1 : Memori :

1

: m e m o r i :



BEBERAPA bulan sebelum kerja di Singapura, Aksel masih ingat dia pernah mengobrol dengan keponakannya di suatu acara keluarga.

Acara diadakan di rumah sepupunya, Klavier. Klavier memiliki dua anak kembar yang sudah mulai menginjak usia remaja, yakni Juliet dan Oberon. Aksel sudah biasa bercengkerama dan bercanda dengan mereka. Seperti layaknya paman dan ponakan. Selama bertahun-tahun Aksel selalu memandang ponakannya sebagai anak-anak banyak tingkah yang rusuh dan banyak omong—ciri-ciri yang juga terdengar seperti dirinya, jika dipikir-pikir lagi. Barulah ketika hari itu datang, Aksel menyadari bahwa kedua ponakannya telah menginjak usia remaja.

"Ijul ke mana, Ron?" tanya Aksel kepada Oberon, lalu menyendok es dogernya di ruang tamu. Dilihatnya Bara sedang duduk sambil mengobrol dengan Regen. Ngobrolin tentang rencana nikah kali, ya, pikir Aksel. Saat itu memang tinggal beberapa bulan menuju pernikahan abangnya. Atau paling ngobrolin posisi seks terbaik untuk first timer. "Hmph, es dogernya enak! Bikinan siapa, Ron?"

"Beli di orang langganan Mama. Kalau Ijul Lagi di kamar," jawab Oberon, mengambil nastar dari stoples. "Kenapa nanya si Ijul, Mbak?"

Bangsat nih anak masih aja manggil gue 'Mbak'. "Panggil 'Kakak', Ron," ujar Aksel dengan jengkel. Dia menyuap es dogernya lagi. "Ngapain Ijul di kamar? Orang acaranya ada di sini."

Oberon mengangkat bahu. "Tauk tuh. Katanya sakit perut."

"Hah?" Aksel mengerjap-ngerjap. Otaknya berputar mengingat kapan kali terakhir Juliet tak ikut acara karena sakit perut. "Masa, sih? Dia kan perut bagong segala makanan bisa dimakan. Nggak mungkin diare. Kecuali dia—" Ucapan Aksel terhenti ketika dia menyadari sesuatu. "Ajegile, ponakan gue udah gede."

"Apa, sih? Kecuali apa, Mbak?" tanya Oberon sambil mengemil nastarnya stoples.

Aksel menatap Oberon. Terlihat serius. "Ron, kamu udah dikasih edukasi seks kan di sekolah? Udah tahu menstruasi kan? Kakakmu lagi menstruasi?"

Oberon mengernyit, lalu menggeleng. "Nggak, kok. Bukan lagi mens. Tadi udah kutanyain."

Alis tebal Aksel tertaut. "Yang bener? Beneran cuma sakit perut?"

Lagi, Oberon mengangkat bahu. Dia lalu berbisik kepada Aksel. "Kayaknya sih lagi patah hati, Mbak. Makanya ngurung diri gitu. Aku tahu dari temen sekelasnya si Ijul."

Aksel bergumam. Matanya melirik ke arah serambi atas rumah, tempat kamar-kamar terletak. Berdiri sambil membawa gelas es dogernya, Aksel berjalan menaiki tangga, menuju kamar Juliet yang sudah dia hafal di lantai atas. Tak sulit menemukannya. Ada hiasan berupa anyaman dengan nama anak itu digantung di daun pintu.

Mengangkat tangan, Aksel lalu mengetuk pintu kamar Juliet. "Jul?" panggil Aksel, mengetuk lagi. "Ijul, ini ada Chris Evans di depan kamarmu. Nggak mau disapa?"

Tak butuh waktu lama hingga pintu kamar itu terbuka dari dalam. Sosok Juliet pun muncul dan menghela napas melihat Aksel. "Kenapa, Om?" tanya Juliet. Matanya terlihat sayu. Wajahnya lesu. Dan ini membuat Aksel khawatir.

"Jul, gue boleh masuk ke dalam?" tanya Aksel, lalu diizinkan dengan anggukan oleh Juliet. Gadis itu duduk di kasur kamar, menunggu Aksel selesai menutup pintu lalu duduk di kursi belajarnya.

"Ada apa, Om?" tanya Juliet, mengambil boneka Piglet untuk dia peluk sambil mengobrol.

