07 🍁 Akiyama Ryou
A k i y a m a R y o u
🍂🍂🍂
"Aku mau pulang."
Kalimat itu yang kali pertama keluar dari mulut Akiyama Ryou begitu ia sampai di depan rumah. Rasa keberatan jelas terlihat di tiap lekukan garis wajahnya yang tirus. Bola matanya bahkan enggan melihat ke arahku begitu senyum kaku kulemparkan padanya.
Inginnya bilang "sorry", tapi tidak jadi. Toh, nampaknya ia tidak akan memaafkan perbuatanku.
"Mengunjungi rumah sesekali tidak masalah kan, Ryou?" Senpai membantuku.
Sementara Onohara membuat tanda jika ia tidak ingin ikut campur lebih jauh. Pemuda itu menyingkir.
Lalu, apakah aku harus menonton saja tanpa menjelaskan?
Aku—tanpa sadar—menelan saliva yang menunpuk di mulut akibat tegang. Reaksiku mungkin berlebihan, tapi percayalah. Jika kalian berada di posisiku yang rasanya serba salah sekarang, kalian akan mengerti jika salah sedikit saja mengambil tindakan. Maka bukan hanya kesempatanku mengakrabkan keluarga ini saja yang akan hilang. Tapi hubungan baik Akiyama Ryou dan Senpai kemungkinan berakhir karena permintaanku.
Sial, ternyata di dunia ini benar-benar tidak ada yang gratis. Selain oksigen yang Tuhan ciptakan untuk manusia bernapas.
"Akiyama Ryou," panggilku, namun ia malah memalingkan wajah ke arah lain.
Kalau bukan karena balas budiku pada ayahmu, kurasa lehermu itu sudah kupatahkan sejak kita pertama kali bertemu. Manusia menyebalkan.
Aku berjalan ke arah laki-laki itu lantas memintanya untuk membuka tangan.
"Apa?"
"Buka saja dulu."
"Tidak mau."
"Kalau begitu ini akan kulemparkan!" Aku mengancamnya dengan mengangkat tinggi-tinggi kotak beludru di genggamanku. Ia yang awalnya masih kesal dan tidak tertarik, langsung terlihat panik. Atau bertambah kesal ya? Entahlah. Aku kan tidak terlalu pandai menebak isi hati seseorang.
"Masih tidak mau membuka tanganmu?" tanyaku sekali lagi.
Akhirnya, ia mengulurkan tangan putih yang memerah di ujung-ujung jarinya. "Berikan."
Tapi, bukan aku namanya kalau tidak menjailin anak orang kan?
Aku menarik lagi tangan yang sempat kugantung di udara, dan mundur beberapa langkah. Tersenyum licik.
"Kalau kau tidak mengikuti apa yang kukatakan, aku akan melemparkan kotak ini."
"Kau tidak akan berani." Suara dan wajah Akiyama Ryou terlihat lebih tenang. Ia memasukkan dua tangannya pada saku mantel yang dikenakan. "Coba saja kalau kau memang bisa."
"Oh, kau menantangku? Baiklah, siapa takut!"
Senpai dan Onohara yang melihat dari belakang punggung Akiyama Ryou melarangku dengan memberikan berbagai tanda. Bibir mereka juga komat kamit tanpa bersuara. Ah, tapi mana bisa aku mundur kalau sudah ditantang begitu?
Toh, meski kotak ini jatuh terpental. Isinya tidak akan rusak sama sekali.
Aku bersiap, mengambil ancang-ancang melemparkan ke tembok rumah seberang. Mulai menghitung mundur, dan ya! Ini dia!
"Chotto matte!" Akiyama Ryou berteriak.
Tentu tidak mengejutkanku, karena aku sudah menduga reaksinya. Namun, terlambat. Aku sudah melemparkan tanganku ke udara. Dan andai kalian tahu, betapa lucunya wajah Akiyama Ryou yang terlihat ketakutan langsung melihat ke arah tembok seberang jalan. Tidak hanya dia tentunya. Dua orang yang heboh sendiri tadi, ikut terlihat histeris. Senpai bahkan menutup matanya.
Sementara aku?
Tertawa cikikikan, saat ketiganya melongo karena tidak menemukan barang apa pun yang terlempar atau membentur ke arah tembok.
Meski sudah lulus dari Darul Akyar, tingkat kejailanku tentunya belum turun. Masih di peringkat teratas, apa lagi jika bertemu dengan anak-anak yang terlihat polos seperti mereka.
Aku memang melemparkan kepalan tanganku, tapi tidak dengan kotak beludru ini.
