Come to Ancient Egypt

Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto.

Note: hanya spoiler dari fanbook "Akhu"
Tidak dilanjutkan di wattpad.

(Damn, i am so proud of this fic *grin*)

*****

Harum semerbak wewangian pemujaan menguar di udara. Ruangan temaram hanya bermodal cahaya obor menyisakan siluet beberapa manusia yang tengah bersimpuh. Patung seorang dewi cantik berdiri kokoh. Keranjang-keranjang berisi bunga dan makanan diletakkan rapi di bawah perlambangan dewi tersebut.

Sesaat kemudian seorang bertudung melangkahmaju. Memberi salam pada sang dewi. Kemudian menuangkan minuman anggur terbaik pada cangkir indah yang disediakan sebagai persembahan.

Tiga orang bertudung di belakang mulai mengucapkan mantra. Tongkat emas berlambang kesucian diangkat tinggi. Di saat bersamaan mereka menghentakkan tongkat ke tanah.
Nyanyian mantra terus berdengung.

Sesaat kemudian tanah seolah bergetar. Api obor bergerak, menggoyangkan bayangan setiap orang. Cahaya terang seolah membutakan untuk sesaat, hingga memadam dan memunculkan
seorang di tengah altar.

Pria berambut emas pendek. Berdiri kaku menatap yang ada di sana dengan bingung.

*****

Naruto adalah seorang anak yatim piatu yang diadopsi oleh seorang egyptologist terkenal -- Jiraiya. Ia adalah anak yang hiperaktif. Gemar mencari masalah, ikut perkelahian jalanan selama sang ayah berada jauh di Mesir dalam penggalian situs.

Naruto menyukai segala hal berkaitan dengan Mesir Kuno. Ia terpengaruh karena pekerjaan sang ayah yang seorang egyptologist. Ia pun sering mempelajari hal-hal mengenai Mesir dari jurnal yang ayahnya buat. Begitu terkagum akan kehidupan yang dilakukan para penduduk Mesir pada zaman sebelum Masehi. Kehidupan Pharaoh, keagamaan dan pusat religi yang ada, gedung-gedung berstruktur luar biasa yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

Hal-hal peninggalan seperti piramid, sphinx, patung dewa, amulet, kuil, tembikar, tulisan hieroglif. Semua begitu mengandung unsur menakjubkan untuk Naruto. Keajaiban berlevel tinggi dalam fantasi dan surealisme.

"Ini adalah peti kematian Pharaoh Tutankhamun. Dan ini adalah topeng emas yang digunakan sebagai penjaga mereka yang telah meninggal."

Naruto mengangguk antusias. Jiraiya merangkul sang anak dengan bangga. Pemandu mereka menjelaskan mengenai apa yang terjadi dan menceritakan mengenai arti hieroglif yang tergambar indah di dinding dalam makam sang pharaoh. Mereka kini tengah berada di Valley of The King. Menikmati masa liburan Naruto di Luxor.

Mereka berkeliling melihat makam yang ada. Berbagai dinasti dijelaskan oleh pemandu. Jiraiya yang memang seorang egyptologist hanya mengikuti. Sesekali mereka berhenti untuk berkenalan dengan arkeolog yang dikenal oleh sang ayah.

Naruto memandang kagum akan hieroglif yang terpajang di dinding. Gambar yang begitu artistik untuk zaman yang sangat lama. Porsi tubuh untuk setiap gambar begitu proposional. Simbol hieroglif pun ditulis begitu indah. Memang sepadan untuk para pharaoh.

Saat mendekati wilayah makam Pharaoh dinasti kedelapan belas, ia melihat sesosok pria berdiri dengan tenang di samping sarkofagus sang raja Mesir. Pria itu berkulit putih pucat, tak memakai atasan, hanya sebuah kain putih melilit di pinggang bagai rok yang mencapai di atas lutut. Rambut hitam berdiri mencuat pada bagian belakang.

Penasaran, ia pun mendekat. Sosok itu masih menatap ke arahnya tanpa berkedip.

Naruto berhenti sesaat. Ia memandang terkagum. Berdiri dua langkah di hadapan sang pria misterius. Tangan pucat itu terangkat, seolah ingin menyentuh. Wajah tampan tersenyum begitu menyedihkan. Seolah ada rasa kehilangan yang mendalam.

"Hey," gumam Naruto tanpa sadar. Menawarkan sebuah senyum.

Sosok itu berkedip. Bibir naik dalam satu senyum miring. Mulut sang pemuda misterius terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Tangan yang terjulur memberi gestur untuk Naruto agar melangkah mendekat. Seolah ingin memeluk bagai kawan lama.

"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" tanya Naruto terkagum, setengah ingin tertawa. Ia tahu jika Luxor begitu panas, namun bukan berarti mereka harus berkeliling menggunakan kain sebagai penutup area intim.

'Naruto.'

Tubuh Naruto seolah membeku. Sosok itu mendadak telah berada di hadapannya. Kedua tangan dingin menyentuh setiap pipi bergaris. Mulut bergerak memanggil nama yang ia miliki.

"Apa yang kaulakukan?" tanya Naruto kaget. Bersiap mendorong.

