Fifth
Alvin bukan pria yang dengan mudah mampu menjatuhkan hatinya pada perempuan, ada beberapa hal yang seringkali ia pastikan ketika mencoba sebuah hubungan serius. Senja salah satunya, perasaan tertarik sudah ada sejak mereka satu sekolah di masa putih abu. Tapi, Alvin merasa tak cukup layak saat itu untuk mengungkapkan perasaannya pada Senja.
Ia hanya bocah tengil yang masih menggantungkan kelangsungan hidupnya pada orang tua, namun bukan berarti ia tak punya tujuan untuk masa depannya. Ia sudah cukup merancang masa depannya dengan memulai memilih jurusan kuliah, ia tahu harus memulai dari mana.
Kisah Cinta Alvin juga tak secemerlang Lintang, yang Alvin tahu temannya satu itu sudah sering menjalin hubungan dengan banyak perempuan. Alvin cukup heran ketika remaja dalam balutan seragam putih-abu justru sudah memiliki banyak mantan pacar. Apa yang bisa diharapkan dari menjalin kasih saat kalian bahkan masih belum memiliki kartu tanda penduduk.
Menekan perasaannya pada Senja adalah sebuah bentuk tanggung jawab pada masa depannya, Alvin tak cukup berani untuk menjalin sebuah hubungan di masa putih-abu. Sebut ia pecundang atau pengecut, Alvin akan menerima dengan senang hati jika ada temannya mengatakan bahwa dirinya pengecut dan pecundang hanya karena ia tak berpacaran saat masa sekolah. Atau saat temannya yang menyindir Alvin soal dirinya yang juga tak merokok saat itu, orientasi seksual Alvin sebagai lelaki sempat dipertanyakan hanya karena ia tak berpacaran atau merokok saat itu.
Lalu setelah lama tak berjumpa dengan Senja karena masa kuliah, yah Senja kuliah di Bandung. Itu salah satunya alasan kenapa Senja tak pernah ikut dalam acara sekedar kumpul yang biasa diadakan teman-temannya. Setelah Alvin merasa dirinya layak untuk Senja melihat apa yang telah berhasil Alvin raih, ia mencoba untuk mendekati Senja. Dan hasilnya adalah sebuah keterlambatan.
Alvin belajar satu hal dari itu, bahwa cinta tak selamanya bisa menunggu. Ada sebuah kepastian yang harus diberikan oleh seorang pria agar si wanita merasa pantas menunggu.
Ketika Ibunya menawarkan beberapa perempuan kenalannya Alvin tak cukup berani untuk menolak, tidak mau menerima begitu saja juga. Karena yang ia cari teman hidup, bukan teman bermain yang mudah ditemukan kapan saja.
"Galea 'kan namanya?" Desinta--Ibu Alvin bertanya dengan seulas senyum penuh arti, akhirnya ia tak perlu mempromosikan anaknya lagi pada anak perempuan teman-temannya. "Ibu sering liat dia nemenin Bu Fania, dia keponakan Bu Fania yang baru tinggal di sini beberapa bulan ya, Vin?"
"Bang Alvin sama Bu Galea?" itu bukan suara Alvin, tapi Jelly dengan suara memekik yang tak percaya karena mendengar ucapan Ibunya. Suana ruang tamu yang awalnya tenang karena ketiganya tengah fokus dengan tontonan di layar televisi jadi sedikit terganggu. "Jelly nggak setuju ah, Bu Galea terlalu baik untuk Bang Alvin."
Alvin hampir saja memutar bola matanya jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan siapa, memutar bola mata adalah hal yang tidak sopan. Dan Alvin cukup ingat jika Jelly adalah peniru yang baik, sekali Alvin menunjukan sikap yang kurang baik maka Jelly akan meniru dengan mudahnya.
"Kamu tau apa sih, Dek." Alvin melirik sekilas Jelly, alasan klasik anak jaman sekarang. Kamu terlalu baik untuk aku, jadi kita putus. Besok-besok pasti banyak penjahat hanya karena tidak mau disangka baik oleh pasangannya demi mempertahankan sebuah hubungan. Dan tentu saja itu semua hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sumbu pemikiran yang sangat pendek.
"Aku nggak suka aja abang sama Bu Lea," ucap Jelly masih berusaha mempertahankan muka masamnya, Alvin heran dengan apa yang ada di pikiran Jelly. Memang apa kurangnya Alvin coba sampai harus dikatakan tidak cocok, Alvin ragu jika ia dan Jelly satu produksi.
"Kamu tuh harusnya dukung Abang kamu dong, emang Adek tau apa soal Bu Lea yang terlalu baik? Bang Alvin kurang baik 'kah untuk Bu Lea?" tanya Desinta, kedua anaknya ini memang senang sekali berdebat hal-hal kecil. Padahal jarak umur keduanya cukup jauh, tapi kalau disatukan sama-sama seperti anak dengan umur belasan.
"Nggak suka aja," tandas Jelly, ia mengerakkan pelukannya pada boneka tweetynya yang sudah kumal.
"Kamu masih kecil, nggak ngerti apa-apa soal Abang sama Ibu Lea. Cukup jadi penonton, jangan ikut memahamim. Abang nggak mau kamu dewasa sebelum waktunya." Alvin menaikan kedua alisnya, merangsek maju ke arah Jelly lalu mencubit pipi gembil adiknya berharapa mampu mengundang tawa dari bibir adiknya.
"Awas aja sampai Bang Alvin bikin Bu Lea sakit hati, adek kasih obat nyamuk nanti sarapannya." Jelly mengingatkan dengan suara juteknya.
"Yanh Kakak kamu itu Abang atau Bu Lea sih?" Alvin tak cukup tahu apa yang membuat adiknya begitu peduli terhadap Galea, yang pasti ada sebuah alasan dibalik sikap Jelly yang terlalu peduli terhadap Galea.
