13. Pejuang Cinta Halal
TELAH DIKONTRAK PENERBIT
Silakan dibaca.
Dilarang keras! plagiat, copypaste dan sejenisnya ya. Ingat Allah maha tahu, meskipun Saya tidak tahu.
Mohon sertakan sumber jika ingin share bagian kalimat atau quotes.
****************************
13. Pejuang Cinta Halal
"Assalamualaikum Nau.." Illyana terlihat sangat sumringah saat memasuki ruangan yang sudah tak asing baginya. Salah satu tempat yang berkesan bagi gadis itu dulu selama tinggal di ponpes ini. Di tempat ini juga semua kelebat kenangan akan tingkah konyol serta kenekatan Illyana dimulai saat menyatakan perasaan pada ustazd Ghaly.
"Waalaikumsalam, Illyana.." jawaban dari dalam bilik kamar itu tak kalah histeris saat tahu siapa yang kini berada di depannya. Keduanya saling memeluk, seakan menuntaskan rindu bak sepasang kekasih yang lama tak bersua. "Jahat kamu Ly, kenapa ngga balik kesini lagi sih?" ucap Naura sesaat setelah melepas peluknya.
"Maaf ya Nau, nggak sempat ngabari kamu." Illyana merasa menyesal karena tak sempat bertukar kabar dengan Naura. Selama di pesantren kemarin memang ia tak memegang ponsel, begitu juga dengan Naura, jadi otomatis tak ada kabar setelah kepulang Illyana saat itu.
"Kamu mau tinggal disini lagi kan Ly? sumpah kangen sama sifat konyolmu Ly, bisa jadi hiburan, pas kamu pergi rasanya sepih banget disini." keluh Naura dengan wajah dibuat sedih. Meskipun bisa dibilang baru sebentar mereka saling mengenal dan menjalin persahabatan, namun bagi keduanya sudah saling memahami layaknya teman lama.
"Sayangnya nggak Nau, aku kesini mau ngenterin ini buat kamu." Illyana mengangsurkan undangan yang tadi dibawa dari rumah Ali pada Naura.
Naura sempat tak percaya saat menilik undangan bersampul merah maroon itu, berkali-kali gadis itu mengulang bacaan nama mempelai yang tertulis. "Sumpah Ly, demi apa kamu mau nikah benaran sama ustazd Ali? Safira Illyana, kamu ngga lagi iseng kan ini?" cerca Naura masih tak percaya. Gadis itu hiperbola sendiri mendapat kabar dari Illyana.
"Demi Allah, ngapain juga iseng Nau. Benaran, itu kamu udah baca kan," sahut Illyana tersenyum puas saat melihat reaksi Naura. Illyana paham kenapa Naura masih tak percaya, karena Naura lah yang dulu menjadi saksi bagaimana Illyana berjuang mendapatkan perhatian dari ustazd Ali, namun tak pernah mendapatkan respon sedikitpun dari lelaki itu.
"Kog bisa sih Ly? main dukun pasti kamu ya?" tuding Naura bernada candaan.
"Sembarangan! rejeki anak shalih dong, itu berarti abang ustazd memang ditakdirkan Allah buat jadi jodohku." gumam Illyana menyahuti.
"Kenapa sama kamu sih Ly, kenapa ngga sama Aku aja coba!?" desis Naura memrotes.
"Yee, kalau itu tergantung amal dan perbuatan Nau, berarti kamu kurang beramal shalih, banyakin berbuat baik, biar nanti dapat jodohnya yang sebelas duabelas kayak abang Ali."
"Aamiin, semoga nanti aku bisa dapat jodoh yang kayak ustazd Ali, selamat ya Ly. Masih ngga nyangkah, kebentur apa ya kepalanya ustazd Ali kog sampai mau nikah sama kamu."
satu toyoran dari Illyana membuat Naura mengaduh pelan. "Mulutmu Nau, yang ikhlas dong kalau ngasih selamat."
"Sakit tau Ly. Iya iya, sekali lagi selamat ya Illyana, semoga kalian jodoh dunia akhirat."
"Aamiin, nah gitu dong. Baru namanya sahabat baik." cukup lama keduanya berbincang, sebelum akhirnya Illyana pamit pada Naura untuk menyusul Ali ke ruang serbaguna. Tadi ia memang sudah berjanji akan menyusul jika sudah selesei bertemu Naura.
