6. Gayung Tak Bersambut

TELAH DIKONTRAK PENERBIT.
Silakan dibaca.
Dilarang keras! playgiat, copypaste dan sejenisnya ya. Ingat Allah maha tahu, meskipun Saya tidak tahu.
*****************************

6. Gayung Tak Bersambut

Illyana berkali-kali menggersah. Membuang napasnya kasar. Rasanya penat sekali akhir-akhir ini. Ini sudah minggu yang ke tiga gadis itu menanti, sejak aksi konyolnya memberikan surat lamaran pada si abang ustazd tempo hari. Namun kesabaran Illyana harus teruji lagi saat Ali tak kunjung menemui ataupun memberi jawaban atas isi hatinya. Sudah beberapa hari belakangan ini pun mengikuti pelajaran serta kajian Illyana rasanya malas sekali. Satu yang ingin ia lakukan saat ini adalah berada kembali di rumahnya, mengurung diri di kamar, serta menumpahkan segala kesal serta gelisah yang menyeruak, memenuhi rongga dadanya. Meskipun dari usia Illyana termasuk gadis yang baru beranjak dewasa, tapi apa salah jika ia memiliki perasaan tertarik layaknya remaja lainnya.  Toh yang pasti gadis itu merasa tak melanggar syariat dengan mengajak pacaran dan sejenisnya, Apalagi nasihat abi Fariz perihal dosanya orang pacaran layaknya seorang pezina, sudah tertanam serta melekat kuat di dasar hatinya. Illyana termasuk gadis yang frontal dan berani mengungkapkan isi hatinya, baginya lebih baik jujur, daripada harus memendam perasaan yang nanti jatuhnya malah bisa jadi zina hati.

"Ly, ayo siap-siap." Naura melirik Illyana yang masih memaku termenung di sudut kamar mereka, tatapan matanya menerawang, tanda gadis itu tengah melamun. Jarum jam sudah mengarah ke pukul empat sore, ba'da ashar ada kajian tentang kitab kuning, dan itu wajib diikuti oleh seluruh santri di pesantren, tak terkecuali Illyana.

"Kamu saja Nau, aku malas sekali. Mau disini saja," ujar Illyana pada Naura. Selain tak ada semangat karena tak kunjung mendapat kabar yang dinanti, juga Illyana merasa badannya agak sedikit meriang.

"Kenapa Ly? kamu lagi nggak enak badan ya?" tanya Naura saat mengamati wajah Illyana yang terlihat sedikit pucat.

"Iya Nau, agak nggak enak badan. Kepala ku pusing," sahut Illyana membenarkan tebakan Naura. Illyana memang merasa kepalanya pening sekali.

"Yasudah, kamu istirahat saja. Mau Aku antar ke UKS? atau Aku ambilin obat?" tawar Naura terlihat gurat kawatir dimatanya.

Illyana menggeleng. Ia hanya tidak ingin berada di kelas untuk saat ini. Percuma saja jika ia ikut kajian sore ini, tapi pikirannya melayang jauh pada sosok yang kini tak ada kabarnya sama sekali, pelajaran juga pasti tak akan terserap ke dalam otaknya. "Tidak usah Nau, aku mau istirahat saja,"" sahut Illyana diangguki oleh Naura sebelum gadis itu melangkah keluar kamar.
___

"Ummi, Illyana kangen rumah pengen pulang!" Illyana meracau saat Naura sudah enyah dari hadapannya, tidak terasa setitik bening meluncur dari pipi chubby Illyana. Rasanya saat seperti ini ia ingin berada dalam dekapan umminya. Biasanya sang ummi yang bisa memahami perasaannya saat sedang galau seperti saat ini.

"Ly, belum bangun kamu?" Naura yang sudah kembali dari kajian sore ini menatap heran sesosok mungil yang masih setia meringkuk di ranjangnya itu. Gadis itu menyeret langkahnya mendekati Illyana yang masih terpejam, mengguncang pelan bahu Illyana agar terbangun. "Illyana, sudah mau magrib lho! bangun Ly." Naura menepuk pelan pipi llyana. Namun matanya agak membelalak saat  menyentuh kulit Illyana dan terasa panas. "Illyana kamu sakit?" seru Naura panik.

Perlahan tapi pasti, lamat-lamat  Illyana mencoba membuka kedua matanya. Kepalanya terasa berat sekali, ditambah dengan tenggorokannya yang agak sakit. Sepertinya Illyana harus menyerah pada keadaan. Gadis itu tumbang. Gurat ceria yang biasanya nampak kini hanya terlihat wajah pucat pasinya. Naura segera berlari ke UKS untuk mengambilkan obat.

"Naura, kenapa lari-larian?" di tengah langkahnya ustadza Salwa menegur Naura yang tengah tergesa setengah berlari menuju ruang UKS.

