Part 1 Dilema Nasab di Festival Musim Panas
"Kamu yakin mau pakai ini?" Akira ragu dengan tampilan Annisa menikmati Yamaguchi Gion Matsuri.
"Enggak panas?
"Daizoubu Desuka?"
(Benar, tidak apa-apa?)
Akira memastikan Kembali. Yamaguchi di kala pertengahan musim panas memang mulai lebih panas dari biasannya. Mencapai 39 derajat dengan kelembaban yang tinggi.
"Maksud kamu ini?" Annisa mencoba menebak arah pertanyaan Akira. Annisa menunjuk Jilbab yang ia kenakan dan setelan yukata. "Enggak kok, tenang saja, sudah jangan khawatir, aku nyaman kok dengan apa yang ku kenakan".
"Oh, oke," Akira memilih tak melanjutkan. Ia paham apa yang menjadi keraguannya tak akan mampu bisa berubah. Ia menghargai benar apa yang di yakini Annisa.
Berbeda dengan dirinya dan masyarakat Jepang kebanyakan. Akira ingat ia pernah melontarkan sebuah fakta yang mungkin semua orang jepang tahu akan hal ini. Kejadiannya tiga hari lalu ketika dirinya menghabiskan waktu bersama Annisa di atap gedung Yamaguchi University menunggu matahari terbenam. Sebagai mahasiswa yang berjibaku dengan segala penyakit hewan di laboratorium, duduk bersantai di atap gedung seperti ini jadi sebuah privilege untuk melepaskan stress akan hiruk pikuk perkuliahan.
"Nisa, kamu tahu, kamu beruntung ada yang benar-benar kau pegang untuk kau yakini, tidak sepertiku dan orang-orang Jepang kebanyakan. Orang Jepang itu, lahir sebagai penganut Shinto, menikah secara Kristen dan meninggal dalam upacara Budha," Akira menyinggung keberuntungan Annisa dengan keyakinannnya. Tangan Akira sibuk menggambar sketsa sekawanan mahasiswa yang tergabung di club baseball yang sedang berlatih di lapangan. Semangat mereka tersentuh warna jingga lembayung senja. Akira punya cara sendiri melepas stressnya. Baginya berbincang dengan Annisa, melihat senja dan menuangkannya dalam gambar adalah caranya melepas stress.
"Masyarakat tempatku bertumbuh terkadang melihat agama sebagai sebuah perayaan semata," Akira melanjutkan kegundahan tentang keberagamaan manusia-manusia di sekitarnya
Annisa menyimak benar cerita yang baru saja dilempar Akira. Annisa tak berupaya menyanggah, ia juga memiliki banyak kawan orang jepang asli, terkadang ada salah satu kawannya yang melontarkan kisah yang hampir sama.
"Kalau benar dengan apa yang kau sadari tentang masyarakat Jepang, mengapa kau tidak memilih satu saja untuk menjadi apa yang kau yakini," Annisa tergerak untuk bertanya lebih spesifik tentang apa yang terlontar dari mulut Akira menilai kehidupan masyarakat Jepang dan konsep beragama. "Kau bisa pilih satu dari ketiga agama yang kau sebutkan tadi," Annisa memberikan sebuah ide.
"Mengapa engkau hanya memintaku memilih dari ketiga agama yang kusebutkan, bahkan engkau tidak berusaha menawarkan agamamu?" Tanya Akira.
"Apa yang kuyakini, bahwa agama yang aku anut sekarang adalah rahmatan lil alamin. Bisa bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi ini," jawab Annisa. "Kalau memang kau ingin atau tergerak ingin mempelajari apa yang kuyakini, tanpa perlu ku tawarkan kau akan menerima hidayah dengan sendirinya,"
"Padahal aku sedikit terbersit untuk belajar apa yang kau yakini, karena aku mencintaimu dan ingin menikah dengan mu," Ujar Akira sambil memandang sebentar ke arah Annisa dan memberikan senyum terbaiknya.
Manis sekali, Annisa terdistraksi dan hampir setuju dengan apa yang disampaikan Akira tentang hubungan mereka berdua dan keputusan memilih islam sebagai agama yang diyakini.
"Tidak-tidak, bukan begitu cara kerjanya hidayah, kalau kau ingin belajar Islam karena kau mencintaiku dan ingin menikahiku, aku akan jadi orang yang pertama menolakmu," Annisa tiba-tiba tegas dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Seharusnya kau melakukan semuanya bukan karena mencintaku semata, namun juga karena mencintai Allah,"
Akira meletakan pensil diatas sketsa yang ia buat. Ada hal menarik yang membuat ia tercekat.
