Sixth

“I didn’t mean to fall in love with you. But it happened. And I can’t erase it. I can’t ignore it. I have lived my whole life like this, and you’re the thing that has made me wish it could stop."
David Levithan , Another Day (Every Day, #2)

.
.
.
.

Galea tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang, Alvin terlalu terus terang dengan mulutnya. Menghindari Alvin untuk saat ini adalah hal yang cukup baik, hatinya perlu berisitirahat dari kejamnya tatapan Alvin yang selalu mampu membuat kinerja jantunya lebih produktif dua kali lipat.

Tanpa malu Galea menyesap strawberry milkshakenya hingga tetesan terakhir di gelasnya, Lintang sendiri hanya memandangi gelasnya yang mengembun karena es yang meleleh.

"Le...," Lintang menegakan bahunya, sejak datang cafe di bilangan kebayoran Lintang hanya duduk santai dengan bahu yang terkulai lemas. "Lo nggak marah 'kan, kalau gue jujur?"

Mata Galea menyipit, dalam pikirannya sudah menghampiri angan-angan yang biasanya di pikirkan orang lain. Oh Ayolah, Galea tahu Lintang tidak akan jatuh cinta pada perempuan seperti dirinya. Punya apa Galea hingga mampu mrmbuat Lintang jatuh cinta? Jelas tidak akan sebanding dengan perempuan-perempuan yang selalu dekat Lintang, perempuan yang biasanya menjajakan kakinya di atas catwalk.

"Tentang?"

"Tentang gue yang bilang kalau lo suka sama Alvin," ucap Lintang ringan. Galea hanya mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti kemana arah pembicaraan Lintang. Tapi tidak tahu maksud di balik Lintang yang mengatakan itu pada Alvin.

Harusnya Galea berteriak, menjerit malu dicampur kesal. Hanya saja Galea pikir itu semua terlalu kekanakan, mau menjerit kesal atau marah pada Lintang pun takkan merubah segalanya. Alvin sudah mengetahui perasaannya meski tidak langsung dari mulutnya, mungkin seharusnya ia berterimaksih pada Lintang karena Galea tak cukup berani mengatakan perasaannya pada Alvin.

"Makasih," Galea hampir saja mengatakannya dengan nada juteknya, "Karena ucapan lo itu Alvin sekarang mepet-mepet gue terus, udah kaya semut nyari gula."

"Bagus dong," ucap Lintang bangga, niatnya hanya ingin mempermudah Galea. Kalau ditanya kenapa tidak dari dulu Lintang menolong Galea, jawabannya adalah karena dulu Lintang pikir perasaan Galea akan menghilang seiring waktu berjalan, perasaan Galea akan padam setelah jarak yang mengikis. Dan Lintang salah memprediksi tentang hal itu, Galea sudah cukup jatuh cinta terlalu dalam pada Alvin.

"Sesuatu yang dipaksakan itu nggak bagus, Lin." Galea menggerakan jemarinya mengikuti alunan musik yang mengudara lewat pengeras suara, Lagu Tulus yang berjudul Tukar Jiwa terdengar begitu familiar di telinga Galea.

"Lo nggak pernah mau berusaha, Le." Lintang sudah cukup mengenal Galea,  Galea bukan perempuan yang akan dengan mudahnya mengakui perasaanya, gadis itu lebih senang memendam apa yang dia rasakan. Bukan hanya tentang cinta, tentang apapun, Galea cukup tertutup.

Hanya karena Galea senang bercanda gurau dan tersenyum, bukan berarti gadis itu baik-baik saja. Adalah Galea yang bersikap biasa saja setelah pemakaman orang tuanya, hanya Galea yang tetap mengulas senyum meski dunianya berubah monokrom saat itu.

"Gal, I know you so well." Lintang tahu Galea terlalu baik untuk tersakiti hanya karena cinta sepihak yang sudah cukup lama, "Kalau lo nggak mau berjuang buat cinta lo sekarang, lebih baik lo lepasin. Nggak baik terluka terlalu lama."

Galea termenung, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Lintang.

"Gue cinta sama Alvin, Alvin cintanya sama Senja. Gue tetep jadi pihak yang nggak terbalas, bodoh ya." Galea tertawa ngilu dengan sedikit kepedihan yang terselip. "Harusnya gue menolak permintaan Tante Fania tinggal di sana, mungkin gue nggak akan ketemu Alvin lagi. Setidaknya gue nggak berharap seperti saat ini."

"Gal, " Lintang menatap Galea. "Karena kalau lo diam aja, Tuhan akan meragukan usaha lo. Kenapa harus takut dan malu sama Cinta yang lo punya buat Alvin."

"Denger omongan kayak gini dari playboy tuh, kayak lagi denger jangan sentuh narkoba dari mulut pecandu Narkoba." Galea terkekeh ringan, kalau pun Alvin bukan jodohnya ia mungkin harus sesegera mungkin membuka hatinya untuk pria lain.

******

Nyaris satu minggu Galea tak bersitatap dengan Alvin, bahkan saat ada acara kumpul untuk keperluan panitia reuni pun Galea lebih memilih absen. Di penghujung sore kali ini Galea menghabiskan waktunya untuk menjenguk Senja.