"Itu Ustadza, Illyana.." Naura menjawab tanya Salwa agak tergagapa karena ngos-ngosan menahan napas.

"Illyana kenapa Nau?" tanya ustadza Salwa menyelidik, penasaran.

"Sakit Ustadza, badannya panas sekali. Ini Nau mau ngambilin obat sama alat kompres buat Illyana," sahut Naura sesaat sebelum meneruskan langkahnya.

Ustadza Salwa termenung sejenak, teringat pesan seseorang beberapa hari yang lalu saat menitipkan Illyana padanya.

"Saya minta tolong selama tidak ada disini, tolong jaga dan awasi Illyana, Ustadza. Dia sudah seperti adik saya sendiri, apalagi kedua orangtuanya sangat mengenal baik dengan abbah dan umma." ustadza Salwa mengulum senyum saat mengingatnya. Mungkin ini saatnya ia menunjukan jika ia peduli pada orang-orang terdekat dari lelaki yang diam-diam menyita hatinya. Iya, Ustazd Ghaly Abdullah Zaid sendiri yang tempo hari menitipkan Illyana padanya. Ustadza Salwa merasa mempunyai peluang dan kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan Ali. Hampir dua tahun ustadza Salwa memendam perasaannya, namun perempuan itu tidak berani menunjukkan ataupun menyatakannya langsung. Tak ingin membuang waktu lagi ustazda Salwa bergegas melangkah ke kamar Illyana. Ia ingin memastikan sendiri keadaan salah satu santrinya itu.

"Assalamualaikum Illyana," ucap ustadza Salwa saat di depan kamar Illyana. Tidak ada jawaban. Ustadza Salwa memilih untuk menerobos masuk. Kakinya melangkah mendekat pada Illyana yang tengah berbaring di ranjang.

"Ummi..Illy mau pulang. Illyana kangen ummi.." Illyana meracau, merintih diantara setengah kesadarannya. Bisa jadi itu adalah efek dari badannya yang panas, dan rupanya Illyana saat ini sedang merindukan rumahnya, terutama dengan umminya.

"Astagfirullah..badan kamu panas sekali Ly." tangan ustadza Salwa meraba kening Illyana. Rasanya seperti mau terbakar saking panasnya.

"Ustadza, ini kompres sama obat penurun panasnya." Naura datang dengan sebaskom air hangat dan juga sehelai handuk kecil, tidak lupa sebotol paracetamol yang merupakan obat penurun panas. Bergegas Salwa mencelup handuk kecil untuk mengompres kening Illyana, tak lupa ustadza itu juga membantu Illyana meminum obat.
___

"Illyana, dimakan dulu buburnya habis itu baru minum obatnya." suara lembut yang begitu dirindukan itu kini kembali terngiang di telinga Illyana. Andai saja kemarin dia tidak tumbang dan jatuh sakit, mungkin sampai hari ini Illyana tak bisa bertemu dengan suara yang sangat dirindukan itu.

"Iya Ummi, tapi suapin Illyana ya Mi," ucap Illyana dengan gaya manja pada umminya.
Kemarin saat terserang demam di pesantren ustadza Salwa segera menghubungi dokter, dan dokter bilang jika Illyana terkena gejala typus, gadis itu harus rela menghabiskan beberapa harinya di ruang perawatan rumah sakit karena harus opname. Dan kini Illyana sudah kembali ke tempat ternyamannya, kembali ke rumah kedua orangtuanya.

"Kayak bayi saja Liliput! makan pake minta disuapin, malu sama umur Ly." cerocos Ilham yang melengok ke kamar adiknya sore ini.
Illyana mendengkus, kesal jika si abang satu itu mulai menampakkan kejailannya. Kebiasaan abang resek satu itu, kalau tidak menggoda atau menjaili Illyana hidupnya serasa tak tenang, mungkin.

"Bilang aja Abang ngiri mau disuapin juga sama ummi." balas Illyana meledek Ilham.

"Lagian manusia langka kayak Lo kok bisa sampe sakit sih Liliput. Apa jangan-jangan sakitnya Illy karena ditolak cintanya ya Mi." kelakar Ilham masih tak mau berhenti menggoda Illyana.

"Abaaaaang..!!! Ummi, Abang jahat tuh sama Illy. Pasti Illyana ini adik tirinya, atau jangan-jangan Illy ini cuma adik pungut ya Mi."
satu lemparan guling melayang ke arah Ilham disusul kekehan dari lelaki itu saat menghindar.

"Dasar drama quen, kumat." cerca Ilham tak mau mengalah. Kalau sudah begini bu Lila hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan ajaib putra-putrinya. Yang satu sudah beranjak dewasa, yang satu lagi sudah dewasa tetapi sifat jailnya masih belum hilang juga. Bu Lila hanya bisa mengulum senyum saat kedua buah hatinya mulai ribut atau cekcok, perempuan itu tahu betul, meskipun Ilham seringkali menggoda dan menjaili Illyana, namun begitulah cara Ilham menunjukkan kasih sayangnya pada adik semata wayangnya itu.

