20 🌸 Sanmen
S a n m e n
🌸🌸🌸
[Akiyama Ryou]
"Onee-san yakin tidak ingin menginap malam ini?"
Keributan terjadi di depan pintu masuk kediaman Akiyama, saat aku baru saja selesai keluar dari kamar mandi. Kupikir ada apa, karena Otou-san sampai ikut-ikutan berdiri sambil membujuk seseorang. Ternyata mereka seperti itu untuk mencegah Andromeda pulang.
Entah sejak kapan bermula, aku merasa dibanding menunggu kepulangan anak kandungnya. Otou-san dan adikku lebih tidak ingin berpisah dengan anak dan kakak angkatnya itu. Apa benar aku dibutuhkan oleh keluarga ini? Bahkan pulang hari ini saja tidak ada pesta penyambutan atau makanan yang kusuka. Huft, jadi begini rasanya menjadi orang yang dibuang?
Aku berjalan menghampiri. Tentu tidak untuk membujuk gadis itu tetap tinggal atau menginap, akan tetapi mengantarkannya pulang hingga ke depan stasiun. Daripada harus ada di satu atap yang sama, Andromeda pasti tidak akan punya waktu khusus untukku. Karena kuyakin Mio akan memonopolinya.
Lagi pula, ada hal yang perlu kutanyakan sekaligus kusampaikan padanya sebelum ia berencana pergi jauh. Lebih bagus lagi, kalau aku bisa mencegahnya menemui orang—entah siapa—di Cordoba. Akan lebih baik, jika Andromeda melupakannya dan tetap tinggal saja di Osaka hingga hari kelulusan. Dengan begitu, aku jadi punya banyak sekali waktu untuk mendapatkan hati gadis ini.
Tapi apakah bisa?
"Kalian membuatnya jadi tertekan," ucapku menyelak celah di antara Otou-san dan Mio. Kemudian duduk di undakan kecil untuk memasang sepatu.
"Nii-san sok tahu!" Mio merajuk.
"Kau tidak bisa melihat ekspresinya?"
Bibir adikku mengerucut kesal. Ia melipat kedua tangannya, sementara Otou-san dan Andromeda sibuk menahan tawa.
"Lalu, Nii-san mau ke mana?"
"Otou-san menyuruhnya untuk mengantarkan Meda."
"Curang! Aku juga mau ikut!"
"Hei, anak kecil di rumah saja," sambarku sebelum ia berbalik mengambil syalnya. Meski sayang sekali, Mio sudah terlanjut berlari ke lantai dua.
Gawat.
"Andromeda siap-siap. Kita akan lari!"
Gadis yang telat merespons itu terlihat gelagapan. Begitu selesai dengan tali sepatu terakhir, aku menarik lengan baju gadis yang masih bingung harus melakukan apa itu, dan membuka pintu lebar-lebar.
Kami berdua berlari, menembus udara dingin yang tersisa di malam musim semi. Dengan tawa-tawa dan wajah segar di bawab bintang yang berkerlip di langit.
Sayōnara kako. Mirai e yōkoso.
***
[Ganeeta Andromeda]
'Panggilan kepada penumpang pesawat *** dengan rute Osaka-Cordoba. Dimohon untuk bersiap di pintu 03 keberangakatan.'
Kira-kira begitu arti dari panggilan berbahasa jepang barusan. Seminggu setelah pesta penyambutan mahasiswa baru di kampus, aku mulai sibuk mempersiapkan banyak hal untuk hari ini. Mulai dari mencari tour guide, hotel, merencanakan anggaran pengeluaran selama di sana, dan belajar kilat bahasa spanyol. Tidak banyak kosa kata yang kuhafal karena keterbatasan waktu. Beruntugnya tour guide yang kupilih memiliki kemampuan berbahasa yang luar biasa, jadi tidak ada yang perlu kucemaskan selain makanan halal di sana tentunya.
