19 ❄️ Ketsudan
K e t s u d a n
❄️❄️❄️
Pintu menuju lorong rumah ditutup rapat. Hanya di sebelah taman saja yang dibuka sebagian, agar suasana di ruangan ini tidak terlalu sesak. Pria tua di seberang mejaku sudah menghabiskan cemilan ringannya, ia belum mengatakan apa pun ketika aku melangkah memasuki ruangan ini. Otou-san juga tidak melihat ke arahku, hanya memandang teh hijau yang ia seruput dengan wajah serius.
Rasanya memang harus aku yang memulai, sebab semua kekacauan ini bermula dari aku—anak yang tidak tahu diri dan egois.
Aku mengembuskan napas, berharap banyak agar beban yang kupikul di pundak berkurang. Walaupun rasanya itu pekerjaan yang sia-sia, karena atmosfer di sekitar kami tidak terlalu berubah banyak. Masih menyesakkan dan berat. Kalau aku anak perempuan, mungkin aku akan memilih untuk kabur daripada mati bertahan. Sayangnya aku laki-laki, pengecut saja rasanya jika kabur lagi dari masalah yang harus diselesaikan.
"Bagaimana ujian akhirmu?" Siapa sangka jika pria tua itu akan memulai obrolan lebih dulu. Aku pun sedikit terkejut.
"Baik, semua berjalan lancar."
Ia mengangguk kecil. "Pastikan jika semester ini kau tidak kabur lagi."
Ah, pancingan menuju inti pembicaraan kami ternyata dimulai lebih cepat. Baiklah, mari kita selesaikan.
"Sudah bisa ditentukan jika aku akan lulus dengan nilai terbaik, karena aku sudah meninggalkam penelitian itu."
Pandangan Otou-san bergerak cepat menikamku. Ia tidak melepaskannya meski hanya sedetik. Kukira Mio sudah menceritakan apa yang kulalui beberapa saat lalu. Bahkan keputusanku untuk mencari Tuhan dan pedoman untuk kehidupan selanjutnya. Namun ternyata belum? Buktinya, Otou-san tidak akan seterkejut itu andai dia sudah tahu.
"Kau yakin dengan keputusanmu?" ia bertanya seakan menekanku agar tidak main-main dengan omongan. Otou-san adalah orang yang tegas, ia juga tidak segan mengeluarkan kalimat pedas pada anaknya jika tidak disiplin. Kadang aku membenci sifatnya yang itu, tapi juga tidak bisa menyalahkan. Mungkin ini adalah cara mendidik anak-anaknya agar memiliki sifat seperti dirinya. Meski aku kurang setuju dan tidak akan menekan keturunanku nanti dengan cara yang sama.
Ganti aku yang menyeruput teh hijau yang dibuat oleh Mio. Rasa pahit yang tidak pernah berubah dari racikan ini sering kali memgingatkanku pada Okaa-san.
"Aku yakin," ucapku mantap tanpa keraguan. Setelah itu, aku pun bercerita banyak hal. Tentang vila musim panas keluarga kami. Tentang peneliatian yang kulakukan dan kendala yang kualami selama ini. Tentang Andromeda anak beasiswa yang dia bawa. Tentang Arsa, dan semua jawaban atas kebingunganku selama ini. Tidak ada cerita yang kulompati, detail semua kejadian kujabarkan pada Otou-san yang memperlihatkan berbagai ekspresi. Ia sama sekali tidak menyela, hanya mendengarkan sesaksama hingga cerita benar-benar selesai. Lantas bernapas lega seolah tali yang mengikat perutnya selama ini telah lepas.
"Apakah kau sudah memutuskan?" Ia terlihat lebih tenang, jauh berbeda dengan Otou-san yang selalu penuh gurat amarah ketika kami berada di satu ruangan selama empat tahun yang lalu.
Aku menggeleng tidak yakin. Meski sebenarnya aku sudah mempunyai pilihan, tapi jujur saja masih banyak pertimbangan yang perlu kucari lebih dalam lagi. Aku tidak ingin tersesat. Tidak ingin hanya masuk, tanpa tahu karakter dari keyakinan yang kuanut. Mio mungkin saja menuruti ayah karena pola pikirnya yang polos akan dunia.
Namun bagiku yang pemikir dan selalu penasaran akan dunia, butuh banyak data real yang perlu kukumpulkan untuk membuatku yakin. Tidak hanya pada buku-buku, atau fakta-fakta secara logis. Aku juga membutuhkan seseorang yang mampu membimbing dan dapat kuajak berdiskusi.
