3 : Alkohol :


3

: a l k o h o l :



BERTEMU dengan Sagara membuat Aksel ingin cepat pulang saja rasanya.

Setelah hampir satu setengah jam menghabiskan waktu bersama teman-teman kantornya di bar, Aksel memilih untuk pulang di menit ke-40 setelah Sagara datang. Barangkali Aksel berlebihan. Namun, Aksel selalu percaya pada intuisinya. Dan intuisinya berkata bahwa Gara berbahaya.

Aksel memilih pulang dengan alasan bahwa dia ada kencan. Tentu itu dusta. Dan dia bisa melihat mata Gara menatapnya dengan tatapan kalkulatif—tatapan yang agak-agak mirip dengan Virga, sebenarnya. Tatapan yang menyiratkan dia bisa mencium kebohongan Aksel.

Aksel mengabaikannya. Lanjut saja menuruni gedung untuk mengambil Lambhorgini-nya dan berkendara menuju rumah. Menuju apartemen tempatnya tinggal.

Jalanan yang dia lewati tidak ramai. Ketika mobilnya bertemu lampu merah, Aksel menghentikan laju mobil, lalu bersandar di joknya, mendengarkan suara seorang penyanyi dari radio. Telinganya menangkap penggalan lirik dari lagunya.


I pick my poison and it's you

Nothing could kill me like you do


Aksel menggelengkan kepala. Lagu bucin, pikirnya sambil mendengus. Dan beberapa detik selanjutnya, dia jadi teringat Virga. Itu lagu bucin, and here I am, agreeing with the lyrics.

Mata Aksel beralih dari jalanan ke arah gantungan kulit-kulit kerang di spion dalam mobilnya. Otaknya mengingat memori masa lalu, masa ketika dia juga pernah membuat hiasan bunga daisy untuk Virga kecil dari kulit-kulit kerang. Masih dia ingat lampion-lampion yang dia buat untuk kejutan ulang tahun gadis kecil itu. Masih pula dia ingat tangis Virga sambil dia peluk. Aksel masih ingat rasa pelukan itu ketika dia memejamkan matanya. Memori rasa nyaman dan menenangkan yang dia dapat dari pelukan Virga kecil membuatnya ingin merasakan kembali rasa tenang itu. Virga selalu berhasil menenangkan sisi impulsif dan agresifnya. Membuatnya tunduk dan tak berani macam-macam. Hanya Virga. Selalu Virga. It almost feels like she was made for him. Like the Yang to his Yin.

Dan dia tahu itu tidak sehat.

Lampu hijau menyala. Aksel tancap gas membawa mobilnya ke Marina Bay. Singapura adalah negara kecil. Ukurannya bahkan hanya lebih kecil daripada kota Jakarta digabung kota Bekasi. Bukan hal sulit berkeliling ke seluruh bagian Singapura dengan kendaraan dalam sehari—berkeliling saja, bukan menikmati lokasi wisata di tiap sudutnya. Sehingga Aksel merasa bisa sesuka hati berkendara dari ujung ke ujung Singapura. He loves the ride.

Sesampainya di lokasi patung Merlion, Aksel memarkirkan mobil dan berjalan melihat lautan dari sisi sampingnya. Malam mengaburkan birunya laut. Hanya tertangkap garis-garis gelombang tenang yang naik-turun lewat cahaya lampu-lampu sepanjang jalan.

Aksel berhenti di salah satu sudut. Tangannya tersilang di atas birai pembatas jembatan. Di sekitarnya terpampang gedung-gedung Marina Bay Sands dan patung singa setengah ikan yang mengucurkan air dari mulut. Matanya memandangi lautan. Sudah lama dia tak menikmati waktu sendirian seperti ini.

Lautan mengingatkannya ketika dia liburan di Lombok dan pertama kali bertemu Virga kecil. Entah apa yang Tuhan lihat darinya hingga mempertemukannyadengan gadis seluar biasa Virga. Berhubungan dengan Virga selalu menenangkan danmenyenangkan. Dia tak pernah merasakan hal itu dari hubungan interpersonalnyake manusia-manusia lain. Dengan orang-orang lain Aksel merasa seperti api; terbakar semangat untuk melewati tantangan satu ke tantangan lainnya dalam hidup, tak mau melewatkan hal-hal menyenangkan sebab hidup hanya sekali. Dengan Virga, Aksel diam dan mengamati, lebih ingin mendengarkan. Virga bagaikan rumah yang pasti akan dia datangi jika dia lelah dengan dunia. Virga adalah penyimbang hidupnya.

