09 ❄️ Odaijin

O d a i j i n

❄️❄️❄️

Aku tahu manusia punya banyak perilaku aneh, sifat mereka juga unik. Ada yang bisa ditebak hanya dengan membaca raut wajah dan gestur tubuh mereka. Ada juga yang susah ditebak, meski kamu merasa sudah sedekat nadi dengan mereka.

Ganeeta Andromeda, kupikir adalah orang yang mudah ditebak. Ia ekspresif, tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Lincah, selalu saja ada ide unik darinya. Periang, kesedihan tidak pernah kulihat mampir di wajahnya. Andromeda adalah tipe perempuan yang selalu menebarkan aura positif.

Kupikir begitu, gadis itu terlihat tidak punya beban sama sekali. Kecuali kadang kala suka ikut campur masalah orang lain, yang dia bilang bukan orang lain.

Namun kemarin, orang yang nampak tidak akan menjerik meski tertusuk belati itu tiba-tiba memberikan ekspresi terluka. Bola matanya terpaku ke seberang jalan, kemudian menoleh ke sana kemari seperti sedang mencari seseorang. Kepalanya akhirnya tertunduk, karena mungkin ia tidak menemukan apa pun.

Rasa kecewa, sedih, dan putus asa tergambar jelas di bola matanya yang keabu-abuan. Sebenarnya aku ingin bertanya, apakah gadis itu benar-benar keturunan asia? Warna mata dan garis wajahnya bahkan tidak mewakili gadis asia tenggara. Selain bahasa ibunya yang fasih, kurasa ia mempunyai sedikit darah keturunan eropa utara.

"Nii-san, menurutmu lebih bagus yang mana? Hijau atau coklat?" Mio menimang dua mug bergambar neko dan fukurou di masing-masing tangannya. Ia terlihat serius memilih barang ketiga yang ditulis Andromeda di kertas yang kuberikan kemarin.

"Yang mana saja tidak masalah kan?" Rasanya ingin cepat-cepat selesai dan pulang. Sudah dua jam kami habiskan berkeliling untuk mencari oleh-oleh yang ingin dibeli gadis itu. Dan selama itu pula, Mio susah sekali menentukan pilihan ingin membeli yang mana.

Aku jadi ingin tahu, dia amat pemilih karena ingin menyesuaikan dengan selera Andromeda. Atau dari dulu adikku ini memang pemilih? Aku tidak jelas ingat, karena kami sudah lama sekali tidak tinggal dalam satu rumah.

Walaupun sesekali aku membuntutinya saat pergi keluar atau di sekolah, akan tetapi itu sama sekali tidak membantu mengenal adikku sendiri. Aku hanya memastikam jika ia aman selama di perjalanan. Tidak ada seorang pengganggu, atau terjadi hal buruk.

Lagi pula, aku lebih sering menghilang dan sibuk di suatu tempat untuk meneliti sesuatu yang terang-terangan ditentang oleh Otou-san.

"Dame da yo! Karena ini barang onee-san, aku tidak bisa sembarang memilih. Semua harus sesuai selera onee-san," tolak Mio. Meski ia berkata seperti itu, pada akhirnya adikku membeli dua mug yang ia pegang setelah menghabiskan waktu dua puluh menit berpikir.

Apakah sifatnya yang satu ini ditularkan oleh gadis itu?

"Kau sudah membayarnya?" Senyum di wajah bulatnya mengembang sempurna, cukup untuk menggambarkan sebuah jawaban "puas". Mio menyerahkan kantung berisi dua mug tadi padaku, lantas memeriksa catatan daftar oleh-oleh.

"Masih ada yang mau dia beli?" Aku bertanya karena lelah memegangi barang belanjaan. Kalau pun bisa duduk di jalanan ini, akan kulakukan demi bisa bernapas dengan benar sebentar saja. Namun nampaknya daftar di kertas itu belum sepenuhnya terselesaikan.

Mio menarik tanganku, menyeret badan kakaknya ini yang lebih besar darinya ke sebuah supermarket. Kuharap ini menjadi hal terakhir di daftar menyebalkan itu.

***

"Konnichiwa, minna."

"K-kau ...." Aku tergagap saat pintu rumah terbuka, menampilkan gadis acak-acakan dengan hidung merah dan wajah bengkaknya.

Andromeda tertawa kecil, sembari menyumpal lubang hidungnya menggunakan tisu.

"Kau sakit?"

Lagi-lagi ia tertawa dibuat-buat. "Yah, begitulah. Kalian mau masuk dulu atau langsung pulang?"