"Mau Aku antar Ly? masih ingat kan jalan ke ruang serbaguna?"
"Yaelaah, emang berapa lama sih Aku ngga kesini Nau? ya masih lah."
___
Illyana menyeret langkahnya untuk menghampiri Ali. Sepanjang koridor tidak sedikit santri yang menyapa Illyana, tapi ada juga yang meliriknya dengan tatapan menyeringai. Illyana paham, mungkin sebagian dari mereka merasa iri padanya, saat tahu bahwa salah satu ustazd pujaan para santriwati memutuskan untuk mengakhiri kesendiriannya, dan yang lebih membuat heboh lagi, Illyana lah yang terpilih menjadi calon istrinya. Tidak aneh jika ada yang merasa iri atau dengki, pada dasarnya manusia itu kan berasal dari tanah, mungkin jenis manusia yang selalu iri atau dengki itu berasal tanah sengketa. Lupa akan hal yang sudah digariskan dan menjadi ketentuan Allah swt.
Sampai di depan ruang serbaguna, langkah Illyana tertahan. Pintu ruangan memang terbuka, tapi telinga Illyana tengah seksama menyimak perbincangan dua orang dalam ruangan tersebut.
"Kenapa harus Illyana, Ustazd? Bukankah selama ini Saya sudah cukup menyiratkan tentang perasaan Saya pada Ustazd, tapi Ustazd Ali sama sekali tak pernah menanggapinya." rentetan perkataan bernada protesan. Atau lebih tepatnya kekecewaan terungkapkan begitu saja dari seseorang di depan Ali.
Illyana tahu siapa yang sedang berbincang serius bersama calon suaminya itu. Ustadza Salwa, terkenal pendiam dan sangat santun. Sampai-sampai Illyana tak percaya dengan pendengarannya saat ini. Apalagi selama tinggal di pesantren kemarin itu ustadza Salwa bersikap sangat baik padanya. Saat Illyana jatuh sakit pun ustadza Salwa tak segan untuk merawatnya.
"Sudahlah Salwa, jangan terus-terusan menggugat. Maaf sekali jika selama ini kesannya Saya tidak menanggapi tentang perasaanmu. Harusnya kamu sadar, sebagai muslimah, apalagi kamu seorang ustadza, tidak baik terlalu mengumbar rasa cinta. Jika kamu serius dengan rasa cintamu, hendaknya kamu menjaga, dan lebih mendekatkan diri pada Rabb-mu. Bukan dengan cara mengirimkan pesan, ataupun lembaran puisi tentang perasaan yang harusnya kamu jaga. Ingatlah Salwa, seorang muslimah sejati adalah yang sanggaup menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya." Ali menjelaskan tanpa memandang sedikitpun pada Salwa. Berulangkali lelaki itu merapal isthigfar dalam hati. Ia paham jika perbincangannya dengan Salwa saat ini adalah salah dan bisa-bisa akan menimbulkan fitnah. Bagaimanapun lelaki dan perempuan yang bukan mahram, haram hukumnya berikhtilat, atau mencampur dalam satu ruangan tanpa ada pembatas diantara. Apalagi saat ini hanya ada dia dan Salwa diruangan itu, bisa dikatakan mereka telah berkhalwat, atau berdua-duaan, padahal itu adalah dosa.
Sementara Salwa hanya diam menunduk mendengar penuturan Ali. Gadis itu seperti masih tak rela akan berita bahagia yang didengarnya hari ini. Memang betul, selama ini Salwa acapkali berkirim salam pada Ali, bahkan gadis itu sempat beberapa kali mengirimkan puisi yang berkesan romantis pada lelaki itu. Nyatanya semua itu tak mampu meluluhkan hati seorang Ghaly Abdullah Zayd.
Illyana lagi-lagi harus menghela napasnya dalam. Sepertinya stok sabarnya harus ia tambah. Baru kemarin, harus sekuat hati menahan rasa cemburu pada Humaira, dan sekarang kembali harus merasakan lagi situasi yang sama. Ternyata Salwa selama ini juga diam-diam menyimpan perasaan yang sama pada Ali. 'Hh..belum sah saja sudah banyak sekali godaannya, apalagi nanti kalau sudah jadi suami!' gumam Illyana membatin.
