29 🌸 Yuukai
Y u u k a i
🌸🌸🌸
"Kapan nih kalian bisa kumpul lagi?" Suara Gladys dari seberang membuat kami bertiga—selain Eren yang menolak ikut—saling melemparkan pandangan.
Video call dilakukan kurang lebih satu jam lalu. Kami yang baru tiga hari lalu pulang dari tempat acara, sudah rindu bersua hingga akhirnya Gladys berinisiatif untuk melakukan panggilan video dari jarak jauh. Ia pun mengajukan pertanyaan, yang sebenarnya akan sulit tercapai kalau bukan karena reuni kemarin.
Tahu sendiri kan kebiasaan rencana kumpul bersama yang berakhir dengan wacana saja? Terlebih, jarak dan asal kami cukup jauh.
"Duh, aku sudah harus balik besok sih, Dys. Tiket pesawatnya sudah dipesan sama teteh," keluh Syahlaa berwajah sedih. Diikuti Hafshah yang juga mengatakan tidak tahu bisa bertemu atau tidak karena ia sedang berada di luar pulau jawa. Tepatnya di rumah calon mertuanya untuk mengurus pernikahan dengan calon suaminya.
Aku tersenyum miris ketika disadarkan pada kenyataan. Kami yang dulunya bagai saudara sedarah seakan terikat dan tidak pernah lepas, menjadi sibuk karena urusan masing-masing setelah dewasa. Waktu berkumpul saja sangat jarang terjadi kalau bukan karena benar-benar niat ingin bertemu.
Seiring waktu, dunia yang dulunya ramai menjadi lebih sepi. Orang yang kerap kali berkumpul di sekitar, perlahan terpecah berai. Bahkan untuk tertawa santai dan lepas seperti dulu, sangatlah sulit kurasa. Tanpa disadari, kami mulai melangkah di jalan masing-masing.
Akhirnya yang awal sering bertemu, menjadi jarang bisa meluangkan waktu.
"Kapan-kapan lagi kita kumpul, Dys. Mungkin setelah wisuda atau waktu sudah punya gandengan masing-masing?" Mencoba menengahi, aku malah mendapat cebikan bibir dari gadis yang seminggu lagi harus kembali ke Turki itu.
Ia nampak ingin protes, tapi tidak disampaikan. Aku baru ingat. Kalau tidak salah, kemarin ia bertemu Guftha, apa terjadi sesuatu di antara mereka sampai membuatnya terlihat setengah kesal begini?
Syahlaa kemudian mengalihkan topik untuk mencairkan suasana. Kami banyak mengobrol, terutama gosip tentang Syahlaa yang sebelum-sebelum ini sempat menghebohkan grup angkatan. Aku sempat berapi-api di tengah obrolan karena kesal pada orang yang memfitnah temanku tanpa bukti jelas.
Hingga tidak terasa, sopir mobil taksi online yang kunaiki menyampaikan jika kami sudah tiba di lokasi sesuai aplikasi.
"Eh, Buibu. Aku harus tutup teleponnya nih."
"Loh ... Mau ke mana, Med? Ngobrolnya belum puas nih."
"Hooh, baru juga dua jam."
Buset, terus yang lama itu berapa jam? 24 jam seperti Indomaret?
Tidak menggubris rengekan mereka, aku melambaikan tangan meski tidak enak. Lantas memutuskan sambungan video secara sepihak.
Kalau tidak tega-tega banget, mereka pasti akan terus menahanku agar tidak pergi. Sayangnya, aku tidak bisa meladeni mereka sekarang. Ada janji penting yang harus kudatangi. Sudah susah payah juga aku mengancamnya agar memberitahu rahasia apa yang dia sembunyikan, mana mungkin akan kulewatkan kesempatan ini begitu saja bukan?
