BAB 1 : AGIN SIHABUNIAN

    Berjalan menyusuri perbukitan adalah hal yang mudah, akan tetapi mencari sesuatu yang mistis di tengah perbukitan adalah hal yang sulit. Meski memiliki title-nya sebagai anggota termuda BIMSAMI - Badan Intelegensi Muda Sihir, Anomali, dan Mitologi Internasional -, namun mencari sebuah portal menuju ke dunia lain dengan petunjuk minim bukanlah keahliannya. Ia lebih suka menangani kasus pembunuhan yang melibatkan makhluk mitologi daripada mencari portal.

    Itulah alasan mengapa ia diutus ke tempat yang disebut Akademi Mataniari.

    "Oh? Inikah?" 

    Kepalanya mendongak pada sebuah prasasti besar yang ada di dekat sebuah pohon yang besar, paling besar daripada pohon lain yang ia temui di sepanjang perjalanan. Pohon itu juga memiliki bentuk yang aneh, batangnya berwarna hitam pekat dengan daun hijau tua dengan ujung-ujung berwarna hitam. 

    Prasasti tersebut memiliki ukiran yang unik, seperti tulisan dengan aksara kuno dan sebuah lambang berbentuk matahari. Dalam sekejap ia tahu bahwa lambang matahari yang ada di prasasti tersebut sama seperti lambang yang terukir di gelang warna putih miliknya. Gelang yang diberikan oleh Kepala BIMSAMI sebelum ia pergi ke tempat ini.

    "Lalu bagaimana aku membukanya?"

    Ia mencoba segala cara, dari menempelkan lambang matahari di gelangnya ke lambang yang ada di prasasti, kemudian mengetuk prasasti tiga kali, atau bahkan berkeliling tujuh kali. Namun, portal yang pernah dibicarakan itu tidak juga muncul.

    Perempuan itu menggeram. "Bagaimana caraku membukanya?"

    Sadar bahwa pikiran yang jernih sangat dibutuhkan saat ini, akhirnya ia meletakkan tas ransel dan duduk di samping prasasti, menekuk lutut sembari menyembunyikan wajahnya.

    "Fokus, Asha! Fokus! Kau tidak akan bisa mendapatkan jawaban jika otakmu tidak berpikir jernih."

    Kemudian, ia menarik napas panjang. Setelah dirasa cukup tenang, ia kembali melihat gelang putih yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Gelang putih tersebut terbuat dari semacam besi, tapi memiliki warna putih yang indah. Pak Kepala bilang, ia tidak boleh menghilangkan gelang tersebut apa pun yang terjadi, tapi ia pun tidak diberi kejelasan dari mana gelang itu datang. Ia hanya berkata bahwa gelang itu merupakan kunci portal menuju Agin Sihabunian, sebuah dunia yang menaungi Akademi Mataniari, dan juga jati diri dari masing-masing orang yang memilikinya.

    Akan tetapi, Asha tidak mengerti, mengapa ia yang diberi tugas ini. Apakah karena ayah dan ibunya dulu berdarah batak?

     "Huh?"

Asha baru menyadari bahwa ada ukuran tulisan di bagian dalam gelangnya, tentu dengan abjad normal, bukan seperti yang ada di prasasti. 

"Aku hanya tidak boleh menghilangkannya, bukan berarti aku tidak boleh melepaskannya, kan?"

Dengan segera, ia melepaskan gelang itu demi bisa membaca jelas apa yang tertulis di sana.

"Marnipima satimbo ni timbona … ? Apa itu? Aku bahkan tidak tahu apa arti …."

Seketika Asha terdiam saat tanah yang dipijaknya bergetar, gelang yang ada di tangannya memancarkan cahaya warna putih, begitu pula dengan prasasti yang menjadi sandarn punggungnya. Bergegas ia bangkit dan menjauhi prasasti tersebut, khawatir jika tiba-tiba batu yang tampak tua itu terbelah dan runtuh menimpa kepalanya. Itu pasti sangat menyakitkan.

Cahaya putih yang muncul dari prasasti membuka sebuah celah seukuran tubuhnya. Asha mengerutkan keningnya, tapi tanpa berpikir panjang beranggapan bahwa ini adalah portal yang dimaksud oleh Pak Kepala.  Asha masih memegang gelang bercahaya tersebut, kemudian meraih ransel dengan sebelah tangannya dan melangkah masuk ke celah tersebut.