Pemuda itu kemudian melepaskan sebuah amulet di leher untuk dipasangkan pada Naruto. Memaku sang blonde dari bertindak. Ia menilik tak mengerti. Seketika bibir dingin menyentuh bibirnya dalam ciuman singkat.

'Naruto.' Suara itu mendesah dalam pikirannya.

Tangan kanan Naruto mendadak ditarik, ia mengerutkan dahi saat menoleh.

"Kau tidak boleh melebihi garis ini!" Jiraiya menarik lebih keras lengan Naruto.

"Tapi--" elakan Naruto tertahan saat menoleh melihat pemuda itu telah kembali berdiri tenang di samping sarkofagus yang ada.

"Sudah. Ayo."

Naruto mencoba melepaskan genggaman sang ayah yang menariknya jauh dari tempat itu. Ada rasa sakit menjalar dalam hati, tatkala melihat ekspresi si pria menjadi kelam. Naruto menarik tangannya, Jiraiya pun melakukan yang sama. Sang blonde begitu persisten, ia menarik diri lebih kuat hingga oleng ke belakang. Ekspresi sang ayah menjadi takut saat tubuh anaknya terhuyung hingga membentur sarkofagus Pharaoh.

Naruto tak ingat apapun selain rasa sakit di kepala dan wajah takut dari pemuda berambut hitam. Ia pun tak sadarkan diri.

*****

Ketika kesadaran datang padanya, ia merasa ada yang tak beres. Tubuhnya seperti dipanggang. Pipi dan wajah terasa sakit, ada sesuatu yang halus menyentuh kulit. Pasir.

Naruto mencoba membuka mata. Bunyi desir angin yang tak biasa terdengar. Tangan kanan berkedut, berusaha mencengkeram sesuatu untuk membantu ia bangkit. Manik biru membuka dengan samar. Tenggorokan terasa kering. Kepala berdenyut.

"Di mana?" gumam Naruto bingung. Kesadarannya begitu licin bagai belut. Ada kejanggalan yang ia rasakan. Intuisi dalam diri menjerit kuat, meminta sang blonde untuk bangkit dan lari.

Rasa pusing dan mual menyerang. Ia bangkit untuk duduk. Dengan kesulitan ia pun dapat melakukannya. Tangan kiri mencengkeram helaian pirang, mencoba mengurangi denyut sakit. Isi perut bergejolak, meronta meminta keluar. Berulang kali Naruto menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Naruto mengedarkan pandangan. Cahaya matahari begitu menyengat. Seluruh yang ia lihat hanya hamparan pasir berwarna kemerahan.

Angin berdesir.

Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia tengah berkunjung ke museum di Luxor. Berkeliling dengan ayahnya. Kemudian ia melihat seorang pria aneh.

Pria itu memanggil namanya, mencium seenaknya, dan memberi sebuah kalung.

Naruto menatap bingung ke arah leher. Amulet. Pemuda asing memberinya jimat dengan ukiran hieroglif. Kenapa dia memberi ini?

Naruto kembali mengedarkan pandangan. Melihat butiran merah. Pantas ia merasa begitu panas. Ia tengah berada di hamparan pasir. Naruto pun bangun. Ia harus kembali ke penginapan atau menemukan pemukiman untuk bertanya di mana ini.

Naruto merogoh kantung, mencari ponsel, namun ia lupa jika ponsel miliknya tertinggal di penginapan. Setelah menggerutu, ia mulai berjalan.

Naruto melangkah tak menentu. Semua terlihat sama baginya. Jaket hitam bergaris jingga miliknya ia lepas. Menampilkan kaus oblong tanpa lengan dengan warna oranye. Ia mengikat jaket pada pinggang. Suhu di sini sungguh tinggi. Padahal ia berjalan hanya untuk beberapa saat, namun keringat telah membasahi pelipis dan punggung.

Sepatu hitam miliknya terasa tak nyaman karena butiran pasir berhasil menyusup masuk, namun jika ia lepaskan. Tak yakin pula apakah kakinya akan selamat dari ganasnya gurun pasir.

Suara riuh menarik perhatian Naruto. Tangan kecokelatan sang pemuda pirang berulang kali menyeka keringat yang hampir jatuh menimpa mata.

Ingin rasanya ia membuka kaus tanpa lengan yang dikenakan, namun diurungkan karena ia pikir itu ide buruk. Kulit kecokelatannya akan bertambah gelap jika tak dilindungi oleh apapun. Keringat pun makin membanjiri tubuh.

Suara riuh makin jelas terdengar, mengalahkan desiran angin gurun. Naruto berlari sekencang mungkin tatkala melihat puluhan orang tengah bertarung di kejauhan. Begitu kacau dengan denting berbagai senjata yang saling bergesek. Pekikan kuda dan teriakan kesakitan seperti alunan musik untuk mimpi buruk.

"Apa yang terjadi?" gumam Naruto. Langkah kaki menetap di atas pasir. Pandangan terfokus pada orang-orang berkulit cokelat yang bertarung. Pasir yang berwarna kemerahan pun semakin merah tersiram buncahan darah. Bau anyir darah terbawa oleh angin. Nyaris membuat ia muntah.