"Jadi bagaimana?" Aku memutar-mutar kotak itu dengan jari. "Mau ikut atau pulang?"
Akiyama Ryou menghela napas cukup panjang dengan wajah frustasi. Ia meraup wajahnya lantas berkata, "Terserah kau saja."
Kemenangan telak untuk Meda.
***
"Mio-chan, otanjoubi omedetou!" sorak kami bersamaan.
Bintang acara malam ini tersenyum lebar. Ia sempat menangis di tengah-tengah lagu selamat ulang tahun saking terharunya. Bergantian Onohara dan Sayou-senpai memberikan hadiah masing-masing. Mereka berdua mengaku baru tahu jika hari ini adalah ulang tahun Mio. Jadi tidak sempat menyiapkan apa-apa. Akhirnya mereka memutuskan untuk membeli hadiah mendadak di toko aksesoris terdekat.
Rasanya lega sekali melihat Mio sangat bahagia. Pesta ulang tahunnya tiap tahun memang terlihat sederhana, tapi Mio selalu mengatakan sangat senang karena bisa merayakan dengan orang-orang yang ia sayangi.
Kuharap tahun ini pun begitu, karena Akiyama Ryou ikut serta merayakannya bersama kami.
Ngomong-ngomong, kenapa manusia di sebelahku ini sedari tadi tidak mengeluarkan suara? Memberikan reaksi tersenyum, mengucapkan selamat atau apa pun. Akiyama Ryou hanya tercenung dengan wajah sendu. Mungkin merasa terharu karena baru sekarang ini, ia bisa kembali merayakan ulang tahun adiknya kembali?
Aku berdeham cukup nyaring untuk membangunkan pemuda di samping dari alam bawah sadarnya. Mengeluarkan kotak berwarna biru tua yang cukup besar.
"Selamat ulang tahun, Mio! Semoga suka dengan hadiahku, kau bisa membukanya nanti."
Mio menerimanya dengan mata berbinar. Sebenarnya ia sudah tahu apa isi dari hadiah yang kuberikan. Hanya belum tahu saja seperti apa motif yang kupilihkan untuknya.
Menyikut lengan Akiyama Ryou cukup keras. Aku memberikan kode jika sekarang giliran dirinya menyerahkan hadiah yang sudah dari lama dipersiapkan. Akan tetapi orang ini menjadi kikuk dan hampir saja menjatuhkan kotak itu.
Apakah saking lama tidak bertemu, mereka jadi terlihat canggung? Ditambah lagi, Akiyama Ryou tidak pernah keluar dengan wajah berseri setiap berkunjung kemari. Mio juga selalu bersembunyi di kamarku ketika ayah dan kakaknya bertemu di rumah.
Ada apa sih dengan keluarga ini sebenarnya?
Akiyama mendorong kotak beluddu yang ia taruh di meja. Ia membuat wajah seakan tidak peduli, padahal sebenarnya anak ini sangat perhatian pada adiknya.
Lama, Mio menatap ke arah kotak coklat di hadapannya. Ia tersenyum tulus, dan diakhiri dengan tangisan deras.
Kata "arigatou" yang keluar terbata-bata seolah mengisyaratkan, jika ia sangat senang bisa menerima hadiah dari kakaknya. Bukankah seharusnya keluarga terasa hangat seperti ini? Tanpa merasa ada yang kurang atau pun kosong.
***
Malam merangkak naik. Suhu udara Osaka saat musim dingin memang tidak sedingin di perfektur Jepang yang lain. Tapi untuk aku yang memang berdarah panas, segini saja sudah cukup membuat lendir dalam hidungku membeku. Beruntungnya aku tidak punya penyakit asma turunan seperti Bang Aariz, yang tiap musim dingin menderita karena alerginya.
"Otsukaresama deshita!" Senpai meregangkan tangannya begitu kami menyelesaikan semua tugas dengan baik, dibalas sahutan serupa dari kami termasuk Mio. Masing-masing dari kami masih bertahan dalam kotatsu yang hangat sebelum beranjak pulang.
Pesta ulang tahun Mio telah selesai 5 jam yang lalu. Sekarang jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka harusnya bersiap-siap pulang, tapi kusarankan untuk menginap saja dulu. Terutama pada Sayou-senpa karena ia perempuan.
Tidak seperti kedua temannya yang menyetujui saranku. Akiyama Ryou menolak dengan tegas, ia bahkan sudah membereskan semua barangnya dan Onohara. Lantas menyeret kerah sweter temannya itu, untuk pulang bersama.