Aksel menarik napas. Mengamati ponakannya yang sudah masuk SMP itu. Ponakannya sudah makin dewasa. Dan entah mengapa, dia jadi teringat dengan Virga. Virga kecil yang pertama kali dia kenal saat SD, sekarang sudah menjadi perempuan dewasa yang mampu mematahkan hati lelaki. Mendadak Aksel makin sadar betapa tuanya dia. "Ehm, lo sakit? Kata Oberon lo sakit perut?"

"Hm... kurang enak badan aja, Kak." Juliet tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa, kok."

"Seseorang pernah berkata bahwa kalau perempuan bilang dirinya baik-baik saja, berarti sebenarnya dia tak baik-baik saja," ujar Aksel. "Lo juga gitu nggak, Jul?"

"Apa, sih." Juliet tertawa. "Om Aksel ngapain ke sini?"

"Mau ngecek lo. Habis lo mana pernah ngelewatin acara beginian. Mumpung makanan lagi banyak bervariasi gitu, yakali lo lewatin." Aksel terdiam, membiarkan sunyi mengambil alih sejenak sambil mengamati ponakannya. "Ada apa sih, Jul? Masalah cowok?"

Mata Juliet seketika membeliak. Mulutnya terkesiap. "Kok Om Aksel bisa tahu?"

"Ya lo mungkin belum tahu, ya. Leluhur kita tuh ada bakat cenayang dan nurun ke gue gitu," dusta Aksel dengan santai dan bergaya jumawa. Terlihat meyakinkan. "So, what's up with the boy?"

"It's nothing." Juliet memeluk bonekanya dan memandang ke arah lain. "Really, it's nothing."

"Ngakunya sih, it's nothing, tapi lo sampai ngurung diri di kamar gini. Ya kali gue percaya, Jul." Aksel berdiri dan duduk di samping Juliet. Dia mengambil napas sejenak, kemudian memandangi jadwal-jadwal yang ditempel Juliet di dinding kamarnya. "You know, pertama kali gue naksir cewek, gue tuh setia dan cinta beneran sama dia. Nggak tahunya, dia cuma manfaatin gue aja. Nyatanya cinta pertama nggak berakhir seindah apa yang digambarkan media." Aksel mengangkat bahu. "Life."

Juliet menatap Aksel. Dia sudah mengenal Aksel seumur hidupnya. Mereka sedarah. Dan Juliet tahu bahwa seblangsakan apa pun Aksel, dia bisa percaya kepada pamannya ini. "There's this new boy in my class," ujar Juliet, mulai bercerita. "Dia anaknya periang, suka bercanda, pintar, dan seketika jadi pusat perhatian anak-anak kelas. Sementara Om Aksel tahu? Aku itu cuma berani bawel kalau ada Oberon aja, kalau di depan orang-orang terdekat. Kalau di sekolah, aku malah lebih sering diem. Jadi, aku suka merhatiin cowok ini dan aku kagum sama dia. Karena dia pinter banget banget, tapi sikapnya rendah hati sama semua orang, nggak merasa dia paling pintar."

Aksel terdiam, masih menyimak.

Juliet melanjutkan, "Masalahnya, aku ngerasa dia kayak pakai topeng gitu, Om. Aku baru tahu kalau ternyata keluarganya broken. Ada kakaknya yang masuk penjara karena narkoba dan tulang punggung keluarga cuma dari ibunya aja. Dia sendiri jualan makanan gitu ke sekolah buat bantu keuangan keluarganya. Aku pun bantuin dia jualan ke kelas-kelas lain dan kami makin dekat. Dia cerita tentang keluarganya, dan dia bilang dia nggak pernah cerita ini secara langsung ke siapa pun. So I keep it a secret."

Aksel masih menunggu. Dia tahu ada sisi buruknya dari ini.

"Tapi, kemudian dia cerita kalau dia suka sama cewek lain. Dan baru seminggu lalu mereka jadian," lanjut Juliet, lalu menatapi kepala boneka Piglet-nya. "Aku nggak tahu harus ngerasain apa. Senangkah, karena dia bisa jadian sama cewek yang selama ini dia suka? Atau sedih, karena apa yang kulakuin buat bantuin dia terasa sia-sia? Nggak ngerti."

Oh, damn that hurts, pikir Aksel, langsung menarik ponakannya dalam dekapan. Dia mengelus-elus bahu Juliet yang terkulai lesu. Aksel tak mengatakan apa pun karena rasanya tak ada yang perlu dia ucapkan. Dia cukup paham perasaan Juliet meski tak pernah merasakan ada di posisi gadis itu.