Manik biru membelalak ketika pertarungan yang terjadi semakin melebar. Pasukan berkuda mulai menyebar ke arahnya. Seperti satu pasukan berusaha kabur dan lawannya tak membiarkan satu pun lolos.

Yang menjadi perhatian adalah kereta kuda yang bersinar mengkilap tertepa sinar surya. Berkilap karena kereta tersebut berlapis emas murni. Bendera bergambar akan dua tumbuhan yang saling melilit pun berkibas kencang.

Dan benar saja pertarungan menyebar. Semua terlalu fokus untuk bertarung sehingga tak mengindahkan keberadaan Naruto. Ia tak dapat bersembunyi. Di mana-mana hanya ada pasir. Tengkurap pun tak akan menyelamatkan nyawanya, justru kemungkinan terinjak oleh kaki kuda yang perkasa.

Naruto menghindari semuanya sebisa mungkin. Ketika beberapa prajurit saling menyerang, ia menyelinap menghindari setiap orang. Berkelit bagai belut licin. Kebiasaan atas perkelahian antar pelajar membuat insting bertahan hidupnya bangkit. Senjata beberapa kali nyaris melukai tubuh pun berhasil ia hindari.

Bahkan Naruto harus menendang atau memukul mereka yang akan menyerangnya. Terkadang menggunakan pasukan yang gugur sebagai tameng. Sebenarnya ia di mana? Apakah Mesir tengah mengalami perang dan dunia tak tahu mengenai ini?

Bagaimana kondisi ayahnya?

Fokus Naruto kembali pada peperangan ini tatkala seseorang bersiap menghunuskan sebuah tombak ke arahnya. Ia menghindar dengan berguling kemudian menendang lutut si penyerang. Buru-buru ia bangkit untuk lari.

Tubuh Naruto mulai lemas, tenggorokan begitu kering. Belum lagi cahaya matahari yang sangat menyengat. Sulit untuk berkonsentrasi dalam berkelahi.

Bersyukurlah Naruto saat bunyi serupa terompet terdengar. Entah apa yang terjadi, namun sebagian dari orang-orang itu mulai lari dan yang lain membiarkan begitu saja.

Satu kubu telah menang rupanya. Teriakan kegembiraan terdengar. Segala sejata di acungkan menuju langit sebagai tanda kepuasan.

Naruto mencoba mengendap pergi. Tak ingin dijadikan sebagai tawanan perang. Sayang, seseorang keburu menangkap pergerakannya di tengah riuh suasana.

Ketika sang blonde menilik ke belakang. Sungguh terkejut, mata membelalak. Seorang mengenakan pakaian dari kain linen yang terlihat kusam. Orang itu berkulit cokelat tua nyaris hitam. Memakai penutup kepala aneh. Tubuhnya kekar dengan kelopak mata berhias warna hitam pekat. Berdiri menjulang. Naruto pun hanya sampai setinggi dada bagi orang tersebut.

"Lepaskan!" Naruto mencoba meronta. Ia menarik lengan yang ada di pundak. Kaki kiri dengan luwes dan gesit menyandung pria bertubuh kekar. Dengan memanfaat momentum itu, ia membanting sang prajurit perang. Meski ia kalah dalam ukuran tubuh, namun jangan remehkan kelincahan serta pengalamannya dalam bertarung kotor.

Manik hitam sang prajurit membesar, kemudian dia berteriak dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Naruto. Merasa hal buruk akan terjadi, sang blonde segera lari. Ia sempat mengambil tombak yang tertancap di atas pasir. Menjadikan benda itu sebagai senjata.

Suara riuh mulai kembali terjadi. Banyak prajurit mulai berkumpul. Berteriak dalam bahasa asing. Mereka mengepung Naruto. Menambah kebingungan yang muncul dalam pikirannya.

*****

Jenderal Agung Horemheb mengawasi pasukannya yang bertahan dari serangan bangsa asing yang mencoba menyerang kerajaan Kemet melalui jalur perbatasan air terjun di Mene-nefer sepat.

Seperti dugaan Pr-aA Agung Tutankhamun, bangsa ini akan menyerang. Karena itu beliau memberi tugas penting pada sang jenderal untuk mengawasi perbatasan secara langsung. Para bangsa asing mengira wilayah perbatasan Kemet mudah ditembus.

Pertarungan kali ini begitu singkat, usaha serangan dadakan negara asing berhasil dilumpuhkan. Namun Jenderal Agung Horemheb merasa tak tenang meninggalkan pharaoh muda di ibukota: Waset. Ia tak percaya pada Tjati Agung Ay. Seluruh keluarga Para Ay terkenal akan obsesi kuasa mereka.

Ingin rasanya jenderal pulang ke Waset dan menjaga sang pr-aA jauh dari mata jahat. Semoga Ibu Isis mau melindungi sang titisan Horus. Ada rasa tak tenang saat ini. Seperti pertanda buruk. Pendeta dari kuil suci Dewi Isis mengatakan akan ada yang terjadi pada pharaoh. Namun sang raja tetap tenang dan menepis kekhawatiran Horemheb. Malah menitah si jenderal untuk bersiaga di perbatasan Mene-nefer sepat.