Senja masih belum ingin pulang ke rumahnya, masih betah di Indekos nya Clara. Clara sudah berulang kali menasehari Senja agar menyelesaikan masalahnya dengan orang tuanya bukan malah lari seperti ini, tapi Senja masih tetap kekeuh dengan pendiriannya. Bahwa memberi jarak seperti ini akan mampu membuat orang tuanya berpikir.

"Nyokap-bokap lo nelponin gue terus," Galea menggulung rambutnya sebelum menggunakan karet gelang dekat bungkus ketoprak untuk mengikat rambutnya, tubuhnya yang sedikit lelah ia baringkan di atas kasur milik Clara. Kasurnya tidak besar tapi cukup nyaman, "Gue bilang lo masih dalam proses mediasi, remediasi, konduksi, atau produksi? apalah itu yang artinya proses penyembuhan."

Galea meracau dan mengundang tawa Senja dari balik selimut, dasarnya Galea memang sedikit pelupa mengingat kata-kata seperti itu.

"Remediasi, Gal," sanggah Clara. Clara hanya mengendikan bahu ketika mendapat tatapan tanya dari Galea perihal Senja yang masih betah bergelung dengan selimut.

"Memangnya lo ngarepin apa sih dari proses kabur lo ini?" tanya Galea.

Clara yang awalnya fokus dengan laptopnya kini fokus dengan pembicaraan kedua temannya. Ia mematikan laptopnya lalu bergabung ke atas kasur saat Senja kini tak lagi berbaring, gadis itu kini tengah mengambil posisi duduk sambil memeluk selimut coklat milik Clara. Clara mengambil space sisa-sisa tempat Senja.

"Ngarep dibeliin Lamborgini!"seru Clara.

"Gue cuman nggak tau apa yang harus gue lakuin sekarang. To be honest, cewek mana sih yang nggak terpukul liat tunanganya selingkuh? di luar konteks lo cinta atau nggak sama tunangan lo, tetap aja secara de facto dia itu tunangan lo. Tapi dia malah selingkuh, ada perasaan terluka meski bukan karena cinta," ungkap Senja dengan bibir sedikit bergetar.

Kalau boleh Galea berpendapat, Senja itu tergolong perempuan yang cukup lemah jika dihantam keadaan yang pahit penuh luka. Senja sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, hidup berkecukupan dari keluarga berada. Struktur hidupnya teratur seperti anak perempuan dari kaum aristokrat kebanyakan, tidak heran ketika keluarganya sudah menyiapkan jodoh untuknya.

Galea nyaris tidak pernah menemukan sikap pembangkang dari Senja, terkecuali beberapa bulan belakangan ini. Ada yang berubah dari Senja, dan Galea masih belum mengerti pasti penyebab di balik perubahan sikap Senja.

"Ja," Galea berdehem pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Lo tau apa yang harus lo lakuin, cuma lo nggak cukup berani buat lakuin itu. Lo takut salah ambil langkah yang malah akan memeperumit segalanya, lo takut kalau orang tua lo tambah marah. Tapi yang perlu lo tahu, nggak ada orang tua yang nggak peduli sama anaknya. Di balik sikap tegas dan keras orang tua, akan selalu ada kasih sayang yang nggak bisa lo dapet dari siapapun. Awalnya mungkin mereka akan kecewa kalau lo mau batalin pernikahan lo dengan Kahfi, tapi ada yang lebih penting dari sekedar rasa kecewa karena kegagalan pernikahan lo sama Kahfi. Yaitu kebahagiaan anaknya, kebahagian lo yang jadi alasan orang tua lo memaafkan semua tindakan lo."

Clara mengangguk setuju, "Karena lari dari masalah nggak akan pernah menyelesaikan apapun, kalau lo butuh waktu untuk menenangkan pikiran lo. Gue rasa seminggu udah lebih cukup, back to the reality, jangan larut sama kekecewaan lo karena diselingkuhi. Masih banyak hal berguna yang bisa lo lakuin dibanding meratapi nasib hanya karena diduakan."

"Karena lo nggak tau rasanya kecewa, Clar."

"No," Clara hampir mendecih mendengar ucapan senja. "Semua orang pasti pernah merasa kecewa, termasuk gue. Kayak kalau lo beli barang di toko online, ternyata barangnya nggak sesuai sama yang ada di pikiran lo. Pasti ada perasaan kecewa dalam diri lo, yang membuat beda adalah bagaimana lo menyikapi rasa kecewa itu. Meratapi perasaan kecewa atau menghadapinya? membuat keadaan lebih baik."

"Inget kata-kata dari Mo Willems, if you ever find yourself in the wrong story, leave." Galea memejamkan matanya mengurut pelipisnya karena merasa kepalanya sedikit berdenyut. "Jadi tinggalin Kahfi kalau lo ngerasa nggak ada kisah lo sama dia."

Ponsel Clara berdering, entah mendapat panggipan masuk dari siapa Galea tak cukup peduli sampai Clara menutup percakapan di ponselnya.

