First
Galea pernah mengatakan jika dia sangat menyukai permen kapas, tapi seingatnya ia tak pernah mengatakan itu di depan Alvin. Maka ketika Alvin memberikannya permen kapas dengan wajah yang mengulum senyum, pasti ada yang disembunyikan pria di depannya ini.
"Kenapa?" tanya Galea dengan nada juteknya, jauh dalam hatinya ia tersanjung dengan perlakuan Alvin.
"Gue mau kasih ini buat lo, masih suka permen kapas kan?" Alvin membuka plastik transparan yang membungkus permen kapasnya, rasanya aneh ketika ia mampir ke minimart untuk membeli minuman lalu menemukan permen kapas yang ada di etalase yang memajang permen tangannya langsung mengambil begitu saja, ia ingat Galea.
"Terus ngapain di sini?" lagi-lagi Galea bertanya tanpa maksud membuka percakapan yang lebih normal.
"Makan lha, ya kali gue duduk di warung soto lamongan cuman buat ngamen." Alvin menggerutu, kemudia memanggil salah satu pelayan warung soto untuk menulis pesanannya.
"Kenapa pas bisa begini? pas lo beli permen kapas buat gue, pas lo ketemu gue di warung soto, Pas...."
"Pas, pas," potong Alvin sebelum Galea kembali melanjutkan ucapannya. "Udah kayak pom bensin lo, pasti pas!"
"Ih, gue serius curut."
"Galaknya tolong dikurangin dong, kasian kan kalo lo jomlo terus karena galaknya kebangetan." Alvin bisa melihat Galea mendengus lalu memalingkan wajahnya dengan kesal.
"Gue tadi ketemu Senja," suara Alvin kali ini terdengar lebih rendah membuat Galea reflek menatap Alvin dengan penuh rasa ingin tahu. "Ternyata hati gue masih sedikit bergetar kalau ketemu dia, cheesy bangetkan gue?!"
"Kenapa?"
"Gue ketemu dia lagi sama Kahfi, dan gue sedikit terpukul. Karena ternyata Senja memang bener-bener keliatan bahagia sama Kahfi." Alvin melirik dari sudut matanya, Galea masih diam memasang wajah kusutnya.
"Karena lo jatuh cinta sama dia dengan sangat dalam," ucap Galea, karena nyatanya Galea tak pernah bisa menyapa hati Alvin.
"Gue pulang, Vin." Galea menerima satu bungkus soto yang ia pesan, membiarkan Alvin menatap bodoh dirinya yang pergi meninggalkannya begitu saja.
Derap langkah Galea sengaja dipacu agar segera sampai rumahnya tanpa harus bertemu dengan Alvin, lagi. Karena ia ternyata tak cukup mampu menahan rasa sakit yang menyerang hatinya ketika mendengar Alvin yang masih saja mempunyai perasaan terhadap Senja. Padahal sejak awal dia yang menggoda Alvin agar pria itu mau memperjuangkan Senja, karena nyatanya Senja tak sebahagia apa yang terlihat.
"Kok lo ninggalin gue gitu aja sih," Alvin berlari menyusul langkah Galea dengan kantong plastik di tangannya. Galea menatap heran pada Alvin, kemana motor Alvin?
"Gue kan emang nggak bawa motor, itung-itung olahraga malem gue. Masa dikit-dikit naik motor, entar perut gue buncit. Gimana?" Alvin tertawa ringan di sela-sela ucapannya, lelucon yang sama sekali tak menggerakan bibir Galea hanya untuk sekedar tersenyum.
"Nggak ada yang lucu sumpah."
"Gal," Alvin menarik lengan Galea hanya untuk menahan langkahnya. "Lo masih jomlo 'kan?"
"Gue jomlo atau enggak bukan urusan lo 'kan?" Galea menghempaskan tangan Alvin, matanya mendelik tak suka saat Alvin lagi-lagi menahan lengannya. "Vin, ngapain sih. Nggak usah ngedrama deh."
"Nggak ada hubungannya sama gue sih." Alvin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tawaran lo waktu itu...,"
Galea menaikan sebelah alisnya menunggu Alvin melanjutkan ucapannya, tawaran mana yang dimaksud Alvin ia tak mengerti.
"Lo masih mau bantuin gue dapetin Senja?"
Tenggorokan Galea rasanya seperti tersumbat, lidahnya masih terlalu kelu untuk menolak apa yang telah Alvin ucapkan. "Jadi beneran hati lo masih berdebar sama Senja, ternyata Cinta pertama itu memang susah dilupain yah?"
