16 ❄️ Hanasu

H a n a s u

❄️❄️❄️

"Bukankah kau hanya menunda kematian bibi?"

Badanku terbaring di atas kasur lama di vila keluarga Akiyama. Banyak debu, tapi penciumanku seolah mati dan tidak berfungsi dengan benar.

Aku tidak peduli pada hewan apa saja yang tengah panik berlarian ke sana kemari di kamar yang biasa kupakai sewaktu kecil ini. Yang ada di kepalaku hanyalah, suara-suara Andromeda yang terus memenuhi pikiran.

Jangan tanya di mana keberadaan gadis itu padaku sekarang. Karena begitu kami menyelesaikan pembicaraan yang masih belum memiliki jawaban itu, Andromeda memilih untuk meninggalkanku di bangunan tua ini sendirian.

Ia mungkin punya niat baik, memberikan ruang padaku agar bisa menyerap dan memikirkan ulang semua yang sudah terjadi. Kemudian menentukan sebuah keputusan, yang harus kuambil. Melepaskan dan kembali pada mereka, atau tetap menjadi keras kepala dan hidup dalam keterpurukan sendirian.

"Jiwa manusia ...," suara dan raut wajahnya seketika terbayang di waktu aku menutup mata. "Apakah semudah itu diartikan?"

Aku mengerutkan kening. "Bukankah semua kontrol tubuh manusia berada di otak? Bahkan penerjemaah rasa sakit, senang, sedih dan lainnya. Semua berasal dari otak?"

Andromeda tersenyum kecil. "Menurutmu hati manusia tidak berperan penting?"

Ah, aku paham.

"Kau pernah berpikir rasa sakit hati manusia berasal dari mana?" Ia tidak menjawab pertanyaanku. Sebenarnya, dari tadi aku hanya fokus menatap ke arah punggungnya yang membelakangi sembari terus melakukan obrolan. Walau sempat ia bertanya dengan senyum tipis, namun anggap saja jika itu tidak tidak terjadi. Intensitas kami berbicara tanpa saling menatap lebih banyak, hingga tidak bisa mengartikan apa yang dirasakan lawan bicara.

Hanya lewat suara saja, aku coba mengira-ngira kalau Andromesa sepertinya masih dalam keadaan tenang. Aku juga yakin ia tidak membenciku. Mungkin hanya ada sedikit rasa "sayang sekali" di sudut hatinya melihat apa yang kuciptakan.

"Ketika seseorang merasakan sakit di bagian tubuh tertentu, katakanlah sakit di bagian lambung. Impuls yang diterima seseorang dari luar, akan dibawa oleh neuron menjalar melalui serabut syaraf di otak dan diartikan. Kemudian terjemahan itu akan dibawa kembali oleh neuron ke rasa sakit yang dirasakan oleh manusia. Hingga mereka tahu kalau lambung mereka sedang bermasalah dan bisa jadi penyakit mag yang dideritanya kambuh. Tidak hanya itu, otak juga mengirimkan sinyal agar tubuh melakukan sesuatu untuk menghilangkan rasa sakit itu." Andromeda bergeming mendengarkan penjelasanku.

Dari sudut ini, aku bisa melihat bibirnya mengembang. Tapi wajah putihnya terlihat muram. Apakah aku salah berbicara?

"Ryou, kau percaya tubuh manusia memiliki listrik?"

"Tentu, bukankah secara ilmiah bisa dibuktikan? Dari penjelasanku tadi pun, sudah dijabarkan jika otak merupakan pusat berkumpulnya listrik."

Kali ini ia berbalik, lantas menyandarkan dirinya di meja yang biasanya kugunakan untuk mengetik.

"Aku akan bertanya sekali lagi. Apakah menurutmu anggota tubuh yang laint idak penting asalkan ada otak?"

Aku mengerutkan kening. Nada suara Andromeda memang tidak terdengar sedang menantang, namun aku sekarang merasa tersudut.

"Ya," jawabku, diikuti segudang keraguan yang tiba-tiba hadir.

Andromeda menyipitkan matanya, ia seakan sedang mencari rasa percaya diriku yang meluap-luap. Meski tentu ia tidak akan menemukannya. Sudah kukatakan bukan? Jika yang tersisa dari diriku sekarang hanyalah keputus asaan.