Setelah tubuhnya benar-benar masuk, ia merasakan udara yang sangat berbeda dari sebelumnya, termasuk aroma yang menggelitik indra penciumannya. Sebelumnya angin sepoi menyapu kulitnya, bersamaan dengan aroma khas dari pepohonan. Akan tetapi, di tempat ini berbeda. Selayaknya ruang hampa, seluruhnya berwarna putih, tidak ada udara sama sekali, telinganya berdegung seperti saat sedang berada di dataran tinggi. Tidak ada aroma apa pun. Benar-benar sunyi.

"Halo?"

Asha setengah berteriak, namun tidak ada jawaban, hanya gema suara yang terdengar. Ia tidak takut, dan tidak berhenti sampai di situ saja. Kakinya terus melangkah, paling tidak ada satu orang saja yang bisa ditemui di tempat ini untuk mencari kejelasan. Ia bertanya dalam hati, apakah ini Agin Sihabunian yang dimaksud Pak Kepala? Jika benar, ia tidak akan betah berlama-lama di tempat seperti ini.

"Horas?"

Asha berjingkat saat mendengar suara tiba-tiba, dengan cepat tubuhnya berbalik dan melihat sesosok perempuan di sana. Perempuan berkulit eksotis yang mengenakan ulos berwarna marun.

"Keturunan dari Banua Ginjang lainnya. Siapa namamu?" tanya perempuan itu, suaranya sangat lembut, tatapan matanya juga teduh dan senyumnya ramah. Asha bisa menebak usianya masih cukup muda, mungkin kurang lebih tiga puluh tahun.

"Asha."

"Nama keluarga?"

Asha terdiam sesaat, kemudian menggeleng. "Hanya Asha."

Jawaban Asha membuat perempuan itu terdiam sesaat, namun tidak memudarkan senyumnya. "Baiklah Hanya Asha, perkenalkan namaku Angguni Sihar. Aku adalah salah satu guru di sini sekaligus penjaga perbatasan. Kau lihat tempat ini? Dimensi hampa ini adalah perbatasan antara dunia manusia dengan Agin Sihabunian."

"Jadi … aku sudah ada di Agin Sihabunian?"

"Ya, lebih tepatnya di perbatasan. Selamat datang! Oh ya, jika kau masuk sebagai murid di Akademi Mataniari, maka kau bisa memanggilku Ensik atau Inang. Moto dari akademi kami adalah Marnipima Satimbo ni Timbona"

Asha mengerutkan keningnya. Kalimat terakhir seperti yang ada di bagian dalam gelangnya! "Apa itu?"

"Kau … tidak tahu Bahasa Batak?"

Asha menggeleng.

"Sayang sekali, karena beberapa hal di sini menggunakan Bahasa Batak, Sayang. Ensik adalah panggilan untuk ibu gurumu, dan Inang adala panggilan untuk perempuan yang lebih tua darimu."

"Bukan itu maksudku … tapi kalimat yang terakhir."

"Moto kami?"

Asha mengangguk.

"Artinya adalah bermimpilah setinggi-tingginya, itu adalah moto dari Akademi Mataniari. Baiklah, tidak apa-apa, kau akan bisa dengan sendirinya. Hal yang paling penting adalah, sebelum kau memasuki Agin Sihabunian, kau harus mematuhi dua peraturan utama terlebih dahulu. Itulah alasan mengapa dimensi hampa ini diciptakan."

"Peraturan apa itu?"

Angguni masih tersenyum. "Peraturan pertama adalah, aku harus mengubah tubuhmu menjadi tubuh anak-anak."

Seketika, Asha melihat tubuhnya sendiri. Ya… tidak bisa dipungkiri, ia adalah perempuan dengan tinggi badan kurang dari rata-rata dari seharusnya. Lagi pula ia masih berusia lima belas tahun! Apa harus diubah menjadi lebih kecil lagi?

Angguni tertawa kecil. "Kau memang kecil, Sayang, tapi peraturan di sini adalah … tahun pertama dimulai dengan usia sepuluh tahun. Begitu pula dengan kekuatan yang kau miliki, akan tersegel dan perlahan terbuka seiring bertambahnya usiamu nanti."

"Baiklah, tidak terlalu jauh. Tunggu! Aku tidak punya kekuatan, kekuatan apa yang akan disegel dari diriku?"