"Om," panggil Juliet ketika masih dipeluk Aksel. Aksel membalas dengan gumaman. "Kalau Om Aksel ada di posisi si cowok itu, Om Aksel mau nggak pacarin cewek yang tulus cinta sama Om?"

Aksel mengerjap, lalu tersenyum. "Belum tentu, Jul."

Juliet seketika menjauhkan diri dari Aksel untuk menatap wajah pamannya yang termuda itu. "Kenapa? Om Aksel nggak mau dapetin cewek yang tulus mencintai Om?"

"Nggak ada hal yang tulus di dunia ini, Jul." Aksel tersenyum miring. "Emangnya kamu bantuin si cowok itu jualan dengan tulus? Enggak, buktinya kamu merasa sia-sia bantuin dia setelah tahu dia jadian sama cewek lain. Kamu bantuin dia dengan harapan agar cowok itu naksir kamu balik."

Juliet terdiam, merasa kaget dengan ucapan Aksel.

Aksel terkekeh. "Jangan dipikirin omongan gue. Berat." Dia mengelus kepala Juliet. "Tapi satu hal yang pasti, sih, gue nggak akan mau nerima cewek itu kalau si cewek itu nggak cantik."

"Hah? Om Aksel nggak tulus dong ke cewek itu?"

"Kan emang nggak ada yang tulus di dunia ini. Termasuk gue sendiri."

"Jadi Om Aksel nggak pernah cinta sama orang secara tulus? Tanpa memandang fisik?"

"Nggak pernah," jawab Aksel tegas. "Fisik memang bukan segalanya, tapi segalanya dimulai dari fisik. Sekarang gini deh, Jul. Emang lo mau pacarin atau nikahin cowok yang nggak menganggap lo cantik? Deep down, gue yakin lo pengin dianggap cantik sama cowok yang jadi pasangan lo. Itu manusiawi. Makanya wajarin aja kalau cowok nyari cewek cakep versi dia."

Juliet terdiam. "Hm, iya juga sih, Om."

"Nih ya, Jul. Gue kasih tahu sesuatu dari curhatan lo tadi." Aksel memperbaiki posisi duduknya agar berhadapan dengan Juliet. "Hanya karena seorang cowok muji-muji lo dan deketin lo, belum tentu dia naksir. Hanya karena lo bisa ngertiin seorang cowok yang lo suka, belum tentu cowok itu bakal naksir balik ke elo. Hanya karena seorang cowok bisa banget ngertiin kepribadian lo, bukan berarti dia suka. Hanya karena lo udah mengorbankan banyak hal untuk seorang cowok, belum tentu cowok ini akan balas mengorbankan banyak hal untuk lo, sebab bisa aja lo cuma dimanfaatin. Makanya jangan gampang baper."

Alis Juliet menyatu. "Terus, tahunya cowok ini cinta juga sama kita, dan mau melakukan pengorbanan yang sama besarnya kayak yang kita korbanin ke dia, apa?"

Aksel membisu.

Seumur hidupnya, dia hanya pernah jatuh cinta dua kali. Yang pertama dengan pacar pertama yang berakhir menyelingkuhinya, dan yang kedua adalah dengan Virga.

Virga. Virga. Virga. Virga. The innocent angel that makes the devil inside him surrender.

Or so he thought, sebelum kejadian di pernikahan Bara kelak menimpanya nanti.

Semua perempuan lain yang pernah Aksel jadikan pacar tak pernah benar-benar menempati hati Aksel. Mereka hanya selingan atas kebosanan Aksel. Namun sampai sekarang, meskipun Aksel berpikir Virga adalah yang terbaik, intuisinya berkata bahwa dia tak sebaiknya mengikat komitmen dengan Virga—tidak dulu, belum, tidak sekarang atau esok atau tahun depan. Mungkin beberapa tahun lagi. Tapi, kapan? Aksel tak tahu. Yang dia yakini adalah sekarang, esok, tahun depan, bahkan tahun depannya lagi bukanlah momen yang tepat. Barangkali takkan pernah tepat atau akan berubah jadi tepat karena suatu kejadian.

Sehingga, balasan Aksel untuk pertanyaan Juliet adalah jawaban paling standar seperti yang pernah Aksel lihat di film-film, "Someday, you'll know."

[ ].




A/N

I don't think this story will be romantic. But maybe it will break your heart.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top