"Jenderal Agung Horemheb." Seorang prajurit datang tergesa. Memberi bungkukan hormat dan tak menatap orang penting ketiga di seluruh Mesir.

"Ada apa?" tanya Horemheb dengan suara tenang. Ia mulai mendengar kegaduhan.

"Ada penyusup yang tertinggal, Jenderal."

Horemheb mengerutkan dahi. Pedang agung miliknya disarungkan. Ia mengangguk pada sang prajurit untuk menunjukan jalan menuju si penyusup. Seluruh prajuritnya kini berkumpul membentuk lingkaran. Terdengar jeritan kesakitan. Jenderal Horemheb menandai jika prajuritnya tengah menatap kagum. Terheran mengapa semua hanya menonton.

Di antara kumpulan prajurit dan pasir, warna emas mengkilap menarik perhatian sang jenderal. Belum pernah ia menemui seseorang berkulit cokelat terang, namun memiliki rambut emas dan manik sebiru Dewi Nut.

Seluruh penduduk mereka memiliki ciri fisik sama; berambut hitam atau cokelat, berkulit kecokelatan gelap, dan mata hitam. Jelas pemuda ini berasal dari luar kerajaan Kemet.

Orang asing itu mengenakan pakaian aneh. Dia tengah dicekal oleh tiga prajurit. Dua orang memegang kedua tangan. Satu orang memegang kuat kakinya. Pemuda itu terbaring di atas pasir. Meronta sekuat tenaga.

"Angkat dia," titah Jenderal Agung Horemheb. Ketiga prajurit bangkit dan berusaha membangunkan orang asing tersebut.

Meski prajurit mereka berbadan besar penuh otot, namun orang asing ini tak mau diam. Bergerak liar, berusaha untuk lepas. Ada perasaan aneh saat melihat orang asing ini. Ia berjalan mengitari. Melihat saksama.

Sepertinya bukan orang sembarangan. Pemuda berambut emas mengenakan alas kaki yang bukan terbuat dari lontar. Hanya orang dengan nilai strata tinggi yang diizinkan memakai alas kaki. Lagipula pakaian, sandal, serta hiasan tubuh dijual begitu mahal.

Tak sembarang orang dapat membeli. Orang asing itu mengatakan hal aneh. Bahasa yang belum pernah didengar sang jenderal.

"Siapa namamu?" tanya Horemheb setelah selesai meneliti. Pemuda berambut emas tak menjawab sesuai harapannya. Justru meracau menggunakan bahasa asing.

Manik hitam Horemheb membesar. Ia makin mendekat. Menangkap sebuah amulet yang dibuat sebagai kalung.

Tawanan mereka semakin keras bersuara, namun ia berpura tuli. Lagipula, Horemheb tak mengerti apa yang dikatakan. Tangan bergelang emas tebal sang jenderal berusaha menarik amulet itu dari leher sang pemuda.

Sayang, seperti sebuah sihir. Amulet itu tak dapat ditarik. Dahi sang jenderal mengerut. Prajurit mereka kini mulai berbisik membuat spekulasi. Mereka pun penasaran dengan apa yang terjadi.

Jemari Horemheb menyusuri hiasan bertulis hieroglif. Pahatan yang begitu detail dan halus, amulet semacam ini pasti sangat berharga. Jari sang jenderal terdiam pada satu titik. Mata hitam dengan hiasan kohl membelalak.

"Pr-aA Tutankhamun Sahshu," gumam Horemheb tak percaya. Amulet ini berisi nama pharaoh mereka dan lambang mata pelindung Sekhmet.

Kini ia mengerti perasaan apa yang muncul melihat orang asing ini; Bahagia. Akhirnya, mereka menemukan titisan Ibu Isis yang diperkirakan oleh Pendeta Agung kuil Dewa Amun -- Senenu.

Saat Yang Mulia Agung Pharaoh mengganti namanya dari Tutankhaten menjadi Tutankhamun, Pendeta Suci pemimpin kuil Dewa Amun memberi berkah. Menjauhkan bahaya besar yang akan menimpa raja muda dari sebuah tragedi. Ia berkata jika suatu hari titisan Ibu Isis turun dan menapak pada dataran tubuh Geb, maka dialah yang akan menyelamatkan sang pharaoh.

Itu terjadi dua belas musim yang lalu. Saat Dewa Horus merasuki tubuh Tutankhamun dan menjadikannya sebagai Dewa di seluruh Mesir untuk pertama kali.

Pharaoh muda menganggap pertanda yang diucapkan Pendeta Suci adalah mantra belaka. Namun Horemheb, sebagai Jenderal Agung semenjak masa pemerintahan sang ayah, justru merasa khawatir.

Pharaoh Tutankhamun adalah orang penting baginya. Keselamatan sang raja adalah tanggung jawabnya. Horemheb menahan kesenangan yang ada. Ia mengitari si tawanan. Tanpa pemberitahuan, ia memukul tengkuk pemuda berambut emas. Tubuh yang meronta kemudian terdiam lemas.


"Ikat dia. Semua kembali bersiap! Kita akan kembali ke Waset untuk melapor!"