"Assalamualaikum.." Illyana melangkah memasuki ruang dimana ada Ali dan Salwa. Keduanya menolah seketika saat mendengar langkah yang tak lain adalah Illyana.
"Waalaikumsalam." hanya Ali yang memenyahut, sementara Salwa masih bergeming. Sekilas Illyana bisa menangkap sorot rasa bersalah dimata Ali karena kedapatan tengah berbincang berdua saja bersama Salwa. Sentara melirik sang ustadza, Illyana bisa melihat raut mendung di kedua bola matanya. Tapi Illyana tak mau mengambil pusing, toh dia sudah mendengar sendiri ketegasan Ali akan sikap para perempuan yang terang-terangan mengejarnya disaat statusnya tidak lagi bebas.
"Ustadza Salwa apakabar? Ya Allah, lama tidak ketemu, makin cantik saja." Illyana menyapa Salwa. Gurat ceria ia tampilkan, seakan tak tahu tentang perbincangan yang baru saja ia dengar. "Ustadza, pasti sudah dikasih sama Abang ya, jangan lupa datang ya. Doakan semoga lancar ya Ustadza, dan Illyana juga selalu berdoa, semoga Ustadza Salwa kelak dipertemukan dengan jodoh terbaik yang dipilihkan Allah."
"Aamin." Ali yang menyahut dan mengaminkan doa Illyana.
"Saya baik Ly, iya tadi Ustazd Ali sudah memberikan ini untuk Saya. Selamat ya untuk kalian berdua, semoga dilancarkan." Salwa membuka suara. Memberikan ucapan untuk Illyana dan Ali, tapi entah ucapan itu tulus dari hati atau tidak, Illyana tidak terlalu memperdulikan. Yang pasti dia sudah bersikap sebaik mungkin. Tidak mau berprasangka, dan mendahulukan emosinya, dan yang penting gadis itu mendoakan Salwa agar segera mendapatkan pasangan hidup.
"Aamin, terima kasih Ly. Saya pamit permisi dulu, untuk Ustazd Ali dan Illyana sekali lagi selamat. Assalamualaikum," pamit Salwa pergi meninggalkan ruangan.
__
"Sudah selesei Bang! Kalau sudah tolong antarkan Illy pulang sekarang." ucapan Illyana lembut namun terkesan tegas dan ada nada kesal terselip.
"Kamu marah lagi ya?"
"Ngga, tapi Illyana memang ingin cepat pulang Abang. Kepala Illyana pusing, pengen istirahat." Illyana tak berbohong, kepalanya memang agak terasa pening. Ini pasti karena tadi belum sempat makan siang. Padahal Illyana tidak biasa telat makan seperti ini, pasti akan langsung terasa efeknya.
"Kamu sakit? apa mau Abang antar ke dokter?"
"Ngga usah lebay sih Abang. Illyana cuma pusing, bukan pingsan. Daripada ke dokter, Illy lebih senang kalau diajak ke restoran Abaang." cerocos Illy seakan menegaskan bahwa untuk saat ini dia lebih membutuhkan asupan makan daripada harus pergi ke dokter.
"Oh, kamu lapar? bilang dong dari tadi Ly. Kan Abang ngga tau kalau Illy lapar."
"Gimana mau bilang, Abangnya kan sibuk nostalgia jilid kedua," cerca Illyana seakan menjadi sindiran untuk Ali saat tau bahwa lelaki itu sedang berbincang berdua bersama Salwa.
"Yaaa...salah paham kloter kedua ini kayaknya." gumam Ali pelan saat memerhatikan raut Illyana.
__
Membawa Illyana ke restoran terdekat, suasana dalam mobil mendadak sunyi. Illyana lebih memilih diam, sementara Ali sedari tadi bingung ingin membuka kata dari mana. Duduk saling berhadapan di dalam resto pun mereka masuh saling membisu.
"Tadi itu Abang dan ustadza Salwa.."
"Tadi bu Maira, barusan ustadza Salwa, nanti siapa lagi Bang?" benar saja. belum sempat kata-kata penjelasan dari Ali, Illyana sudah menyahut lebih dulu. "Demen banget sih Abang ini bikin potek hati anak gadis orang!?" cercanya lagi meletup-letup.
