17 ❄️ Yakiimo

Y a k i i m o

❄️❄️❄️

Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, langit terlihat lebih cerah hari ini. Salah satu pertanda jika musim dingin akan segera berakhir, dan datanglah musim yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat yang tinggal jauh dari garis katulistiwa. Haru, musim di mana pemandangan putih ini akan berganti dengan warna bunga dan rumput segar.

Momiji yang duduk menyembunyikan kaki-kakinya di bangku taman, beranjak naik ke atas pangkuan. Bulu-bulunya yang lebat nampaknya tidak cukup hangat untuk menangkal dingin yang masih tersisa di Bulan Januari ini. Walau Mio sudah susah payah membuatkannya rajutan topi, syal dan mantel, namun tubuh gempal Momiji masih menggigil.

Badannya berhenti bergetar begitu aku membungkusnya menggunakan mantel yang kukenakan. Anak ini melanjutkan tidur, sembari bersembunyi dari dingin.

"Momiji benar-benar jadi pemalas ya sekarang. Onii-san terlalu memanjakannya waktu kalian tinggal berdua."

Aku tertawa kecil lalu meralat ucapan Mio. "Yang benar bertiga bukan?"

Gadis yang memegang yakiimo tidak menjawab pertanyaanku, sebaliknya wajahnya terlihat masam seolah tidak ingin tahu siapa orang yang tinggal bersamaku selain Momiji. Kudengar hubungannya sedang kurang baik dengan Onohara. Bagaimana mereka bisa bertengkar padahal tidak menjalin hubungan? Dasar anak muda.

Mio duduk di sebelahku setelah menyerahkan yakiimo yang ia beli.

"Kita beruntung, di bulan-bulan ini biasanya sudah sulit sekali mendapatkan penjual yakiimo yang masih berkeliling!" ujarnya memgalihkan topik. "Aku yakin Onii-san belum pernah makan ini lagi selama empat tahun kan?"

"Sou desu ne."

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Semenjak kejadian di vila tua Akiyama, aku belum melihat bayangan Andromeda di mana-mana. Pergantian tahun bahkan kuhabiskan hanya dengan Momiji yang kujemput di rumah Otou-san. Menikmati hanabi dari jendela rumah dengan tiga cup ramen instan.

Bagaimana dengan Onohara? Walaupun sesekali kami berpapasan di kampus. Tapi tidak pernah ada obrolan apa lagi sapaan di antara kami. Ia melewatiku seperti orang asing, begitu pun aku yang tidak tahu harus berkata apa jika berhasil menyebut namanya. Sementara Sayou, entah ada masalah apa ia di kampung halamannya, jadi kami pun jarang bertemu.

Dunia terus berputar, tidak peduli aku sedang bersedih atau senang. Waktu manusia terus berjalan menuju kematian. Hidup terasa datar, tidak mengerti apa tujuan dilahirkan selain menjadi manusia.

Jika ada barang atau prestasi yang ingin dicapai, semua akan hilang ketika manusia dihadapkan pada kematian. Semua usaha di dunia, semua kesuksesan yang di raih ketika masih hidup. Pada akhirnya tidak akan berarti apa-apa saat manusia telah mati. Lantas untuk apa sebenarnya hidup itu jika saat kita mati tidak ada satu pun yang bisa ikut dibawa?

Untuk apa manusia hidup?

"Onii-san." Sentuhan hangat di jari mengambil alih kembali kesadaranku. Dengan mata sipitnya, Mio mengecek kondisi wajahku. "Onii-san baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"

"A-ah, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir." Aku menjauhkan diri dari wajahnya karena panik.

"Hmm, benarkah?" katanya dengan nada tidak percaya. "Aku sempat mendengar Onii-san bergumam sesuatu. Apa ada masalah di tugas akhir kuliah? Bukan apa, aku hanya sedikit khawatir kalau Onii-san cuti lagi tahun ini. Bukankah semakin lama menunda kelulusan sama dengan semakin lama Onii-san tidak bisa mewujudkan cita-cita?"

