11 ❄️ Yoru
Y o r u
❄️❄️❄️
Kakiku berjalan gontai dengan kepala tertunduk, setelah berpisah dengan gadis yang sepuluh menit tadi masih berdiri di sampingku dengan senyum hangat. Kalimat terakhirnya mengingatkanku pada nasihat terakhir Okaa-san, yang sempat kulupa. Mungkin karena terlalu terpukul atas kepergiannya.
Ibuku tidak meninggal secara mendadak. Semua prosesnya bahkan tidak secepat proses pemakaman pada umumnya. Karena harus mematuhi protokol kesehatan pemerintah Jepang, keluarga bahkan tidak bisa melihat wajah Okaa-san untuk terakhir kalinya.
Dengan kondisi badan ibuku yang lemah, ia tidak bisa bertahan dari serangan virus yang sempat menjadi pandemi hampir di seluruh dunia. Wabah yang menewaskan berjuta-juta nyawa dalam kurun waktu yang singkat. Menyebarkan ketakutan di seluruh penjuru bumi, hingga menghilangkan hati nurani saat melihat seseorang jatuh tergeletak di jalan-jalan yang biasa dilewati.
Ya, Okaa-san adalah salah satu dari pasien yang harus gugur setelah ia dinyatakan negatif. Proses pemulihannya sempat membuat keluargaku tersenyum senang, hingga malam ketika rumah sakit mengabarkan kondisi Okaa-san kembali memburuk. Membuatku dan Mio kehilangan kebahagiaan seketika.
Bayangan-bayangan senyum hangat tiap ruangan di rumah, lenyap begitu Otou-san datang dengan tubuh bersimpuh di depan pintu. Ia tidak berteriak, hanya meratap ke arah lantai dengan air mata yang terus meluap. Sama halnya dengan Mio yang reflek memeluk tubuh pria tua nan kurus itu.
Keluargaku hancur di hari itu. Aku dan Otou-san tidak pernah sejalan lagi. Ideku tentang penelitian itu hanya mendapat tamparan darinya. Mereka mengatakan pasrah dan ikhlas jika memang Tuhan menghendaki yang terbaik seperti itu. Bahkan terus berpegang pada keyakinan bodoh yang dibawa Okaa-san, padahal mereka tidak tahu di mana keberadaan Tuhan yang disembah. Bahkan, aku ragu jika Tuhan mereka Maha Melihat, karena ia sama sekali tidak melihat penderitaan dan usaha Okaa-san untuk sembuh.
"Aku tidak bisa mengubah pandanganmu tentang keyakinanku." Gema dari suara gadis itu lagi-lagi terulang. Punggungnya yang kali itu membelakangiku terlihat sedikit bergetar. Mungkin akibat rasa dingin yang ia rasakan.
"Yaaah, apa lagi kita baru dekat akhir-akhir ini kan? Tapi Ryou ...," Ia memutar tubuhnya yang sudah berjarak kira-kira sepuluh langkah dari tempatku. Gadis itu masih saja tersenyum, dalam bola matanya berkilat cahaya yang membuatku terhipnotis sesaat. "Kau tidak bisa mengambil kesimpulan itu," katanya dengan tegas.
Alisku berkerut tidak setuju. "Apa maksudmu?"
"Entah lah. Aku hanya merasa, kau mencari sesuatu untuk disalahkan karena menelan kekecewaan. Mengambil kesimpulan karena rasa benci, bukan dengan alasan yang logis. Menyangkut-pautkan semua hal buruk pada satu subjek, tanpa melihat dari dua sudut kacamata." Andromeda merentangkan telapak tangannya di arah langit. Ia berucap dengan nada santai, namun sebenarnya menusuk. Untuk pertama kalinya, aku terdiam karena ucapan seseorang.
Diamku bukan berarti mengakui kalimatnya, ada rasa marah dan kesal. Tapi entah mengapa, saat melihat lurus ke arah mata gadis yang melihatku dengan sorot tajam sekarang ini, mulutku terkunci rapat. Segala teriakan tertahan di ujung lidah dan tenggorokan. Baru kali ini, aku merasa terintimidasi oleh seseorang.
"Etto, sepertinya hari sudah semakin malam. Aku harus sampai di rumah sebelum bertambah dingin." Ia tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. "Ryou juga, sepertinya aku sudah menjawab apa yang ingin kamu ketahui, ne?"
Ah, benar. Aku datang menemuinya karena ingin membahas Mio. Pertemuan kami hari ini bukanlah untuk berdebat hal sensitif seperti ini. Menyadari kebodohanku yang tersulut emosi karena masa lalu, membuatku menjadi sedikit sungkan untuk bertemu dengannya lagi. Ia begitu santai menanggapi tiap kalimat yang kelaur dari mulutku. Mungkin Andromeda juga sedikit tersinggung karena aku menyalahkan keyakinannya.