****

Bau wewangian alam menyerbak. Hiasan berlapis emas dan berbagai warna mengisi ruangan megah yang temaram. Lukisan dinding menghiasi. Doa dan berkah para dewa tertulis dan digambar rapi. Ranjang besar dengan pahatan singa berada di tengah ruangan.

Kain indah digunakan sebagai kelambu. Langit-langit ruangan begitu tinggi disanggah oleh pilar yang kokoh. Berhias lukisan lotus dan sema tawy. Hembusan angin hangat memasuki ruangan megah. Membawa harum bunga teratai bercampur melati yang berasal dari taman istana.

Dalam remang, seorang tengah duduk di atas ranjang. Satu kaki menekuk untuk menyanggah dagu. Kulit kecokelatan eksotis, rambut hitam acak, serta wajah tampan yang terlihat sedikit oleh cahaya obor yang menerangi ruangan temaram tersebut. Manik hitam menatap lukisan dinding dengan kosong. Masih terlalu pagi untuk bangkit menjalani rutinitas. Ra bahkan belum memunculkan diri untuk menerangi Nut dan mengakhiri perjalan dari necropolis.

"Hanya sebuah mimpi," gumam sang pemuda kembali menatap dinding berhias lukisan Dewa Horus. Tadi, ia terbangun dengan terkejut, seolah ia kembali dirasuki oleh dewa. Sebuah kilasan aneh memasuki alam mimpi saat tertidur. Sosok pemuda berambut emas. Memiliki tiga garis di setiap pipi, bagai jelmaan Singa Agung. Ia pikir itu adalah Dewi Shekmet--perwakilan dewi para singa, api, dan pembalasan.

Mungkinkan ini adalah pertanda?

Bayangan itu kembali muncul. Wajah seorang pemuda berambut emas yang menatap sedih. Apakah ini ada hubungan dengan perlambangan Dewi Shekmet itu sendiri? Pembalasan? Apa yang harus ia balas?

Tak dapat melanjutkan tidur, maupun berdiam diri. Pemuda itu bangkit. Tubuh telanjang turun dari ranjang dan menapak di atas lantai. Ia berhenti sesaat di dekat pintu, mengetuk sebagai pertanda ia telah bangun. Para pelayan akan segera menyiapkan persiapan untuk ritual membasuh diri.

Ia berjalan. Mengambil kain linen terbaik yang ada untuk menutupi tubuh. Kemudian mengikatnya dengan sabuk yang terbuat dari kain berwarna merah. Ia kembali melangkah menuju balkon yang terbuka. Aroma harum pagi mulai menyeruak.

Obor-obor akan segera dimatikan. Pemandangan gelap kehidupan Kemet terpampang di hadapan. Pilar-pilar tinggi nan kokoh bergambar teratai berdiri tegak di sekitar dinding yang mengitari istana miliknya.

Terdengar bunyi ketukan pintu sebanyak tiga kali. Ia tak menjawab, telah mengetahui jika itu adalah para pelayan yang meminta izin untuk masuk. Sesaat kemudian pintu besar dibuka, langkah-langkah tapak kaki para pelayan begitu pelan. Ia tak merasa bersalah sedikitpun telah membangunkan mereka di pagi buta.

Pikiran berputar kembali pada mimpi yang didapat semalam. Semua terasa seperti bukan sekadar mimpi. Terasa nyata, seperti bagian ingatan yang mendadak muncul.

"Nsw bity, persiapan telah selesai," ucap seorang pelayan.

Ia membalik tubuh. Tanpa memberi jawaban, ia melangkah menuju ke kamar yang menghubungkan pada kolam besar tempat membasuh diri.

Mimpi atau bukan ia akan cari tahu nanti. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kemet tetap harus diurus sebaik mungkin dan sebagai Pharaoh ia harus siap siaga.

*****

Istana begitu sunyi, hangatnya keramaian ibukota Waset tak terasa dalam Rumah Agung yang mewah. Meski Rumah Agung terletak di jantung kota Waset, namun semua tahu jika ketenangan adalah tuntutan dari Pharaoh. Menentang berarti mati.

Aula khusus di mana Pharaoh mengerjakan tugas, kini terisi oleh para bangsawan dan anggota petinggi istana berkumpul. Segala kepentingan ditunda saat ini untuk menyambut kedatangan Jenderal Agung Horemheb. Menyelamati atas kesuksesan menggagalkan penyerangan terhadap Kemet.

Pharaoh duduk di atas singgasana. Kaki jenjang berselonjor, dengan kedua tangan diletakkan pada sangahan kursi berukiran singa. Tangan kanan memegang heqa-tongkat yang persis dengan milik Dewa Osiris. Tangan kiri pun memegang nekhekh-cambuk khas sebagai perlambangan otoritas. Tubuh langsat berkilap indah. Minyak herbal harum, khusus untuk Pharaoh tercium di seluruh ruangan. Hiasan kepala nemes terpasang rapi.

