03 🍁 Take Off

T a k e O f f

🍂🍂🍂

"Kamu jadi pulang hari ini?" Entah sudah berapa kali wanita di ujung sana mengulang kalimat yang sama.

Kalau kujumlah, kurang lebih hampir 100 kali ia terus memastikan apakah aku benar-benar akan kembali hari ini ke Indonesia. Bahkan, saat akan pergi menimba ilmu di negeri orang, ia sudah bertanya kapan aku akan pulang. Terbang meninggalkan tanah kelahiran saja belum, aku sampai tidak tega untuk meninggalkan rumah.

"Insyaallah," ucapku diselingi tawa kecil. "Tapi mungkin aku masih mampir sebentar."

Terdengar bunyi benda jatuh dari ujung telepon, sebelum akhirnya seorang pria berseru kecil. "Ma, kalau lagi telponan duduk aja dong. Apelnya jadi jatuh semua."

Suara Papa terdengar samar-samar. Nampaknya mereka tengah berada di dapur.

Namun, Mama tidak menggubris kalimat Papa dan lebih memilih untuk melemparkan pertanyaan selanjutnya padaku.

"Mau mampir ke mana dulu? Binar, kamu itu bukan lagi naik ojol loh pakai mampir-mampir segala," ucap Mama dengan nada sewot.

Dari dulu, Mama adalah orang yang paling tidak bisa berjauhan terlalu lama denganku. Keputusanku untuk ikut mondok bersama Meda saja, ternyata sempat membuatnya khawatir. Ia takut jika aku tidak memiliki seorang teman, dan susah beradaptasi dengan lingkungan pesantren.

Meski Meda ada di sana, tapi kami jelas punya wilayah yang berbeda. Tidak akan ada gadis itu yang menolong jika terjadi sesuatu padaku. Tapi toh, selama satu tahun mengampu pendidikan di sekolah umum, aku sama sekali tidak kesulitan untuk mendapatkan seorang teman.

Lupakan masa lalu, tidak perlu menjadi kerdi. Terus saja berjalan maju, karena kehidupan tidak akan pernah berjalan mundur.

Sebulan aku di pondok, menjadi masa percobaan yang diberikan Papa dan Mama. Jika aku tidak betah atau mendengar berita tidak mengenakkan tentang anaknya, Papa dan Mama akan menjemputku pulang dan kembali bersekolah di sekolah umum. Namun, apabila aku terlihat baik-baik saja dan merasa nyaman serta memiliki teman. Mereka akan melepaskanku untuk terus berada di Darul Akhyar.

Antara tantangan juga ancaman di satu waktu.

"Mau ke mana, Nak?" Mama mengulang pertanyaannya.

Aku tidak menjawab. Bukan karena ingin merahasiakannya dari kedua orang tuaku, tapi panggilan untuk penumpang pesawat yang aku naiki sudah berbunyi. Kurasa tanpa perlu menjawab juga, Mama sudah dengan pasti tahu aku akan pergi ke mana.

"Aku tutup ya, Ma. Pesawatku sebentar lagi akan take off."

Dengkusan kasar dari Mama membuatku melepas tawa. Ia pasti sangat jengkel karena selalu kuabaikan. Dengan salam sabagai penutup, aku mengakhiri obrolan lantas berjalan menuju pesawat yang akan membawaku ke belahan dunia lain.

Kepulan asap putih yang keluar dari helaan napasku menandakan jika suhu udara di negara ini mulai menurun. Sebentar lagi salju akan turun, dan kota ini akan tertimbun dalam selimut putih alam. Nampak lembut, namun ternyata rapuh.

Sama seperti seseorang yang kukenal. Kira-kira bagaimana kabarnya? Apakah ia kesulitan mengerjakan tugas akhir? Atau membuat onar di kampus impiannya seperti dulu? Hmm, atau mungkin ia sudah bertemu dengan orang baru?

Aku tersenyum tipis, mengisi langkahku menuju badan pesawat dengan banyak pertanyaan di kepala.

