerita Crime and Punishment dan gue paham."

"Oh?" Kintan mengangkat kepala. Agak merasa bersalah karena tadi berpikir Aksel menghabiskan waktunya cuma dengan mendengarkan lagu, di saat ternyata lelaki itu melakukan hal lain. "Kamu udah tahu ceritanya dari awal sampai habis?"

"Iya, tadi sempat dengerin audiobook. Terus nonton video summary ceritanya gitu." Aksel menopang dagu dengan satu tangan di meja."Raskolnikov is basically an idiot. Idiots are disturbing. Lo resah karena itu, kan?"

Alis Kintan yang menyatu terlihat tak setuju dengan ucapan Aksel. "Bukan, Sel. Yang bikin aku resah bukan itu."

"Terus?"

"It's the moral dilemmas. It feels like ... seandainya kamu mau melakukan sesuatu demi tujuan yang baik, tapi caranya melanggar hukum, will you still dono, wait, nggak sesimpel itu. Karena Raskolnikov miskin, nggak berasal dari keluarga berada atau terpandang, segala hal jadi lebih sulit untuk dia. Dia mau menyelamatkan orang, tapi nggak bisa menyelamatkan dirinya dari pikirannya sendiri. Segala sesuatu yang benar dan yang salah itu kabur ketika dia merasa hopeless, baik itu hopeless batin dan materi. Dia membenarkan perbuatannya yang salah terus-terusan, tapi pada akhirnya tetap aja rasa bersalah selalu menghantui dia."

Aksel terdiam dengan rasa resah perlahan merayap. Dia paham maksud Kintan. Paham bagaimana rasanya ingin menyelamatkan sesuatu yang tak mampu diselamatkan karena masalahnya terlalu besar. Hal itu yang dia dapati dari menyimak monolog Raskolnikov. Dan pada akhirnya Aksel berkesimpulan, "Apa karena baca buku itu bikin lo merasa munafik, makanya lo merasa itu disturbing?"

Kintan menghela napas, terlihat pasrah. "It brought unpleasant feelings."

"Indeed." Aksel menutup ponselnya, melepas earphone dari telinga. Kintan benar. This book is disturbing. Poin-poin pembicaraan dan monolog Raskolnikov dalam buku itu tak bisa tidak mengingatkan Aksel akan apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Kemiskinan. Kemelaratan. Eksekusi hukum yang seringkali tidak masuk akal. Semua masalah itu jelas terlalu besar untuk bisa dia selesaikan.

Sebelum ucapan Aksel selanjutnya keluar, suara seperti timer berbunyi dari arah Kintan. Perempuan itu membuka ponsel dan mematikan timer. Wajah Kintan dibayangi resah lagi.

Kemudian, Kintan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah cap. Kintan menempelkan cap tersebut ke punggung tangannya.

Aksel melotot. What the hell.

"Lo ngapain?" tanya Aksel penasaran. Tubuhnya maju ke depan meja. "Itu cap apa?"

"Itu cap kalau aku nggak berhasil baca buku sesuai target halaman per satu jam. Barusan itu aku gagal."

"What?" Aksel mengerjap. Dia tak bisa tertawa. "Kenapa pakai cap?"

"Biar senantiasa teringat kesalahan."

Aksel terbengong. "Itu..." Aksel menatap cap di punggung tangan Kintan yang bertuliskan 'Saya lalai, saya menyesal', lalu menggelengkan kepala. "Itu kelihatan nggak sehat."

"Ini udah jadi kebiasaan."

"Kebiasaan yang nggak sehat." But hell, emang siapa gue menilai hal kayak gitu ke Kintan? "Tapi, emang beneran ngaruh?"

"Ngaruh. Jadi kan kalau lagi ngelihat tangan jadi selalu keinget kalau aku belum berhasil mencapai target membaca."

"Kenapa nggak dibawa santai aja? Emang harus banget capai target gitu? Emangnya lo lagi belajar buat ujian?"

"Enggak, sih. Tapi, aku punya banyak to-be-read yang belum kebaca. Aku nggak mau daftar to-be-read aku makin numpuk."

Aksel kembali terbengong. Astaga, daftar buku yang sudah masuk daftar akan dibacanya saja jarang sekali dia selesaikan. Daftar itu akan senantiasa menumpuk karena Aksel mudah bosan dan jarang bisa konsisten menyelesaikan bacaan. Dia lebih sering tergoda melakukan hal lain. "Wow, sangat berdedikasi."