****
Jika bukan karena Ibunya yang ingin makan mi tek-tek mungkin Alvin tak akan bertemu Galea yang tengah dengan santainya tertawa bersama Bapak penjual Mi tek-tek yang biasa keliling kompleknya, di perempatan beberapa blok dari rumahnya Alvin bisa melihat Galea yang tengah bercengkrama ringan dengan si Bapak. Pukul sepuluh malam dan perempuan itu masih di luar rumah, tadi saja saat Jelly menawarkan diri untuk mencari tukang mi tek-tek Alvin melarangnya.
"Perempuan itu nggak baik malem-malem keluar sendirian," ucap Alvin. Ia bisa melihat wajah Galea yang mencebik, ia sedikit menjauh dari Alvin yang melangkah mendekatinya.
"Mata lo minus berapa sih Vin? Itu si Bapak lo anggap apa? jelas-jelas gue nggak sendirian." Galea mendengus kesal, harusnya ada perasan malu atau mungkin ia harusnya tersipu setelah perkataan Alvin. Entah maksudnya apa dari keseriusan yang berani Alvin lontarkan.
"Bukan begitu," sela Alvin. Ia melirik sekilas Bapak penjual Mi Tek-tek lalu mengucapkan pesanannya, menarik Galea agar tidak terlalu dekat dengan gerobak mi tek-tek karena aroam cabai yang menguar kuat saat si Bapak menumis bumbu.
"Lain kali kalau ada perlu malem-malem lo bisa hubungin gue." Alvin bisa melihat Galea yang kembali mencebikan bibirnya, senang sekali perempuan di depannya mencebik.
"Why?" tanya Galea, kepalanya mendongak mendapati Alvin yang menatapnya teduh.
"Karena nggak segala hal harus dijelaskan, Le." Alvin menjawil hidung Galea hingga perempuan di depannya mengaduh.
"Vin," Galea menahan tangan Alvin yang akan mendarat di kepalanya. Mungkin Alvin berniat mengacak rambut Galea yang terasa lembut di telapak tangan lebarnya.
"Sorry." Alvin kikuk, ia masih bisa merasakan keraguan Galea dengan segala sikapnya. Gamang, mungkin kata yang cukup tepat menggambarkan sikap Galea saat ini terhadapnya.
"Senja," Galea melangkah sedikit mundur, tak cukup baik untuk jantungnya jika terlalu dekat dengan jantungnya. "Kabur dari rumah."
Galea bisa melihat raut wajah Alvin yang terkejut, leher jenjang Alvin terlihat sedikit menegang menekan rasa kaget yang tak cukup lama ia tunjukan.
"Dia...," Galea ragu, sangat ragu dengan apa yang ingin ia ucapkan. "Nggak mau menikah sama Kahfi, karena...,"
Lagi-lagi tersendat, Galea tak cukup berani melihat Alvin. Ia takut sikap yang akan ditunjukan Alvin setelahnya membuat hatinya terluka. "Kahfi selingkuh."
Entah kenapa Galea merasa ia punya tanggung jawab mengatakan semua ini pada Alvin, dari awal Galea sudah bisa mengamati jika Kahfi bukan pria yang layak untuk Senja. Kahfi adalah satu dari sekian pria yang sering memanfaatkan posisi orang tuanya, karena orang tuanya terpandang lantas membuat semuanya terlihat mudah untuk pria itu. Dan Galea jelas tahu jika pria yang memanfaatkan kerja keras orang tuanya adalah pria yang tak layak.
"Senja udah cukup dewasa, gue rasa dia udah bisa bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan saat ini," kata Alvin, tangannya menepuk bahu Galea pelan. "Kalaupun dia kabur, mungkin itu salah satu cara dia menyelesaikan masalah. Gue tau dia bakalan baik-baik aja, lo nggak usah khawatir."
"Bukan itu inti masalahnya." Galea hampir saja memekik, sebelum bapak yang sejak tadi membuatkan mi tek-tek menginterupsi kegiatan mengobrol mereka, mengatakan jika pesananya sudah selesai.
Alvin yang lebih dulu merogoh kantongnya, membayar sekaligus pesanan Galea. Tangan Alvin menarik lengan Galea sebelum jemarinya merangsek ke telapak tangan Galea dan menggenggam erat di sana.
"Vin." lagi-lagi Galea yang menghentikan langkahnya. "Senja ada di rumah Clara."
Alvin menaikan sebelah alisnya, menatap lekat-lekat Galea yang memasang wajah tenang.
"Nggak ada yang terlambat kalau lo mau mulai sekarang," ucap Galea, ia tahu Senja butuh seseorang dan Alvin lebih dari cukup untuk jadi seseorang itu. "Just tell her, if you love her"
Alvin tidak marah dengan ucapan Galea, dia justru tertawa. Menjawil kembali hidung Galea. "Cinta? tau apa seorang Galea tentang cinta? Kenapa menasehati orang lain itu lebih mudah dibanding menasehati diri sendiri?"
Wajah Galea menekuk, tapi tak mengurungkan Alvin untuk tetap berucap. Alvin justru terlihat senang bisa menyudutkan Galea. "Kenapa nggak dimulai dari diri lo sendiri Le? Tell me now. If you love me."
TBC
Gue suka banget Kapel Alvin sama Galea sumpah, bukan berarti sama kapel yang udah-udah dicerita gue nggak suka. Tapi kayak paling favorit aja ini mereka berdua 😂
Ini Alvin versi gue kalau Korea 😂
Versi lo siapa hayoo?
Bubay....
Selamat Berakhir pekan 😀
Sabtu, 14-10-2017.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top