"Aku ingin suatu saat nanti kamu mengerti dengan apa yang kuucapkan," Ujar Annisa
Annisa tahu Akira sangat mencintainnya, namun Annisa paham cinta mereka tidak semudah apa yang dipikirkan banyak orang. Ini bukan sekedar percintaan beda agama, namun juga beda budaya. Sebagai pemilik terah keluarga Arab di Surabaya dengan nama belakang "Alatas" rasa-rasanya akan sulit bagi Annisa memperjuangkan Akira diterima Abi. Iya benar, Abi, begitulah Annisa biasa memanggil ayahnya yang keturunan arab totok yang sekarang tinggal di Kawasan Ampel Surabaya.
Di usianya yang menginjak hampir 25 tahun sudah pasti Abi mulai meneror Annisa untuk segera berumah tangga. Untung saja Annisa punya banyak cara menghindar sejenak dari pertanyaan Abi-nya. Salah satunya dengan apa yang ia jalani sekarang, ia memutuskan melanjutkan study S3 hingga ke negeri matahari terbit. Abi-nya tak pernah mampu menolak keputusan Annisa jika terkait melanjutkan pendidikan kedokteran hewan yang dijalani Annisa.
Hal menarik mengapa Annisa memilih jurusan ini lantaran keinginan Abi-nya sendiri. Abi di Surabaya dikenal sebagai juragan Sapi dan Kambing. Abi memiliki peternakannya sendiri di Surabaya. Menjelang hari Idul Adha baru Abi mulai memperjual-belikan hewan-hewan ternaknya. Abi meminta Annisa mengambil jurusan kedokteran hewan tentu saja terkait bisnis keluarga yang di jalani Abi-nya. Setidaknya nanti Abi tak perlu jauh-jauh meminta tolong mengecek Kesehatan hewan ternaknya. Ada anak perempuannya sendiri.
Annisa tak pernah menyesal dengan tanggung jawab yang ia pikul nantinya selepas lulus Study S3-nya di negeri matahari terbit. Ia justru bahagia, ia justru dapat menghindari tuntutan abi tentang perjodohan dengan sesama orang Arab di Surabaya. Tuntutan yang sebelumnya sudah gagal di sematkan kepada kakak dari Annisa, Ali. Kakak Annisa tersebut sudah menjadi pemberontak pertama di keluarga. Begitulah Abi biasa menyebut Ali, kakak Annisa. Ia memilih menikahi seorang wanita asli Surabaya yang tidak ada sedikit pun darah keturunan arab di nadinya. Gagal dengan egonya terhadap Ali, Abi pun mengalihkan sasaran menjaga Nasab (Garis Keturunan) "Alatas" kepada Annisa.
Beruntung Annisa masih punya cukup waktu mengulur-ulur ego Abi-nya tersebut. Setidaknya ia masih berharap Abi-nya berubah pendirian. Apalagi sekarang ia seolah mengikuti jejak kakaknya mencintai manusia yang bukan dari keluarga Arab. Lebih berat malah, Akira juga belum memutuskan untuk seiman dengan dirinya. Annisa selalu berkata tantangan memperjuangkan Akira kepada Abi-nya sudah pasti berlipat ganda.
Sambil menunggu masa itu tiba, setidaknya Annisa masih punya jeda, menyelesaikan study S3-nya dan waktu menemukan solusi terbaik akan kisah cintanya dengan Akira.
.................................................................................................................
"Nisa ini, aku membelinya di gerai sebelah sana?" Akira datang membawakan kudapan manis khas jepang Taiyaki. "Ga ada babinya kok, isinya kacang merah," Akira menjelaskan sebelum timbul pertanyaan dari Annisa
"Akira San hontouni yasashi ne." Goda Annisa
(Akira, benar-benar baik sekali)
"Terima kasih, kamu memang mengerti aku," Annisa melanjutkan berterima kasih atas perhatian kecil yang diberikan Akira.
Sesungguhnya memang begitulah Akira. Akira memang belum benar-benar memeluk agama yang sama dengan Annisa, namun sedikit banyak ia belajar dari apa yang selalu di sampaikan Annisa tentang apa yang boleh dan tidak boleh di keyakinan yang ia anut. Sejauh ini Akira selalu mengerti. Walaupun beberapa kali Akira memulai perdebatan dengan mempertanyakan beberapa hal pada keyakinan Annisa yang menurutnya tidak masuk pada logika nalarnya.
