9. Sayyidah Humaira


Silakan dibaca.
Dilarang keras! playgiat, copypaste dan sejenisnya ya. Ingat Allah maha tahu, meskipun Saya tidak tahu.
*****************************

9. Sayyidah Humaira


Hati-hati ya berangkat kuliah. Jaga sikap, jangan nakal, dan jaga hati pastinya. Jangan terlalu dekat dengan teman lelaki. Bukan mahram, nanti bisa jadi fitnah.

Abang cemburu ya?

Sembarangan! Aku ini mahktubah kamu, jadi sudah kewajiban untuk memeringatkan calon istri.

Cemburu juga ngga papa kog Abang Sayang^^, Illy malah seneng.

Ngga ada sayang-sayangan! Belum mahram Ly. Lagian ngapain abang cemburu sama kamu. Sudah, belajar yang bener sana! Abang mau kerja dulu, oh iya nanti abang jemput pulang kuliah, jangan kemana-mana.

Iya Abangku Sayang. 💞

Illyana menggigit bibirnya sendiri sesaat setelah mengakhiri chat dengan Ali pagi ini. Hati gadis itu tengah berbunga-bunga saat ini. Rasanya dari kemarin lengkungan senyum seakan tak mau tandas dari wajah cantiknya. Mengingat apa yang diimpikan sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

"Buruan Liliput! malah senyam-senyum nggak jelas!?" suara interupsi dari Ilham membuyarkan angan Illyana tentang Ali.

"Sirik! makanya cari pendamping sana, jangan bisanya ngerecoki adik cantiknya Abang ini."

Ilham berdecih mendengar penuturan Illyana.

"Tinggi hati Lo Liliput. Mentang-mentang bentar lagi mau kewong. Pokoknya Gue ngga mau tau ya, laki Lo kalau ngasih uang pelangkah harus banyak nanti."
cerocos Ilham menggoda adiknya, "Ngga muluk-muluk Ly, cukup 50% saham pabrik sarung pindah atas nama Gue." sambungnya lagi membuat Illyana membulatkan matanya.

"Ih, Abang Ilham matre! dosa tahu. Itu ngerampok namanya Bang!" protes  Illy menggeprak bahu Ilham dengan dengan gemas.

"Yaelah, becanda kali Liliput. Lagian Gue ngga butuh uangnya Ali, yang Gue mau Ali bisa bahagiain lo nanti Liliput. Itu sudah lebih dari cukup."
Illyana paham jika apa yang diucapkan oleh Ilham pastinya tidak dari hati. Hanya candaan belaka. Meskipun seringkali dibuat kesal oleh abang satu-satunya itu, tapi Illyana sangat menyayangi Ilham, begitu juga sebaliknya.

Abang," Illyana menatap sang kakak dengan raut sedih. Kata-kata Ilham membuat gadis itu terharu seketika. Meskipun sering jail, tetapi Ilham sangat menyayangi Illyana.

"Liliput, mukanya ngga usah sok sedih gitu deh. Kenapa lagi sih?" semprot Ilham malah menggoda sang adik.

"Abang kog gitu sih? kan Illyana sedih, bentar lagi Illyana kan mau nikah sama Abang ustazd, nanti otomatis pasti Illy akan ninggalin rumah. Illyana sedih mau  pisah sama Abang Ilham. Meskipun Abang Ilham jelek, dan tidak berperasaan, tapi Illyana kan sayang Abang."

"Sedih, sedih aja Ly. Ngga usah pake nyinyir gitu ujungnya."

"Ih, Abang Ilham ini ngga pernah bisa diajak ngomong serius deh! Illy kan benaran sedih Bang," mata Illyana sudah berkaca-kaca menatap Ilham.

"Oh, Liliput bisa sedih juga ternyata. Sini, sini, gue hibur biar ngga sedih lagi."
tangan Ilham beralih menguyel kedua pipi adiknya itu. Merasa gemas sekali. Mungkin Ilham pikir sebentar lagi dia tidak akan bisa berlaku layaknya hari ini pada Illyana jika nanti adiknya itu sudah resmi menjadi istri Ali dan meninggalkan rumah.
___

"Illyana, mau ke kelas ya? bareng ya." Illyana menoleh saat mendengar suara yang ia kenali. Zafran rupanya yang mengikutinya dari belakang.