"Gue pikir gue bakalan dapet cacian dari lo, setidaknya lo ngelarang gue biar nggak melakukan kesalahan dengan mendekati Senja kembali." Alvin mulai membiarkan Galea melangkah pelan, paling tidak mereka masih bisa mengobrol. "Taunya lo biasa aja, malah dukung gue kayaknya."
"Vin," Galea menunduk menatap lamat-lamat sandal jepit yang cukup usang. "Gue bilang nggak akan bantupun beneran nggak akan ngefek sama hati lo."
"Payah banget yah gue?" Alvin lagi-lagi tertawa ringan. "Nolak jadi panitia reuni cuma karena gue takut ketemu Senja."
Galea tau tentang Reuni yang akan diadakan teman seangkatannya, karena ia pun diminta untuk menjadi salah satu panitianya. Semoga saja bukan lagi-lagi menjadi bendahara.
"Gue nggak terlalu ngerti masalah hati, Vin." Galea menepuk bahu Alvin. "Jadi jangan terlalu berharap sama gue kalau lo curhat."
*
*
*
*
Jam delapan pagi dan Galea masih menunggu ojek online yang ia pesan, ia terlambat pagi ini karena telalu larut tidur semalam. Ia melirik jam di tangannya yang berputar dengan cepat, salahkan Alvin yang membuat Galea merasakan namanya gundah gulana untuk kesekian kalinya.
Percayalah, mencintai tanpa mengungkapkan itu lebih sakit dari sekedar patah hati.
Galea tahu rasanya bagaimana, menyukai Alvin yang notabenenya menyukai sahabatnya sendiri itu sedikit menyakitkan dibanding jomlo yang nunggu diajak malam mingguan sama gebetan.
"Gal." Alvin dengan motornya yang sudah berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. "Mau bareng?"
Kenapa takdir terlalu senang mempermainkan hatinya, Galea menggeram untuk kesekian kalinya ketika Alvin menunjukan senyum yang menurutnya sangat menyebalkan. "Nggak usah, gue lagi nunggu ojek."
"Nggak takut telat, kayaknya ojeknya kesasar."
"Ada GPS kali kenapa harus kesasar lagi." Galea melipat tangannya di depan dada, matanya mengisaratkan agar Alvin segera menghilang dari pandangannya sekarang. Tapi bukan itu yang Alvin lakukan, ia mengambil helm yang biasa simpan menggunakan jaring di belakannya.
"Nggak ada," Alvin dengan santainya memakaikan helmnya pada Galea. "Abangnya mungkin tersesat karena GPS nya salah."
"Mana ada GPS salah,"gerutu Galea saat tangan Alvin menariknya agar segera menaiki motornya.
"Ada kok, cuman GPS di hati gue yang akurat. Tau lo lagi dimana dan lagi apa." Alvin sukses mendapat pukulan di helmnya.
"Basi," ketus Galea dengan tangan yang bersiap-siap memukul Alvin kembali jika saja Alvin tidak menarik lengannya untuk di lingkarkan di pinggang Alvin.
"Nikmatin aja peluk gue," kekeh Alvin dengan tawa yang sedikit tertahan. "Jarang-jarang lho cewek yang bisa meluk gue gini."
Galea mengerutkan keningnya, kalau seperti ini terus mana bisa ia move on dari Alvin. Lama-lama Alvin mirip debu, ada aja dimana-mana.
"Lo nggak tanya gue ngajar di mana?" tanya Galea dengan suara yang sedikit meninggi saat motor Alvin sudah membelah jalanan.
"Sekolah lo, sama kayak sekolah Jelly. Gue tahu itu."
Alvin serem, lama-lama kayak dukun yang tau aja.
"Kayak dukun lo, serem lama-lama gue sama lo. Muncul dimana aja," ucap Galea yang hanya dibalas kekehan ringan oleh Alvin.
Saat lampu merah Alvin melirik kebelakang memastikan yang sedang ada di belakanganya masih Galea, belum berubah jadi wonder woman apalagi Hulk.
"Gal, kalau gue percayain hati gue sama lo. Lo mau jaga hati gue nggak?" tanya Alvin dengan sudut-sudut bibir yang tertarik membentuk sebuah senyuman menghentikan waktu Galea sejenak hingga gadis itu hanya bisa terpaku tanpa mencerna.
*****
A/N : Ku mau meninggalkan yang panas-panas di lapak sebelah, unchh unchh manis manja sama Abang Alvin dulu deh 😆😆😆😆
Dear mancemanttt, gue minta doanya dong di hari rabu biar gue nggak deg-degan kayak lagi ditatap gebetan.
Mau ngapain emang?
Rahasia, doaian aja yah semoga hari rabu lancar dan sukses gitu, gue mau memperbaiki masa depan soalnya =)
ailavyuuuuuu 😘
Semoga bisa lancar terusin Bang Alvin nya =)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top