"Sekarang tutup matamu, aku akan mengubahmu terlebih dahulu."

Angguni seakan tidak peduli dengan protes yang dilayangkan oleh Asha dan Asha menyadari hal itu. Maka, Asha melakukan apa yang diminta oleh Angguni.

"Sada, dua hopla hop!"

Terdengar suara seperti kembang api yang samar, ketika Asha membuka matanya, pakaian yang dikenakannya saat ini terasa sedikit kebesaran.

"Oh, kau menggemaskan! Meski tidak banyak perubahan yang ada pada tubuhmu."

Asha hanya diam, tidak habis pikir dengan apa yang dibicarakan oleh Angguni.

"Tenang Sayang, meski aku mengubahmu menjadi anak berusia sepuluh tahun, aku tidak mengubah pola pikirmu, atau bahkan ingatanmu."

"Apa? Tapi …."

"Peraturan kedua adalah, aku akan mengubah penampilanmu."

"Penampilan?"

Angguni mengangguk. "Ya. Warna rambut apa yang kau inginkan? Warna mata apa yang kau inginkan? Bentuk tubuh seperti apa? Warna kulit seperti apa? Aku akan mengabulkannya."

"Lalu … penampilanmu, apakah itu penampilanmu yang sesungguhnya?"

Angguni tertawa kecil. "Peraturan ini tidak wajib bagi kami, Sayang."

Asha terdiam sesaat. "Merah jambu. Aku suka warna merah jambu, jadi aku ingin memiliki rambut sepinggang berwarna merah jambu, dengan warna mata yang sama. Biarkan sisanya."

"Aku mengabulkannya. Sada, dua, hopla hop!"

Suara yang sama terdengar lagi. Asha berpikir bahwa itu pasti bagian dari sihir milik Angguni yang berkaitan dengan peraturan nomor satu dan dua.

"Wah kau sangat menggemaskan! Asha, jangan lupa mengenakan kembali gelang tersebut. Kau tidak boleh kehilangannya"

Sebuah cermin yang sangat besar muncul di hadapan Asha dan secara otomatis ia fokus pada refleksi dirinya. Ia tidak ingin memuji diri sendiri, tapi apa yang dikatakan Angguni memang benar. Penampilannya sangat menggemaskan! Dengan tubuh pendek, kulit putih, mata merah jambu, dan rambut panjang dengan warna senada. Astaga! Asha sudah lama sekali ingin memiliki rambut panjang, tapi ia tidak suka merawatnya. 

"Terima kasih, Nona Angguni, tapi aku masih penasaran dengan peraturan yang …."

Seketika matanya melebar, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat ke seluruh tempat sejauh jangkauan matanya. Angin sepoi bertiup, membelai pipinya, mengibarkan rambut idamannya. Aroma ini … aroma pepohonan, bercampur dengan aroma manis. Ia memang masih berdiri di depan kaca yang besar, tapi sekelilingnya bukan lagi ruang hampa, melainkan padang rumput yang sangat luas. Ada beberapa domba dengan kalung lonceng, juga sapi putih yang sedang makan rumput. Di kejauhan, tampak jajaran rumah kecil, entah rumah siapa. Di sisi lain ia juga melihat bendera yang berkibar, meski sangat kecil ia tahu benar bahwa bendera itu bukan bendera Indonesia, sekilas ada logo matahari di sana.

"Arah mana yang harus kutuju?"

Asha menarik napas berat. "Perempuan itu bahkan tidak lagi memberiku kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Apa dia takut menjawabku? Lagi pula … peraturan aneh macam apa itu? Mengapa mereka mengubah tubuh setiap siswa yang masuk menjadi anak umur sepuluh tahun? Mengapa penampilan juga harus diubah? Mengapa juga pola pikir dan ingatan tidak disesuaikan? Anak kecil dengan pola pikir dewasa …."

Seketika tubuh Asha merinding. Anak-anak sudah seharusnya bertingkah polos, bukan? Berlari ke sana sini, berteriak, bermain. Lalu … jika pikiran orang dewasa yang terjebak di tubuh anak-anak … bukankah itu hal yang mengerikan?

-------------

Welcome to my story!
Aku berniat menjadikan cerita ini sedikit-sedikit aja di tiap bab-nya. Semoga bisa sampai tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top