Gadis itu menoleh sejenak, kemudian mengangguk.
Hari ini kelas dimulai, Illyana sangat bersemangat sekali mengikuti perkuliahan. Apalagi tadi Ali mengatakan bahwa pulangnya nanti ia akan menjemput gadis itu.

"Ly, kenalin sama kakak Kamu dong. Aku mau belajar bisnis neh sama dia." Zafran berucap saat mereka melangkah beriringan.

"Kakak? yang mana Fran?" sejenak terlintas nama Ilham dakam benak Illyana. Bisnis apaan!? Abang Ilham kan karyawan biasa, bukan pebisnis. batin Illyana menebak.

"Itu, Kak Ali yang kapan hari ngisi acara seminar, katanya dia kakak kamu?" sahut Zafran antusias.

Illyana baru teringat jika kemarin Ali mengenalkan dirinya sebagai kakak darinya. "Oh, Abang Ali. Dia bukan kakak ku Fran," ucap Illyana tak ingin berbohong.

"Lho, kata dia kemarin Kamu itu adiknya?" Zafran terlihat agak bingung mendengar jawaban Illyana.

"Bukan Fran. Dia itu makhtubah atau tunangan Aku, calon suaminya aku," terang Illyana menjelaskan perihal hubungannya dengan Ali.

"Widih, serius Ly? KKN dong." gurau Zafran.

"KKN? apaan Fran? kuliah aja baru, masa udah KKN aja." KKN dalam benak Illyana yang dia tahu adalah singkatan dari Kuliah Kerja Nyata.

"Bukan Kuliah Kerja Nyata Illyana, tapi Kecil-Kecil Nikah."

Illyana terkikik dengan jawaban Zafran. Keduanya melengang memasuki kelas pertama pagi ini.
Kelas pertama dengan mata kuliah bahasa arab berhasil Illyana lalui pagi ini, meskipun penjelasan sang dosen yang bertele-tele dan hampir saja membuat gadis itu merasa bosan. Satu jam berlalu, Illyana kembali mengikuti materi tambahan siang ini. Materi pendidikan agama Islam untuk mata kuliah keduanya.

"Ly, ibu dosennya masih muda ya. Cantik lagi, jadi betah neh dikelas kalau yang ngajar macam begini." Zafran berucap setengah berbisik pada Illyana. Gadis itu hanya memutar bola matanya mendengar penuturan Zafran. Laki-laki dimanapun sama saja ternyata pikirannya, ngga bisa melihat yang cantik dan bening sedikit. Gumam Illyana dalam hati.

Illyana mengamati dosen yang sedang berdiri menjelaskan itu. Memang masih terlihat sangat muda. Dia juga cantik dan anggun sekali. Tutur katanya juga lembut saat menjelaskan materi perkuliahan siang ini. Wajahnya khas perempuan timur tengah dengan alis tebal dan hidung yang sangat bangir. Satu jam lebih akhirnya Illyana bisa menghela napas lega saat bu dosen mengakhiri kelas siang ini. Raut gadis itu seketika menyunggingkan senyum, mengingat sebentar lagi ia akan bertemu dengan Ali.

"Illyana langsung balik? mau bareng ngga?"

"Ngga usah Fran, Abang Ali jemput kog." Illyana menolak saat Zafran menawari untuk bareng. Bergegas gadis itu meraih ponsel yang ada di tas slempangnya. Illyana berdecak saat berkali-kali mendial nomer telpon tapi tak ada jawaban.

"Kenapa Ly?" sahut Zafran yang tak sengaja memperhatikan Illy saat lelaki itu tengah memberesi buku-bukunya kedalam tas.

"Tahu neh, Abang ditelponin dari tadi ngga diangkat. Bikes banget," eluhnya merasa kesal seketika.

"Lagi dijalan mungkin Ly. Yaudah daripada bete gitu, gimana kalau kita ke kantin dulu, minum dulu gitu buat ngademin hati," Zafran setengah terkekeh melihat ekspresi Illyana yang berdecih. "Ayo, mau ngga? aku traktir deh. Tapi jangan lupa, bilangin sama abang Alinya kamu itu, kalau aku mau konsultasi tentang bisnis."

"Idih, pamrih itu namanya Fran. Ngga ikhlas dong kamu nraktir Aku."