Akira tetap seperti kebanyakan orang jepang yang setiap menghadapi sesuatu harus bisa dijelaskan sebab dan akibatnya. Annisa tidak pernah lelah untuk menjelaskan banyak hal dengan cara yang sangat masuk akal. Annisa percaya apa yang sudah menjadi ajaran agama islam pasti memiliki logika dasar, sehingga nilai-nilai islam dapat dengan mudah masuk dan di yakini umat manusia.
"Hanabi (Festival Kembang Api)-nya nanti jam berapa?" tanya Annisa
"Jam delapan sepertinya, tahun lalu jam delapan," jawab akira mencoba mengingat karena ini memang bukan yang pertama Akira datang ke festival musim panas ini.
Berbeda dengan Akira, ini pertama kalinya Annisa bisa ikut menikmati musim panas ini. Kesibukan perkuliahan membuatnya selalu gagal datang ke festival yang diselenggarakan setahun sekali ini. Beruntung Professor pembimbing Annisa sedang pergi mendatangi konferensi di luar Jepang. Sehingga ia memiliki waktu menyelinap sejenak menikmati festival musim panas di Jepang.
"Sudah hampir lulus, Aku baru merasa aku selama ini berada di Jepang." Keluh Annisa
"Maksudmu?" Akira menyauti keluhan annisa dengan bingung.
"Aku merasa sedari kemaren aku terjebak pada sebuah ruang dan waktu sendiri bernama kampus," Annisa melanjutkan keluhannya "Universitas Yamaguchi sudah seperti sebuah negara kecil bagi ku, seharian di laboratorium, walaupun sesekali kau berhasil menculikku dan beristirahat sejenak di Lantai atas gedung sambil menikmati senja," Annisa berujar sambil menikmati Taiyaki yang ia genggam perlahan.
Akira tersenyum, ia mengerti apa yang Annisa rasakan.
"Oishiii, Tanoshiiii," Suara Annisa agak meninggi menunjukan kebahagiaannya hari ini
(Enak, Menyenangkan)
"Akira, Kyo, Doummo Arigatou," Annisa kembali berterima kasih atas apa yang terjadi hari ini.
(Akira, Hari ini, Terimakasih Banyak)
"Mau kesana?" Ajak akira menuju ke sebuah sudut panggung kecil di dekat taman.
Annisa melirik fokus kearah yang coba di tunjukan Akira. "Ada apa disana, sepertinya banyak sekali orang yang berkerumun?" Tanya Annisa penasaran
"Kalau dari suara music yang mengiringinya sepertinya sedang ada pementasan Tarian Yosakoi." Jawab akira sangat jelas guna menuntaskan rasa penasaran Annisa.
"Yosakoi?" Annisa diliputi kebingungan. Annisa sudah selayaknya manusia gua yang baru keluar melihat dunia. Banyak hal ternyata yang tidak ia ketahui tentang apa yang terjadi sekitarnya. "Tarian?"
"Iya tarian, dansu dansu," Akira mencoba menjelaskan dengan Bahasa inggris dengan aksen kebanyakan orang jepang. Biasa dikenal dengan Janglish atau Japan-English. Kata "Dance" lebih terdengar "dansu" dengan Aksen ini.
Annisa menahan untuk tidak tersenyum dengan aksen Bahasa inggris Akira. Namun seberapa lama iya berusaha keras menahan senyum itu tetap saja tersimpul begitu saja.
"What, dansu? dance akira, dance," Annisa mencoba menangkap dan membenahi cara pengucapan Bahasa inggris yang disampaikan Akira tentunya diselipkan senyuman kecil akibat geli dengan cara pengucapan bahasa inggris Akira.
"Doshite? Watashi Nihon Jin dakara, Daijoubu yo"
(Ada apa? Karena saya orang Jepang, tidak apa-apa)
Akira paham Annisa mencoba meledek pengucapan bahasa inggrisnya.
"Okoranaide," Annisa mencoba menetralkan suasana
(Jangan Marah)
"Iyaaak,"
(Tidak)
Akira singkat mengucapkan tidak dalam bahasa jepang, tanda ia kesal dengan cara Annisa menggodanya, ia lebih memilih berlalu lebih dahulu menuju keramaian ke panggung dekat taman.
"Akira san, Chouto Matte, Okoranaide, watashi Jodan da yo" Ujar Annisa
(Akira San, tunggu sebentar, jangan marah, Aku hanya bercanda kok)
Merasa bersalah Annisa pun memilih mengejar Akira yang berlalu seketika meninggalkannya sendirian.
..............................................................................................
Terimakasih yah dah mampir di Cerita Om. Sabar adalah kunci kebahagiaan. Mudah-mudahan Abis ikutan Project ini, Om insaf beneran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top