Aku berjalan memasuki kafe kecil di sekitar kawasan yang tidak terlalu ramai. Interiornya yang minimalis bernuansa alam menurutku cukup nyaman untuk berbincang masalah serius. Membuat pengunjungnya lebih tenang dan rileks.
Seorang pelayan laki-laki datang menghampiriku yang berdiri di depan pintu. Sejujurnya aku bukan tengah kebingungan, hanya sedang menyapukan pandangan ke sekitar untuk mencari seseorang. Tapi mungkin mereka pikir tindakanku membuat pengnjung di belakangku sulit untuk masuk.
"Selamat datang, Mbak. Meja buat berapa orang?" katanya ramah dengan sunyum bisnis.
Aku membalas senyumnya dan menggeleng kecil. "Teman saya sudah pesan meja tadi. Atas nama Bianc–"
Ups, hampir keceplosan.
"B-bian," ucapku membetulkan kembali nama orang yang sedang punya janji denganku hari ini.
"Oh, Mas Bian."
Eh? Kok pelayan ini seolah sudah kenal lama dengan anak itu ya?
"Mari Mbak, ikuti saya. Mas Bian sudah menunggu di ruang kerjanya."
Hah?
***
"H-halo, Me." Orang di balik mejanya itu tersenyum kaku, ia mengangkat tangannya takut-takut seolah akan kuterkam.
Padahal sebenernya memang ingin aku terkam sih.
Tidak pernah kusangka, jika Bian yang kukenal adalah pemilik kafe langganan keluargaku. Usahanya tidak bisa dibilang kecil, tapi menurutku cukup pesat berkembang karena dia juga menerapkan sistem yang lumayan unik di kafe ini.
Karena peminat yang banyak, kadang pengunjung harus reservasi dahulu karena tempat sering penuh di jam-jam tertentu.
Aneh ya, padahal hanya kafe sederhana. Tapi karena sistem dari Bian, mungkin itu yang membuatnya sedikit lebih menarik dibanding kafe-kafe yang banyak menjamur di Kota Jakarta.
"Yuk, pindah tempat."
Masih setengah tercengang, aku memperhatikan ruang kerja Bian yang nampak lengang sembari mengikuti perintahnya. Orang ini tidak terlalu banyak meletakkan barang, hanya beberapa furnitur yang menghias sederhana ruangannya. Bian juga meninggalkan cirinya sebagai santri di beberapa sudut.
Bahkan sekarang ini, orang yang berjalan di depanku itu menggunakan baju koko berwarna army. Saat kutanya kenapa ia tidak memakai kaos atau kemaja saja agar lebih santai dan formal. Jawabnnya adalah, dia masih belum punya baju jenis itu yang cocok. Bukankah itu berarti orang di foto profilnya bukan dia? Ditambah lagi, kalau dilihat dari belakang begini, Bian sama sekali tidak terlihat mirip seperti laki-laki di foto itu.
Kecurigaanku mulai bertambah ketika Bian berjanji untuk membocorkan semua rahasia yang dia ketahui padaku.
"Mau minum sesuatu, Me?"
Aku tersenyum licik. "Boleh sekalian makan nggak nih?"
Bian mengembuskan napas, terlihat jelas kepasrahannya karena kujaili. Ia mengangguk lesu dan memanggil salah satu pegawai.
"Mau makan apa, Me?"
"Kalau bisa yang paling mahal."
"Heh!"
Aku tertawa terbahak-bahak. Dia kan nawarin, jadi aku menyebut apa yang kuinginkan. Tidak salah kan?
"Ayam geprek khas sini deh. Cabainya yang banyak ya."
Meski dengan wajah keberatan, Bian meminta pegawainya untuk mencatat pesananku beserta minuman rekomendasi darinya. Mungkin dia sekarang sedang menyesal sudah memintaku kemari.
Sambil menunggu makanan datang. Aku mulai dengan basa-basi tentang kabarnya. Mendengarkan sedikit cerita tentang asal usul kafe ini, dan bagaimana ia menjalani aktifitas sebagai seorang mahasiswa dan pebisnis dalam satu waktu.