Nyatanya tidak demikian.

Semakin Aksel pikirkan keputusannya untuk melepas Virga, semakin dia yakin itu adalah hal yang tepat untuk dia lakukan—baik untuk kebaikan Virga dan kebaikannya sendiri. Sebab Aksel semakin lama jadi tak yakin bahwa dia mencintai Virga secara romantis. Apa iya cinta, di saat yang ingin dia lakukan ke Virga hanyalah memberi afeksi kasih sayang seperti kakak kepada adiknya?

Aksel selama ini tak pernah bisa menjelaskan hubungannya dengan Virga—and he prefers it that way. Memberikan label atau memasukkan suatu hubungan ke dalam boks tertentu untuknya terlalu sempit. Dan label 'teman' untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Virga terlalu sempit, sebab Virga baginya lebih dari teman biasa. Bukan sahabat, bukan kekasih, bukan pula saudara, tetapi Aksel merasa Virga seperti adik baginya. Dan mungkin itu adalah label yang paling dekat untuk menjelaskan hubungannya dengan Virga saat ini. Label "kakak-adik". Aksel sendiri merasa jijik jika membayangkan dia mencium bibir Virga—dan tubuhnya seketika bergidik ngeri cukup dengan membayangkannya saja, rasanya dia seperti sedang berbuat kriminal. Seorang kakak lelaki tak seharusnya mencium bibir adik perempuannya—EWH—karena itu menjijikan.

Aksel menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan bayangan menjijikan di otaknya. Dia punya banyak kink dan fetish aneh terkait hal-hal seksual, tetapi incest bukan salah satunya. Kendati demikian, Aksel akan senantiasa menganggap Virga sebagai salah satu orang penting dalam hidupnya.

Sekarang ketika Aksel sudah lebih jelas mengetahui perasaannya kepada Virga, dia jadi ragu dia pernah jatuh cinta. Apa pula cinta itu? Apa dia harus memeriksa kadar hormon-hormon tertentu dalam tubuhnya untuk tahu apa dia sedang jatuh cinta atau tidak?

Menghela napas, Aksel pergi dari dermaga, kembali ke mobilnya. Rasa-rasanya dia jadi ingin menikmati bir malam ini. Mungkin dia bisa minum sambil menonton sesuatu yang seru di saluran TV prabayarnya.

Sebelum pulang, Aksel membawa mobilnya untuk parkir di depan midimarket terdekat. Dia butuh mengisi kulkasnya dengan beberapa minuman, termasuk bir yang ingin dia rasakan malam ini. Setelah memarkirkan mobilnya di depan midimarket, Aksel keluar dan mengunci Lambhorgini-nya. Beberapa orang yang tengah duduk di depan midimarket itu terang-terangan menatap Aksel dan mobil yang dia bawa. Aksel mengabaikannya. Sudah terbiasa mendapat tatapan mata kagum dari siapa pun.

Aksel langsung melangkah ke bagian kulkas minuman begitu memasuki midimarket. Diambilnya beberapa botol minuman beralkohol dari sana. Aksel lalu menutup kulkas, kemudian dia melihat pantulan dirinya di kaca kulkas yang dia tutup.

Sejenak, Aksel memerhatikan wajahnya. Luka bakar yang dia dapat pada pernikahan abangnya kini hanya menyisakan bekas kecil di samping matanya. Tidak ada luka serut. Lukanya hanya luka bakar derajat satu. Bahkan kata dokter, wajahnya bisa kembali sembuh seperti sediakala.

Masih berkaca, Aksel terkaget ketika pintu kulkas di depannya terbuka. Dia terkesiap dan membuat orang yang membuka kulkas itu ikut kaget. "Eh, maaf, maI mean, sorry. I thought you're going to leave. Did I hurt you?" tanya perempuan di samping Aksel. Rambutnya keriting megar. Kulitnya sewarna zaitun. Dan iris cokelatnya melebar ketika melihat lelaki di depannya. "Eh, Aksel?"

"Kintan?" Aksel tersenyum, tak menyangka. "What are you doing in here?"