Kalau dipikirkan kembali, memang yang tergambar dari sosokku tadi hanyalah kebencian karena menelan kekecewaan. Apakah ini artinya aku akan mulai mencari dan berdamai? Entahlah. Aku pun masih belum tahu.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Jaa mata ashita, Ryou." Andromeda melambaikan tangan dan meninggalkan seulas senyum, sebelum ia benar-benar berbalik kemudian berjalan menjauh dari tempatku. Samar-samar bahkan kudengar senandungnya yang terdengar riang sembari menatap salju.
Gadis itu, aku bingung harus mendeskripsikan ia bagaimana. Di satu waktu ia terlihat seperti gadis rapuh, namun di waktu lain ia terlihat tangguh. Meski terkena hempasan ombak sekali pun, ia seolah tidak akan goyah dan tetap berdiri tegak.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Melenyapkan bayangan tadi dan segera membuka pintu rumah. Aku harap hari yang cukup melelahkan karena harus mencari Andromeda, bisa diganti dengan tidur nyenyak malam ini.
Tuas pintu kudorong, bersamaan dengan itu sebuah pukulan mentah mendarat di pipi bagian kanan, membuatku terpelanting cukup jauh.
Brengsek! Siapa yang mengajakku ribut di malam sedingin ini? Dia mau mencari mati?
Darah segar menetes dari sudut bibirku. Kerasnya pukulan orang ini, bisa saja mematahkan gigi-gigiku. Namun meski sangat bertenaga, Onohara masih mengasihaniku. Ia melayangkan tinjunya di titik, di mana aku tidak perlu takut kehilangan gigiku.
"Dasar gila!" teriaknya dengan wajah penuh amarah.
Aku bangkit, berjalan sempoyongan. Dengan sisa tenaga, aku mengambalikan pukulan Onohara tepat di tulang pipi kirinya. Bunyi "krak" entah dari jemariku atau tulangnya terdengar. Mungkin ia tidak terima karena balasanku, Onohara melepaskam bogem mentah di hidungku. Begitu tubuhku tersungkur, ia langsung menaikinya dan bertubi-tubi memukulku tanpa ampun.
Kalian mungkin pernah mendengar, jika cara laki-laki menyelesaikan masalah adalah dengan saling melemparkan pukulan. Agaknya aku sedikit setuju dengan kalimat itu, ketika semua tinju dari Onohara mengenai tiap bagian di wajahku.
Hanya dengan pukulannya, aku bisa merasakan dan menebak jika Mio sudah memberitahu Onohana tentang penelitianku. Anak ini pasti sudah mengacak-acak ruanganku yang penuh dengan rancangan alat yang sedang kukembangkan.
Tujuh menit berlalu, Onohara mulai menghentikan aksinya. Napas yang terengah-engah dan keringatnya yang bercucuran menandakan jika energinya sudah cukup terkuras.
Kalian mungkin berharap aku akan membalas. Tapi, tidak. Aku hanya mampu terlentang di atas tanah penuh salju dengan wajah yang kuyakini sudah penuh lebam dan luka. Bukan hanya Onohara yang kehabisan energi, aku pun sudah tidak berkutik karena rasa sakit yang terus menjalar ke segala arah.
Onohara menjauh dari tempatku. Ia mengambil sesuatu di dalam rumah, dan keluar kembali dengan satu tas besar.
"Kau panaskan otakmu yang sudah membeku itu. Aku menjadi teman dan melindungimu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah dan beranjak dari masa lalu, dasar bodoh," sarkasnya lantas pergi meninggalkanku.
Sekarang aku benar-benar sendiri. Onohara yang kuanggap satu-satunya keluarha yang kumiliki. Pada akhirnya akan pergi begitu tahu masalah ini. Sayou? Aku tidak berharap lebih padanya. Gadis itu sudah mempunyai Andromeda dan Mio di sisinya, ia pasti akan lebih memihak mereka berdua dibanding aku teman sedari SMP.
Baiklah, mari lihat. Di saat seperti ini pun, Tuhan tidak melihat ke arahku. Tinju beruntun dari Onohara juga tidak akan bisa Ia hentikan. Aku hanya berharap pada temanku itu agar ia sedikit punya belas kasihan, untuk tidak membunuhku. Bagaimana Tuhan bekerja untuk menyelamatkanku? Ia akan tiba-tiba muncul dan menghentikan Onohara? Huh, konyol sekali.
Bukankah asumsiku benar? Tuhan hanyalah bualan yang mereka ciptakan, agar mereka merasa tenang.
Ditemani langit biru yang makin pekat, dangan rintik salju yang mulai turun. Semua menjadi saksi bisu untukku, jika Tuhan tidak pernah ada di dunia ini.
***
Nb:
Sepertinya nggak ada bahasa jepang yg perlu aku artikan. Maaf ya lama ga up. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tekan tombol bintang di pojok bawah. Mata ashita di bab selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top