"Ikhlas Illyana, sudah ayo."

Illyana mengikuti Zafran menuju kantin. Tidak ada salahnya juga sambil menunggu Ali yang akan menjemputnya dia menerima tawaran temannya itu. Tidak sampai sepuluh menit keduanya sampai di kantin kampus.

Illyana manahan langkahnya. Mata gadis itu menatap lekat ke arah pintu kaca yang tembus pandang kedalam kantin. Mendadak selera gadis itu terhempas. Indera penglihatannya mengamati sepasang lelaki dan perempuan yang sedang asyik mengobrol di meja sudut kantin.

"Ly, nunggu apaan? malah bengong lagi." Zafran heran saat Illyana urung melangkah masuk ke dalam kantin.

"Fran, ngga jadi deh. Kamu saja ya yang masuk, aku mau..aku mau ke toilet sebentar." bohongnya di depan Zafran. Tanpa menunggu jawaban dari Zafran, Illyana bergegas menyeret langkahnya pergi dari sana.

Sepanjang langkahnya Illyana terus saja merutuk. Pantas saja berkali-kali dihubungi tapi tak ada jawaban. Rupanya sedang asyik berduaan bersama perempuan lain. desis Illyana dalam hati.
Padahal tadi pagi dia memperingatkan untuk jangan dekat-dekat dengan teman lelaki, tapi apa yang sekarang dia lakukan. Duduk berdua dengan perempuan bukan mahramnya, dan mereka terlihat sangat akrab sekali.
___

Ali sedang melangkah di koridor kampus siang ini. Karena diburu waktu, lelaki itu sampai melupakan sesuatu. Telepon genggamnya tertinggal di atas dasboard mobil. Ah, harusnya ia tak meninggalkannya, kalau begini bagaimana mau menghubungi Illyana.

"Mas Ali."

Langkah lelaki itu terhenti saat mendengar suara yang ia kenali. Sontak matanya membulat oleh rasa tak percaya akan penglihatannya. Rasanya sudah lama tidak mendengar sapaan serta bertemu dengan gadis yang memanggilnya itu. Hati Ali agak sedikit berdesir. Suara lembut yang dulu pernah ia rindukan diam-diam.

Mata Ali memonitor sosok yang kini berdiri tepat di depannya itu. Tidak menyangkah sama sekali bahwa dia akan bertemu lagi di tempat tak terduga dan dalam keadaan yang tak terduga pula. Gadis berwajah arabian itu tersenyum simpul padanya. Senyum yang harusnya tak ia nikmati saat ini.

"Maira?"

Gadis yang dipanggil Maira itu hanya mengangguk sekilas kemudian kembali tersenyum. "Assalamualaikum Mas, gimana kabarnya?" sapa gadis itu memberi salam.

"Waalaikumsalam, alhamdulilah seperti yang Kamu liat. Kamu kapan datang Maira?" Ali kaget, Humaira yang dia tahu sedang menyeleseikan pendidikannya di Al-Azhar Cairo, tiba-tiba sekarang ada di hadapannya.

"Satu minggu yang lalu Mas, Maira sudah memutuskan untuk kembali saja kesini. Dan sekarang Maira jadi pengajar disini," gadis itu menjelaskan perihal kepulangannya dari Cairo beberapa waktu yang lalu. "Mas Ali sendiri, ada keperluan apa? apa jangan-jangan Mas Ali dosen juga ya disini?" tebak Humaira pada Ali.

"Bukan, Aku.." Ali ingin menjelaskan jika saat ini dia tidak lagi mengharapkan Humaira seperti setahun yang lalu saat gadis itu pamit dan meninggalkannya ke Cairo. Mendadak ingatan Ali berkelebat senyuman jail Illyana. Lelaki itu baru tersadar bahwa mungkin saat ini Illyana sedang menunggunya.

"Maira maaf, aku benar-benar buru-buru. Bisakah kita tunda dulu obrolan kita?" Ali ingin beranjak, tapi Humaira langsung menahannya, membuat Ali urung beranjak. Lelaki itu kembali duduk. Masih tak paham untuk apa Humaira memintanya tetap di sana.

"Mas, bisakah kita bicara sebentar saja? hanya sebentar. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu," ucap Maira menatap lekat Ali.