Aku menggeret koper menuju tempat yang ditunjukkan, untuk menunggu di tempat tunggu keberangkatan bersama penumpang lain dengan rute sama. Cukup banyak barang bawaan yang nantinya akan diangkut ke bagasi pesawat. Karena tidak hanya pergi ke Cordoba saja. Setelah selesai dengan urusanku di sana—yang Bang Aariz katakan tidak terlalu penting itu—aku akan langsung terbang kembali ke Indonesia.
Ada acara penting di sana. Tepatnya reuni akbar yang diadakan oleh Darul Akhyar. Tempatku selama 6 tahun menimba ilmu, sekaligus rumah kedua yang memberikan kententraman, saudara, serta berbagai kenangan. Bagaimana rupa pondok pesantren itu sekarang ya? Empat tahun berlalu, tanpa pernah aku meluangkan waktu untuk sesekali menyambangi Darul Akhyar. Pasti sudah banyak berubah di sana sini.
Yang aku tahu, reuni kali ini akan mengundang enam angkatan. Mulai dari tiga angkatan kakak kelasku, dan sisanya adalah angkatanku dan dua adik kelas. Aku sempat bergumam bukankah itu terlalu banyak untuk ukuran sebuah acara reuni? Maksudku, bagaimana dengan anggarannya? Makanan lalu hiasan? Ah, orang yang mengusulkan ide itu sepertinya terlalu ambisius sampai tidak mempertimbangkan banyak hal.
Satu bulan yang lalu, sudah terbentuk tiga grup yang berisi 2 angkatan pergrupnya. Namun, seperti kebanyakan rencana yang kemudian berubah menjadi wacana saja, kali ini pun sama. Perlahan, ambisi seseorang itu mulai menyurut. Yang awalnya 6 angkatan kemudian berubah menjadi 4 agkatan. Dari 4 turun hingga 2 angkatan saja. Lalu akhirnya, hanya angkatanku saja yang akan mengadakan reuni.
Lucu memang. Tapi bukankah memang seperti itu jika mengadakan acara berkumpul, reuni, atau apa saja yang mengundang banyak orang? Tidak semua orang bisa kompak. Ada sebagian yang memang menantikan karena punya ikatan erat, atau rindu pada teman-temannya. Ada pula yang tidak peduli hingga enggan, karena punya trauma yang buruk saat bersekolah.
Aku termasuk orang yang sedikit malas pergi ke reuni SD. Bukan karena ingin memutus tali silaturahmi. Kalian tahu pasti karena apa, meski akhirnya aku memiliki teman dan diterima. Tapi kenangan buruk itu tidak bisa dihilangkan. Dari kejadian itu pula, aku belajar banyak hal dalam bersosialisasi.
Dug
Tas gendongku menabrak bahu seseorang. Aku tidak tahu apa benturan tadi cukup menyakitinya atau tidak, orang itu terus berjalan. Laki-laki dengan topi hitamnya itu sempat mengangguk kecil dan tersenyum, namun wajahnya ditutupi. Ia lantas pergi, tanpa memberikan kesempatan padaku untuk meminta maaf.
Bukan, aku bukan terpana pada senyumnya barusan. Hanya saja, senyum itu nampak familiar. Seseorang pernah tersenyum tulus seperti itu, dengan binar di kedua bola matanya.
Apakah mungkin dia?
Kepalaku menggeleng cepat.
Jangan, Me. Itu pasti bukan dia. Kamu cuma berhalusinasi. Jangan gegabah seperti waktu itu, karena di sini tidak akan yang menolongmu. Fokus!
Badanku berbalik, kemudian mantap lanjut berjalan.
Siapa pun orang tadi, aku yakin dia bukan orang yang kucari. Tekadku sudah bulat untuk menyusulnya, jadi jangan sampai kali ini gagal karena kecerobohanku.
***
[Hayoloh tebak!]
"Kamu sudah sampai?" Suara orang yang ada dalam daftar panggilan paling teratas menyapa indra pendengarku. Selain papa dan mama yang tidak henti menelepon, orang ini juga entah kenapa sering sekali menghubungiku akhir-akhir ini.