Memalukan. Adikku sendiri sampai sekhawatir itu pada kakaknya yang tidak berguna baginya selama empat tahun. Masih sempat-sempatnya ia memikirkan impianku, padahal aku sendiri tutup mata ketika Mio menangis karena keputusan bodoh yang kuambil waktu itu. Aku merasa menjadi kakak yang sangat tidak berguna.

Aku memberinya senyuman kecil, kemudian berjanji tidak akan mengambil keputusan egois untuk diri sendiri. "Daijoubu, tidak ada masalah di tugas akhirku. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Apa yang Onii-san pikirkan?" gumamnya dengan ekspresi setengah berpikir, lantas menyeringai ke arahku. "Onii-san," panggilnya.

Ini hanya firasatku, namun sepertinya kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulut Mio bisa membuat wajahku panas atau tersedak karena yakiimo yang kumakan.

"Jangan bilang kalau wajah Onii-san murung karena merindukan Meda Onee-san."

Uhuk

Meski sudah bisa kutebak, tetap saja aku tersedak.

Aku mencari botol minum, sementara Mio sibuk melebarkan tawanya. Ia mungkin tidak tahu kalau tindakannya bisa saja membuat anak ini masuk kantor polisi karena membuat nyawa seseorang terancam gara-gara tersedak.

"Tebakanku selalu benar!"

"Tepatnya tebakanmu salah." Meski seperempat dari itu benar.

"Ah, Onii-san kenapa haru malu-malu seperti itu? Aku setuju kalau nantinya kalian menikah!"

Astaga. Bisa gila aku. Obrolan ini harus cepat dihentikan sebelum Mio berkhayal terlalu jauh.

Aku melahap dua ubi manis di tangan dengan satu tarikan napas. Membiarkan Mio dan sisa tawanya mengisi kekosongan di antara kami. Sejujurnya, banyak sifat dan kebiasaan gadis ini yang jauh berubah dibanding dulu. Aku tidak tahu benar apakah itu karena keberadaan Andromeda di sisinya atau bukan. Tapi selama itu positif, kurasa tidak perlu dipermasalahkan.

"Ne, Mio."

"Hm? Nani desuka?" Ia menanggapi dengan mulut penuh yakiimo.

Sebenarnya kurang nyaman bertanya ini padanya, hanya saja sebagai kakak aku perlu tahu tentang penindasan yang sempat dialaminya di sekolah.

"Apa kau nyaman berada di sekolah?"

Kepala Mio berputar ke arahku, ia seakan terkejut.

"Meda Onee-san yang memberitahu Onii-san?" tebaknya yang kujawab dengan anggukan kecil. Apakah hal ini seharusnya tidak kuketahui?

"Ah begitu, pantas saja. Onii-san dengar sampai mana?"

Otakku coba mengingat-ingat kembali. "Tidak banyak, karena aku sempat menyanggahnya. Hanya sampai kau yang dikunci di ruang kosong saat sedang beribadah, dan dikucilkan."

Mata Mio terpejam dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. Wajahnya menunjukkan jika ia berusaha berdamai dengan masa lalu, walau rasa sakit jelas tidak bisa hilang begitu saja.

"Untunglah Onii-san sedikit bodoh," ujarnya begitu membuka mata. Sedikit menohok, tapi yah aku mengerti kenapa dia mengatakan itu. "Sebenarnya Meda Onee-san tahu banyak hal lebih dari itu, dan dia juga yang selalu menolongku. Yah, meski tidak semua. Karena ada saat-saat juga, aku tidak ingin mengganggunya."

Menyedihkan. Bahkan di masa terberat Mio hanya ada Otou-san di sampingnya. Gagal menjadi seorang kakak? Rasanya kalimat itu pantas untukku yang tidak tahu malu masih berharap menjadi salah satu anggota keluarga Akiyama.

"Aku bukan ingin menuduh, tapi apakah alasan mereka mengucilkanmu karena keyakinan itu?"

"Entahlah," Mio berucap tanpa ragu. "Aku sendiri sempat berpikir begitu, tapi sekarang tidak lagi."

Keningku berkerut. "Maksudmu?"