"Alvin di bawah tuh."

Sialan..., Galea berdesis hampir mengumpat kencang.

"Ngapain?" tanya Senja, sepertinya Senja juga tidak tahu maksud kedatangan Alvin. "Lo ngasih tau gue di sini sama Alvin."

Tubuh Galea meremang, jelas ia tahu siapa yang mengatakan keberadaan Senja di sini siapa. Yang pasti bukan Clara.

"Nanyain lo, Gal," ucap Clara santai, "Katanya ponsel lo nggak bisa dihubungin."

Terus cara Alvin tahu Galea ada di sini dari siapa?

"Gue pikir nyariin gue," Senja mengambil ponselnya, "Tapi kok Alvin bisa tau Galea di sini? terus ngapain dia nyariin Galea?"

"Mana gue tau, gue nggak bilang apa-apa sama dia. Gue juga kaget pas dia bilang di bawah." Clara melempar ponselnya ke atas kasur asal.

Galea turun dari tempat tidurnya, melangkah ke lantai satu. Alvin tidak menunggu di luar, ia ada di dekat mobilnya Alvin menyenderkan tubuhnya.

"Hai." suara serak Alvin yang pertama kali mengudara menyapa telinga Galea.

"Nggak masuk?" Indekost Clara memang khusus perempuan, tapi kalau sekitar di lobby lantai bawah pria boleh kok duduk di sana.

"Masih lama pulangnya?" bukannya menjawab Alvin justru balik bertanya membuat kedua alis Galea berataut.

"Baru jam tujuh." Galea melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Ya udah gue tunggu di dalam mobil aja, kita pulang bareng." Alvin baru saja akan memutar tubuhnya berbalik untuk kembali masuk ke dalam mobilnya, menunggu Galea di dalam lobby indekost rasanya tak cukup baik.

"Tunggu, gue pamit pulang sama mereka." Galea lari terbirit ke atas berniat pamit pada kedua temannya, ia tak cukup peduli ketika Clara dan Senja memberondongnya dengan banyak pertanyaan, Galea juga tidak tahu bagaimana Alvin bisa berada di sini.

"Gue mau nunggu kok, kalau misalnya lo masih mau ngobrol sama temen-temen lo." Alvin masih belum memanuver mobilnya saat Galea sudah duduk di samping kursi kemudi.

"Karena lo datang sekarang artinya lo udah nggak bisa nunggu, iya 'kan?" Galea memasang sabuk pengamannya, lupa bagaimana seharusnya ia bersikap setelah kejadian itu.

"Nggak tanya gue tau lo di sini dari siapa?"

"Lintang mungkin," tebak Galea yang mendapati gelengan dari Alvin.

"Gue ngikutin lo tadi."

"Oh...," tidak ada respon lebih panjang dari sekedar kata oh yang keluar dari mulut Galea. Ia hanya terlalu terkejut.

"Buat apa?" tanya Galea

"Buat mastiin lo baik-baik aja," Alvin masih belum mau menyalakan mobilnya. "Karena gue pikir, ucapan gue waktu itu mungkin sedikit menyentil harga diri lo."

"Nggak ada yang salah sama ucapan lo waktu itu, semuanya harus dimulai dari diri sendiri," ucap Galea, matanya mencuri pandang pada wajah Alvin. Pria di sampingnya mengenakan kemeja coklat muda berpasangan dengan celana biru tua, He's totally handsome. Bukan tampan dalam ukuran tubuhnya yang tinggi tegap dengan perut sixpack dan rahang tegas yang kokoh.

Alvin hanya punya kharisma tersendiri, meski tidak punya otot di lengannya tapi Alvin punya tangan yang hangat untuk digenggam. Dadanya memang tak selebar dada Chaning Tatum, tapi bisa memberikan kenyamanan untuk orang yang bersandar di sana.

"Gue nggak tau apa yang ada di pikiran lo tentang gue, tentang semua yang gue lakuin sama lo," jelas Alvin. "Tapi gue cuma mau lo tau, kalau gue nggak lagi main-main sama semua ini. Gue udah cukup tua kalau harus mainin perasaan perempuan, gue juga nggak sekekanakan itu kalau harus pindah ke hati ke Senja hanya karena dia batal nikah. Lo pikir perasaan gue sebecanda itu? gampang banget lo nyuruh gue balik sama Senja tanpa tanya gimana perasaan gue?"

Galea meneguk ludahnya kasar, tangannya memilin ujung lengan kemejanya.

Alvin kembali melirik Galea, berharap perempuan di sampingnya membalas rentetan kalimat yang sudah keluar dengan rapi dari mulutnya, dan Galea masih bungkam dengan mulut yang mengatup rapat. "Ini hati, bukan pengharum ruangan yang bisa lo pindahin kemana aja."

TBC

A/N :

Nikmati saja alurnya, baru part enam 😂😂 Gue pikir udah banyak ternyata baru part enam ya wkwkkwkw

Sabar-sabar cerita Alvin masih panjang, semoga bisa apdet lebih sering ya.

Bubay.

Selingkuhan Seunghoon.

Minggu, 15-10-2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top