2 : Traktiran :
2
: t r a k t i r a n :
HIDUP adalah permainan sosial bagi Aksel Hadiraja.
Manusia selalu menginginkan sesuatu dalam hidupnya. Seringkali, sesuatu itu hanya bisa diberikan oleh orang lain. Dan, di sinilah permainan sosialnya dimulai. Aksel hanya perlu tahu dan memberikan apa yang diinginkan orang-orang untuk bisa mendapatkan sesuatu dari orang itu.
Ini adalah permainan yang telah dikuasai Aksel sejak bertahun-tahun lalu. Sering keluar untuk berinteraksi dengan banyak orang tiap harinya telah mengasah kemampuan bersosialisasi dan menangkap hal-hal yang biasanya tak dilihat orang lain dalam arena sosial. Kemampuan inilah yang membuatnya selalu selamat dari kejaran orang lain dan mendapatkan nyaris apa pun yang dia inginkan.
Dua bulan setelah pindah ke Singapura, Aksel menghadiri traktiran di bar oleh salah satu Vice President yang satu departemen dengannya. Aksel diundang karena dia kenal baik dengan Erik, Vice President muda seumurannya yang mentraktir. Dan Aksel jelas tak bisa menolak—terutama jika dia luang. Di bar nanti pun juga ada beberapa orang yang sudah dia kenal sejak bekerja di Singapura seperti Jose dan Sagara—all kind of eligible bachelors di kantor Bentala cabang Singapura yang sempat Aksel dengar dari mulut-mulut karyawan. Aksel cepat akrab dengan mereka. Barangkali ini karena sifat dan hobi mereka tak jauh.
Pada Jumat malam selepas pulang kantor, Aksel memasuki bar langganan Erik dan sebagian karyawan kantornya di salah satu sudut Singapura. Bar itu terletak di rooftop gedung. Pemandangan lanskap Singapura terlihat dengan lembayung malam diterangi lampu-lampu kotanya.
Tak sedikit orang Indonesia yang bekerja di sini. Sebagian karyawan yang dulu kerja di cabang Indonesia juga ada yang dipindahkan ke cabang Singapura. Sehingga bebas bagi mereka untuk bicara Bahasa Indonesia ketika sedang bersama.
Aksel duduk dan menikmati minuman pesanannya. Dia mengobrol dengan Erik dan beberapa karyawan lain yang duduk semeja, tetapi matanya beberapa kali menatap ke arah karyawati cantik yang duduk di kursi pojok dan hanya diam. Aksel tak berusaha menyapa atau mendekati gadis itu dalam obrolan bersama. Ketika ada beberapa orang yang pergi untuk duduk dekat barista, ingin melihat permainan sang barista dalam mixing minuman, gadis tadi pun ikut pergi sambil membawa tas kecilnya.
Aksel mengamati sambil meminum cocktail yang dipesankan Erik untuknya—katanya itu salah satu minuman andalan bar ini. Matanya menatap ke arah si gadis cantik tadi, lalu melihat gadis itu perlahan berjalan menjauh dari bar alih-alih menonton aksi mixing barista.
Meletakkan gelasnya, Aksel berjalan cepat menyusul gadis tadi. Pandangannya mengedar dan dia menemukan seorang pelayan wanita agak jauh di depannya.
Aksel mempercepat langkahnya mendekati gadis itu. "Mbak, Mbak!" seru Aksel memanggil pelayan, dan gadis tadi seketika membeku. Aksel mendekat beberapa langkah dan berkata, "Oh, sampai lupa ini di Spore. Excuse me—oh, hei." Aksel kini terang-terangan menatap gadis itu. "You're the girl in Erik's group, right? Lo udah mau pergi?" tanya Aksel kepada perempuan itu.
Gadis itu tak berani menatap Aksel. Gesturnya terlihat gugup.
"Beneran udah mau balik? Kenapa? Nggak suka sama tempatnya?" tanya Aksel. Mendekatkan diri.
Gadis itu menundukkan kepala. "Uhm...."
"Hei...," Aksel berbisik pelan, menahan tangan perempuan itu. Sambil menunduk dan menatap mata sang gadis agak lama, dia melanjutkan, "Plis, bilang ke gue kalau lo belum mau pergi."
Gadis itu terdiam. Lalu mengalihkan pandangan dengan pipi memerah.
Aksel tersenyum. Melepaskan genggamannya sebelum kembali ke teman-teman mereka. Dan, gadis itu tak jadi pergi. Dia duduk kembali di kursinya tadi sambil minum serta tertawa jika ada jokes dari orang-orang. Sementara Aksel terus mengobrol bersama yang lain, kadang mendominasi obrolan dengan bercandaannya, dan mengabaikan perempuan tadi sepenuhnya. Hanya terkadang mata Aksel menatap gadis itu, melihat bahwa gadis itu mencuri-curi pandang terhadapnya.
