28 🌸 Saikai

S a i k a i

🌸🌸🌸

"Masyaallah, udara paginya belum berubah!" Syahlaa membuka lebar-lebar jendela kamar dengan suara nyaring. Sementara Gladys yang dulunya kami juluki si tukang kebersihan, tidak terlihat akan marah-marah seperti dulu karena aku, Eren dan Hafshah yang masih tertidur di atas kasur.

Sebaliknya, ia pun masih sama-sama merebahkan tubuh setelah adzan salat subuh berkumandang dari masjid Darul Akhyar. Nampaknya ia sangat kelelahan karena baru saja datang dari bandara, dan langsung diseret ke tempat ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ketiganya—termasuk Eren—sama-sama mantan anak OSIS, sementara aku mantan santri legendaris. Kami yang punya catatan bersejarah selama mondok, tiba-tiba saja dimasukkam sebagai anggota inti untuk persiapan acara reuni nanti malam.

Menyebalkan, bukan?

"Kepalaku masih mual," keluh gadis yang tidur di bawah ranjang Syahlaa itu.

"Bukannya yang mual itu harusnya perut ya, Dhys?" sahut Eren yang baru turun dari kasurnya.

"Intinya dia lagi nggak enak badan, Ren," Hafshah yang sibuk dengan ponselnya menimpali.

"Gimana kalau kita bolos aja?" usulku yang mengawasi mereka semua dari atas.

Sontak, keempat temanku itu mengatakan, "Nggak bisa," secara serempak sambil menatap sinis ke arahku.

Sejak kapan mereka jadi kompak begini coba? Padahal sudah lama tidak bertemu bertahun-tahun. Kalau tidak salah, dulu sepertinya ada kejadian sama seperti ini.

Aku terkekeh sendirian, kemudian turun dengan peralatan mandi. Karena kami tamu, Nyai Akhyar memperbolehkan para perempuan untuk menggunakan kamar mandi di rumahnya. Beliau juga awalnya menyuruh tamu-tamunya untuk tidur di dhalem beliau, tapi kami semua menolak.

Selain tidak enak karena sudah merepotkan tuan rumah, semua alumni kompak mengatakan ingin bernostalgia tidur di kamar santri seperti dulu. Beruntungnya, meski tidak banyak kami mendapatkan kamar-kamar yang kekurangan jumlah penghuni. Sebagian katanya ada yang pulang karena sakit, sementara sebagian lain pulang karena kepentingan keluar. Kamar yang hanya menyisakan dua sampai tiga orang santri, dijadikan satu dengan kamar yang punya penghuni sama. Akhirnya, keinginan kami pun terpenuhi berkat bantuan para ustad-ustadzah yang mengurus asrama.

"Kalian habis dari luar negeri jadi lebih putihan ya sekarang," celetuk Eren. Sekarang kami sedang berada di gazebo dekat rumah Nyai. Karena kebetulan aku, Eren dan Syahlaa sedang berhalangan, kami masih menikmati waktu sambil bersantai sembari mencicipi kue-kue kering yang disuguhkan oleh tuan rumah.

Syahlaa mengibaskan tangannya, sedangkan mulutnya masih sibuk mengunyah. "Di Belanda kalau musim dingin airnya ngalah-ngalahin es batu. Gimana nggak mau jadi putih kayak mayat?"

Eren mencebikkan bibir bawahnya. Anak yang dulunya amat pendiam itu, mulai terbiasa mengobrol santai dengan kami. Ia juha lebih banyak menunjukkan ekspresi, dibanding dulu yang masih kaku bak beton. "Kalau kamu, Me? Putih karena airnya dingin kayak Syahlaa?"

Aku yang masih meminum sirup rasa cocopandan melirik ke arah orang yang bertanya. Kepalaku menggeleng begitu selesai, lantas tersenyum lebar dengan jawaban, "Kalau aku mah emang sudah putih dari lahir dong. Lupa ya kalau aku masih keturunan Ratu Eropa?"