Aku menjauhkan diri beberapa senti.

"Aku akan pulang—"

"Kami akan di sini!"

"Mio!" Tanpa sadar aku jadi menggertaknya.

Yang benar saja? Aku harus mampir dan tertular virus darinya? Hei, aku masih punya penelitian besar yang harus diselesaikan sekarang. Tidak ada waktu beritirahat karena terserang flu. Namun coba lihat, Mio memaksaku masuk dan mengunci pintu dari dalam.

Sial. Sekarang aku harus bagaimana? Kabur lewat jendela kamar gadis ini?

"Onee-san tidur saja. Aku akan buatkan makan malam!" Mio mendorong badan perempuan itu ke atas kasurnya. Kemudian mendelik ke arahku seolah berkata, "Nii-san jangan coba-coba kabur!"

Mendapat tatapan seperti itu bagaimana bisa aku kabur dan menolak? Berjalan gontai, aku duduk di salah satu sisi kotatsu. Memperhatikan tiap sudut ruangan yang dipenuhi berbagai macam barang. Penataan yang cukup cerdik membuat ruangan kecil ini mempunyai zona tersendiri.

Tatapanku terhenti pada kasur lipat di samping tempat tidur Andromeda. Mio, apa mungkin semalam dia menginap di sini? Kalau diingat-ingat, adikku itu tadi yang menjemput kertas dari Andromeda. Ia bersikeras ingin mengambilnya sendiri, apa mungkin karena semalam karena ia menginap?

Aku menepuk dahi, meraup wajahku yang setengah kesal. Bagaimana dia bisa tidur sesantai itu dengan orang sakit? Anak itu tidak pernah berpikir jika dirinya tertular?

"Kau mengkhawatirkan Mio?" Gumpalan yang tertutupi selimut di atas sana bersuara.

"Orang sakit lebih baik tidur." Biasanya aku tidak terlalu menanggapi ucapannya. Tapi untuk hari ini kubuat pengecualian karena ia sedang sakit.

"Gomen ne, Ryou," katanya dengan suara yang lebih lembut. Kepala Andromeda sedikit menoleh ke arahku. Bibirnya yang hanya tampak setengah tersenyum tipis. "Aku bukannya ingin sakit, tapi tiap awal musim dingin tubuhku memang sulit beradaptasi. Jadi, Mio yang selalu merawatku sampai sembuh. Kalau dipikir-pikir, aku memang merepotkan ya," lanjutnya diakhiri tawa kecil.

Aku tidak bisa menanggapinya. Tidak ada kata atau kalimat yang pas untuk mewakili apa yang ingin kusampaikan.

Mengatakan tidak apa-apa? Aku bukan orang yang perhatian pada orang lain. Sebagai seorang kakak juga, aku pasti ingin Mio sehat-sehat saja dan tidak kerepotan karena orang asing.

Akan tetapi sebagai manusia yang masih memiliki hati, aku tidak bisa menutup mata pada keadaan gadis itu. Terlepas dari sifatnya yang kadang menyebalkan, ia hanyalah gadis yang mengejar ilmu sendirian di negara orang.

"Nii-san," seruan kecil dari Mio mengalihkan tatapanku. "Bisakah kau membantuku?" katanya merendahkan suara. Mungkin ia pikir Andromeda sudah tertidur lelap.

"Apa yang bisa kubantu?" Aku menghampiri Mio yang sibu mengecek nasi dan kuah yang ia masak. Tanganku langsung bergerak mengambil apa yang dibutuhkan sesuai perintah dari adikku. Memotong-motong dada ayam menjadi beberapa bagian.

Dapur yang sempit hanya diisi oleh bunyi gelembung sup yang mendidih dan bunyi dari pisau yang sedang memotong daging. Tahun kemarin, aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa ada di satu ruang lagi dengan Mio. Bahkan melihatnya dari dekat seperti ini, dulu itu hal yang mustahil.

Namun hari ini, kami berada di satu ruangan yang sama. Mengobrol seolah empat tahun ini tidak pernah terjadi apa pun.

"Nii-san suka Meda Onee-san?"

"Aw!" Jariku teriris. Tentu karena pertanyaan Mio barusan yang membuatku terkejut hingga salah menempatkan ujung pisau. Untungnya, luka yang dibuat tidak terlalu dalam.

"Nii-san cepat cuci jarimu!"

Menuruti perintahnya, aku membasuh luka tadi di bawah air dingin yang mengalir. Sementara Mio berlari ke luar dapur.

"Harusnya nii-san lebih berhati-hati."