"Ryou," panggilannya yang amat halus membuatku mengangkat pandangan. "Ini pertanyaan terakhirku. Apakah semua terjemahan di pusat kontrol manusia, sudah tiba-tiba ada sejak mereka lahir?"

"Maksudmu?"

"Penyesuaian suhu tubuh, pengendalian emosi dan hormon, gerakan tubuh manusia dan lain-lain. Apakah memang sudah ada sejak kita dilahirkan?"

"Tent—"

"Lalu kenapa bayi manusia tidak langsung bisa berjalan saat ia baru lahir?" Gadis ini memotong ucapanku. Ia tidak mengizinkanku untuk berpikir bahkan bernapas.

Tetap di posisi kami. Ia mengambil napas sejenak kemudian membuang pandangan pada tumpukan salju yang menggunung di balkon. Andromeda diam dengan mata tertutup, seakan menikmati suara angin di luar atau mungkin deru mesin penghangat yang kunyalakan.

Ketika kelopak matanya kembali terbuka, ada rasa kagum yang tidak bisa kumengerti. Di mataku untuk kesekian kali, Andromeda nampak cantik mengalahkan padang bunga di belakang bukit.

"Ryou, apa yang akan kutakan mungkin terdengar membosankan untukmu. Tapi aku merasa perlu menyampaikannya, karena otakmu yang sangat cerdas itu melupakan sesuatu."

Sesuatu apa yang kulupakan?

Jemari Andromeda menyentuh layar komputerku dengan sangat hati-hati. Ia kemudian menjelaskan tentang bagaimana otak manusia terbentuk dan beradaptasi setelah lahir.

"Ketika manusia lahir apa yang ada dalam otaknya masih baru dan belum banyak terisi. Ia pelan-pelan tahu jika itu harum mawar ketika mendapat impuls dari luar. Otak menyimpan kenangan itu, sehingga manusia langsung mengenali bau apa yang dicium di ladang bunga mawar. Kalau kau mengatakan hanya membutuhkan otak dan tidak perlu bagian tubuh lainnya, itu kurang tepat. Karena dari tubuh yang tercipta ini, otak jadi memiliki banyak sekali informasi yang harus disimpan. Tidak hanya tubuh, tapi hal yang ada di luar pun memberikan otak lebih banyak pengetahuan." Penjelasan panjang lebarnya ditutup dengan sentuhannya yang berakhir di figura kecil yang ada di meja kerjaku. Potret ibu dan Mio yang tersenyum lepas dengan latar ladang bunga.

"Apa kau yakin orang yang akan hidup di sana adalah bibi?"

Pertanyaan ini ... Apakah mungkin sedari tadi Andromeda menerjemahkan semua kode yang ada di layar?

Gadi itu menggaruk bagian pipinya, rautnya terlihat sungkan. "Maafkan aku. Karena penasaran seperti apa penelitian yang kau lakukan, aku menerjemahkan kode di sana. Ini hanya pendapatku, tapi rasanya masih banyak hal yang harus disempurnakan. Dan yang mengganjal pikiranku adalah ... bagaimana kau akan menghidupkan bibi padahal inti kehidupan manusia sudah lama mati?"

Karena ia sudah melihat semua yang telah kulakukan, tanpa ragu aku menunjuk benda yang terlihat cukup mengerikan di kamar utama. Sebuah kursi dan tabung raksasa dengan kabel-kabel yang menggantung di atasnya. "Dengan menyalin dari ingatan orang-orang terdekatnya menggunakan ini."

Seolah telah memprediksi apa yanga da di balik pintu kamar utama, ia hanya menurunkan setenah kelopak matanya. "Kau sudah tahu apa resikonya?"

Aku tidak ingin menjawab, karena obrolan kami sudah menyinggung hal itu. Tapi mendengarnya menyebut namaku dengan sangat hati-hati, menjadikanku lepas kontrol. Perasaan yang menyesaki dada, keluar begitu saja tanpa kendali. Amarah, kekecewaan, kesedihan, keputusasaan, mengusaiku sepenuhnya. Kemudian ia, gadis di sana memandangku dengan sorot sendu. Pancaran matanya menyiratkan jika ia ikut merasakan sakit yang kurasakan.

"Aku sudah tahu jika keinginan inu membuat orang lain dalam bahaya. Tapi harus bagaimana? Aku yakin Okaa-san masih hidup. Aku yakin dia juga tidak ingin pergi secepat itu. Aku bisa membuatnya hidup kembali, kenapa tidak ada yang senang dengan itu?"