Meski kami bertetangga dan sesekali pulang ke Indonesia, aku dan dia belum pernah bertemu lagi selama hampir empat tahun. Karena universitas kami berbeda, tugas yang harus diselesaikan mempunyai deadline yang berbeda. Jadi waktu pulang pun, selalu tidak sama.

Sedikitnya aku bersyukur belum bertemu dengannya. Karena aku masih butuh waktu untuk menghadapinya. Perlu ruang untuk menjelaskan maksud surat yang kutulis sebelum menghilang di acara wisuda.

Dan hari ini, tiba saat di mana aku sudsh siap menjelaskan secara runtut apa yang telah kutulis.

Aku hanya berharap, semoga kedatanganku tidak pernah terlambat.

***

Coklat hangat dengan buih busa yang tadinya bergambar hati, sudah larut karena kuaduk berulang kali. Kehangatan minuman ini pun sudah menghilang, sebab hanya kupandangi dengan sorot kosong sambil menghela napas berat.

Menatap ke arah jalanan di depan yang ramai, ingatan beberapa jam lalu kembali terputar. Bahkan surat ringan yang sudah kusimpan tiga tahunan ini, tiba-tiba menjadi seberat beton setelah kubaca di rumah sensei.

Di sudut salah satu ruangan rumah dengan model tradisional Jepang. Aku duduk bersila di atas tatami, menghadap sebuah meja pendek. Kumasukkan kaki-kakiku ke dalam futon yang menjadi pelapis meja, dan menikmati hangatnya kotatsu yang dipasang keluarga Akiyama ketika suhu udara mulai menurun. Salah satu kesukaanku dan Mio saat musim dingin mulai tiba, yaitu melakukan segala hal di bawah kotatsu.

Aku dan dia bisa menghabiskan waktu satu bulan tanpa keluar dari kamar, kecuali ketika makan atau harus membersihkan diri dan hari mencuci.

Pandanganku menelusuri tiap sudut ruangan yang masih sama seperti terakhur kali aku meninggalkan tempat ini. Foto keluarga, lemari pendek yang panjang. Di atasnya duduk maneki neko dan pigura-pigura kecil berisi foto-foto keluarga Akiyama.

"Gomen nasai, Meda. Kau jadi harus menunggu lama." Akiyama-sensei muncul dari balik pintu geser. Gurat wajahnya yang terlipat di bagian kening, mengisyaratkan jika suasana hatinya lagi-lagi memburuk.

Hal itu sering terjadi ketika anak laki-lakinya berkunjung ke rumah ini. Begitu pula dengan beberapa menit yang lalu, sempat kudengar keributan saat melewati ruang keluarga.

Dari balik pintu yang tipis, kulihat bayangan dua orang laki-laki duduk berhadapan. Mereka bergantian berteriak menggunakan Bahasa Jepang, membuat Mio yang sedang mengantarkanku ke ruang paling ujung gemetar ketakutan.

Gadis di sampingku menundukkan kepala, lantas mengeratkan pelukannya di lengaku.

Rasanya iba pada gadis ini. Meninggalkannya berdua dengan Akiyama-sensei di rumah sebesar ini, kadang membuatku khawatir.

Terlebih saat kakaknya yang hanya pernah berpapasan satu kali denganku datang, atmosfer di sekitar rumah menjadi menegang.

Aku tidak paham kenapa. Yang kutahu, Mio sangat menyayangi kakaknya. Begitu pula Akiyama-sensei. Ia senang jika kakaknya pulang, dan selalu berharap kakaknya kembali tinggal di sini. Tapi, ketika ayah dan kakaknya duduk dalam satu ruangan, mereka tidak pernah keluar dengan seulas senyum atau sebuah tawa. Hanya amarah yang meledak-ledak, entah karena apa.

Selama kurang lebih dua tahun tinggal di rumah ini, aku tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Mio. Aku juga tidak pernah menyinggung seperti apa ibunya yang sudah meninggal. Aku memilih untuk diam dan menemani gadis itu saat sedih.

Dan alasan lain aku meninggalkan rumah Akiyama-sensei adalah, aku tidak ingin ikut campur dalam masalah keluarganya.