Bingo.
Hidup adalah permainan sosial. Aksel hanya perlu melemparkan beberapa kalimat yang seketika membuat orang merasa cantik, hebat, pintar, dibutuhkan, atau diinginkan untuk membuat orang-orang itu mudah mengingatnya. Rasanya menyenangkan membuat orang lain feels good about themselves. Dan Aksel bisa melakukannya tanpa berusaha keras berubah menjadi apa yang tak dia inginkan.
Kala Aksel sedang menebak-nebak untuk menggunakan taktik apa mendekati gadis pemalu tadi, pundak Aksel ditepuk oleh Erik. Dengan semangat, Erik menunjuk seseorang dari arah pintu masuk. "Sel, lo harus tahu," ujar Erik, mengacungkan jari telunjuknya. "Cewek cantik yang baru masuk itu Sandara namanya. Dia anak kantor sebelah kita. Sering nonkrong di sini juga."
"The hottest girl in this room," ujar Jose, teman kerja mereka yang juga duduk dekat Erik dan Aksel. "Yah, asal jangan tiba-tiba ada Scarlett Johanson di ruangan ini."
Aksel terkekeh dengan pandangan langsung menatap ke arah perempuan dengan setelan kerja berupa rok pensil dan kemeja. Sandara berjalan bersama teman-temannya yang juga cantik, tetapi jelas tak secantik Sandara. Dan betul, Sandara cantiknya bukan main. Gerak tubuh dan tatapan matanya mengisyaratkan kata 'sensual' dan 'menggoda'. Aksel suka melihatnya. Tak heran banyak lelaki langsung menatapnya begitu Sandara memasuki ruangan. She's simply stunning.
"Elap dulu ilernya, saudara-saudara sekalian," ujar Erik dengan kekehan. "Kelas berat ini mah. Udah nggak terhitung cowok yang deketin, tapi diempas semua sama Sandara."
"Taktiknya salah kali," ujar Aksel. "Ngedeketin cewek kayak Sandara mah nggak bisa cuma dideketin trus lempar rayuan gombal. Nggak akan ngaruh, yang ada lo dianggap cowok hopeless yang nggak ada bedanya sama cowok lain yang ngejar-ngejar dia. Cewek se-hot Sandara kan bukan cewek kuper yang dipuji dan di-flirting dikit langsung baper."
"Enlighten me, then," ujar Jose. "Menurut lo, gimana harusnya deketin Sandara?"
Aksel mau membuktikan, tapi alih-alih, dia menahan keinginan itu. Mengejar dan mendapatkan perempuan yang dianggap paling cantik dan paling seksi untuk jadi pembuktian dan pemuasan ego adalah permainan kecil yang sudah dimainkannya dari dulu. Ini adalah permainan anak muda. Dan semenjak beberapa kejadian, Aksel sadar dirinya sudah tak perlu lagi bermain-main untuk pembuktian diri kepada lelaki lain bahwa dia mampu mendapatkan perempuan terseksi yang sulit ditaklukkan. Waktu bermainnya untuk pembuktian diri ini sudah usai.
Sehingga Aksel tetap duduk manis di tempatnya, mengamati Sandara, lalu berkata, "Lo bener mau tahu gimana caranya dapetin cewek kayak Sandara?"
Erik menjawab, "Try me."
"Jangan deketin dia secara langsung," jawab Aksel, mengamati Sandara sambil menyesap cocktail-nya. "Cewek secantik Sandara pasti tahu dirinya cantik dan udah bosen dideketin dengan cara yang gitu-gitu aja. Kalau lo mau bikin Sandara tertarik ke elo, jangan deketin Sandara-nya langsung." Telunjuk Aksel lalu mengarah ke gadis berkepang di sebelah Sandara. "Tapi, lo deketin temennya Sandara yang nggak secantik Sandara."
"Lah?" respons Jose dengan heran. "Itu kan malah bikin temennya Sandara yang baper ke kita. Gimana deketin Sandara-nya?"
"Ya nggak usah dideketin," jawab Aksel. "Ntar juga si Sandara sendiri yang deketin lo karena dia tertarik. Logikanya gini. Karena Sandara ngelihat lo terang-terangan deketin temennya yang nggak secantik dirinya, Sandara jadi tertarik sama lo, ngelihat lo tuh beda dari cowok lain yang deketin dia hanya karena dia cakep."
"Jadi... kita gunain temennya Sandara yang nggak cakep?" tanya Erik. "Isn't that a bit... mean?"
"Yah, hidup emang kejam kali, Bro," ujar Jose, lalu menatap Aksel. "Lanjutannya gimana, Sel?"