"Lha, siapa yang bikin potek Ly? memangnya salah Abang kalau mereka yang ada hati, tapi Abang ngga? Memangnya Illy mau kalau misalnya dulu Abang lebih memilih mereka."
"Iih, ya ngga lah Abang. Iya juga sih, bukan salah Abang sepenuhnya. Siapa suruh dulu mereka ngga nanya langsung tentang perasaan Abang. Tapi Bang, bukankah Illyana juga sama ya kayak mereka? kan Illyana yang berjuang buat dapetin Abang. Tapi memang Abang ini tipe kulkas dua pintu, datar, dingin, gaada respon. Hampir saja Illyana dibuat potek juga hatinya." Ali hanya tersenyum simpul mendengar penuturan Illyana yang ceplas-ceplos, namun jujur apa adanya tanpa dibuat-buat.
"Kamu mau tahu kenapa Allah menggerakkan hati Abang untuk memilih kamu?"
Illyana hanya menggeleng mendengar pertanyaan Ali. Tapi gadis itu juga sangat penasaran, apa gerangan yang membuat Ghaly Abdullah Zayd lebih memilihnya. "Memangnya apa Bang?"
"Keberanian Illyana."
"Berani? memangnya Illyana sudah ngelakuin apa?"
"Surat lamaran Illy untuk Abang waktu itu."
"Ih, Abang jangan ungkit lagi dong soal surat lamaran. Kan Illy jadi malu Abaaang."
"Bisa malu juga kamu? Bukannya biasanya malu-maluin ya?" canda Ali, dan hampir saja mendapat geprakan dari Illyana kalau ia tak cepat menghindar. "Jangan pegang-pegang deh Ly, belum mahram, nanti kalau Abang khilaf kamu juga yang repot."
"Khilaf dong Bang," ujar Illyana malah menggoda balik.
"Sudah Ly, jangan sekarang. Tapi nanti tunggu kita sah dulu, Abang bakalan khilaf tiap hari sama kamu. Jadi mau dengar ngga alasan Abang lebih memilih Illy?"
"Mauuu."
"Buat Abang, Illy itu istimewah. Karena keberanian Illyana mengungkap perasaan, bukan sekadar main-main, tapi keseriusan Illy saat mengirimkan surat lamaran untuk Abang. Jadi tidak salah jika Abang lebih memilih pejuang seperti Illyana."
"Pejuang apa Abang?"
"Pejuang Cinta Halal. Humaira memang pernah terselip dihati Abang, tapi itu tidak menjadikan ia berani mengambil sikap saat Abang ingin serius dengannya, dan Salwa, meskipun sering mengirimkan isyarat tentang perasaannya, tapi dia tidak seberani kamu Ly. Dan sudah jelas, Pejuang yang sejatilah yang Allah pilihkan untuk Abang, yaitu kamu Safira Illyana, sang Pejuang cinta halal." akhirnya Ali mengungkap salah satu alasan dia lebih memilih Illyana. Meskipun itu bukan satu-satunya alasan, tapi baginya Illyana berbeda dari kedua perempuan yang juga terang-terangan mengungkapkan isi hati mereka.
"Iih, Abang kog makin sweeet siih!? kalau begini Illy saja yang khilaf boleh ngga Bang?"
"Isthigfar, sudah jangan ngelantur. Makan gih, katanya tadi lapar."
"Udah hilang laparnya Bang, kenyang sama kata-kata Abang ustadz. Oh iya trus gimana sama bu Maira dan ustadza Salwa, Bang?"
"Gimana apanya Ly?"
"Pasti mereka kecewa deh sama Abang."
"Biarkan saja itu menjadi urusan mereka, yang penting kita selalu mendoakan. Lagipula salahnya sendiri, seperti pepatah Ly. Malu bertanya sesat dijalan, kalau malu melamar, ya jadi tamu di pernikahan."
Illyana tak bisa menahan tawanya saat mendengar pepatah yang diucapkan Ali. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga sih. Kalau memang cinta harusnya tidak usah dipendam, atau malah mengumbar, kalau benaran cinta ya harusnya langsung melamar. Jodoh bukan pasti bertemu, kalau sekadar bertemu belum tentu berjodoh. Kalau jodoh pasti menikah.
######
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top