Hanya orang asing, dan tidak sepenuhnya bisa paham atau memberikan solusi. Aku menjauhkan diriku dari kemungkinan akan mencampuri masalah rumah orang lain.

Karena salah-salah, bukannya membaik. Bisa saja aku membuat masalahnya bertambah rumit.

Akiyama-sensei meletakkan secangkir ocha hangat di hadapanku. Asap panasnya masih mengepul. Kulihat pria berusia setengah abad itu menyeruput tehnya tidak sabaran, seolah ia melupakan rasa terbakar di lidahnya.

Sejujurnya, aku sendiri masih belum mengerti kenapa Akiyama-sensei memanggilku ke rumahnya. Bukan, ini tentu bukan pertama kali aku dipanggil. Sudah sering, namun ia selalu memberikan alasan kami harus bertemu di rumahnya. Dan alasannya pasti karena tugas-tugas dan kegiatanku di kampus.

Akan tetapi, pengecualian untuk hari ini. Akiyama-sensei memanggilku, tanpa memberikan sebuah alasan.

"Gomen ne, kau harus mendengar yang tadi. Mio memberitahukannya padaku."

Aku mengulas sebuah senyum kecil. "Daijoubu, Sensei. Saya akan pura-pura tidak mendengar apa pun."

Sekali lagi ia meminta maaf, yang membuatku diam karena bingung harus merespons bagaimana lagi.

Ia terlihat amat tertekan dan menyesal. Di balik sosoknya yang tenang dan berwibawa di kampus, ada segudang masalah yang ia pikul sendiri sebagai orang tua tunggal.

"Sensei," panggilku setelah jeda yang cukup panjang. "Maaf jika kurang sopan. Tapi ada keperluan apa memanggilku kemari?"

Akiyama-sensei sudah nampak lebih tenang dari pada sebelumnya. Cangkir teh yang telah kosong isinya, ia singkirkan ke samping. Kelopak mata sensei terpenjam cukup lama, lantas menarik oksigen sekitar dengan rakus sebelum bertanya satu hal yang hampir kulapakan.

"Kau masih ingat amplop biru yang kuberikan?" Akiyama-sensei menatapku serius.

"Ya, Sensei."

"Kau membawanya?"

Kepalaku mengangguk kecil. "Saya selalu membawanya ke manapun seperti perintah sensei."

Sama halnya denganku, kepala sensei ikut mengangguk-angguk. "Kau sudah membacanya?"

Aku mengeluarkan surat yang dimaksud meski tidak diperintahkan. Karena masih kuingat jelas pesan sensei ketika memberikan surat ini.

"Saya belum sekali pun membukanya. Seperti yang sensei sampaikan, saya harus membukanya menjelang tugas akhir. Dan sensei harus hadir saat saya akan membaca isi surat ini." Kuletakkan amplop berwarna biru langit.

Sejenak, pandangan kami berdua terfokus pada surat di meja.

"Bukalah," perintah Akiyama-sensei dengan suara rendah.

Aku menuruti perintahnya. Lantas mengeluarkan isi dalam amplop tersebut. Huruf di depan surat merangakt sebuah kata berutliskan 'Sebuah Misi'.

Keningku memgernyit.

Apa ini? Sejenis misi untuk agen mata-mata?

"Bacalah isinya, Meda." Instruksi berikutnya, aku mulai ragu untuk membuka. Tapi, aku tidak mungkin menutupnya kembali kan? Terlebih, saat melihat raut wajahnya Akiyama-sensei yang melemparkan pandangan penuh harap padaku.

Misi apa sebenarnya yang tertulis dalam surat ini?

Dalam satu tarikam napas, aku membuka lipatan kertas putih ini. Lantas membaca isinya yang hanya berbunyi satu kalimat.

Sial, kenapa aku harus terlibat hal yang merepotkan.

***

Nb:

*Futon: kasur lipat/lantai ala Jepang

*Kotatsu: meja penghangat.

Utang bab insyaallah besok ya. Kalau kurang jelas istilah² dalam bahasa Jepang, bisa order Gema di Langit Tokyo /disepak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top