Hebatnya, orang yang dulu kukira tidak bisa menjadi seorang pemimpin karena kepribadiannya. Ternyata menjadi sosok yang berbanding terbalik dari bayanganku.
Seunik itu takdir Allah yang tidak bisa manusia tebak.
"Bian," aku memanggil namanya sebelum ia terus bercerita tentang kegiatannya selama menjadi mahasiswa.
"Eh, iya. Kenapa, Me?" jawabnya seolah baru tersadar jika terlalu banyak bicara.
"Foto profil di akun kamu itu. Kamu comot dari google atau memang benar-benar kamu?"
Makanan dan minuman datang, tepat sekali saat tenggorokanku sudah tandus karena kebanyakan berbicara dan tertawa. Kami menyesap minuman masing-masing, sebelum akhirnya berbicara serius.
"Foto itu aku dapat dari teman," katanya santai, meski rautnya terlihat tegang sekali. "Trus, dia nyuruh aku install aplikasi serupa tapi yang bisnis."
"Teman yang kamu maksud itu orang yang aku kenal juga?"
Bian mengangguk dengan mata terpejam. "Bukan cuma sekadar kenal. Tapi kenal banget."
"Binar?" tanyaku untuk memastikan.
Bian menjawab singkat "Ya", lantas menunjukkan foto tangkapan layar percakapan mereka berdua.
"Aku sudah bilang nggak setuju. Tapi dia minta tolong sambil nyebut-nyebut barang yang aku pengin. Kalau sudah begitu, mana bisa aku tolak?"
Di luar dugaan, ternyata membujuk Bian lebih mudah daripada yang kukira. Dia mungkin takut sekali aku terkam karena sudah coba mempermainkanku. Tapi toh sebenarnya aku tidak marah.
Bukan, seharusnya aku marah pada orang yang meminta Bian melakukan semua ini. Kenapa juga dia harus mengecohku? Apa dia pikir ini menarik? Apa sekarang dia tengah menertawakanku di suatu tempat?
Memikirkan semua ini, emosiku rasanya semakin memuncak. Selera makanku jadi hilang.
"Bi, minta tolong bungkusin yang ini bisa?"
Bian yang melihatku beranjak dari tempat duduk, berubah menjadi panik. Ia mungkin meyadari suasana hatiku yang tidak bersahabat juga, jadi cepat-cepat menyuruh pegawainya untuk membungkuskan makanan dan minuman yang kupesan.
Ketika aku mendorong tuas pintu masuk kafe untuk pergi. Seseorang mengaduh kesakitan karena terantuk pintu yang kudorong. Namun, begitu orang itu bertemu tatap denganku, bola mata kami sama-sama melebar.
"Azri!"
Tanpa komando, salah satu teman sekamar Binar itu berlari sekuat tenaga seolah sedang melihat hantu. Tidak ingin kalah, aku pun berlari mengikutinya meski pada akhirnya kehilangan jejak.
Satu yang menjadi masalah adalah, sekarang ini aku tidak tahu sedang berada di mana.
Gawat, padahal harusnya aku bisa menangkap laki-laki itu untuk diintrogasi. Kalau tidak tahu tentang keberadaan Binar, dia tidak mungkin akan berlari sekencang itu.
Berselang hanya hitungan detik, sebuah mobil Vans hitam berhenti di dekatku. Dari dalam sana, keluar dua orang perempuan yang ditutupi wajahnya, lantas membawaku paksa memasuki mobil.
Lebih sialnya lagi, mereka membekap mulutku menggunakan handuk kecil yang sudah ditetesi cairan bius.
Kesadaranku perlahan menghilang. Dalam hati hanya istighfar yang terus kulantunkan. Siapa mereka ini?
***
Nb:
*Yuukai: penculikan
*Omo omo, Meda diculik gaes 😱
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top