Horemheb berlutut beberapa meter dari podium di mana Pharaoh duduk. Petinggi lain berdiri berjejer sepanjang altar menuju podium. Kain empuk bertumpuk yang digunakan sebagai bantal tempat duduk pun ditinggalkan. Kedatangan tangan kanan pemimpin Kemet membawa badai untuk Rumah Agung. Sang jenderal mengatakan jika ia membawa titisan Dewi Isis seperti yang dipertandakan dalam upacara penobatan sang pharaoh dulu.

Petinggi dan penasihat Pharaoh, semua angkat bicara. Mengatakan jika semua mungkin hanya jebakan. Tak memercayai ucapan Horemheb sedikitpun. Menepis dengan satu pandangan.

"Yang Mulia Nsw penguasa Ta-Shemau dan Ta-Mehu, Nebkheperure. Putra dari Dewa Amun-Ra, Tutankhamun. Yang diberkati oleh Dewa Sah dan Shu, SahShu. Hamba berlutut di hadapan Yang Mulia untuk meminta satu perihal," ucap Horemheb dengan kepala menunduk. Seluruh yang ada di ruangan menjadi sunyi. Ini merupakan sebuah permintaan seorang rakyat terhadap Pharaoh.

Pharaoh menegakkan posisi tubuh, pandangan menjadi serius. Horus telah kembali dalam pemikiran. Keadilan ma'at harus dijalankan.
"Bicara," ujar pemimpin Kemet.

Seketika ruangan menjadi riuh. Petinggi dan penasihat saling berbisik tak tenang. Dengan satu ketukan tongkat heqa, semua kembali sunyi.

"Terima kasih, pr-aA. Beberapa hari lalu kami menemukan manusia asing di padang Mene-nefer. Ia memakai amulet bertuliskan Nebkheperure Tutankhamun. Ia juga menggunakan pakaian aneh, serta berbahasa asing. Mengingat berkah dari kuil suci Amun, bahwa Dewi Isis memberi seorang titisan untuk Yang Mulia, akhirnya hamba membawanya kemari. Namun menghitung resiko jika ia juga penyusup, hamba meminta Royal Qenbet untuk diadakan. Itu saja Snw bity."

Semua menahan pendapat mereka. Mengingat tingginya pangkat Horemheb dan betapa penting masalah ini, dapat dipastikan jika Pharaoh akan menerima usulan ini. Hanya saja, Royal Qenbet dilakukan secara rahasia dan bukan perkara kecil. Kesepuluh orang pilihan Dewa-Dewi akan dihadirkan sebagai juri. Sama halnya saat pemilihan Pharaoh. Ada beberapa putra mahkota yang tidak dapat naik takhta karena tak sesuai, biasanya Royal Qenbet akan diadakan sebagai pemberi keputusan akhir.

"Tidak," jawab Pharaoh dengan tegas.
Mata Horemheb berkedut kecil. Beberapa petinggi telah menyeringai, mencibir sang jenderal. Semua tahu jika ia berasal dari strata rakyat jelata, berkat mendiang Pharaoh Akhenaten ia pun naik strata. Meminta ritual suci seperti Royal Qenbet, dirasa para bangsawan itu sebagai tindakan lancang.

Horemheb tidak terpengaruh akan cibiran, namun ia tak menyangka usulannya ditolak. Padahal ini demi keselamatan Yang Mulia.

Tindakan Pharaoh muda memang terkenal tak dapat diprediksi. Selain temperamen yang mudah berubah, pun dengan pemikiran.

Semua terkejut tatkala Pharaoh Tutankhamun bangkit dari singgasana. Berhenti tepat di hadapan Jenderal yang masih berlutut dan menunduk penuh kepatuhan.

"Tunjukkan di mana orang yang kaumaksud berada, Jenderal. Aku yang akan memutuskan perihal ini."

Sudut bibir Horemheb naik. Sekali lagi, pharaoh membuktikan jika segala tindakannya adalah misteri.

Mengangguk kecil, melangkah mundur dua kali sebelum bangkit. Tubuh sang jenderal masih membungkuk sembari berkata, "Tentu, Yang Mulia."

*****

Prajurit terlatih Kemet tengah menahan seorang yang membuat Pharaoh membeku di tempat. Jenderal Horemheb berdiri beberapa meter di depan rombongan, sebagai pengawal khusus.

Semua menatap kagum. Pakaian yang tak pernah mereka lihat, sandal yang jauh lebih tertutup. Wajah asing tak seperti keturunan Kemet.

Orang asing tersebut terdiam tatkala manik biru selayak lazuardi terpaku pada manik hitam sang pharaoh. Seketika prajurit memukul kepala si tahanan. "Berani sekali kau menatap Pr-aA!"

"Hentikan," ucap penguasa Kemet tanpa sadar. Seluruh yang ada langsung menutup mulut mereka.

Horemheb maju dan menarik amulet di leher si tahanan. Tak peduli jika tahanan itu meronta kuat. "Amulet ini membawa nama anda Yang Mulia. Berapa kali pun hamba berusaha melepaskan, namun amulet ini tetap menempel."

Pharaoh tak mendengarkan ucapan pengikutnya. Ia berjalan mendekati si tahanan. Bibir sang pharaoh menipis, menyadari kemiripan orang asing ini dengan sosok dalam mimpi beberapa hari lalu.