"Sudah lima menit sejak aku turun dari pesawat."
"Sekarang kamu di mana?" sambarnya lagi. Ia terdengar sedikit panik. "Nggak ketemu sama Meme kan?"
"Memangnya dia sudah berangkat?"
Aku bahkan tidak tahu kabarnya, mana bisa kami bertemu di sini? Mungkin dia masih berangkat besok atau nanti malam kan?
"Dia baru saja meneleponku kalau sedang berada di bandara."
"Ha? Kenapa baru memberi kabar?" aku terpekik karena informasi ini baru saja masuk. Harusnya dia memberitahuku satu jam lebih awal kan? Atau paling tidak meninggalkan pesan saja, agar bisa kubaca begitu menghidupkan ponsel.
Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu panik. Misal kami bertemu sekarang di sini, tidak akan ada yang berubah dari rencana. Tujuanku masih sama, hanya waktu saja yang mempercepat pertemuan kami.
Aku berjalan memasuki gedung bandara. Bola mataku menyapu ke sekeliling, seakan mencari seseorang padahal sedang mengawasi sekitar. Aku mencarinya di kerumunan manusia yang berjalan mondar mandir dengan urusan masing-masing.
Pencarianku berakhir sia-sia, karena tidak ada seorang pun yang kukenal. Mataku juga lelah karena harus melotot dan menyipit untuk mencari sosoknya. Ditambah lagi, orang yang tidak henti-hentinya memberikan wejangan ini membuat telingaku sedikit panas. Sejak kapan dia berubah menjadi manusia bawel?
"Hei, gimana? Ketemu nggak?"
"Masih dipantau. Tapi kayaknya kami nggak bakal ketemu di sini."
Orang di ujung sana mengembuskan napas panjang. Entah sedang frustasi atau bagaimana, ia tidak berkata apa-apa. Hanya meninggalkan kata oke, dan salam kemudian sambungan diputus secara sepihak. Ini bukan hubungan yang diputus secara sepihak, tapi sedikit mengesalkan juga diperlakukan begini.
Setelah mengambil koper di tempat pengambilan barang, aku berjalan hendak meninggalkan bandara ke tempat yang sudah kutulis di ponsel. Namun, hal tidak tertuga datang.
Tepat di sela keramaian, aku melihat sosok gadis yang tertunduk menatap ponselnya sembari terus berjalan. Ia tidak terlalu memperhatikan sekitar, bahkan pandangannya terlihat sendu dan tidak fokus.
Aku tersenyum lebar. Sudah empat tahun berlalu, dia benar-benar tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Apakah selama berada di Osaka banyak yang mendekatinya?
Melihat gadis itu dari kejauhan, membawaku terbang pada sosoknya yang ceria, heboh dan energik. Mungkinkah ini akhir dari penantian kami berdua?
Genggamanku di ransel menguat. Setelah memantapkan hati, kakiku melangkah ke arahnya. Posisi kami hanya berjarak puluhan senti meter saja, hingga aku dengan sengaja menyenggol tas gendong yang ia bawa.
"Astaga, maaf!" refleknya.
Aku membuat jarak sedikit lebar, lantas memperlihatkan sedikit senyum padanya.
Rencana berubah setelah bertabrakan tadi. Aku tidak ingin menghentikannya pergi. Daripada melakukan rencanaku di tengah keramaian seperti ini, lebih baik kutunda sebentar lagi hingga menemukan suasana yang pas.
Ada hal yang tiba-tiba ingin kulakukan selama gadis itu pergi dari Osaka. Jadi, mari bertemu kembali setelah pulang ke tanah kelahiran kita.
***
Nb:
*Sayōnara kako. Mirai e yōkoso: selamat tinggal masa lalu. Selamat datang masa depan.
*Sanmen: tiga sisi
*Yoooosh, akhirnya update. Hehe. Semoga segera kelar ya. Aku menantikan ending 😂. Terima kasih yang sudah mampir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top