Senyum yang terulas di bibir Kintan terlihat seperti ringisan. "Kamu kan udah tahu cerita Crime and Punishment dari summary. Masih mau lanjutin bukunya?"

"Enggak. The book is disturbing."

Kintan hanya tersenyum, mengangguk, lalu lanjut membaca bukunya.

Aduh, udah nih? Gue dicuekin gitu aja? "Baca buku apa, Kin? Sastra klasik rekomendasi juga?"

"Bukan. Ini novel fiksi fantasi."

"Oh, nggak disturbing kayak Crime and Punishment, ya."

"Disturbing juga, sih. Tapi dengan cara yang berbeda."

Aksel menghela napas. "Kalau cerita itu disturbing kenapa dilanjutin?"

"Karena aku mau tahu kenapa tokohnya bisa jadi kayak gitu. Kenapa mereka sebegitunya berkutat dengan pikirannya sendiri, atau kenapa si tokoh bisa begitu kejam dan tegaan kayak tokoh utama di cerita ini."

"Sekejam dan setega apa?"

"Kamu nggak masalah kena spoiler?"

"Bermasalah, sih. Tapi, coba kasih bagian yang nggak terlalu spoiler."

"Oke. Jadi, tokoh utamanya cewek, namanya Rin. Dia hidup di keluarga miskin yang mau nikahin dia sama pria kaya yang jauh lebih tua. Rin nggak mau dinikahin, jadi dia belajar keras supaya bisa lolos tes masuk akademi militer meski Rin nggak ikut sekolah formal. Bisa tebak apa aja yang dia lakukan untuk belajar?"

"Hng ... dia menyelinap ke sekolah formal dan belajar diem-diem?"

"Bukan. Dia menyogok seorang guru sekolah untuk ngajar dia. Disogoknya pakai narkoba, karena selama ini Rin tahu guru tersebut addicted. "

"Anjir," umpat Aksel, merasa tertarik. "Terus?"

"Terus, dua bulan sebelum ujian dimulai, Rin makin resah kalau dia nggak berhasil lolos tes. Coba tebak gimana cara Rin menghilangkan rasa resahnya?"

"Ngobrol ke gurunya? Curhat?"

"Yep. Terus?"

"Terus?" Mata Aksel menyipit ketika dia memutar otak. "Dia ... belajar sampai nggak tidur?"

"Iya. Tapi kan, namanya manusia pasti bakal ngantuk. Rin udah cerdas banget, bahkan gurunya menganggap Rin murid terbaik yang pernah dia ajar. Tapi, Rin mau memorinya benar-benar sempurna dalam menguasai materi ujian. But 'good' is not enough for her. Dia nggak tidur demi belajar, tapi esoknya dia jadi susah fokus belajar karena ngantuk terus. Dia pun bertanya ke gurunya gimana cara agar dia bisa tetap fokus belajar."

"Dan si guru bilang Rin sudah melakukan yang terbaik, jadi jangan maksain diri?"

"SI guru bercerita tentang kisah seseorang yang belajar tapi sampai menyakiti dirinya sendiri. Poin yang ingin gurunya sampaikan adalah, Rin tinggal sedikit lagi menyempurnakan penguasaan materi, dan karenanya jangan sampai Rin menyakiti diri sendiri dalam proses belajarnya."

"Kayaknya ada 'tapi'?"

"Yep. Tapi, poin yang Rin ambil dari cerita itu justru: rasa sakit membuat manusia fokus. Jadi, tiap malam saat belajar, setiap kali Rin mengantuk, Rin akan meneteskan lilin panas ke tangannya supaya rasa sakit itu bikin kantuknya hilang dan Rin tetap fokus belajar."

"Sakit."

"Dan yang kuceritakan itu baru chapter satunya."

"Anjir." Aksel menyengir. Benar-benar tertarik. "Hand me the book. I wanna read it."

"Ini." Kintan menunjukkan sampul buku yang dia baca. "Aku cuma punya satu dan sekarang lagi kubaca, jadi belum bisa minjemin bukunya ke kamu."

"Ada di toko buku?"

"Ada. Sebelah kafe ini toko buku, kok. Kamu mau beli?"

"Maulah." Aksel mencatat nama buku dan pengarangnya di catatan ponsel. "Eh, serius di sebelah ada toko buku?"

"Ada kok. Kadang aku suka mampir. Kamu mau ke sana sekarang?"

"Iyalah. Ngapain buang-buang waktu."

"Mau ditemenin?"

