Third

Sabtu pagi Galea sudah siap dengan sepatu olah raganya, lari pagi biasanya hanya Galea lakukan jika tidak acara keluar. Semalam Lintang mengajaknya untuk pergi ke Car Free Day sekitar Sudirman - Thamrin.

"Nggak bawa minum, Le?" tanya Tante Fani saat Galea baru saja akan membuka gerbang rumahnya, sejak Falyn menikah di rumah hanya ada Tante Fani dan Om Handi. Secara tidak langsung Galea menggantikan keberadaan Falyn sebagai anak Tante Fani, Galea sama sekali tidak keberatan dengan ini semua.

"Nggak usah, Tan. Ale kan bisa beli di jalan." Galea menutup kembali Gerbang yang ia buka, lalu berpamitan pada Tante Fani. "Ale berangkat dulu, Tan."

Biasanya Galea lebih memilih lari pagi keliling komplek saja, tapi sesekali pergi dengan Lintang tidak ada salahnya. Ia sudah jarang pergi bersama Lintang sejak ikut program guru yang mengharuskannya dinas di Nusa Tenggara.

"Galileo." di antara riuh para pejalan kaki di sepanjang area car free day Lintang mampu mengenali Galea yang tengah melirik ponselnya dengan gelisah.

"Lintasan Bintang sialan." Galea menoyor bahu Lintang, Lintang bilang ia akan menunggu Galea di dekat patung pancoran baru mereka bisa lari bersama ke Istora Senayan. Ternyata pria itu mengabari Galea kembali jika lebih baik bertemu di depan sekitar bundaran HI.

"Masih berharap sama Alvin?" Lintang mulai berlari, membiarkan Galea termenung sebelum kesadaran menjemputnya dan mulai berlari kecil menyusul Lintang.

"Keliatan banget ya?"

"Iya. Keliatan banget ngarepnya," kekeh Lintang, ada banyak hal yang Lintang tahu tentang Galea dibanding dirinya sendiri. "Alvin aja yang enggak bisa liat gimana muka lo penuh harap gitu sama dia."

"Ishhh," Galea mencebikan bibirnya. "Gue ngenes banget sih, cinta sama orang yang enggak pernah anggap gue."

"Nah itu tau, harusnya lo sadar. Alvin itu cuman satu dari sekian juta lelaki yang ada di dunia, enggak capek apa berharap pada angan semu." Lintang menghentikan langkahnya hanya untuk berbalik melihat bagaimana ekspresi wajah Galea, dan seperti yang sudah ia duga Galea terlihat merenggut. "Ada banyak lelaki di luar sana yang mungkin sedang menunggu lo, kenapa lo hanya terporos pada satu nama yang bahkan enggak pernah memasukan lo dalam daftar nama orang yang dia sayang."

"Lintang." Galea menelan ludah kasar, menatap Lintang penuh harap. Berharap bahwa Lintang tidak akan pernah membahas seberapa lama Galea pernah menunggu untuk Alvin. "Mencintai dan memiliki itu dua hal yang berbeda, gue pikir yang gue rasain sama Alvin itu mencintai. Bukan rasa ingin memiliki, meski gue tau rasanya terlalu naif karena perasaan cinta selalu berdampingan dengan rasa ingin memiliki."

"Kalau begitu, lo harus mulai move on." Lintang menyimpan tangannya di atas bahu Galea yang naik turun karena napas yang tidak teratur. "Karena lo berhak bahagia tanpa Alvin."

Galea hanya mengangguk tanpa tahu apa ia bisa melalukan itu semua, karena belajar melupakan itu sulit. Melupakan perasaan yang sudah dipupuk dengan rindu yang tak pernah tersampaikan.

"Minum." Lintang membukakan segel air mineral untuk Galea, mereka kini tengah duduk di hamparan rumput yang ada di Monas.

"Thanks."

"Gal, lo taukan kalau hidup itu enggak selalu tentang cinta." Lintang membaringkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya sebagai alas kepalanya agar tak tersentuh rumput. "Kalau cinta bukan satu-satu nya alasan untuk buat hidup bahagia, kalau bukan hanya cinta alasan untuk menjalin sebuah hubungan."

"Gue tau ujung-ujungnya kemana nih." Galea masih betah dengan posisi duduknya, menenggak setengah botol air mineral bukan hal sulit untuk Galea. "Lo terlalu peduli sama gue, sampe urusan cinta gue lo pusingin."

"Gue cuman nggak tega aja liat lo, berapa tahun coba lo cinta diem-diem. Mending gue, biarpun playboy masih suka pacaran. Nah lo? dari dulu stuck di Alvin."

"Terus yang lo dapat sekarang? apa?" tuntut Galea dengan wajah memicing.