Ali tak punya pilihan lain. Dia pikir, tidak ada salahnya. Sekalian lelaki itu akan menjelaskan pada Humaira bahwa dia kini sudah menjadi makhtubah atau tunangan perempuan lain dan sebentar lagi akan menikahi gadis pilihannya tersebut. Sangat penting untuk mengabari Maira, menurut Ali, agat Humaira tidak salah paham dan masih menaruh harap padanya seperti setahun yang lalu.

Ali menurut saja saat Humaira mengajaknya berbincang di kantin kampus. Duduk berhadapan, Ali agak jengah sebenarnya terus saja ditatap oleh Maira. Jika dulu dadanya akan bergemuruh saat berada di dekat Maira, tatapi kini lelaki itu tak merasakan sama sekali. Bahkan hanya kelebat Illyana yang sedari tadi memutari otaknya.

"Humaira, apa yang ingin kamu bicarakan?" Ali membuka suara. Rasanya ia sudah ingin cepat-cepat  beranjak dari duduknya dan menghampiri Illyana.

"Aku sudah disini Mas, tentang janji Mas Ali waktu itu," Maira mulai menjabarkan maksudnya. Ali paham kemana arah pembicaraan mereka kini. "Apa pertanyaan Mas Ali waktu itu masih berlaku untukku Mas?"

Mendadak lidah Ali kelu. Entah harus dari mana ia mulai menjelaskan pada Humaira bahwa ia bukan lagi lelaki bebas. Bibirnya mengatup, dan sesekali terdengar helaan napas panjang, pertanda bahwa si empunya raga sedang diambang rasa cemas.

"Humaira, aku.."

"Iya Mas, Aku akan memberi jawaban sekarang jika Mas Ali berkenan. Aku.."

"Maaf Maira."

Humaira mengernyit bingung saat Ali melontarkan kata maaf padanya. "Maksud Mas Ali? kenapa minta maaf Mas?"

"Aku bukan lagi lelaki bebas. Aku sudah mengkhitbah seseorang, dan satu bulan lagi kami akan menikah." Ali menghela napasnya dalam-dalam saat berhasil mengatakan yang sebenarnya pada Maira. Lega mungkin. Tetapi ada sedikit raut bersalah di matanya. Menyadari tidak seharusnya dulu ia memberi janji pada Humaira.

Maira tersenyum pias mendengar penuturan Ali. Padahal salah satu niat kepulangannya dari Cairo adalah untuk memberi kejutan pada lelaki di depannya itu. Apalagi kedua orangtuanya juga sudah mendesak Maira untuk segera menikah.

"Humaira, sekali lagi maafkan Aku."

"Bukankah Mas Ali sudah berjanji akan menungguku kembali?"

Ali kembali merasa bersalah jika mengingat janjinya. "Maaf Maira, kita manusia hanya bisa berencana, tetapi tetap Allah lah sebagai penentu utamanya. Kamu juga waktu itu membebaskanku kan jika tidak sampai kedatanganmu Aku bertemu dengan pilihan hatiku, kamu akan ikhlas, menerimanya." Ali jadi teringat jika dulu Humaira juga telah berucap bahwa ia tidak akan membebani Ali dengan janjinya karena pada saat itu tidak ada ikatan antara mereka. "Maira, sekali maafkan jika Aku tak sengaja menyakiti hatimu, karena janji yang terlontar dariku kala itu, bolehkah sekarang aku pamit dulu? Ada seseorang yang sedang menungguku saat ini." pamit Ali pada Humaira. Lagi-lagi Maira hanya membalasnya dengan senyuman sumbang disertai anggukan pelan. Sayyidah Humaira, gadis keturunan arab, sama seperti Ali. Maira harus mengubur angannya dalam-dalam saat ini. Lelaki yang ia gadang-gadangkan akan menjadi pendamping hidupnya ternyata sudah lebih dulu menemukan pilihannya.

Ali menyeret langkahnya, kembali menyusuri koridor menuju kelas Illyana. Lelaki itu tak menyadari bahwa gadis yang akan ia hampiri sudah lebih dulu meninggalkan kampus beberapa saat lalu. Dan mungkin membawa rasa salah paham serta sakit hati karena tak sengaja menangkap sosok calon suami sedang bercengkrama dengan perempuan lain.
#####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top