Ini bukan lagi kebetulan, sebuah pertanda telah Ibu Isis berikan langsung untuknya.

"Bawa dan bersihkan dia."

"Yang Mulia," sela seorang penasihat dengan tak senang.

"Tjati Ay," panggil sang pharaoh.

"Hamba dalam pelayananmu, Yang Mulia." Seorang mengenakan shendyt, berwajah tua, maju beberapa langkah mendekati Pharaoh. Ia adalah Tjati Agung Ay, penasihat utama. Tangan kiri sang pharaoh dalam mengatur kerajaan Kemet.

"Aku ingin Pendeta utama Amun datang sesegera mungkin. Pemuda ini akan mendapat pengawalan. Dia akan menjadi pelayan pribadiku," ucap Pharaoh tanpa menoleh.

"Akan hamba persiapkan."

Keputusan telah dibuat. Para bangsawan dan penasihat terdiam. Tak mampu menolak.

Pharaoh memandang kembali pada pemuda asing. Ini beresiko, namun seperti Jenderal Horemheb jelaskan mungkin pertanda yang ada adalah untuk keselamatannya.

Pemuda asing masih meronta dan berteriak dalam bahasa yang tak mereka mengerti. Suaranya begitu lantang, memekak di sepanjang lorong tahanan.

"Senyap," titah sang pharaoh. Membungkam pemuda pirang dengan satu kata. Ia maju meski Horemheb bermaksud menghentikannya. Dengan tongkat heqa, ia mendongakkan wajah bergaris.

"Siapa namamu?" tanya sang pharaoh. Heqa masih menyanggah dagu si tawanan.

Pemuda berambut emas terdiam. Masih berani bertemu pandang dengan Pharaoh. Ada keterkejutan di manik cerah bagai warna dewi Nut, namun sesaat kemudian ia memasang ekspresi sedih. Pharaoh muda langsung teringat akan sosok dalam mimpi yang juga mengenakan ekspresi sedih.

Pharaoh muda ber-hum pelan, ternyata pemuda ini benar tak mengerti bahasa yang ia katakan. Ia menarik heqa dari dagu si tawanan lalu membalik tubuh dan bersiap pergi.

"Beri dia pakaian yang layak," ucap sang pharaoh sebelum melangkah pergi tanpa menoleh.

Suara teriakan makin menggelegar. Tubuh yang jauh lebih kecil dari mereka pun mampu memberi perlawanan.

Pemimpin Kemet seolah tak mengenali eksistensi dari si tawanan. Ia tak dapat mengeluarkan reaksi di hadapan para pengikut. Satu kesalahan kecil dapat dianggap sebagai kelemahan. Pharaoh harus tanpa celah, bagaimana pun ia adalah jelmaan Dewa Horus.

*****

Ra akan memulai perjalanan menuju kota kematian. Warna gelap mulai menghiasi langit. Duat telah bersiap memajang keindahan, mengawasi yang hidup dengan ribuan kelipan cahaya mereka.

Pharaoh pun bersiap kembali ke peraduan. Segala keperluan Kemet ditunda untuk esok. Prajurit mengikuti setiap langkah. Memastikan pemimpin mereka sampai dengan selamat.

Istana sangat sunyi, hanya pelayan dan prajurit sesekali melintasi lorong yang temaram.

Tak dapat dipungkiri betapa terkejutnya sang pharaoh melihat jenderal kepercayaan tengah berdiri di depan pintu kamarnya.

"Horemheb," sapa Pharaoh dengan tenang. Jenderal yang lebih tua darinya menunduk hormat.

"Salam Yang Mulia. Hamba di sini untuk memastikan orang asing itu tak melarikan diri."

Sudut bibir sang penguasa Kemet naik. Jika jenderal sendiri sampai turun tangan menunggu, maka telah dapat dipastikan tawanan ini lebih merepotkan dari biasanya.

Saat tak ada pengganggu, Pharaoh muda melepaskan sedikit sifat aslinya. Memberi Horemheb senyum kecil, terkesan.

Penjaga membuka pintu besar kamar sang pharaoh, mempersilahkan raja sema tawy untuk masuk.

"Ikutlah masuk, Horemheb," ucap pharaoh. Melangkah terlebih dahulu, memimpin seperti seharusnya. Jenderal berumur awal tiga puluhan mengikuti beberapa langkah di belakang sang raja.

Pharaoh menghentikan langkah, mengamati tawanan yang terikat oleh tambang yang terbuat dari kain. Seluruh pergerakan dikunci, namun si pemuda asing tak menyerah. Berguling-guling ke sana-sini.
Pemuda itu kini mengenakan shenti. Pakaian dan sandal yang pernah dipakai telah disimpan atas perintahnya.

Pharaoh dengan sengaja menggunakan nekhekh untuk mengejutkan si tawanan. Ketika cambuk memukul udara, membuat bunyi seolah petir, tubuh di atas lantai terlonjak kaget.

Bibir sang pemimpin Kemet tertarik ke atas, terhibur.

Rupanya, mulut pun disumpal kain. Horemheb tak tanggung dalam menjalankan tugas. Tahu betul jika Pharaoh benci akan kericuhan.