"Lalu kehilangan kau yang masih hidup dan lebih memilih menghancurkan diri sendiri untuk penelitian ini?" Andromeda berteriak. Orang yang selama ini terlihat bisa mengendalikan emosinya itu, berteriak sekuat tenaga agar aku bangun dari halusinasi.

Tidak yakin, aku tetap memberanikan diri mentap ke arah gadis yang sudah meneteskan air matanya di ambang pintu.

Kenapa? Untuk apa dia menangis?

"Ingatan darimu saja tidak cukup bukan? Kau ingin mengorbakan banyak orang untuk kemungkinan berhasil yang belum pasti?"

Ah, begitu rupanya. Kukira ia hanya khawatir pada apa yang akan terjadi padaku. Namun, jauh lebih dari yang kubayangkan, Andromeda juga mengkhawatirkan orang-orang yang akan terlihat dengan ide gilaku ini.

Teringat kembali ucapan terakhir Okaa-san, tentang Tuhan yang tidak sangat menyayangi ciptaannya. Ia tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya.

"Tuhanmu dan Okaa-san," jedaku sejenak. "Apakah benar Dia menyayangi ciptaannya?"

Andromeda mengangguk diikuti kalimat "tentu" tanpa keraguan. Seyakin itulah ia pada Tuhannya?

"Lalu bagaimana cara kau menjelaskan apa yang terjadi padaku? Saat Tuhan tidak mendengar doa dan jeritanku? Dia juga tidak menolong ketika Onohara dan Otou-san membuangku."

Setelah sekian lama, ada orang yang bertanya padaku. "Apakah kau percaya Tuhan itu ada?" Dan orang yang berani mengatakannya adalah, gadis yang akhir-akhir ini sering muncul di kehidupanku.

"Aku mengatakan ini bukan berarti Tuhan tidak adil. Tapi, bagaimana Ia bisa menolongmu jika kau tidak percaya kalau Tuhan itu ada? Bahkan dengan bukti seluas dan sebanyak ini, semua kebaikan-Nya kau abaikan karena satu rasa kecewa."

Percaya? Apakah rasanya seperti aku percaya jika Okaa-san masih hidup?

"Abangku bilang, kau bertanya padanya bagaimana Tuhan mengoperasikan alam semesta. Apakah kau tidak bertanya-tanya ilmu seperti apa yang Ia punya sampai menciptakan tubuh manusia sampai detilnya di biji atom?"

Angin di luar mereda. Dengan gerakan cepat dan langkah besar, Andromeda mendekati jendela balkon kamar utama lebar-lebar. Menyibak semua gorden lebar-lebar, sehingga cahaya masuk tanpa rasa malu menerangi ruangan tempat kami sekarang.

"Kau tahu? Semesta tercipta tidak dengan sendirinya. Seperti kursi, ia tidak akan menjadi kursi jika tidak ada yang membuatnya. Semua tidak akan bergerak jika tidak ada yang menggerakkannya, sebagaimana mesin yang hanya akan diam saja jika tidak ada yang mengoperasikannya. Apakah manusia yang menggerakkan bumi? Atau manusia yang bergerak mengikuti bumi?"

Membelakangi cahaya yang masuk. Ujung kain yang ia kenakan tertiup angin. Senyumnya mengembang dengan tulus, menatapku lembut hingga rasanya seperti terhipnotis.

"Ryou, mereka memilih untuk melepas kepergian ibumu bukan karena mengikuti hukum alam yang berlaku. Tapi jika menghidupkannya membutuhkan banyak nyawa lain yang harus pergi, bukan kah itu yang dinamakan keegoisan?"

Lama. Tidak ada suara lagi di antara kami. Kurasa pembicaraan ini sudah mencapai penyelesaian, dan sepertinya Andromeda pun setuju. Gadis itu melewatiku, membisikkan kalimat yang cukup menenangkan.

Sebelum ia menghilang di balik pintu tua itu, aku mengejarnya hanya untuk bertanya. "Apakah kau percaya Tuhan itu ada?"

Dan untuk kesekian kalinya, tidak kutemukan keraguan dari kalimat yang ia ucapkan. "Sebagaimana jiwa yang membuatku hidup, aku percaya jika Tuhan itu ada."

***

Nb:

*Hanasu: lepas, melepaskan

*Nggak maksimal hari ini, tapi alhamdulillah bisa update. Hihi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top