"Oiya, lo harus lakuin flirting-nya langsung di depan si Sandara. Biar Sandara ngelihat," jawab Aksel.
"Trus? Habis itu gimana?" lanjut Jose. "Cuma flirting aja ke temennya Sandara dan bener-bener cuekin si Sandara?"
"Oh, jangan terlalu dicuekin," Aksel menyesap minumannya. "Sesekali, lo kasihlah kesempatan buat si Sandara nimbrung di obrolan lo, tapi tetap fokus lo ke si temennya Sandara. Coba aja dulu."
"Siap, meluncur," balas Jose, meletakkan gelas minumnya, merapikan kemeja lalu berjalan ke arah kawanan Sandara yang tengah duduk di salah satu meja. Aksel dan Erik hanya mengamati dari meja mereka. Sementara itu, Aksel sendiri sudah agak melupakan gadis yang duduk di pojok tadi. Tak sadar bahwa gadis tadi sudah pergi karena sakit hati mendengar penjelasan Aksel tentang cara mendekati gadis cantik seperti Sandara—yakni dengan mengorbankan teman Sandara.
"Pada ngelihatin apa?" tanya suara tenang yang tiba-tiba muncul di samping mereka. Aksel terkejut dan menoleh, mendapati lelaki tinggi dengan kemeja dan vest abu-abu yang senada dengan warna celananya. Rambutnya ditata ke belakang dengan pomade, terlihat rapi, necis, persis seperti gambar model-model yang menggambarkan pesona eligible bachelor.
"Eh, Gara!" seru Erik. Menepuk lengan Sagara. "Kenapa telat lo? Mau pakai alasan basi kejebak macet juga kayak Aksel?"
"As if." Sagara memutar bola matanya. Dia pun duduk di kursi yang tadi ditempati Jose. "Ngelihatin apa tadi? Serius amat," ujar Sagara sambil membuka menunya.
"Eh, gue udah pesenin lo cocktail, ya. Coba itu dulu sebelum yang lain-lain," ujar Erik, menahan menu yang dipegang Sagara.
Mata Sagara menatap Erik sejenak sebelum menjauhkan menunya dari Erik. "I know. Gue cuma mau pesan makanan. I like the oysters in here." Sagara membaca-baca menunya sejenak, lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Usai itu, dia kembali menatap Erik. "So, tadi kalian ngelihatin apa?"
"Jose. Kami ngelihatin Jose sepik-sepik buat deketin Sandara," ujar Erik, mulai menceritakan kronologis awal dan penjelasan Aksel tadi tentang pendekatan dengan gadis seperti Sandara. Sagara mendengarkan sambil menikmati cocktail-nya.
Sementara itu, Aksel mengamati Sagara. Dia datang ke Singapura ini bukan hanya untuk memulai lembar baru. Tetapi juga karena permintaan ayahnya. Masih Aksel ingat seminggu setelah dia kecelakaan, Aksel dipanggil ayahnya dan ayahnya menyatakan seperti ini:
"Sel, Papa belakangan direkomendasi sama BoD dan beberapa petinggi dari cabang Singapura buat melihat calon lain untuk gantiin posisi Papa. Mereka merekomendasikan satu nama, dia kerja di cabang Singapura. Hasil kerja dan semua pencapaian dia mengesankan para komisaris dan BoD. Mungkin kamu udah dengar namanya."
Kini, Aksel melihat sendiri sosok yang dielu-elukan para komisaris dan BoD kantornya, sosok yang mereka gadang-gadang untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO. Sosok itu adalah sosok selain dirinya. Tak peduli jika Aksel sudah sejak SMA dilatih untuk menggantikan posisi ayahnya suatu saat nanti, ada nama lain yang direkomendasikan. Apakah dirinya seburuk itu sampai ayahnya bahkan juga menerima opsi lainnya?
"Memang dia siapa, Pa?"
Pandangan Sagara menatap Aksel, lalu dia tersenyum sopan, tetapi wajahnya terlihat dingin di mata Aksel. Seperti selalu menyimpan sesuatu yang tak mampu Aksel tebak. Lelaki ini menakutkan. Mengintimidasi dengan cara dengan cara yang tak pernah Aksel bayangkan.
"Namanya Gara. Basudewa Sagara. Papa harap kamu bisa berkompetisi sama dia dengan sehat. Pemilihan CEO selanjutnya akan ditentukan dari kinerja kalian ke depannya."
[ ].
A/N
Buat gue, tanda "level up" skill nulisgue dalam penokohan karakter itu ada di cerita Rotasi dan Revolusi. Aklimatisasiadalah cerita Disiden pertama yang gue tulis setelah "level up" ini. Gue harap kalianyang cuma baca Disiden tanpa baca cerita gue yang lain bisa lihat hasinya di ceritaAklimat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top