Aksel membeku. Lalu menatap Kintan sambil tersenyum-senyum setengah menyengir. "Hehe."

Kintan membereskan barang-barangnya bersama Aksel. Di tengah itu, Aksel bertanya, "Eh, emangnya lo mau langsung pergi?"

Kintan mengangguk. "Aku udah di sini dari pagi. Nanti aku ada tamu, makanya sekalian pulang aja." Dia menyampirkan tas tangannya di pundak. "Yuk."

Setelah membayar tagihan masing-masing, mereka keluar kafe dan memasuki toko buku yang terletak hanya beberapa blok di sebelah Brew it, Cal. Melihat rak-rak buku terbagi berdasarkan genre, Aksel menatap rak-rak dan bertanya ke Kintan, "Itu tadi masuk genre apa? Fantasi?"

"Iya. Tapi, kadang ada yang masukin buku ini masuk ke genre Young Adult."

"Hm." Aksel menelusuri buku-buku dari rak yang ada. "Buku lama?"

"Nggak terlalu kok. Tahun lalu terbitnya."

"Ehhh, udah ketemu!" cetus Aksel, meraih buku bersampul putih dan menunjukkannya kepada Kintan. "Ini, kan? The Poppy War by R. F. Kuang."

Kintan tak bisa tak tersenyum melihat kelakuan Aksel yang seperti anak kecil menemukan mainan impiannya. "Iya. Untung ketemu."

"Yes, lucky me." Aksel tersenyum menatapi buku di tangannya. "Gue bayar dulu, ya."

Kintan mengikuti Aksel yang mengantre membayar buku. Dia berdiri di sebelah lelaki itu. Aksel menyadari tinggi Kintan yang setara dengannya ketika Kintan mengenakan alas kaki berhak tinggi. Ketika Aksel menatap Kintan dari sudut matanya, mata mereka spontan langsung bertemu. Jarak wajah mereka tak terlalu dekat, tetapi cukup bagi Aksel untuk melihat bibir Kintan yang dipulas warna merah agak kecokelatan. Warnanya pas, tidak terlalu gelap. It blends well with her skin.

"Excuse me, Sir. Is there anything that I can help?"

Aksel agak tersentak. Dia menoleh ke depan dan baru tersadar antreannya sudah habis. "Oh-uh." Aksel maju, memberikan buku di tangannya ke meja kasir. "I would like to buy this."

Usai membayar, Aksel memasukkan buku itu di tas selempangnya dan keluar bersama Kintan. Sudah cukup sampai sini kegiatan mereka berakhir. Aksel merasakan sedikit rasa tak rela untuk mengakhirinya. "Udah mau pulang?" tanya Aksel.

Kintan memainkan tali tasnya dan mengangguk. "Thank you for today. Ngobrolin buku sama kamu tadi menyenangkan."

Dalam situasi normal, Aksel pasti melemparkan balasan menggoda. Namun kini, Aksel justru sejenak membatu karena dia tak menyangka Kintan akan berkata bahwa menghabiskan waktu bersamanya terasa menyenangkan. "Y-yeah. I also had fun. Perhaps ... we can do this again sometime?"

"Baca buku bareng kayak tadi? Kamu mau buddy reads The Poppy War?"

"Boleh. Lo udah sampai bab berapa? I'll catch up with you."

Kintan membuka bukunya dan mengecek bagian terakhir yang dia baca. "Bab tujuh."

"Bisalah gue kejar." Aksel menyengir. "See you later, then?"

"See you later." Kintan tersenyum dan melambaikan tangan, lalu berbalik dan berjalan ke rumahnya.

Aksel menatapi perempuan yang berjalan menjauh di depannya. Dia menghela napas, berbalik menuju tempat mobilnya diparkir untuk pulang ke apartemennya.

Ketika sampai di rumah, Aksel baru menyadari betapa anehnya hari yang dia alami. Tidak, bukan harinya yang aneh. Tapi manusia yang menghabiskan waktu bersamanyalah yang aneh. Kintan yang aneh. Mendatangkan rasa asing yang tak bisa Aksel identifikasi dan Aksel paling tidak bisa menghiraukan sesuatu yang asing. Rasa penasarannya selalu terpantik pada sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dieksplorasi.

Namun perkara perasaan, bagaimana dia bisa mengidentifikasi sesuatu yang bahkan tak bisa dia indera?

[ ].



A/N

The Poppy War belom ada versi terjemahan bahasa Indonesia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top