Syahlaa dan Eren memandangiku dengan ekspresi enek, seakan berkata dalam hati kalau mereka sudah salah bertanya padaku. Padahal mah, aku kan berbicara fakta. Di dalam tubuhku memang benar-benar mengalir darah eropa milik ibu. Meski dulu aku sempat tidak ingin mengakuinya, bahkan menutup diri untuk tahu siapa ibu kandungku, sekarang aku lebih bisa menghargainya.

Terlepas dari asal usulku yang memang bukanlah hasil dari hubungan sah, aku tetap bersyukur karena ibu sama sekali tidak memiliki niatan buruk untuk menggugurkan atau membuangku. Hanya saja, karena keberadaanku yang lahir dari kesalahan, aku sedikit ragu untuk menikah.

Bagaimana hukum anak perempuan yang lahir dari hubungan haram? Bernasab pada siapa? Siapa yang akan jadi wali jika sang Ayah sendiri tidak tahu di mana keberadaannya? Itu salah satu alasan kenapa aku ikut reuni.

Bukan hanya ingin bernostagia dengan teman-teman dan mengharap kehadiran Binar. Tapi mencari tahu nasibku menurut pandangan agama. Apa yang harus anak sepertiku lakukan?

***

Sore hari, beberapa jam sebelum acara dimulai. Semua tamu sudah berkumpul di lapangan pondok pesantren Darul Akhyar. Beberapa teman-temanku ada yang membawa pasangannya masing-masing, dan saling mengakrabkam diri kembali.

Tidak seperti tamu-tamu yang mengobrol sambil mencicipi hidangan pembuka. Aku dan jajaran mantan anak OSIS Darul Akhyar sudah disibukkan sedari pagi dengan perkara ketua panitia yang menghilang dari tempat acara.

Ke mana pula si ketua itu. Bikin susah orang saja.

"Med, naik, naik! Buka acaranya aja dulu. Sapa-sapa!" Teriakan Bianca membuatku berdengus keberatan. Meski tidak suka, aku tetap naik ke atas panggung untuk memberi salam. Daripada jadwal jadi kacau karena diundur, biar saja aku jadi umpan mereka dulu. Toh, aku tidak banyak membantu juga selain pekerjaan mengunyah makanan di dapur. Bian juga sudah berjanji akan memberitahuku mengapa ia memakai foto orang lain di akunnya yang lain, ia juga berjanji akan menjawab segala pertanyaan asal aku mau membantunya memandu acara sebagai MC, plus jadi tukang suruh-suruh di acara puncak karena ketua panitia yang mondar-mandir sibuk dengan proses kelahiran anak pertamanya.

Astaga, aku bahkan baru tahu kalau orang yang kujuluki papan triplek itu sudah menikah dan akan menjadi seorang ayah.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aku coba membesarkan suara ala-ala pembawa acara di pesta besar.

Semua yang hadir mengarahkan pandangannya padaku. Mereka mendengarkan seksama salam beserta pidato singkat yang kusampaikan. Seusai mengucapkan salam penutup, Bian naik untuk membacakan susunan acara. Ia pun menuntun para hadirin untuk menuju masjid mengikuti mantan anak OSIS.

Sekelebat bayangan seseorang tertangkap ekor mataku. Keberadaannya sangat cepat hilang, sampai-sampai ragu yang kulihat barusan manusia atau makhluk halus. Apa mungkin barusan itu Mbak Harum memberi salam pada Geng Micin yang suka rusuh di pohon mangga?

Hiii, bulu kudukku jadi merinding.

"Me, ngapain masih di situ? Ayo, cepat! Semuanya sudah kumpul di masjid."

"Iya, Laaa. Aku dataaang!"

Ah, lupakan deh. Mungkin yang barusan salah lihat.

***

Di baris paling belakang, dan sepotong kue manis di tangan. Aku menikmati acara sendiri. Bukan tidak ada yang mau menemani. Hanya saja Eren, Syahlaa dan Gladys sedang sibuk di belakang. Sementara Hafshah pergi ke tempat yang tidak terlalu ramai karena berulang kali ditelfon tunangannya. Ia nampak tidak enak meninggalkanku sendirian, tapi kubilang akan baik-baik saja supaya gadis itu tidak terlalu khawatir.