"Terkadang lebih baik menjadi orang jahat yang tidak takut menyakiti hati orang lain, dibanding menjadi orang baik yang terlalu peduli hingga mengorbankan peraaaan diri kita sendiri." Lintang menarik tangan Galea agar ikut berbaring di sampingnya, mentap Langit biru kota Jakarta. "Gue cuman melindungi perasaan gue dari rasa sakit."

"Tanpa peduli perasaan mantan-mantan lo yang segudang 'kan?"

"Cinta itu tentang dua hal, membahagiakan dan menyakiti." Lintang melirik Galea, menatap lamat-lamat wajah Galea yang tengah terpejam menikmati hembusan angin. "Kalau pun selama ini gue menyakiti banyak hati perempuan, itu karena gue sedang belajar bagaiman cara membahagiakan orang yang gue cinta nantinya."

"Basi," ucap Galea pelan, kelopak matanya masih enggan untuk terbuka hanya untuk melihat bagaimana sudut-sudut bibir Lintang tertarik membentuk sebuah senyuman hanya karena mendengar Galea mengumpat.

*****

Tubuh Galea sudah bermandikan keringat, kulitnya terasa begitu lengket. Niat awalnya ia akan langsung pergi mandi setelah sampai rumah, tapi niatnya harus diurungkan ketika melihat Alvin tengah duduk di ruang tamu.

"Ngapain?" tanya Galea to the point, masih dengan rambut yang diikat tak rapi.

"Galak banget nyambut tamunya." Alvin tanpa tahu malu memasang wajah penuh senyuman, menyesap sebentar teh yang sepertinya sudah mulai dingin. "Mau ngajak jalan, mau ya?"

"Enggak deh. Capek," tolak Galea, ia duduk di kursi yang agak jauh dengan Alvin.

"Nanti malem aja jalannya, gue telpon ponsel lo enggak diangkat-angkat."

"Malem sibuk."

"Sibuk ngapain? jaga lilin?"

"Kecebong sialan," umpat Galea mendengar ejekan Alvin.

"Eh tapi lumayan sih kalau mau jaga lilin, gue yang keliling ya. Biaya resepsi mahal," Kekeh Alvin, menutup mulutnya dengan punggung tangannya agar suara tawanya tak terlalu terdengar.

"Bodo amat."

"Ayolah. Gal," bujuk Alvin, karena sejak tadi ia sudah menunggu Galea pulang hanya untuk mengajak pergi. "Enggak kasian sama jomlo yang udah karatan kayak gue ini, sekalinya mau ajak cewek jalan. Ceweknya galak banget."

"Vin." Galea merendahkan suaranya, karena apa yang akan ia bahas dengan Alvin kali ini cukup serius. Bukan lagi tentang kode-kode yang sering Alvin lontarkan dengan lelucon hingga Galea sulit membedakan mana candaan dan mana keseriusan Alvin. "Lo kenapa deketin gue?"

"Karena gue pikir lo masih jomlo, jadi gue bisa berharap sama lo dong?"

"Cinta?" tanya Galea.

"Apa deketin cewek itu harus dimulai dengan Cinta? enggak bisa dimulai dengan rasa nyaman?" kali ini nada suara Alvin pun ikut memberat, menatap Galea lamat-lamat dengan keseriusan yang terpancar jelas di wajahnya. "Karena cinta enggak menjamin bisa membawa kebahagiaan, Gal."

"Kalau lo datang cuman buat mempermainkan hati gue, mending mundur sebelum gue yang menjauh." Galea menarik napas pelan, karena ia tidak mau jatuh terlalu sakit untuk kesekian kalinya.

"Enggak," tolak Alvin, raut wajah gusar mulai terlihat di wajahnya saat Galea justru tersenyum mengejek mendengar penolakannya. "Karena gue belum memulai sama lo."

"Vin, yang lo suka Senja. Jangan jadiin gue pelarian."

"Enggak ada pelarian, Gal." Alvin menghela napas rendah. "Trust me, biarin gue mendekat. Enggak capek apa nyimpan perasaan segitu dalam sama gue tapi enggak berani mengungkapkan?"

Galea hampir saja kehabisan napasnya mendengar ucapan Alvin, bagaimana Alvin bisa mengetahui perasaan Galea sebelum ia sendiri yang menyatakan.

"Kali ini, cukup lo diam di tempat. Biar gue yang berlari berusaha meraih hati lo." Alvin mengulum senyum, berdiri dari duduknya lalu mengusap rambut Galea yang memang sedikit layu karena keringat. "Karena gue tau lo udah cukup capek berlari selama ini, jadi biar gue yang memulai semuanya."

TBC

A/N :

Jadi ini seperti biasa akan update setiap wikeen kalau enggak ada halangan, maunya selesai pertengahan November  😜

Bubayyy

XD XD
24-09-2017


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top