"Maaf, aku masih butuh waktu, Otou-san. "
Respons kurang nyaman kudapatkan dari Otou-san. Sebelumnya aku memamg sudah menduga kalau ini tidak akan mudah, mengingat karakter pria ini yang keras seperti batu. Kadang kala suka memaksakan kehendak.
"Kau ini masih sama seperti dulu," ujarnya sembari beranjak dari tempat ia duduk. Otou-san membuka lebar satu pintu menuju taman samping rumah. Ia tidak menatapku lagi, aku pun sama. Bukan takut, hanya kurang siap saja melihat respons selanjutnya dari Otou-san.
Detik pun berlalu, Otou-san masih membisu di tempatnya. Entah sedang memandangi dan memikirkan apa. Aku tidak tahu. Berada di belakangnya seperti ini membuatku cukup kesulitan untuk menganalisa perasaan Otou-san.
"Baiklah," katanya memutus keheningan.
"Y-ya?" spontanku yang baru tersadar. "Baiklah apa?"
"Silakan gunakan waktu yang kau perlukan untuk mengenal lebih dalam. Kau sudah dewasa, harusnya sudah bisa menentukan mana yang terbaik. Walaupun aku khawatir, tapi kali ini aku akan coba memberikan kepercayaanku sepenuhnya."
Ha? Mulutku menganga, antara percaya dan tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Tentu ini hal baru, karena Otou-san tidak memonopoli anaknya. Ia membebaskanku memilih?
"Tapi satu syarat, kalau kau berubah menjadi gila kembali. Aku tidak akan tinggal diam seperti empat tahun ini. Kau mengerti?"
Senyumku mengembang lebar. Sangat lebar dari biasanya. Ada perasaan terbebas dari sesuatu, hangat, dan senang luar biasa karena dapat dipercaya. Aku membungkuk untuk memberi hormat. Berterima kasih karena Otou-san mau percaya padaku kali ini.
"Arigatou gozaimasu, Otou-san! Kali ini aku tidak akan menjadi gila!"
***
"Masuklah, Meda."
Aku baru saja keluar dari ruang yang biasanya keluarga Akiyama gunakan untuk berkumpul, bersamaan dengan Andromeda yang berdiri di depan pintu. Ia terlihat terkejut, tapi sedetik kemudian menyapaku dengan wajah ceria. Selain pandai membujuk orang, ternyata ia juga pandai menutupi perasaannya. Masih kuingat beberapa detik sebelum ia tersenyum seperti itu, mimiknya nampak kurang nyaman.
Ah, membuatku jadi penasaran saja.
Kalau saja itu tentang tugas akhirnya, Andromeda harusnya senang bukan? Ia yang kutahu adalah gadis yang paling suka berdiskusi. Saat presentasi tugas kelompok kami pun, Andromeda yang paling aktif menjawab pertanyaan mahasiswa lain yang bertanya. Wajahnya nampak berseri dan bersemangat. Aku juga pernah sempat menguping diskusinya dengan seorang sensei di ruang kelas yang hanya terdapat beberapa mahasiswa.
Apa mungkin yang akan mereka bahas bukan tentanh tugas akhir? Mungkin kah sesuatu yang berhubungan dengan keberangkatan gadis itu ke negara lain? Maksudku, pembicaraan yang hanya dipahami oleh Mio saat berada di rumahku.
Andromeda duduk di seberang meja Otou-san. Aku yang ingin bertahan sedikit lebih lama di sana, terpaksa keluar karena ayah mengusir.
Aku bukan orang yang tertarik pada masalah kehidupan orang lain, namun lain halnya dengan Andromeda. Desakan untuk mengetahui kehidupan bahkan rahasianya kadang meluap melebihi buih di lautan. Sedikit dilebih-lebihkan? Menurutku tidak, jika kau orang yang pernah merasakan jatuh cinta. Kau pasti merasakan apa yang kurasakan sekarang.
"Aku sudah meneliti ulang tugas akhirmu. Tidak ada yang perlu diperbaiki lagi, artinya ini sudah sempurna dan kau bisa lebuh santai."
"Benarkah, Sensei?" Aku tidak bisa melihat wajah Andromeda, tapi dari suaranya ia terdengar sangat antusias.
"Benar, dan ...," Otou-san menggantung kalimatnya. Cukup lama, sampai aku pun ikut penasaran mendengar lanjutannya.
Sebagai tambahan informasi, aku sudah melangkah ke tempat aman agar tidak ketahuan jika sedang menguping.
"Terima kasih sudah membantu menyadarkan Ryou."