"Uhm, shopping groceries?" ujar Kintan, sebab itu memang terlihat jelas dari keberadaannya di midimarket. "Aku habis ada acara, terus sebelum pulang mau beli beberapa barang dulu."

"Oh, you're living arround here?" tanya Aksel, lalu mengingatkan diri sendiri kalau dia bisa berbahasa Indonesia dengan Kintan. "Lo tinggal di mana?"

"Flat aku nggak jauh dari sini. Tinggal jalan kaki sepuluh menit." Kintan memegang pegangan pintu kulkas. "Misi, Sel."

"Oh, iya." Aksel segera menyingkir. Membiarkan Kintan mengambil beberapa botol teh kemasan dari sana. "Kin. Lo nggak datang ke traktiran Erik malam ini. Kenapa?"

"Aku ada kerjaan lain." Kintan memasukkan beberapa minuman ke dalam keranjang belanja. "Kamu kenapa di sini? Bukannya apartemen kamu di daerah barat, ya?"

"Tadi gue habis jalan-jalan. Sebelum balik ke apartemen, gue mampir dulu ke midimarket buat beli...." Aksel terdiam sejenak, menyembunyikan botol-botol alkoholnya. "Beli minum, hehe."

Mata Kintan turun ke arah tangan Aksel yang memegang beberapa botol minuman beralkohol. Dia sudah melihat minuman itu digenggam Aksel tadi sebelum membuka kulkas. Sehingga Kintan hanya menatap Aksel dengan senyum sopan.

Aksel memaksakan senyum. "I just need to loosen up a bit."

Kintan masih menatapnya. Dan ada sesuatu dari tatapan Kintan yang membuat Aksel seolah sedang ditelanjangi. Namun ketika Aksel menerka-nerka apa reaksi Kintan, perempuan itu bertanya, "Is there anything that I can help?"

Aksel mengerjap. Bingung karena Kintan justru bertanya seperti itu. Dan tatapan Kintan terlihat tulus ingin membantu, bukan untuk berbasa-basi. Aksel tak bisa menerima sentimen seperti ini. "Uhm, no. This is enough. Gue bayar dulu ke kasir."

"Okay." Kintan tak menekan lebih lanjut. Dia pun mengikuti Aksel ke kasir untuk membayar belanjaannya.

Selesai membayar, Aksel dengan santai menawarkan, "Kin, mau gue anterin pulang, nggak?"

"Jalan kaki bareng?" tanya Kintan, mendorong pintu midimarket keluar. Bicara seperti ini karena dia tak jarang melihat warga Singapura ke sana-kemari dengan jalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Sehingga dia pikir Aksel pun juga mengikuti kebiasaan itu. "Aku sih ayo-ayo aja."

Aksel terkekeh dan ikut keluar bersama Kintan. Dia merogoh kunci mobil dari saku celananya, lalu membuka kunci mobilnya hingga berbunyi beep-beep. "Bukan, Kin. Gue bawa mobil," ujar Aksel, menatap Kintan yang terkejut dengan tatapan geli. "Kenapa kaget?" Mengedikkan kepala ke arah Lambhorgini birunya, Aksel melanjutkan, "Masuk aja, Kin."

Kintan menatapi mobil yang pintunya baru saja terbuka itu sejenak. "Oh." Diamatinya Aksel yang memasukkan barang belanjaannya di jok belakang. Dia berjalan mendekati mobil, membawa goodie bag berisi belanjaannya. "Aku baru tahu kamu beli mobil di sini. Dulu setahuku kamu nggak bawa mobil."

"Itu karena dulu lo yang disuruh jemput gue. Kan nggak mungkin gue langsung nyetir padahal baru keluar dari rumah sakit." Usai Aksel menutup pintu belakang mobil, dia memasuki mobilnya dan duduk di kursi kemudi.

Kintan baru menyusul tindakan Aksel. Lalu memasang sabuk pengaman. "Padahal cuma jalan kaki sepuluh menit ke flat aku. Aneh rasanya jalan kaki sepuluh menit ke rumah aja pakai naik mobil segala."

Aksel terkekeh. Dia menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir. "Tempat tinggal lo di mana, Kin?" tanya Aksel, mengerling ke arah Kintan.

"Dari sini belok kiri, lurus terus sampai ketemu pertigaan, terus belok kanan," jawab Kintan. Aksel menyetir sesuai arahan.