"Kau bisa meninggalkan kami, Horemheb."

"Atas izin anda, Yang Mulia," ucap Horemheb sopan. Membungkuk sebelum memutar tubuh untuk memberi pemimpin Kemet istirahat yang dibutuhkan.

Kaki Pharaoh menginjak punggung yang terikat. Kepala tegak dengan pandangan melirik ke bawah. Bibir masih dalam satu garis lurus. Tak dapat dipahami apa yang sebenarnya ada dalam pemikiran sang titisan Horus.

Tubuh dalam pijakan berhenti meronta. Manik biru lazuardi mendongak, berani bertemu pandang pada kekuasaan pemimpin Kemet.

Dengan ujung sandal lontar yang melengkung, diangkatlah dagu si tahanan. Bayangan akan mimpi dahulu kembali muncul.

Terlalu persis. Wajah tampan bergaris. Rambut emas pendek. Kulit kecokelatan. Ekspresi yang mengganggu ketenangan sang pemimpin kala terbangun.

Enggan untuk membungkuk, raja dua dataran Mesir menggunakan ujung sandal untuk menarik rantai kecil yang mengikat amulet di leher si tahanan.

Manik lazuardi menilik pada kaki sang pharaoh. Akhirnya ia bereaksi dengan menjauhkan diri, namun pijakan satu kaki dari sang raja mampu menghentikannya.

Seperti laporan Horemheb, amulet itu tak dapat dilepas. Ia mengamati sesaat. Tak pernah ia ingat membuat amulet ini. Pun pendeta tak berani menggunakan nama raja dalam jimat selain perintah langsung.

Misteri apa lagi yang diberikan oleh para dewa untuknya?

Terlalu lelah akan aktifitas yang dilakukan sepanjang hari, membuat pharaoh meninggalkan si tahanan di atas lantai kamarnya. Lebih memilih untuk bersiap menuju peraduan malam.

Yang mulia melepaskan nemes, menet, emas, nekhekh, dan heqa, semua barang di taruh pada meja panjang yang tersedia.

Tak menganggap eksistensi pemuda pirang, Pharaoh melepaskan pakaian begitu saja. Shendyt bergaris miliknya tergeletak di lantai. Meraih kain linen polos dari tumpukan pakaian khusus malam. Tanpa bantuan pelayan, Yang Mulia mengenakan sendiri busana yang dipilih.

Tanpa peduli, Pharaoh langsung menuju ranjang. Menutupi tubuh dengan selimut dan mengistirahatkan diri.

*****

- Amun: Dewa dengan penggambaran seorang pria membawa angin. Terkadang dipasangkan dengan Ra untuk membentuk elemen dewa yang lebih dahsyat, Amun-Ra.
- Duat: langit berbintang.
- Heqa: Tongkat pendek dengan bentuk seperti kail pada bagian atas. Simbol otoritas pharaoh yang dihubungkan dengan perlambangan Osiris.
- Ma'at: Dewi keadilan, kejujuran, dan aturan. Juga sebagai simbol keadilan, tindakan yang benar.
- Menet: kalung besar yang menghiasi hingga bagian pektoral.
- Nekhekh: cambuk yang dibawa pharaoh sebagai simbol kekuasaan. Dihubungkan dengan perlambangan Dewa Osiris.
- Nemes: hiasan kepala yang digunakan oleh pharaoh.
- Nsw: Raja
- Qenbet: Pengadilan. Royal Qenbet hanya buatan saya saja. Mengadaptasi teori egyptologist mengenai keberadaan beberapa orang yang dijadikan sebagai juri pengadilan, namun keberadaan mereka tidak ditulis. Para egyptologist merasa bingung mengenai cara pemilihan pharaoh, beberapa putra mahkota tidak naik takhta. Hanya digambarkan jika beberapa orang khusus yang memutuskan.
- Rumah Agung: The great house. Istana, disebut oleh para egyptologist sebagai rumah agung.
- Sah: Dewa personifikasi rasi bintang Orion.
- Shenti: kain yang dipakai penduduk Mesir. Melilit tubuh untuk membentuk seperti celana pendek atau rok. Panjangnya hanya sampai pertengahan paha.
- Shendyt: kain indah yang biasa dipakai orang berstrata tinggi di Mesir kuno. Berbentuk rok panjang dengan bagian depan berhias motif dari kain berwarna.
- Shu: Dewa personifikasi Udara dan angin.

#Hiasan Nemes

#Shenti (kain yang dililit menyerupai rok pendek)

#shendyt dengan bagian depan berbentuk segitiga adalah pakaian para Noble atau petinggi. Sedangkan pharaoh SahShu lebih sederhana hanya bergaris-garis dan menggunakan warna.
#Bagian kepala dengan warna merah putih adalah mahkota persatuan dua wilayah Mesir: Pschent

#sema tawy : ini adalah simbol asli sema tawy sebelum diganti. Sema tawy merupakan perlambangan kekuasaan yang diperebutkan oleh Seth dan Horus, yang kemudian mereka bersatu dengan wilayah masing-masing. Sema tawy berarti gabungan dua wilayah menjadi satu.

Sema tawy: versi simbol sederhana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top