Aku yang duduk meringkuk tersenyum tipis. Oh, ternyata benar dugaanku. Kalau Andromeda mendekatiku karena perintah Otou-san. Meski pertemuan awal kami bukan karena niat gadis itu, aku tetap merasa sedikit kecewa. Tapi,itu juga bukan salahnya. Karena semakin hari, dengan kesadaran penuh. Akulah yang selalu mencari gadis itu.
Mulai dari alasan yang besar, sampai membuat-buat alasan. Semua kulakukam seolah hanya karena ingin melihat wajahnya.
"Tidak perlu berterima kasih, Sensei. Sejujurnya, saya tidak terlalu banyak membantu."
Apanya yang tidak banyak. Kau bahkan bisa menggerakkan hati yang sudah membeku. Aku sendiri sangat berterima kasih.
"Waktu kami pertama kali bertemu, saya pikir dia bukan anak yang sensei maksud. Pemarah, menyebalkan, dan tidak ramah. Ryou saat itu selalu membuat saya ingin memaki meski dalam hati."
Hee, kesan pertamku seburuk itu ya.
"Seiring waktu, dia menjadi lebih hangat. Yah, walaupum tetap suka berkata kasar. Tapi Ryou mulai membuka pintunya untuk saya."
Karena kau menggemaskan, aku pun tidak akan ragu.
"Mengenalnya lebih jauh, membuat saya sadar banyak hal baik di balik sifat dinginnya. Andai dia lebih sering tersenyum, Ryou pasti populer di kalangan mahasiswa perempuan."
Aku tidak butuh banyak orang menyukaiku. Kau saja sudah cukup untukku.
"Ada saat, dia memang sering menyinggung keyakinan ini. Ryou terlihat marah, emosi, dan kecewa. Namun, juga nampak kebingungan di waktu yang bersamaan. Pernah sekali dia bertemu dengan Arsa-aniki. Sepertinya Ryou lagi-lagi menyinggung masalah itu di depan aniki."
"Apakah kakakmu marah?"
"Tidak," Andromeda langsung memotong. "Sebaliknya, Arsa-aniki merasa senang karena Ryou seolah meminta bantuannya. Tapi, dia tetap melemparkan masalah Ryou pada saya. Aniki bilang, berdebat dengannya bisa saja bukan membuka hati anak itu. Ia bisa saja bertambah benci. Hmm, saya juga tidak terlalu mengerti maksud kakak. Tapi dia hanya mengatakan, jika Ryou hanya akan tersentuh hatinya oleh saya. Saya merasa sedikit spesial." Gadis itu tertawa kecil.
Tidak salah, kau memang benar jadi spesial, bukan lagi sedikit, tapi sangat amat spesial.
"Kenapa kau tidak memaksanya mengikuti apa yang kau yakini?"
"Ryou bukan lagi anak kecil yang perlu dituntun sensei. Ia punya otak yang cerdas, bahkan sempat ingin melawan takdir Tuhan. Tanpa saya desak, atau bujuk. Saya yakin Ryou mampu mencari jawabannya. Tapi mah, sensei tetap perlu mengawasinya. Sementara saya, saya rasa tugas ini sudah berakhir."
Sunyi.
Tidak ada respons dari ayah. Aku pun tidak bisa berkata. Kalimat Andromeda seolah ingin mengakhiri semua cerita kami. Menyakitkan.
"Kau benar-benar akan pergi ke Cordoba?"
Hah? Kepalaku yang sempat ditenggelamkan di lipatan tangan, terangkat. Cordoba? Bukannya Indonesia? Kenapa dia pergi ke Cordoba? Apa ada hubungannya dengan topik pembicaraan Mio di rumahku tadi?
"Ya, Sensei. Keputusan saya sudah bulat."
"Bagaimana kalau kau tidak menemukannya di sana?"
Lagi-lagi pembahasan ini. Sebenarnya siapa orang yang Andromeda cari?
"Saya akan pulang ke Indonesia, ada urusan di sana. Kemudian kembali kemari untuk menyelesaikan study."
"Bukankah itu melelahkan?"
"Sangat melelahkan. Tapi, saya akan berjuang!"
Sepenting itukah? Aku jadi sangat iri pada orang yang ingin dia temui. Seperti aoa orang itu? Laki-laki? Atau perempuan? Aku ingin tahu.
Otou-san mengembuskan napas panjang. "Andai saja kau tidak menunggu orang itu, mungkin aku akan mengangkatmu sebagai menantu."
Bukan hanya Otou-san saja yang ingin, aku pun berharap hal yang sama.
Andromeda tertawa kecil, sebelum menjawab. "Terima kasih, Sensei. Tapi saya ingin hidup bersama orang itu hingga menua."
***
Nb:
*Aniki: sebutan untuk kakak laki²
*Ketsudan: keputusan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top