"Udah lama gue nggak lihat lo," ujar Aksel sambil mengemudi. Kintan dipindahkan ke divisi lain ketika dia mulai bekerja di Singapura. Divisi yang berbeda dengan Aksel meski masih satu departemen, tetapi sudah beda lantai dan dia jarang bertemu Kintan. "Gimana di divisi baru?"

"Enak, kok. Orang-orangnya udah cukup kukenal dan welcome," ujar Kintan. "Gimana kerja di sini? Betah?"

"Betah-betah ajalah. Orang nggak macet berat kayak Jakarta." Saat ada lampu merah, Aksel berhenti sejenak, menatap Kintan. "Lo tinggal di flat sendiri, Kin?"

"Oh, enggak. Aku tinggal di flat sama dua adik aku."

"Wah, dua? Lo berapa bersaudara?"

"Tiga. Kamu cuma dua, ya?"

"Iya. Dua. Gue sama abang gue." Setelah lampu berganti warna hijau, Aksel menginjak gas. "Eh iya, gue denger lo aktivis? Aktivis apa?"

"Aktivis buat gerakan self-worth," jawab Kintan, terlihat hati-hati ingin melanjutkan karena Aksel terlihat membagi fokusnya dari menyetir dengan mendengarkannya bicara. Kintan pikir, Aksel hanya ingin tahu untuk sekadar basa-basi, sehingga Kintan tak bercerita banyak. "Tadi gimana traktirannya Erik? Dia traktir di bar yang biasa dia datengin itu bukan, sih?"

"Iya, yang biasa dia datengin. Gue udah beberapa kali ke sana, sih. Tempatnya enak, minumannya juga." Aksel melihat ada gedung mewah yang sepertinya merupakan gedung flat Kintan. "Ini flat lo?"

"Yap." Kintan tersenyum. Terlihat agak kikuk. Dan Aksel tahu ini bukan canggung karena gugup pada dirinya. Kintan gugup karena Aksel tahu tempat tinggalnya adalah di salah satu flat termahal distrik bisnis Singapura. "Makasih buat tumpangannya, ya," ujar Kintan.

"No problemo," balas Aksel, tangannya bersandar di atas setir mobil. "Good night, Darling. Don't forget to dream about me." Lalu dia mengedipkan satu mata dengan genit.

Kintan tertawa. "If I dream about you, it will be a nightmare. So I'd rather wake up soon."

"Wake up and you may see this prince charming in front of you by tomorrow. Dan realita akan terasa lebih indah daripada khayalan."

"Ohh, so this is how you woo a woman." Kintan manggut-manggut. "Such a charming word."

"People love charming words."

"Of course. This world is full of people who love bullshits." Kintan membuka pintu mobilnya. "Good night. Hati-hati di jalan," ujar Kintan, menoleh dan tersenyum ke arah Aksel sebelum keluar mobil, menutup pintunya, kemudian berjalan menjauhi mobil Aksel.

Aksel terdiam sejenak untuk menahan-nahan senyum. Dia suka gaya Kintan. Sudah lama dia ingin mengenal perempuan ini—sudah dari awal ketika mereka pertama kali bertemu. Namun, ayahnya sepertinya tak setuju jika dia mendekati Kintan. Bukan karena Kintan kurang terkualifikasi—tidak, baik Aksel dan seisi kantor pasti yakin Kintan cocok-cocok saja untuk dijadikan menantu CEO PT Bentala Hadi Nusantara. Yang jadi masalah adalah, Kintan sebenarnya adalah cucu dari salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Keluarga Kintan bahkan jauh lebih kaya daripada keluarga Aksel. Dan karena inilah Hardana memindahkan pekerjaan Kintan ke divisi lain. Aksel paham. Ayahnya tak ingin dia macam-macam dengan Kintan.

Menarik napas, Aksel tersenyum menatap Kintan dari balik jendela mobil, lalu menekan klakson untuk tanda pamit, sementara Kintan membalas dengan senyuman dan lambaian tangan sebelum Aksel melajukan mobil menjauhi gadis itu. Berkendara menuju apartemennya sendiri.

[ ].




A/N

Gue tau Kintan di Substansi ga keliatan kayak anak old money. Pelan2 ya buat penjelasannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top