"O-otou-san tidak akan pulang malam ini!" ucap Mio. Nada suaranya sedikit bergetar, terlihat sekali kalau ia berusaha keras untuk berbicara pada kakaknya. "O-onii-san bisa menginap sampai besok!"
"Nah, adikmu sudah mengatakan begitu. Kita tidak menginap saja?" tambah Onohara yang masih diseret.
"Menginap saja. Sudah jam segini tidak mungkin ada bus yang lewat kan?" Sayou-senpai ikut membujuk.
Tapi Akiyama Ryou tetap menolak. Pertahanannya tidak runtuh meski Mio sudah memasang wajah berharap. Ia melangkah keluar tanpa sepatah kata. Hanya Onohara yang pasrah saja yang berpamitan pada kami.
"Aku antar mereka sampai depan dulu. Mio, tolong bawa senpai ke kamarku ya." Gadis itu mengangguk patuh, sementara aku mulai mengejar dua orang tadi.
"Chotto matte, Akiyama Ryou!" Pemuda yang kusebut namanya berhenti berjalan melewati pintu. Ia berbalik melihat ke arahku yang sembarangan memakai sandal.
"Ada apa lagi?" ia bertanya seolah tidak minat.
"Kau tidak mau mengatakan apa pun padaku?"
Akiyama Ryou sepertinya tahu apa yang kumaksud. Ia mengembuskan napas. "Tidak," katanya tanpa keraguan.
"Hei—"
"Kau mengerjaiku dengan melempar kotak itu, merencanakan ini tanpa sepengetahuanku, dan terakhir kau mengembalikan kotak itu padahal aku memintamu memberikannya pada Mio. Jadi, apakah aku harus berterima kasih?"
Waw, menatap ke arahnya tanpa berkedip. Bukan kagum, tapi lebih pada tidak tahu harus merespons bagaimana. Ia menyebutkan semua kesalahanku secara runtut, seakan-akan ia sedang membacakan sederet daftar dosaku hari ini. Aku menggigit bibir.
"Gomen," cicitku. Bukan takut, hanya tidak nyaman saja membuat seseorang yang belum terlalu akrab dengan kita menjadi marah.
"Tapi ...," Akiyama Ryou membuka suara kembali. "Meski kau cukup menyebalkan, setidaknya karenamu aku bisa memberikan itu pada Mio. Arigatou."
Hah? Apa katanya? Bola mataku mendadak melebar.
Terkejut? Tentu! Orang yang kukira hanya bisa mengeluarkan kata-kata pedas ini ternyata bisa juga mengucapkan terima kasih. Ia bahkan sempat tersenyum walaupun amat tipis dan singkat.
"Douita," balasku tersenyum lebar. "Jadi kita resmi menjadi teman?"
Akiyama Ryou tersedak. "Siapa yang bilang?"
Aku mencebikkam bibir. "Aku cukup kesusahan memanggilmu Akiyama Ryou. Itu terlalu panjang."
"Tidak ada yang menyuruhmu memanggilku begitu."
"Memang tidak ada." Kusembunyikam dua tangan di belakang punggung. "Tapi aku tidak bisa memanggilmu Akiyama. Jadi bolehkah aku memanggilmu Ryou?"
Ia terdiam, nampak memikirkan sesuatu. Lantas mengeratkan tali selempang tasnya. "Terserah kau saja," katanya mulai beranjak.
Kalimatnya barusan bukan sebuah penolakan, itu berarti selangkah lagi aku bisa menyelesaikan misi ini kan?
Aku membuntuti Ryou yang berjalan menuju ke luar pagar. Sampai kemunculan seseorang menghentikan langkah kami berdua.
Sensei? Bukankah harusnya beliau baru pulang besok siang?
Pandanganku beralih panik ke arah Ryou. Benar dugaanku, pemuda itu terkejut. Air mukanya mengeras dengan tangan terkepal. Sedangkan sensei menatap putra sulungnya itu dengan dingin. Ia tidak menyapa, melintasi Ryou begitu saja.
Hanya sempat kudengar meski samar sebuah kalimat yang keluar dari sensei. Yang membuatku tahu, jika masalah mereka tidak hanya berasal dari Ryou.
***
Nb:
*Chotto matte: tolong tunggu!
*Otanjoubi omedeto: selamat ulang tahub
*Otsukaresama deshita: terima kasih atas kerja kerasnya.
*Arigatou buat kalian yang sudah meninggalkan jejak. Semoga aku bisa segera balas komentar2 kalian :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top