"Bagaimana bisa aku berhati-hati kalau kau mengajukan pertanyaan mengejutkan sepeti barusan?"

Menyukai Andromeda? Leluconnya lebih mengerikan daripada dugaanku.

"Kenapa?" Mio bertanya polos. "Bukankah onee-san kawaii? Dia juga baik dan pintar."

Lalu aku harus menyukainya? Yang benar saja.

Aku tidak menanggapi kalimat Mio dan lebih memilih melihatnya yang telaten membersihkan lukaku. Adikku yang dulu mungkin akan panik dan bingung harus bagaimana untuk mengobati luka. Ia bahkan tidak pernah memegang pisau. Apa lagi harus merawat orang sakit. Mio empat tahun lalu, hanya gadis remaja yang manja. Selalu saja menangis jika kesulitan dan mengadu pada Okaa-san.

Mengejutkan saat aku tahu adikku berubah dari gadis manja menjadi gadis mandiri. Apakah perubahannya adalah salah satu dampak dari keberadaan Andromeda?

"Ne, Mio."

"Nani?"

"Sejak kapan kau bisa memasak dan mengobati luka?"

Mio menggumam dengan senyum di bibirnya. "Nii-san penasaran?" tanyanya seakan sedang menggodaku.

"Sebagai kakakmu setidaknya aku harus tahu kan?"

"Souka," ucapnya singkat. Ia lantas membereskan kotak obat yang sempat dibawa, menyimpannya di atas meja makan dan mengambil alih tugasku memotong.

"Meda Onee-san pernah bilang, jangan pernah menyimpan benci atau dendam pada keluarga. Sebenarnya, aku ingin bilang Nii-san tidak punya hak untuk berbicara seperti itu karena sudah meninggalkanku selama empat tahun."

Mulutku terkunci mendengar kalimat yang Mio ucapkan. Ia menyadarkanku, betapa tidak becusnya aku sebagai kakak. Tidak tahu diri, aku rasa kalimat itu cocok untukku saat ini.

"Gomen nasai, Mio."

Rambut hitam Mio berayun saat ia menggeleng dengan wajah tersenyum. "Aku sudah memaafkan nii-san, tapi Ryou nii-san harus berterima kasih pada Meda Onee-san."

"Kenapa begitu?"

Mio berbalik menatapku lurus. "Karena Meda Onee-san lah yang membuatku mengerti jika nii-san pasti memiliki penderitaan yang berat, namun harus dipikul sendiri. Nii-san bertanya sejak kapan aku bisa memasak dan terlihat mandiri? Itu terjadi saat onee-san masuk ke rumah kita. Dia yang mengajariku banyak hal, membentukku menjadi gadis kuat seperti dirinya, dan onee-san juga yang selama ini melindungi dan menjagaku."

Bulir hangat meleleh di pipi putih Mio. Ia yang menangis dengan senyum yang masih dipaksakan, membuatku panik. Aku mendekatinya perlahan, membawa Mio pada pelukanku supaya ia lebuh tenang.

"Ureshii na, ureshii. Meski aku sempat sedih karena nii-san pergi. Namun aku bersyukur karena Meda Onee-san datang dan menjadi temanku di rumah besar itu. Tapi, aku harus menghadapi rasa sepi itu lagi dalam waktu dekat. Meda Onee-san sebentar lagi lulus, dan akan pulang ke negaranya. Oleh karena itu ...." Mio mengurai pelukan. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku. Wajahnya masih sembab karena menangis. Dengan raut penuh harap, Mio memohon padaku untuk pulang bersamanya dan berdamai dengan Otou-san.

"Pulanglah, Nii-san. Aku tidak mau merasakan kesepian lagi. Turuti kata otou-san untuk berhenti meneliti itu. Nii-san tahu kalau itu tidak mungkin bisa diwujudkan!"

Pulang? Berhenti? Aku bahkan baru sampai di tengah perjalanan dalam penelitian ini. Tapi melihat Mio sampai memohon seperti ini, apa yang harus kulakukan?

Jika saja ada orang yang bisa memberikan jawaban padaku. Mungkin akan lebih mudah memutuskan jalan mana yang harus kupilih.

***

Nb:

*Neko: kucing

*Fukurou: burhan

*Dame da yo: tidak boleh!

*Konnichiwa: selamat siang

*Minna: semuanya

*Ureshii: sangat senang/bahagia

*Terima kasih yang sudah mampir. Sebelum keluar dari cerita ini, kenalan dulu dong sama Akiyama Ryou. 👇

Meet Akiyama Ryou

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top