"Abang sudah, jangan gangguin adiknya lagi sakit. Illyana juga, ngga boleh ngomong sembarangan begitu, Illyana istirahat Nak. Biar Ummi sama Abang keluar." hanya interupsi dari bu Lila yang bisa meredam kegaduhan sore ini.

"Sudah Illy istirahat lagi ya." pamit bu Lila sebelum beranjak.

"Iya Ummi."

Sepeninggal bu Lila dari kamar Illyana. Gadis itu merebahkan kembali tubuhnya. Berkali-kali mencoba memejamkan mata, tetapi tetap saja nihil. Kedua manik matanya malah makin terbuka lebar, mengingat sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Illyana kembali teringat peristiwa beberapa minggu yang lalu, saat dengan konyolnya ia mengirimkan surat lamaran pada ustazd Ali. Sudah menurunkan harga dirinya sebagai perempuan di titik paling rendah, tetapi yang ditunggu tak jua memberi kabar ataupun jawaban. "Dasar abang ustazd tukang PHP!" rutuk Illyana merasa kesal jika mengingat wajah si ustazd tampan. "Apa coba kurangnya Illy. Kenapa abang ustazd malah menghilang sih! ngga ada kabar sama sekali." umpatnya lagi menggumam sendirian. Kalau sudah begini, tangan Illyana gatal sekali ingin membuka link email tentang salah satu program tv dengan jargonnya 'Mama Curhat Dong!' gadis itu mendesah. Ingin rasanya meluapkan curahan hatinya sampai ke akar-akarnya. Rasanya gurat merah itu akan selalu muncul jika mengingat aksi beraninya memberikan surat lamaran pada si abang ustazd. Apa kata dunia jika semua orang rumah tahu Safira Illyana ditolak cintanya. Detik ini juga Illyana ingin meneriakkan kalau dia menyesal sudah bertindak gegabah dan ceroboh, kalau akhirnya jadi malu sendiri. Apalagi saat Ilham dan yang lainnya tahu tentang aksi konyolnya. Pasti nanti Illyana tak akan punya cela untuk menghindari cercaaan Ilham.
Ingin bertekad melupakannya. Namun apa daya, rangkaian bayang-bayang si abang ustazd masih saja setia berputar dalam benak Illyana saat ini. Ah, andai saja kemarin dia tak terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Tentu kini gadis itu tak akan segalau ini. Apalah daya jika gayung tak bersambut, sakit dan perih, mungkin begitu yang dirasa Illyana saat ini. Maklum saja. Gadis yang baru beranjak dewasa, lalu mulai merasakan jatuh cinta, dan setelahnya merasa terhempas saat perasaannya tak bersambut.
___

Ali menimang-nimang sebuah benda yang kini ada di tangannya. Lengkungan tercetak dari kedua rahang lelaki itu. Sumringah terukir begitu saja.  Sudah hampir dua minggu ini Ali tidak menapakkan kakinya ke pesantren. Selain sedang mempertimbangkan sesuatu, lelaki itu juga sedang disibukkan oleh tugas kantornya yang lumayan padat. Dua minggu tidak menjumpai gadis super duper cerewet dengan segala kepolosannya, ternyata diam-diam mengusik hati Ali. Entah sadar atau tidak, ia memikirkan sosok cerewet yang dinilainya terlalu berani itu. Berani karena dia merupakan satu-satunya perempuan yang secara terus terang menyatakan perasaan langsung di hadapannya. Akan tetapi sekelebat bayangan lain melintas dalam benak lelaki itu. Lengkungan senyum Humaira saat terakhir ia temui sebelum keberangkatannya ke Cairo kembali mengusik. Dia kini merasa bimbang. Hatinya diselimuti kerisauan. Acapkali merapal istighfar dalam hati. Dua kelebat dari raut yang berbeda terus saja menggelayut dalam benak Ali. Seakan keduanya berkonfrotasi untuk menjadi pemenang dan satu-satunya.

Sayyidah Humairah. Gadis berlesung pipit, lemah lembut, serta sangat santun tutur katanya dan gadis itu sudah sejak lama terangkum dalam benak Ali. Sementara satu nama tiba-tiba hadir begitu saja, seakan menggeser nama yang lebih dulu bertengger dalam hati lelaki itu. Safira Illyana, si mungil yang cerewet serta frontal dan apa adanya. Bahkan kemarin sebelum disibukkan oleh urusan pekerjaannya lelaki itu sempat-sempatnya menitipkan Illyana pada salah satu ustadza di pesantren.
#####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top