Sepertinya tunangan Hafshah cukup protektif, terlihat jelas dari perilakunya yang terus-terusan menghubungi seolah tidak ingin memberikamln celah bagi gadis itu untuk bernapas.

Aku semakin melipir ke bagian ujung begitu acara terakhir selesai diadakan. Setelah dengan heboh ikut berfoto ria sebagai kenang-kenangan bersama yang lainnya, aku memilih untuk menghilang sebentar dari area pondok pesantren.

Satu sinar kecil yang menarik kaki-kakiku bergerak, melintas ketika aku berdiri di bawah pohon palem. Sinar kuning itu melayang tidak stabil, terbang menyusuri jalan setapak yang sedikit gelap karena kurang penerangan.

Kalau tidak salah, aku pernah melihat kumpulan hewan ini ketika di rumah mbah kakung Mbak Vash. Hewan yang terancam punah dan punya umur pendek. Siapa sangka aku bisa melihat mereka untuk kedua kalinya?

Melewati hutan kecil di dekat perkebunan warga. Mulai terdengar suara aliran air dan nyanyian dari jangkrik yang mengisi sunyinya malam. Desir angin pun tidak ingin kalah, embusannya yang menggerakkan dedaunan, menciptakan bunyi gesekan alam yang menenangkan.

Cahaya kecil yang sedari tadi menuntunku, pergi berkumpul dengan kawanannya di sekitar sungai. Mereka terbang lamban, memenuhi aliran sungai dan sekitarnya seakan bintang sedang jatuh ke bumi.

Ponsel di saku rok sudah kugenggam, hendak mengabadikan keindahan alam malam ini. Tapi niatan itu tiba-tiba urung kulakukan. Dibanding menyimpannya dalam sebuah foto, aku lebih memilih untuk mengingatnya di dalam otak.

Kakiku kembali melangkah ke arah pinggiran sungai. Cahaya dari kunang-kunang yang berkumpul, cukup menjadi penerangan untukku.

Di bawah siraman sinar bulan, aku melebur bersama alam. Beristirahat dari kepenatan yang akhir-akhir ini menyesakkan hingga aku kesulitan bernapas.

***

Klik

Bunyi kecil dari jepretan foto yang kuambil, membuatku buru-buru menutup lubang suara di ponsel. Aku baru bernapas lega ketika tahu gadis di dekat sungai sana tidak mendengar suara barusan.

"Cantik," gumamku yang bersembunyi di belakang pohon.

Mulai dari awal acara, sampai akhir. Aku mengawasinya dari jarak jauh. Melihat senyumnya sudah cukup menyenangkan. Rasanya sangat sayang sekali kalau tiba-tiba aku datang dan membuatnya terkejut kemudian menangis.

Walau aku tahu dia memangis bahagia, tapi rasanya hati ini belum terlalu siap jika harus melihat air matanya mengalir.

Satu notifikasi chat muncul. Bian mengirimkan banyak sekali emotikon menangis dan keluhan karena dikejar-kejar oleh Meda di grup whatsapp kami.

Bian: Woe, Bang kapan nih daku bisa terbebas 😭😭

Bian: Nggak tahan aku tuh, berasa bakal dicabik singa betina 😭😭

Aku menahan tawa sebisa mungkin.

Binaramadhan: Thx :)

Binaramadhan: Sebentar lagi selesai, bertahan aja secukupnya :)

Bian: Woeeee, merdeka! 😭😭

Azri: Lawak, berasa tahanan aja dah dia

Guftha: Mohon tidak berisik, bos besar mau tidur woe

Azri: Besar badannya :)))

Chat dari grup yang baru tiga hari kubuat itu mulai mengalir deras.

Aku kembali mengintip gadis di tengah cahaya kuning di sana. Lantas mengambil tempat ternyaman untuk duduk.

Sebelum gadis itu kembali, aku akan tetap di sini untuk mengawasinya. Menjaganya dari jauh, kurasa tidak terlalu buruk.

***

Nb:
*Saikai: reuni
*Next lagiiiiiii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top