"Di tahun ketiga, aku tidak menerima perundungan. Sebaliknya, aku punya banyak teman. Hanya saja, di beberapa kesempatan aku juga menarik diri."

Aku yang mendengarnya tidak terlalu paham. Jika di tahun ketiga dia tidak menerima perundungan, bukankah artinya di tahun pertama dan kedua Mio sempat dijauhi? Lalu kenapa di tahun pergantian ketiga tidak?

"Meda Onee-san pernah bercerita jika dia juga pernah dirundung saat masih kecil. Tidak hanya dirinya, tapi anak yang tuli di sekolah itu pun dikucilkan."

Mulutku terkunci begitu mendengar fakta baru dari Mio. Andromeda yang sekuat itu pernah menjadi korban perundungan? Dia bercanda kan?

"Kau bercanda?"

Mio menggeleng tegas. "Aku bahkan pernah melihat bekas luka di bagian tubuhnya yang belum hilang. Aku ragu bertanya, tapi setelah tahu, aku ikut prihatin dan sedih."

Tidak selesai dengan keterkejutanku, Mio kembali bercerita.

"Onii-san mungkin sudah tahu asal usul Onee-san, jadi ya itulah alasan dia dirundung. Karena Meda Onee-san adalah anak dari panti asuhan."

Ah, aku melupakan kenyataan itu. Tidak heran Arsa kagum pada adiknya, ia satu-satu orang yang lebih lama bersama gadis itu dibanding siapa pun.

"Tapi, Onee-san mengatakan ini padaku. Tidak peduli tempat, atau apa pun yang kau miliki. Perundungan itu bisa terjadi dengan alasan apa pun. Manusia yang hidupnya sempurna saja punya alasan kenapa ia dirundung. Jadi kalau seseorang bertanya, bagaimana cara menghentikan ini semua? Jawabannya ada pada diri kita. Ingin terus dirundung, atau mau mencoba mengubah? Bagaimana cara mengubahnya? Seseorang akan tahu jika dia mau berusaha."

"Benar-benar seperti Andromeda ya," responsku sembari coba membayangkan wajah gadis itu.

"Iya kan? Aku baru pertama kali bertemu dengan orang sepositif Onee-san. Berkatnya, aku menjalankan beberapa saran. Kemudian mendapat teman sedikit demi sedikit. Teman-temanku juga sekarang sangat perhatian dan menghormati keyakinanku. Walau semua itu tidak mudah awalnya, untuk menyembuhkan mentalku saja butuh waktu yang cukup panjang."

Adikku ini terus bercerita tentang Andromeda dengan wajah penuh semangat. Dalam dirinya, Andromeda seolah menjadi pahlawan yang menyelamatkan hidupnya. Haaa, sepertinya banyak sekali hutang budi yang harus kubayar pada gadis itu.

"Ne, Onii-san jadi bertemu Otou-san kan?"

Sementara waktu, aku harus menunda membalas kebaikan gadis itu. Ada hal lebih penting yang harus kuurus lebih dulu.

"Tentu, ayo ke rumahku sebentar! Aku harus mengambil beberapa barang sebelum pergi ke sana."

Lucunya, takdir kami seakan dipermainkan dengan mudahnya. Orang yang selama berminggu-minggu tidak kutemui batanh hidungnya itu di mana pun, sekarang ini tengah berdiri di depan pagar rumahku. Alisnya berkerut, mulut kecilnya mengucapkan sesuatu. Dengan gestur yang mencurigakan itu, ia nampak sedang bimbang untuk memutuskan membuka pagar rumahku atau tidak.

Ah, dasar. Kelakuannya itu selalu saja bisa membuatku tersenyum senang.

"Andromeda!"

***

Nb:

*Yakiimo: ubi manis bakar (salah satu cemilan di waktu musim dingin)

*Haru: musim semi

*Sou desu ne: iya juga ya

*Nani desuka?: Apa?

*Dirgahayu Indonesiaku yang ke 76 🇲🇨🇲🇨🇲🇨 Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh! Selamat hari kemerdekaan untuk kita semua!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top